Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Dua Belas: Berbahaya

13.3K 1.4K 145
By kianirasa


==

Bagian Dua Belas: Berbahaya

==

"Za, Kariza." panggil Atha seraya menyusul pemuda bermata hazel yang sudah berjalan mendahuluinya itu―selagi Faust mengekori sambil mengamati keduanya dari belakang. "Maksud lo apaan sih? bercandanya nggak lucu. Kan lo sendiri yang bilang, jangan sampai anak-anak tahu soal gue yang numpang di rumah lo." lanjutnya, meminta kejelasan pada Kariza. Kekesalannya sudah mencapai batas puncak.

Daripada menjawab, Kariza hanya meliriknya hingga saat keduanya―tiga, ditambah Faust―sampai di tempat latihan boxing indoor milik sekolah. Dia lalu menghela napas dan membalikkan badannya menghadap ke Atha yang sontak menghentikan langkahnya. Masih menunggu jawaban.

Tetapi sepertinya seorang Kariza memang tidak bisa diharapkan. Alih-alih angkat bicara, dia justru melepas selempangan ranselnya lalu melemparkan tasnya tersebut kearah Atha―yang tentu saja ditangkap perempuan itu dengan baik.

"Eh kok jadi gu―"

Kariza memutar badannya dan berjalan pergi, tak lupa mengayunkan sebelah tangannya keatas. "Pegangin dulu. Gue mau ganti baju." ucapnya yang mengakhiri pembicaraan.

Atha mendenguskan napas kesal dan berjalan kearah yang berlawanan. Menuju bangku penonton beberapa meter dari ring. Setelah duduk manis sambil memeluk tas ransel Kariza, Faust juga ikut menjatuhkan bokongnya keatas bangku. Meskipun sebenarnya makhluk itu bisa duduk dimana saja. Bahkan udara sekali pun.

Mata coklat Atha menyisir sekitar, dia mendapati kalau bukan dirinya lah satu-satunya perempuan yang berada di sana. Ada juga siswi lain yang sibuk mengagumi anak-anak klub boxing yang terkenal dengan tampang dan bentuk badannya yang bagus. Tetapi bukan para siswi itu yang mengganggu pemandangan Atha, melainkan anak-anak klub boxing itu sendiri. Banyak diantaranya yang mondar-mandir tanpa memakai atasan―bahkan ada yang memakai kaos kutang.

Bau sih, tidak. Hanya saja mata Atha yang masih perawan tidak terbiasa melihatnya. Omong-omong soal shirtless, Atha jadi ingat bagaimana Kariza waktu itu―agh. Atha menenggelamkan kepalanya diatas ransel Kariza. Malas mengingat-ingat kejadian yang membuatnya malu sendiri. Faust yang daritadi diam-diam mengamatinya pun mengangkat alis, namun kemudian menyadari apa yang salah pada Atha.

Mungkin untuk yang pertama kalinya, makhluk bersayap itu tertawa. Lepas. Tidak memasang wajah datar dan dinginnya seperti biasa.

"Kamu tidak terbiasa sama pemandangan ini ya?padahal setahuku, perempuan itu jenis manusia yang menyukai hal-hal seperti ini." ujarnya yang langsung mendapat pelototan dari Atha.

Memilih tidak membalas perkataan Faust, Atha pun hanya mendesis kesal lalu kembali menenggelamkan kepalanya di ransel Kariza. Dia sedikit mengantuk karena durasi tidurnya sejak datang ke masa lalu jadi kacau.

"Atha, ada yang datang tuh." ucap Faust beberapa saat setelahnya.

Tak ada respon apa pun, Faust menoel daun telinga Atha pelan―sekedar iseng. "Itu tuh, Tha. Dia beneran kesini."

Lagi-lagi tidak ada respon. Atha tetap bersikukuh di posisinya yang sekarang sambil menutup mata, hingga sebuah tangan menginterupsinya dengan memegang sebelah pundaknya.

"Misi, lo lihat handuk sama botol minum gue nggak?tadi gue taruh sekitar sini soalnya."

Suara berat yang tak asing menghampiri telinganya. Atha spontan mengangkat kepala, samar-samar matanya menyelaraskan cahaya lampu yang menyilaukan untuk bisa menatap sosok didepannya. Detik berikutnya, Atha bisa merasakan pipinya memerah.

"Atha?"

Atha menunduk, lebih tertarik pada merek tas ransel Kariza ketimbang harus bertatap muka dengan pemuda didepannya. Nara.

Sontak, Nara pun menghampiri Atha sesaat setelahnya. Membungkukkan sedikit badannya sambil memiringkan kepala untuk bisa melihat wajah Atha.

"Ditanya jawab dong." ujar Nara.

Faust menyikutnya pelan. Seperti menyuruh Atha untuk bicara, mengingat ini kesempatan yang bagus untuk pendekatan.

Atha memejamkan matanya sejenak sebelum mengangkat kepala. Tapi sialnya, hidungnya malah berbenturan dengan hidung Nara, yang rupanya memasang jarak terlalu dekat. Keduanya sontak merintih kesakitan secara bersamaan. Mengundang tawa pelan dari Faust.

"Gue nggak ngelihat tadi, waktu kesini kosong. Nggak ada apa-apa." jawab Atha di sela-sela suasana canggung yang tercipta.

Alih-alih pergi, Nara justru duduk di tempat Faust duduk, membuat makhluk bersayap itu kelabakan―buru-buru membumbung tinggi di udara, karena tidak ingin ditindih oleh Nara. Meski itu tidak mungkin sih, Nara bahkan tidak bisa menyentuhnya. Tapi aura Faust yang dingin cukup untuk membuat bulu kuduk manusia berdiri.

"Lo aneh."

"Maksudnya?" tanya Atha sembari mengontrol detak jantungnya.

Yang ditanya, mengendikkan bahu. Nara lalu melipat kedua tangannya di belakang kepala sambil merenggangkan ototnya dan menghela napas panjang. "Ya, gitu. Aneh. Gue merasa lo itu punya hal mistis."

Mendadak, senyum kecil yang tanpa sadar tersungging di bibir Atha memudar. Alisnya terangkat.

Nara menoleh kearahnya. "Istirahat tadi lo ngomong sendiri. Dan gue yakin lo lagi ngomong sama setan. Itu mistis kan namanya?" jawabnya, balik bertanya.

Faust memutar bola matanya kesal lalu menjentikkan jarinya di udara. Memunculkan sebuah sepatu―berniat melemparkannya ke Nara. Tapi sebelum itu terjadi, Atha yang melihat rencananya pun melotot, memperingatinya. Membatalkan niat Faust yang sudah terlanjur kesal.

"Eh..lo pernah nggak merasa―apa yang lo lihat di depan lo itu seharusnya nggak disana." ucap Nara, mata coklatnya yang jernih pun terfokus pada mata coklat Atha. Dan dia sama sekali tidak berpaling.

Atha menggelengkan kepalanya pelan. Sambil berusaha mencerna setiap kata yang dikeluarkan Nara.

Nara mengacak rambutnya frustasi. "Maksud gue―ah udahlah, lupakan. Otak gue lagi korslet." sambungnya.

Mulut Atha terbuka sedikit, tapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Faust sendiri hanya mengangkat sebelah alisnya, tidak bisa menebak apa yang dirasakan Nara meskipun makhluk bersayap itu mencoba membaca raut wajahnya.

Detik berikutnya, Nara mengedipkan mata dan mengalihkan pandangan."Oh ya, jangan lupa ganti rugi rokok yang lo injek-injek."

"Nggak." balas Atha, menolak mentah-mentah permintaan Nara.

Mendadak ekspresi Nara mengeras. Dia mendenguskan napas lalu beranjak berdiri. "Gue nggak mau tahu, lo harus ganti pokoknya." ucap Nara, tidak mau menerima protes lebih lanjut. Dia pun berjalan―dan sengaja memincingkan mata tajam kearah Kariza yang entah sejak kapan ada disana.

"Kenapa kamu bisa menyukai manusia kayak dia sih Tha?" gerutu Faust sembari duduk bersila di tempatnya semula. Mata berwarna hitam Faust kini terfokus pada Kariza yang sedang berjalan menuju ke tempat mereka.

Atha menatap Faust lalu mengulum senyum.

"Karena suka itu nggak butuh alasan, Faust."

》》》

Atha meringis bahkan seringkali menutup matanya melihat Nara berkali-kali meninju Kariza hingga pemuda bermata hazel itu terpental ke pinggir ring boxing. Walau Kariza memakai pelindung kepala, Atha tetap tidak bisa melihat pemandangan di depannya dengan mata telanjang.

Sorakan dari gerombolan siswa yang menonton pun riuh memenuhi ruang latihan. Meskipun disini ada beberapa ring tinju yang juga sedang digunakan, nampaknya ring yang dipakai Kariza dan Nara adalah yang paling ramai. Secara, keduanya itu populer di sekolah. Bahkan beberapa siswi yang duduk tak jauh dari Atha ikut bersorak, menyemangati Kariza dan Nara bergantian.

"Kariza, semangat!"

"NARA JANGAN KALAH!"

Atha menutup kedua telinganya dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di daun telinga. Ini pertama kalinya Atha menonton adu tinju secara langsung. Meski ini hanya latihan. Rasanya Atha ingin sekali memarahi Nara karena meninju Kariza terlalu keras, bahkan hingga luka di sudut bibir pemuda itu yang belum sembuh pun terbuka lagi.

"Atha." panggil Faust.

"Mm?"

Faust mengacungkan jari telunjuknya, menunjuk kearah ring boxing dimana Kariza dan Nara beradu tinju sejak dua puluh menit lalu. "Udah selesai tuh, latihannya." ucapnya yang membuat Atha akhirnya memberanikan diri menoleh kemudian bernapas lega melihat Kariza serta Nara turun dari ring. Sahutan dari penonton pun riuh memenuhi ruangan. Nara ber-tos riang dengan gerombolan temannya begitu sampai dibawah. Lain halnya dengan Kariza yang sudah lebih dulu dikerumuni perempuan―dan memasang senyuman maksimalnya, walau agak perih karena luka di sudut bibir.

"Samperin gih." suruh Faust setelah keduanya menghilang dari balik pintu berwarna coklat tua. Pasti ke ruang ganti.

"Yang mana?"

"Nara, lah. Kariza udah ada yang urusin."

Atha mengangkat sepasang alisnya, tidak mengerti.

Melihat reaksi Atha, Faust mengendikkan dagu kearah gerombolan siswi yang sama yang mengerumuni Kariza tadi. "Mereka pasti samperin Kariza, percaya deh."

Selanjutnya, Atha pun berdiri dari bangkunya.

"Aku tunggu disini, tasnya ditinggal saja." ucap Faust yang diangguki Atha.

Tidak lama kemudian, Atha menemukan ruang ganti yang dimaksud. Tidak butuh waktu lama untuknya mencari, apalagi melihat anak-anak klub boxing lainnya berjalan masuk kesana. Menggoda iman Atha dengan melepas atasannya.

Sepasang tangan kemudian tiba-tiba saja menutup kedua mata coklat Atha. Membuat perempuan itu panik karena mendadak semuanya jadi gelap. Tangan Atha meraba-raba telapak tangan yang menutupi matanya, berniat melepaskannya paksa―tapi semua itu terhenti ketika seseorang memutarkan badannya.

"Cariin gue?" Kariza bertanya tepat setelah dia menyingkirkan telapak tangannya dari mata Atha. Membuat Atha ingin tertawa di depan wajahnya karena hal itu tidak akan pernah terjadi. "Ayo, pulang." lanjutnya lagi.

Atha membuka mulutnya sambil menatap langit-langit. Memikirkan alasan yang tepat. "Nanti dulu. Eh, lo lihat Nara nggak?"

"Nara?" ulang Kariza, diikuti tawa pelan yang sedikit dipaksakan. "Lo nggak lihat muka ganteng gue jadi gimana gara-gara ulah dia?" tutur Kariza sambil menunjuk wajahnya yang dihiasi oleh hansaplas.

Atha menggigit bibir bawahnya. "Salah sendiri. Lo kan harusnya di klub basket, bukan boxing." balasnya.

Kariza memutar kedua matanya dan menggamit sebelah lengan Atha. Menarik paksa perempuan itu menuju parkiran sepeda.

"Kari, lepasin, woi!" ucap Atha tengah berbisik supaya tidak mengundang perhatian orang-orang disekelilingnya.

"Nggak. Gue udah ada janji sama orang buat ngambil motor di bengkel. Kalau nggak ada lo, supir gue, nanti gue kesana diantar siapa?"

Atha mendesis kesal. Tapi namanya bukan Athalia kalau langsung menyerah begitu saja. Perempuan itu melirik tangan Kariza yang kini berpindah, menggamit pergelangan tangannya―sebuah ide pun terlintas di otak Atha. Dia dengan cepat menggigit tangan Kariza hingga terlepas sebelum berlari sekencang angin ke sisi yang berlawanan. Atha bisa mendengar teriakan Kariza yang mencoba menyusulnya dari belakang, tapi Atha tidak menghiraukannya.

Perempuan berponi itu pun memasuki ruang ganti baju anak-anak klub boxing dan menutup pintunya dengan rapat. Bahkan menguncinya. Napasnya tersengal-sengal, sementara di sisi luar pintu Kariza sibuk mengetuk pintunya.

Atha mengangkat kepalanya dan melotot ketika melihat gerombolan siswa anggota klub boxing, bahkan beberapa diantaranya sedang memakai boxer, menatap kearahnya. Seketika suasana pun menjadi canggung. Masing-masing dari mereka menatap Atha, menghentikan aktifitasnya. Walau begitu mata coklat Atha tetap menyisir ke sekeliling untuk mencari Nara yang sayangnya tidak ada dimana-mana.

Tolol. Dia merasa tolol masuk kemari seperti orang idiot. Seharusnya kan, Atha bisa saja menunggui di luar atau mengintip ke dalam.

"Maaf, maaf." ucap Atha seraya membungkukkan badannya dan memutar kenop pintu. Keluar dengan wajah yang menyamai kepiting rebus.

Kariza bersedekap di luar ruangan, menyambut Atha yang keluar dari sana dengan canggung. Senyum miring tersungging di bibirnya.

"Kok sebentar banget?―warna boxer apa aja yang lo lihat di dalam?" tanya Kariza, sarkartis.

》》》

Atha mengayunkan sepasang kakinya sambil menatap bosan jalanan beraspal dibawahnya. Saat ini, perempuan itu sedang menunggui Kariza selesai mengobrol dengan tukang bengkel yang jaraknya beberapa ratus meter dari rumah. Sebenarnya dia tidak mau, tapi Kariza memaksa. Tipikal seorang Kariza.

"Faust, sekarang jam berapa?" tanya Atha pada makhluk bersayap hitam yang kini berguling-guling di udara dengan bebas menggunakan sayapnya. Entahlah, tapi menurut Atha, itu terlihat aneh.

Faust membenarkan posisinya lalu memunculkan sebuah jam dipergelangan tangannya. "Empat lebih seperempat, sore. Kupikir yang lain akan datang sekitar pukul lima." ujarnya.

Atha mengangguk sebagai tanda terima kasih.

"Oi, udah nih. Ayo pulang." suara Kariza menghentakkan Atha kembali kepada kenyataan. Padahal dia baru saja melamunkan sesuatu.

Kariza berdiri disana, di depan motornya dengan kunci motor di sebelah tangannya dilemparkan sedikit ke udara berulang kali. Helm sudah terpasang rapih di kepala pemuda itu.

"Iring-iringan ya, lo kan pakai sepeda." tutur Kariza lagi. Tapi Atha terlalu malas untuk menanggapi. Setelahnya, dia pun beranjak menuju sepeda. Mengendarainya―tidak ketinggalan juga Faust ikut duduk di bagian belakang sepeda, sebagaimana yang dilakukan Kariza sejak kemarin.

"Kenapa lo ikutan naik, deh?"

"Mau coba. Kelihatannya enak, soalnya." jawab Faust dengan polos.

Atha tertawa pelan.

Usai pamit pada pria berpipi tembam, Kariza menyalakan motornya dan berkendara persis di samping Atha. Semilir angin menerpa wajah perempuan itu―seiring sepedanya melewati turunan dan tanjakan. Tidak berbeda halnya dengan Kariza.

Jalanan di Gili memang masih sepi dan hanya sesekali dilintasi oleh cidomo―semacam kereta kuda, atau yang biasa disebut delman di Jakarta atau Jogja―karena tidak banyak kendaraan bermotor disini. Masyarakat di pulau ini sepertinya lebih banyak memilih alternatif lain yang lebih ramah lingkungan dibanding motor juga mobil.

"Eh, iya. Kariza." panggil Atha sambil menyipitkan matanya karena angin.

"Apa?" sahut pemuda itu, setengah berteriak.

"Itu, di sana, yang ada bianglala nya itu ada tempat hiburan ya?" Atha bertanya sambil mengayuhkan sepedanya menyusul Kariza. Dia menunjuk-nunjuk bianglala raksasa yang memang menarik perhatiannya dari awal pergi ke masa lalu.

Kariza mengalihkan matanya ke arah yang sama. Bianglala raksasa itu terlihat mencolok dari pepohonan rindang di sekelilingnya.

"Ooh. Iya, ada taman hiburan disana. Bianglala nya juga punya cerita horror." jawab Kariza. Ucapannya sedikit tersamarkan karena terbawa angin.

"Horror?"

"Nanti aja ceritanya, di rumah. Bisa-bisa gue nabrak orang."

Atha melirik Kariza lalu mengangguk.

》》》

Kariza mematut dirinya di depan cermin sambil meringis saat menyentuh sudut bibirnya yang terasa sakit. Diana yang menyambut kedatangannya di rumah dibuat syok dengan keadaan anak semata wayangnya yang babak belur, bahkan wanita itu sampai berniat merujuknya ke rumah sakit―tapi tentu saja ditolak oleh Kariza mentah-mentah.

"Nara sialan." umpatnya lalu meninju cermin di depannya dan merutuki perbuatannya sendiri karena buku-buku jemarinya kesakitan.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Kariza. Pemuda itu membalikkan badan dan menyahut tanpa repot membukakan pintu. "Masuk, nggak dikunci."

Atha menongolkan kepalanya sebelum memasuki kamar Kariza. Kamarnya masih sama seperti terakhir kali Atha kesini. Tetap rapih.

"Apa?"

"Bianglala tadi. Gue penasaran. Lo hutang cerita sama gue kan, Kari."

Kariza mendesis sebal. "Cuma Nanda yang boleh manggil gue Kari. Lo nggak usah ikut-ikutan."

Atha mendengus napas kesal lalu duduk dipinggir kasur sementara Kariza sendiri duduk di kursi putar miliknya.

Pemuda itu memiringkan kepalanya dan berdecak. "Gue nggak tahu kenapa cerita horror bianglala aja lo penasaran sampai segitunya. Padahal nggak penting-penting amat."

"Yaudahlah ya, gue penasaran. Pengen kesana juga sih."

Kariza berdeham pelan. "Gue sih nggak menyarankan. Katanya dulu disana pernah ada yang meninggal. Kekurung sampai kehabisan oksigen."

Mulut Atha menganga lebar.

"Serius?"

Kariza memutar kursi putarnya dan melemparkan gumpalan kertas kearah Atha. "Udah sana, gue lagi mau siap-siap nih."

Atha mengerutkan dahi. "Siap-siap apa?"

"Dandan yang ganteng sebelum gebetan datang."

Atha melemparkan balik gumpalan kertas milik Kariza. Mengenai belakang kepala pemuda itu persis.

Belum sempat beranjak, suara bel rumah yang berbunyi menghentikan aktifitas keduanya. Atha dan Kariza berbarengan menoleh kearah jam dinding. Masih setengah lima. Seharusnya sih, belum ada yang datang.

"Kariza, tolong bukain pintu depan!Mama minggu lalu beli barang di online shop, mungkin itu orang yang antar paketannya!" suara Diana dari lantai bawah membuat keduanya segera bergeming.

Atha berdiri dan mengintip melalui tirai ke bawah. Seseorang yang mengenakan jaket dan topi berwarna hitam berdiri di depan rumah.

"Siapa Tha?"

"Orang yang antar paket beneran."

"Nah," Kariza memberi jeda. "Lo kan udah terlanjur berdiri tuh, bisa kali ke bawah. Bukain pintunya. Gue sibuk nih."

Atha menggerutu kesal lalu menginjak kaki Kariza yang beralaskan sendal rumah. Dan dia pun sukses membuat pemuda itu merutukinya. Setengah berlari, Atha pergi menuju lantai bawah―kemudian menuju gerbang rumah. Menggeser pintu gerbang usai membuka kuncinya.

"Silahkan ma―" ucapan Atha menggantung tepat setelah sosok yang dipikirnya pria pengantar paket itu melepas topinya.

"Atha?" Pemuda itu melirik nomor rumah yang tertera. "Ini bukannya rumah Kariza?"

Sial. Nara terlalu cepat datangnya. Ini berbahaya.[]

==

20:37

A/n: kepanjangan? Yang ngetik aja ampe jari kaki semua hehe. aku gatau ini seru apa ngga. Tapi mudah-mudahan ngga mengecewakan. Chapter sebelumnya maaf banget karena banyak typo!oiya, karena aku lagi banyak tugas remed dll makanya suka telat apdet. Line aja jarang dipake. Harap maklumi, ini udah semester dua..jangan lupa tinggalkan jejak seperti biasa! xx

Pertanyaan: "Kariza atau Nara?"

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

695K 54.8K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
Metamorvisha By cand

General Fiction

2.1K 314 4
Kata Visha, hidup dalam fase kepompong itu penuh beban dan membuatnya putus asa. Kata Harsa, ketika menjadi kupu-kupu, beban yang Visha rasakan belum...
3.5K 578 13
∆sasuhina "Eum.... Sasuke-san... -panggil Hinata ragu. Sang pemilik nama melirik, terlihat di sana Hinata menunduk meremas ujung pakaiannya. ... -s...
1.6K 361 10
|super cute cover [by] @shadriella| Seri Dunia 01 Selama 15 tahun ini, Kanya tidak pernah bermimpi. Karena itulah Raja Alam Mimpi mengutus Dalkhom da...