Jodohkan Aku!

By nadalicia

34.4K 902 9

Siti Nurmala adalah seorang remaja SMA yang tetiba memiliki keinginan dan keyakinan untuk dijodohkan atas keh... More

I'm not Moving
Unbelievable
Siklus Sakti
And the Journey Begin...
Amnesia vs Reinkarnasi
Complicated
(KW) Super Mario Bros
And, She's ...
Pintu Lorong Waktu
Mood Detector
What a Day!
Pancaroba Hati
Awake!
K(e)lar-ifikasi
Plan in (e)Motion
Benang Kusut
Kartu As
Ucapan adalah Do'a
Girls Time!
Hell No!
Kado Mario
Permohonan
Halooo
(K)Otak Atik
Perusuh!
Taktik
Pertemuan
Hari H
Situasi Hati
What The Fact?!
Moment of Truth
Confession And Conclusion

Dementia, Dementor

946 23 0
By nadalicia

Bentar... bentar. Apa nggak salah lihat? Beneran itu Sakti? Ngapain dia kesini? Kemarin kan dia nggak kenal gue sama sekali!

Ni dementor satu bener bener pikun!

"Mal... lo nggak janjian ketemu sama Sakti kan?" Tanya Rina heran.

Gue cuma bisa diem aja. Menatap Sakti dengan badan kaku.

"Mala... hei! Istighfar, Mala..."

Iya Rini, gue istighfar dalam hati aja ya. Astaghfirullah.

Kondisi kami bertiga belum bergerak sama sekali. Masih mematung di sebelah kanan gerbang. Kami seperti gapura di gerbang sekolah. Sakti yang berada di seberang sana, semoga saja menganggap kami tidak bisa menyebrang karena seliweran kendaraan yang padat. Maklum lah ya pulang sekolah.

"Mala... gue nggak tau harus bilang apa, tapi kayaknya Sakti menuju arah lo. Gue perlu pasang badan buat lo?" Tanya Rina.

Apapun yang berada disekeliling dan berbicara pada gue... mata ini hanya terfokus pada Sakti. Tolong jelaskan... dia mau ngapain lagi setelah peristiwa kemarin?

"Hai Mala, Rina... Assalamualaikum Rini."

"Waalaikumsalam..."

Sepertinya cuma Rini yang menjawab salam.

"Ngapain lo kesini? Mau ngapain lo?!"

Itu suara Rina. Nadanya ketus, penuh penekanan sampai kalimat tanya diulang dua kali berturut-turut. Gue masih tetap mematung, hingga akhirnya cubitan kasar Rina pada kain yang membalut lengan ini membuat gue sadar bahwa ini nyata di depan mata.

"Rina, gue disuruh jemput Mala." Tegas Sakti.

"Jemput? Heh! Lo kira Mala anak TK?!"

"Sabar Rina... sabar." Kata Rini menenangkan.

"Mala... lo bersedia gue anter pulang kan?"

Gue masih belum bisa buka mulut sama sekali, Sakti.

"Lihat Sakti... Mala nggak ngerespon lo! Udah mending lo pulang lagi aja! Mala pulang bareng kita kok!" Seru Rina.

"Gue ada perlu sama lo, Mala! Please!" Sakti terus membujuk gue tanpa menghiraukan ucapan Rina.

Bujukannya sungguh membuat gue pengen muntah.

"See? Dia nggak ngerespon lo!" Ucap Rina, tak menyerah walau tak digubris Sakti.

"Mala... gue ada perlu sama lo. Ada yang harus gue omongin! Penting!"

Emosi Rina mulai memuncak, "Basi lo! Udah urusin kakaknya Mala, sana!!!"

Rina mulai tunjuk-tunjuk pada wajah Sakti.

"Lo yang urusin urusan lo sendiri, Rina!!!"

Deg.

Tetiba gue ingat Amel yang pulang kerumah dalam keadaan nangis. Hei, mungkin ini ada hubungannya dan gue bisa bantu Amel.

"Cukup, kalian! Oke Sakti! Fine! Gue kasih lo kesempatan, tapi ini yang terakhir kali!"

Rasanya aneh, tapi nggak ada salahnya buat kasih keduanya kesempatan. Ya maksudnya kesempatan untuk gue berbuat baik sama Amel, dan kesempatan buat si kampret satu ini.

"Mala... Lo yakin?" Tanya Rina.

"Iya Rina. Gue yakin."

"Kalau lo kenapa-napa, kasih tau kita, ya!"

Gue menelan ludah. Rasanya ganjil, masih belum ada kejelasan dari kejadian kemarin. "Insya Allah, Rina. Gue pulang dulu."

"Oke. Hati-hati."

***

Entah Sakti akan membawaku kemana. Ini bukan arah pulang. Oh, ternyata ke Braga. Kenapa gak bawa pulang kerumah aja biar sekalian ada perang saudarihood? Katanya mau anter pulang? Tuh... bohong kan.

Setelah motor berhasil parkir, tangannya... ngapain tangan lo nyeret gue, Sakti!

"Eh... lepasin! Gue bisa jalan sendiri!"

Dia langsung lepas tangannya, tanpa bilang apa-apa. Aku mengikuti saja kemana dia pergi.

Ada cafe kecil. Itu tempat favoritku, menu makanan manis kesukaanku marema disana. Sepertinya langkah kakinya mengarah ke sana. Betul saja!

Sakti... Sakti, lo masih tau makanan kesukaan gue.

Mungkin ini sogokan dari dia biar amukan gue ga terlalu liar. Boleh juga lah usaha lo.

Sakti memilih duduk dekat jendela. Refleks gue tolak "Sakti... lo mau rumah gue ancur kalau ada yang laporan ke Amel bahwa kita jalan bareng?"

"Bilang aja kita nggak sengaja ketemu disini. Lo kan adiknya ini."

Tuh kan, bohong banget ni orang ngajarin nggak bener! Ga ada bedanya sama Mario Bros Al Shiddiq.

"Justru karena gue adiknya! Denger ya, Gue nggak mau duduk disini atau gue pergi dari sini!"

"Eh jangan, Mal... oke fine, kita duduk di sebelah sana."

Sakti menunjuk ke tempat yang setidaknya aman dari jarak pandang jalan ke cafe. Kamipun duduk berhadapan, seperti mau duel panco.

"Oke. Waktu lo lima menit. Ada perlu apa?"

"Yaelah, Mala... santai aja kali. Kan belum pesen apa-apa."

60 kali 5 berapa ya? Oke! 300 detik!

"Tiga ratus, dua ratus dua puluh sembilan, dua dua lapan..."

"Sepanjang kita ngobrol, lo mau jadi stopwatch manual aja, gitu? Ayolah Mal..."

"...dua dua enam, dua dua lima, dua dua empat... terus dua dua tiga..."

Kedua tangannya tetiba menyambar dan menggenggam erat tangan gue yang lagi asyik pura-pura ngitung angka yang ratusan. Padahal tau sendiri, jari ini cuma sepuluh.

Tangannya, men! lagi-lagi beraksi! Aduh mati kutu gue.

"Lepasin Sakti! Kita bukan muhrim!"

"Gue mau lepasin kalau lo berhenti berkoar jadi stopwatch manual!"

"Oke fine!"

Baik. Baiklah Sakti. Plan B. Gue nggak akan ngomong apapun sama lo!

"Aa... kadieu A. Sayah mau pesen." Panggil Sakti pada pelayan dengan logat Sundanya. Kadieu maksudnya kemari. Mungkin biar disangka warga lokal, jadi dapet diskonan kali ya.

"Iya silahkan A, tulis disini."

Sakti menulis makanan yang sebenarnya dia nggak tanya makanan apa yang mau gue beli. Ya terserah aja deh, yang punya hajat kan dia. Gue terima sajen aja.

Tanpa waktu lama, Sakti selesai menulis dan dibaca ulang oleh Aa waitress. Pancasilais sekali kan pesenan dibaca ulang?

Selesai order, Sakti lalu mengarahkan pandangannya padaku. Kemaren kelakuannya kayak apa coba? Lihat gue kayak lihat jurig! Setan!

"Mala... apa kabar?"

Hah? Pertanyaan macam apa itu? Nggak punya perasaan banget!

Plan B gue lanjutkan.

Ia mulai menunduk. Entah ada apa dibawah mejanya.

Tadi pembacaan pesanan sudah diucap ulang oleh waitress, dan sekarang sepertinya mulai mengheningkan cipta. Aturan amanat dulu sih, pak!

"Mala... gue bener-bener nggak tau harus bilang apa... gue pengen minta maaf sama lo. Maafin gue, Mala..."

Oh... gampang banget minta maaf. Sedangkan masih banyak tanda tanya yang belum terjawab sama lo, Sakti, salah satunya kenapa kalian harus jadian seminggu setelah kita putus?

Gue maafin lo Sakti, selalu. Tapi untuk melupakan hal yang menyakitkan juga butuh waktu, selalu!

"Empat menit lagi." Kataku.

"Mala... gue barusan putus sama Amel!"

What the....? Kenapa Sakti? Kenapa tindakan lo itu gila! gue bener-bener nggak habis pikir. Kuangkat alis ditambah dengan dahi yang mengkerut. Bibir tetap bungkam. Diam.

"Mala... setelah gue tau lo itu adiknya Amel, Gue... jadi merasa bersalah sama lo."

"Apa? Setelah tau? Oh jadi kalau Amel bukan kakak tiri gue, lo nggak akan ngerasa bersalah?"

Gue mulai terpancing, Plan B gagal, sekaligus gagal diet juga, karena makanan manis sudah datang. Rasanya ingin lempar Sakti pakai Macaroons warna-warni ini tepat di jidatnya biar sampai ke otaknya yang entah konslet atau bagaimana ngajak gue ketemu setelah mereka baru aja putus. Juga, gue kesel, dua minggu mereka jadian masa putus cuma gara-gara Sakti tau gue adik Amel?

Sorry Sakti, gue bukan PHO dan ogah dicap PHO.

Tapi kedatangan sajen ini...

"Makan dulu, Mal."

"Maaf gue shaum!"

"Yang bener lo? Perasaan barusan lo ngupil."

"Sejak kapan ngupil bikin shaum batal?"

"Ayolah, Mal. Gue tau kok lo lagi nggak shaum. Dari tadi lo kan ngunyah permen karet."

"Uhuk uhuukkkkk!!!"

Permen karet tertelan seketika!!!

Ajegilee gue lupaa. Aehmateee!!!

"Mala... tuh kan. Lo sih bohongnya bawa-bawa ibadah. Kan jadinya keselek! Nih minum smoothiesnya!!

Gue pun langsung teguk smoothiesnya sampai habis. Gue takut kalau permen karetnya nggak bisa gue cerna, macem pola pikirnya Sakti. Sulit gue cerna.

"Makanya, Mala... jangan kufur nikmat gitu. Dosa! Udah kufur nikmat, bohongnya bawa-bawa ibadah pula!"

"Iya. Ceramahin gue aja terus seakan akan lo yang paling bener!"

"Oke Mala. Gue ngaku gue yang salah."

"Ga butuh!"

"Terus sekarang apa yang lo butuh, Mala?"

"Nampar lo, boleh?"

"Silahkan, Mala..."

"Hmmmm... gak jadi. Itu nggak bakal mengubah keadaan gue!"

"Kita jadian aja gimana?"

"Lo psycho, Sakti!"

"Mala... lo inget kesepakatan waktu kita putus? Kita bakal tetap jadi temen kan?"

"Ogah! Temen macam apa lo nyakitin perasaan temen lo sendiri?!"

"Iya Mala... gue ngaku gue memang salah, jadian seminggu setelah kita putus. Makanya gue putus sama Amel karena gue sadar sama kesalahan gue."

"Emang! Salah total! Fatal! Dan sekarang... Kalau lo mau jadi temen gue, lo jadian lagi sama Amel!"

"Tapi... Nanti lo..."

"Semua udah terlanjur salah lo! Dan sadarlah, sekarang Amel yang harus lo bahagiain, bukan gue. Gue nggak mau lihat lo memperlakukan Amel seenak jidat lo! Cukup gue yang lo sakiti!!"

Ya Allah... ngomong apa gue ini. Padahal hati gue nggak pengen ngomong begini. Sakti, be mine please. Astaghfirullah... jangan Mala. Jangan jadi PHO.

"Tapi beneran ya... kalau gue jadian lagi sama kakak lo, kita temenan kayak dulu."

Gila. Lo nggak punya hati. Lima tahun kita lo anggap angin lalu gitu? Tapi. . .

"Iya."

Apa boleh buat. Demi Amel, gue harus rela mengorbankan rasa sayang gue sama Sakti.

"Tolong Sakti, lo jangan salah pengertian dulu. Kita temenan karena gue tau lo itu pacar kakak gue. Gue anggap lo calon kakak ipar gue."

Sakti cuma bisa diam. Sekarang keadaan berubah. Dia kena skak mat.

"Berhubung kemaren lo amnesia, baru mengenal gue lagi..." aduh ngomong apa sih gue ini,

"...sekarang disini gue sedang bereinkarnasi sebagai adik tirinya Amel. Bukan sebagai mantan kekasih yang tak dianggap sama lo!"

"Mal... gue bener-bener merasa bersalah banget. Gue... minta maaf ya udah sering nyakitin lo."

"Gak perlu. Udah gue maafin."

Sakti menarik nafas, terdengar berat dan tercekat.

"Kalau mau temenan sama gue, lo ikutin skenario gue. Gue punya ide gimana caranya buat bikin lo berdua jadian lagi."

"Tapi Mal..."

"Nah... contohlah gue. Gini nih namanya teman, selalu bantu teman yang kesusahan, kan?"

Oke, ini lucu dan pathetic, tapi sepertinya gue sudah memasuki area "Calon Step brother in law-zone"

Welcome, Mala.

°~°°~°°~°°~°

Dementia itu...

Dementia adalah istilah medis untuk lost memory. Sekitar lima tahun yang lalu, saya sempat baca selebaran di rumah sakit yang menjelaskan tentang Dementia.

Nama dementor menurut sotoynya saya, mungkin diambil dari kata dementia. Tugas dementor sendiri bikin orang lupa untuk ingatan yang bagus-bagus, ingatan yang buruk malah tetap ada, gitu bukan sih? Aduh kok si gue jadi lupa.

Correct me if I wrong yaaa #cmiiw :D

Jadi judul "Dementia, Dementor" ini maksudnya adalah Dementor yang Pikun. Ini bikin double istilah... yang satu istilah asli, yang satu serapan. Jadilah si gue yang sotoy ini bikin hybrid sentence... haha. Apa bangetlah #abaikan

Sampai ketemu di chapter lain, guys!

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 110K 54
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
539K 9.1K 18
suka suka saya.
186K 18.3K 22
[HIATUS] [Content warning!] Kemungkinan akan ada beberapa chapter yang membuat kalian para pembaca tidak nyaman. Jadi saya harap kalian benar-benar m...
6.1M 706K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...