Grapefruit & Rosemary

Por bebeklucu

144K 22K 1.8K

Yuniza mempunyai masalah. Dia harus segera menemukan calon suami dan menikah. Waktunya terus berjalan dan per... Más

0
1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35a
35b
35c

4

4.1K 600 15
Por bebeklucu

Hotel itu adalah hotel bintang lima di kawasan elit. Yuniza mendongak memandangi chandelier di langit-langit lobi yang tinggi. Bukannya Yuniza belum pernah ke hotel berbintang sama sekali. Ini adalah pengalaman pertamanya datang ke hotel ini. Dan dia gugup. Sangat gugup sampai-sampai dia lupa membawa tasnya saat diturunkan Deyon di drop off. Pada akhirnya Keysha harus menelepon Deyon yang tengah memarkir mobil di parkir bawah untuk membawa tas Yuniza saat naik ke lobi.

"Tasnya di jok belakang. Iya yang tadi Za duduk. Yang, cari yang benar. Nggak mungkin nggak ada. Apa? Jatuh di lantai? Astaga, anak itu mikir apa sih di mobil sampai bisa jatuhin tas. Untung jatuhnya masih di mobil. Ya udah cepat ke sini. Kami tunggu dekat jendela. Dari pintu masuk sebelah kanan..."

Yuniza tidak lagi mendengarkan percakapan telepon Keysha dan Deyon. Dia beralih melihat pintu masuk sembari bertanya-tanya bagaimana sosok pria itu. Pria yang berpotensi memakinya gila karena mendesak ingin nikah padahal baru kenal. Pria itu pula yang mungkin akan pergi duluan karena ekspektasinya dipatahkan penampilan Yuniza. Bisa saja pria itu berharap bertemu teman kencan buta berwajah Raline Shah. Jujur saja, Yuniza tidak memiliki garis wajah serupa Raline.

Pikiran-pikiran buruk semakin menyesaki kepalanya. Dia mulai menghayal sosok si pria. Pria gemuk yang tawanya berbau busuk. Atau pria kurus dengan tatapan mesum. Bagaimana jika pria itu adalah pria super keren berjas biru tua yang baru saja melewati pintu hotel? Yuniza menggeleng. Jika pria yang akan ditemuinya sekeren itu, dia yakin akan kena depak setelah hanya menyebutkan nama. Pria tampan dan maskulin akan menyukai perempuan sempurna. Pria tampan dan perempuan cantik adalah kombinasi yang ideal di dunia ini.

"Kenapa geleng-geleng?"

Pertanyaan Keysha menarik perhatian Yuniza. "Aku banyak pikiran," akunya. Dia butuh seseorang untuk memahaminya, walaupun sedikit.

Keysha menggenggam tangan Yuniza yang ada di pangkuan, meremas ringan seakan itulah caranya membagikan kekuatan. Sekalipun Yuniza marah pada Keysha atas ulah gila yang diperbuatnya bersama Deyon, pada akhirnya Yuniza tetap menyayangi Keysha. Di rumah, Keysha adalah keponakan. Di luar itu, Keysha adalah teman, sahabat, dan musuh yang akan dicarinya.

"Kalo kamu nggak bisa sama pria ini, kasih aku kode. Aku yang bakal jemput kamu. Kalo dia berani macam-macam, Deyon bisa maju," kata Keysha dengan kepercayaan diri memancar pada binar matanya.

Yuniza tergelak. Dia melihat sosok Deyon yang muncul dari salah satu lorong menuju lobi. Wajahnya yang celingukan mencari sosok mereka membuatnya tambah geli. Bagaimana bisa Keysha berani menunjuk Deyon sebagai bodyguard-nya di saat pemuda itu begitu kurus dan berwajah cantik? Hal yang paling mengherankan Yuniza ialah kemampuan Deyon menghamili Keysha dalam figur ringkih tersebut.

"Aku bisa siram pria itu kalau berani macam-macam." Yuniza membebaskan tangannya dari Keysha. Kemudian dia berdiri untuk memanggil Deyon.

Telapak tangan Yuniza disodorkan pada Deyon yang setengah berlari menghampiri. "Mana tas gue?"

Deyon meletakan tas tangan warna cokelat susu di atas telapak tangan Yuniza. "Lo nggak bisa berbasa-basi sedikit?" keluhnya.

"Gue rasa lo tahu alasan gue nggak bisa berbasa-basi sama lo." Yuniza membuka tas dan menarik ponselnya. Dia tidak memedulikan decakan sebal Deyon. Toh, akan selalu ada Keysha yang menenangkan perasaan Deyon. Yuniza mempunyai kepentingan lain.

Sebuah pesan muncul di layar ponsel Yuniza yang terkunci. Buru-buru dia membuka pesan itu. Pesan yang sangat singkat.

Saya sudah tiba.

Dia terlambat, pikirnya. Dia bergegas pergi. Keysha dan Deyon terperanjat, lalu segera mengejarnya. Atas arahan petugas hotel yang ditemui di lobi, Yuniza tahu di mana letak restoran, tempat pria itu menunggu. Dia berbelok pada salah satu lorong yang menjauhi tengah lobi. Keluar melalui sepasang pintu kaca, mereka tiba di taman belakang hotel. Restoran tujuan mereka sesuai namanya, sangat bernuansa Bali.

Seorang penerima tamu menyambut mereka di muka restoran. "Selamat datang. Apakah sudah reservasi?" sapanya dengan ramah.

"Ya. Atas nama Adnan. Teman-teman saya ini reservasi atas nama Yuniza." Sesekali mata Yuniza melirik ke restoran ruang terbuka. Perasaannya campur aduk dan semakin terasa buruk saat dilihanya pengunjung restoran yang ramai.

Pelayan itu memeriksa daftar reservasi begitu cepat hingga Yuniza merasa baru sedetik dia dianggurkan si pelayan. "Pak Adnan sudah datang. Silakan saya antar." Si pelayan berhenti sejenak. Dia melirik rekan kerjanya yang sama-sama perempuan. "Teman-teman Bu Yuniza akan diantar oleh rekan saya. Tidak apa-apa?"

"Emangnya mejanya jauh?" tanya Keysha sigap. Yuniza berpikiran yang sama. Semalam, saat reservasi via telepon, dia sudah meminta dengan sejelas-jelasnya untuk dipilihkan meja yang tidak jauh dari meja yang direservasi oleh pria itu. Pihak hotel menyetujui setelah Yuniza beralasan bahwa mereka berteman dan aneh kalau teman duduk berjauhan.

Fyuh, jika mengingat percakapan telepon semalam, Yuniza kembali merasa letih. Dia bukan seorang pakar negosiasi, tapi memaksakan diri mengambil tugas tersebut daripada membiarkan Keysha dan sumbu emosinya yang pendek membuat segalanya kacau.

"Tidak jauh. Kami melakukan ini demi kenyamanan." Si pelayan tersenyum ala profesional perhotelan.

Yuniza mengangguk ke Keysha, lalu mengikuti pelayan tersebut. Sepupunya dan Deyon diarahkan pelayan lain. Mereka berpisah saat pelayan yang mengantar Keysha dan Deyon berbelok ke salah satu kursi. Yuniza mengepalkan tangannya. Timbul rasa takut dan waswas perjalanan sejauh ini berbuah kegagalan. Kemudian bayangan wajah tersenyum Ghandi, ayahnya, muncul. Ketakutan mengecil. Dia teringat alasannya datang ke sini dan kembali mengumpulkan keberanian.

"Silakan, Bu. Ini mejanya."

Yuniza berhenti. Itu adalah meja yang terletak dekat jendela. Bukan pemandangan apa yang tersaji lewat jendela yang menyebabkan Yuniza menganga, melainkan siapa sosok yang duduk di meja itu.

Pria itu adalah pria yang dia awasi kedatangannya di pintu masuk hotel. Pria berjas biru tua yang memadukan dengan celana warna abu-abu. Jika itu orang lain, Yuniza tidak akan menilainya sedemikian tinggi. Pria ini duduk, tapi bisa terlihat bahwa tingginya di atas rata-rata. Begitu pula wajahnya yang maskulin. Dan sepasang mata yang tajam memberikan pengecekan singkat terhadap penampilan Yuniza. Seketika badan Yuniza bergetar. Tatapan pria itu telah mengantarkan aliran listrik statis dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.

"Kamu..." Suara pria itu dalam dan tenang. Sesuai dengan figurnya yang elegan.

Pelayan tersenyum singkat, lalu meninggalkan mereka dengan sopan. Yuniza merasa kehilangan sesaat. Seorang pendamping sekalipun orang tidak dikenal akan lebih baik dibandingkan ditinggal berdua bersama pria yang memiliki mata seindah pria di hadapannya.

"Nama kamu Yuniza?" tanya pria itu.

Yuniza mengalami disorientasi sesaat. Dia melupakan nama si pria hingga lupa alasannya datang. Ketika kesadaran itu kembali, meski sedikit lambat, dia mengangguk.

Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi dan tegap menjulang di hadapan Yuniza. Dia menarik sebuah kursi, lantas mempersilakan Yuniza duduk.

Dalam langkah gentar, Yuniza maju dan menduduki kursi yang ditarik untuknya. Tatapannya masih menunduk. Jika tadi perasaannya didominasi ketakutan, kini dia merasakan malu.

Siapalah dirinya yang berani mengajak bertemu pria seindah ini?

Akh, harusnya sejak awal dia sadar diri. Mia adalah perempuan dewasa yang cantik dan elegan. Dua alasan itu sudah cukup membuat ibu dari Mia mencari kandidat sempurna bagi putrinya. Bukan dia, Yuniza si mahasiswi biasa.

"Saya boleh bertanya?" Pria itu sudah duduk di kursinya lagi. Duduknya tegap, tapi tetap terkesan santai.

"I-iya." Yuniza mengecam ketololan mulutnya saat menjawab. Dia bisa dinilai bodoh.

"Bagaimana kamu bisa mendapatkan nomor ponsel saya?" Pria itu terlihat tidak memedulikan kegagapan Yuniza.

Yuniza menjilat bibir bawahnya. Dia sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini sebelum tidur semalam. Sayangnya jawaban itu dilupakannya. Kepalanya kosong. Dia bingung.

"Saya..." Yuniza melirik malu-malu si pria. "Tahu dari Mbak Mia," lanjutnya agak berdecit.

"Mia? Siapa Mia?"

"Mbak Mia itu..." Semuanya kacau. Yuniza tidak tahu bagaimana mengurai penjelasan di kala keringat dingin merembes di punggungnya. Kakinya bergetar di kolong meja. Di satu sisi, mata si pria semakin intens padanya.

Apa yang harus Yuniza lakukan?

Dia pusing.

Apakah pria ini akan memahaminya?

Dia ragu.

Bagaimana menjelaskan situasi ini dengan mudah?

Dia bimbang.

Dan ucapan itu pun keluar, "Saya mau menikah sama kamu."

"Hah?"

Detik itu, Yuniza tahu dia telah sukses membuat segalanya gagal.

###

Recipe #5

Seguir leyendo

También te gustarán

73.1K 6.1K 21
Raisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal y...
26.5K 810 11
"Nggak ada perempuan yang baik yang mau sama pasangan orang!" Teriak Keira menatap sengit ke arah Bagas. "Kei!" Teriak Bagas membalas teriakan Keira...
4K 175 32
Yulia Mardianti tidak pernah berpikir untuk menikah lagi setelah kenangan pahit perceraian dengan suaminya. Fokusnya saat ini hanyalah merawat putrin...
2.5M 37.6K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...