Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Sepuluh: Mendadak Galau

14.1K 1.5K 70
By kianirasa

A/n: For whoever that haven't seen the trailer yet, click the video above^^. Happy reading dan jangan lupa tinggalkan jejak ya xx

==

Bagian Sepuluh: Mendadak Galau

==

"Nara, cepat sedikit. Bentar lagi kamu telat."

"Iya, Ma."

Nara dengan cepat melangkahkan kaki menuju lantai bawah, tetapi saat di tengah tangga pemuda itu teringat catatan biologinya masih tertinggal di kamar―membuat dia terpaksa memutar badan dan kembali ke kamar untuk mengambilnya.

"Mana sih?" ucapnya selagi kedua tangannya sibuk mencari catatan biologinya diantara tumpukan buku di atas meja belajarnya. Alih-alih menemukan, Nara malah membuat tumpukan buku dan catatan yang ada di sana berjatuhan ke bawah meja. Membuatnya mendengus kesal dan mau tak mau membereskan dengan cepat.

Untunglah, sesaat setelahnya, Nara menemukan benda yang dia cari saat tengah membereskan. Catatan biologinya terbuka―terlihat berwarna-warni karena stabilo. Namun ada satu kata yang menarik perhatian matanya.

Satu kata yang dilingkarkan dengan stabilo berwarna merah. Tidak besar, tapi cukup menyolok mata dengan warnanya.

Athalia.

Nara mengulurkan tangannya meraih catatan tersebut. Semalam, saat belajar sebentar untuk pelajaran besok, Nara memang entah kenapa teringat nama perempuan itu. Teman sebangkunya yang baru. Atha.

Sudah berapa lama sejak Nara terakhir kali mendapat teman sebangku?

Nara melirik sebuah bingkai foto yang sudah cukup berdebu karena dibiarkan begitu saja di sisi kiri tembok kamarnya. Sebuah bingkai berisikan fotonya dan Kariza sedang saling merangkul satu sama lain dan tersenyum lebar.

Tidak terasa, seiring pergantian waktu, ada banyak hal yang perlahan berubah. Demikian juga dengan pertemanan.

Di lain sisi, Nara merasa ada sesuatu yang salah tentang keberadaan Atha di sana―apalagi saat Nara tidak sengaja menyentuh tangannya. Seperti, itu seharusnya bukan tempat Atha.

"Nara, kenapa lo masih disitu?"

Pemuda berambut pirang itu sontak langsung berdiri ketika suara yang tak asing memanggilnya dari arah pintu.

"Ayo berangkat. Gue telat ke kampus nih." ucap seorang perempuan berambut panjang yang sedang memeluk binder neonnya di dada.

Nara hanya menganggukan kepala dan segera menutup pintu kamarnya. Pergi berangkat sekolah.Seiring dia melangkah, dia tiba-tiba saja teringat sesuatu yang lalu membuatnya tersenyum. Memperlihatkan kedua lesung pipitnya.

》》》

"Pulang sekolah gue latihan boxing, tungguin ya." ucap Kariza tepat setelah pemuda itu turun dari sepedanya.

Atha menghela napas sambil membenarkan selempangan ransel merahnya. Pagi ini langit tidak secerah kemarin, awan kelabu memenuhi langit. Dan sepertinya hujan akan turun cepat atau lambat.

"Lo nggak bisa pulang sendiri apa?naik bus gitu." balas Atha terdengar sedikit kesal.

"Ngapain pakai bus selama ada supir gratisan?"

Sialan.

Atha mengumpat dalam hati. Memincingkan mata tajam kearah Kariza sambil mendesis pelan. Seolah makhluk itu adalah satu-satunya hal yang ingin dia lenyapkan saat itu juga dari muka bumi.

"Salah siapa motornya rusak?mana servisnya lama lagi." Atha membalas lagi, namun kali ini Kariza hanya menanggapinya dengan mengendikkan bahu dan berjalan menuju pintu masuk gedung sekolah mendahuluinya.

"Dia menyebalkan."

Bukan. Itu bukan Atha yang mengatakannya―perempuan itu justru menoleh ke kiri saat mendapati suara yang tak asing datang dari makhluk bersayap di sebelahnya. Faust.

"Faust?" ujar Atha tanpa sadar. Sejak kapan dia ada disana? bahkan tadi pagi saat Atha terbangun, dia tidak mendapati Faust ada dimana. Makhluk itu seolah muncul dan menghilang seenak jidatnya―setelah semalam keduanya membahas soal strategi 'pengungkapan perasaan' pada Nara.

Faust menolehkan kepala kearahnya dan tersenyum. Senyuman yang justru terlihat aneh di wajah tampannya. "Pagi, Athalia." sapanya.

"Kemana aja lo pagi ini?dan gue pikir lo di rumah―maksud gue, lo nggak ke sekolah."

Makhluk itu melipat kedua tangannya di belakang kepala dan menghela napas panjang. "Tadi pagi aku hanya keluar sebentar dan aku disini karena mau melakukan investigasi lapangan." jawabnya, berbicara seakan-akan dia adalah Sherlock Holmes.

"Investigasi soal apa?" Atha bertanya, begitu penasaran. Dari balik punggungnya dia bisa merasakan berbagai tatapan siswa-siswi yang ada di tempat parkiran sepeda―mungkin karena Atha terlihat berbicara sendiri. Beberapa meter di depannya, Kariza masih nampak berjalan menuju pintu gedung sekolah―sama sekali tidak ada niatan untuk menunggui Atha yang belum beranjak dari tempatnya.

Faust mendorong kedua pundaknya ringan, namun cukup untuk membuat Atha hampir terjungkal jatuh.

"Nanti kujelaskan, kamu ke kelas saja dulu."

Atha pun akhirnya mengangguk dan segera berlari kecil ke pintu masuk. Menyusul Kariza yang sudah menghilang dari pandangan.

Tidak berapa lama setelahnya, Atha sampai di dalam kelas dengan Kariza yang sudah ada lebih dulu di bangkunya. Beberapa siswi yang baru datang pagi ini menyapa pemuda itu―sementara dia tersenyum, tebar pesona di pagi hari yang mendung ini.

Atha mesti menahan napasnya beberapa detik ketika membuka pintu kelas dan mendapati Nara sudah ada disana. Dengan earphone yang tercantol di kedua telinganya dan kedua tangan yang terlipat―dijadikan bantalan untuk tempat kepalanya bersender menghadap keluar jendela. Dia pun dengan perlahan berjalan menuju bangku yang persis sebelah Nara serta di dekat jendela, lalu menarik bangkunya keluar sambil berusaha hati-hati agar tidak menimbulkan suara decitan yang membangunkan Nara.

Rambut coklat pemuda itu, pagi ini, terlihat agak berantakan. Atha bisa melihat wajah pulasnya saat tertidur karena Nara menghadapkan kepalanya kearah jendela―yang memang juga terletak di samping bangku Atha.

Dia tersenyum kecil. Kapan terakhir kali Atha melihat seorang Narado Risyad tertidur?oh ya, itu mungkin sekitar setengah tahun silam. Saat itu pun di bioskop. Nara yang seharusnya janjian kencan dengan Irina―tapi tiba-tiba perempuan itu membatalkannya sepihak karena ada pemotretan. Dan hasilnya, Nara menelepon Atha, memintanya datang untuk nonton bareng karena Nara sudah terlanjur membeli tiketnya dua. Tapi alih-alih menonton, pemuda itu justru tertidur sepanjang film diputar.

"Ini orang tidur, sambil dengerin lagu gitu?" ujar Atha pelan. Tangan kanannya lalu terangkat kemudian perlahan mengambil sebelah earphone Nara―memakainya di sebelah telinga. Detik selanjutnya, Atha mengerutkan dahi dan tertawa pelan sebelum mengembalikannya ke tempat semula.

Orang macam apa yang memakai earphone tapi nyatanya tidak mendengarkan lagu apa pun?

Dasar aneh.

Ketukan pelan berasal dari kaca jendela di sebelahnya membuat Atha menoleh. Alisnya bertaut melihat Faust berada di sisi lain jendela, mengambang di udara dengan sepasang sayap hitamnya. Tepat di belakang Faust, ada sebuah pohon yang berdiri kokoh disana. Kelihatannya pohon yang berusia puluhan tahun melihat dari tinggi dan ukurannya.

"Apa?" tanya Atha tanpa suara.

Faust mengusap dagunya dengan sebelah tangan. Mata hitamnya bergantian menatap Atha serta Nara.

"Aku bakal ada di atas pohon, mengamatimu." katanya yang dibalas anggukan oleh Atha. Setelahnya, Faust pun benar-benar berbaring miring diatas batang pohon yang besar dan menghadap langsung ke Atha. Sebelah tangannya terlipat untuk menyangga kepala―posenya bak model bikini yang biasa ada di majalah-majalah dewasa.

"Pagi, Nanda." suara Kariza yang cukup keras mengalihkan perhatian Atha. Pemuda itu mengulum senyum lebar tepat begitu Nanda masuk dengan rambut yang tergerai. Atha menyipitkan mata saat menyadari Kariza memegang sebuah benda berbentuk persegi di balik punggungnya. Benda itu terbungkus kertas kado berwarna silver dengan pita merah cantik sebagai hiasannya.

Itu album yang kemarin kan?sejak kapan Kariza membungkusnya rapih seperti itu?

Yang disapa pun mengangguk. "Pagi, Kariza."

Kariza masih mempertahankan seyumannya sebelum kemudian membuka mulutnya, berniat untuk angkat bicara namun seseorang menyelanya lebih dulu.

"Ini dia yang lagi ulang tahun!" seru seorang perempuan berambut kemerahan yang entah sejak kapan duduk bergerombol dengan kedua temannya di sekitar bangku Nanda.

"Selamat ulang tahun, makin tua ya!" lanjutnya yang diikuti tepuk tangan riuh dari dua perempuan lainnya.

"Makasih, makasih." balas Nanda kemudian duduk di bangkunya diikuti tepuk tangan riuh dari ketiga temannya.

Melihat tidak adanya kesempatan untuk mengajak Nanda berbicara, Kariza dalam diam menaruh kembali kadonya ke dalam tas ranselnya dan merogoh saku―mengambil ponselnya serta berpura memainkannya sementara dia memasang telinga untuk mendengarkan. Sama halnya dengan Atha.

"Oh, gue baru ingat!" Seorang perempuan berambut bob berseru. Mengalihkan perhatian hampir seluruh pasang mata di kelas termasuk Atha dan Kariza. "Cie, yang dapat hadiah dari gebetan." lanjutnya sambil menaik-turunkan alis dan mengedipkan kedua matanya cepat―hingga mengundang tawa dari orang disekitarnya. Kalau tidak salah, Atha mengingat seorang guru memanggilnya Tessa saat sedang mengabsen.

Nanda mengangkat sebelah alisnya. "Gue nggak punya gebetan." ucapnya.

"Terus, yang dibelakang itu apa dong kalau bukan gebetan?" sambung perempuan berambut keriting dengan wajah kebarat-baratan yang duduk di samping Tessa.

Mendadak, Atha bisa merasakan suasana kelas yang hening namun disaat bersamaan terasa sedikit tegang. Murid lain yang tidak terlibat dalam pembicaraan selayaknya Atha dan Kariza pun nampaknya ikut mendengarkan pembicaraan Nanda dengan segerombolan temannya.

Maksud mereka itu―Nara ya?

Atha melirik pemuda disebelahnya lalu menatap Kariza. Entah kenapa merasa kasihan. Kariza mungkin bertingkah biasa saja, tapi Atha bisa merasakan suhu udara di ruangan yang tiba-tiba naik padahal sudah memakai pendingin ruangan. Andai kata ini komik atau sebuah kartun, mungkin saat ini, Atha bisa melihat asap keluar dari kepala Kariza.

"Lo dikasih kado apaan sama dia?" tanya Tessa kemudian.

"Iya, katanya dia semalam mampir ke rumah lo Nan." tambah si perempuan berambut kemerahan.

Ow ow, sepertinya Kariza tidak galau sendirian kalau yang dimaksud mereka adalah Nara. Atha mendadak saja ikutan merasa galau. Hatinya seperti diselimuti awan kelabu―mirip dengan keadaan langit saat ini―begitu mendengarnya.

Kenapa dia mendadak jadi melankolis gini sih?apa memakai seragam putih abu-abu membuat Atha ikut terbawa suasana hingga kondisi emosionalnya tidak berbeda dengan para remaja labil?

"Dia," Nanda menoleh ke belakang untuk menatap Nara―yang masih tidur pulas―membuat Atha langsung membuang pandangan. "Dia ngasih gue album Bring Me The Horizon." jawabnya yang disambut sorakan. Nanda mungkin mengatakannya sambil sengaja memelankan suaranya, namun dengan keadaan kelas yang masih sepi di pagi ini Atha masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Dan dia yakin seratus persen bahwa Kariza pasti juga mendengarnya karena pada detik selanjutnya pemuda itu tiba-tiba beranjak berdiri. Decitan bangkunya mengalihkan perhatian semua orang. Wajah Kariza yang datar membuat Atha tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat ini―hanya ada satu jawaban pasti; Kariza pasti kesal.

Kado yang disiapkannya sama seperti Nara. Kebetulan yang diluar dugaan.

Atha memperhatikan Kariza melangkah biasa menuju pintu untuk ke luar kelas. Mungkin mencari hiburan untuk hatinya yang potek, entahlah, namun tepat disaat Kariza membuka pintu―disana lah terlihat seorang perempuan dengan kacamata berbingkai besar menggantung di pangkal hidungnya berdiri.

Irina yang baru datang dibuat syok dengan Kariza―yang adalah gebetannya―berdiri di depannya tanpa aba-aba lebih dulu. Sontak membuat Irina menunduk karena tidak ingin Kariza memperhatikan wajah bantalnya meskipun dia sudah mandi dan mencuci muka.

"Ka-Kariza." sapanya, kedengaran lucu.

Kariza mengulum senyum. "Hai Irina." balas pemuda itu kemudian baru melewatinya. Berjalan menelusuri koridor yang masih terbilang sepi.

Untuk beberapa saat, Atha masih mendapati Irina berdiri mematung disana. Tidak percaya kalau dia baru saja disapa Kariza―yang walau sedang patah hati, masih bisa tersenyum. Dia itu benar-benar berbakat jadi tukang ngibul sekaligus aktor.

Kedengarannya hiperbola memang, tapi saat perempuan disapa gebetan―apalagi bila tipikal Irina yang seperti sekarang―pasti akan langsung berefek entah pada gerakan tubuhnya atau sikapnya.

Setelahnya, Atha kembali menoleh kearah Nara yang masih tertidur. Yaampun, ini masih pagi dan dia benar-benar melanjutkan tidurnya disini?Atha tidak habis pikir. Namun itu bukan hal terpenting yang dia harus pikirkan saat ini. Atha bertopang dagu, menatap Nara sambil bertanya-tanya dalam hati―misalkan Nanda menyukainya, apa Nara juga merasakan hal yang sama?

Karena kalau iya, itu berarti Atha berada di posisi yang sulit.

》》》

Nara menyeringai lebar ketika melihat sosok di depannya sedang berjalan sendirian di koridor. Begitu bel istirahat berbunyi, pemuda itu langsung ngacir ke bawah tanpa berpikir dua kali. Walaupun ada berbagai macam tatapan yang didapatnya dari para murid―Nara terlihat cuek dan malah berjalan mengekorinya dari belakang.

Hari ini, hari spesial untuk perempuan itu―tapi juga terasa spesial untuk Nara. Apa mungkin karena dia benar-benar menyukainya?

"Ay, sendiri aja?" tanya Nara yang kini sudah berada di samping Nanda. Menyamai langkahnya. Cengiran di wajahnya tak kunjung hilang meskipun Nanda tidak terlihat menggubrisnya.

"Apaan sih Nar?" Nanda balik bertanya.

"Gapapa, lo suka hadiah dari gue kan Nan?"

"Mm," Nanda menghela napas. "Tapi lo ngasihnya kecepetan. Gue kan ulang tahunnya hari ini, bukan kemarin." tambahnya.

"Habis nanti keduluan sama orang, Ay. Aku kan mau jadi yang pertama dan terakhir." canda Nara yang lalu tertawa.

Nanda menghentikan langkahnya. Hampir membuat menabrak seseorang di depannya karena tidak memperhatikan langkahnya. Perempuan bermata kehijauan itu memincingkan mata kearah Nara lalu tersenyum tipis. "Risyad. Serius deh, lo benar-benar nggak jelas." ucap Nanda sambil geleng-geleng kepala.

Nara selalu menyukai saat Nanda memanggilnya Risyad. Entah kenapa. Tapi itu pertanda bagus, karena dia jadi merasa spesial―tidak disamakan seperti yang lain.

"Nar, minggir. Sekarang lo ngehalangin jalan gue." ucap Nanda lagi.

Alih-alih menyingkir, Nara malah merentangkan kedua tangannya tanpa menghilangkan cengiran iseng di wajah tampannya. Memperlihatkan kedua lesung pipitnya yang menawan. "Gimana kalo kita buat kesepakatan." usulnya.

"Kesepakatan apa?"

"Kalo nanti pas pertandingan boxing di Arena gue menang, lo harus nge-date sama gue." jawab Nara.[]

==

A/n: maafkan tulisan saya yg masih nggak jelas..wkwk makasih banyak yang udah ngesupport. Terutama anggra, putri aulia, kakak rifka (yg tulisannya kece badai), dolcelatte, theEkid929, aisyah dll yg saya tidak bisa sebutkan satu persatu. Makasih banyaak.

Terharu yang baca udah 2000+ :")

Seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak (vote dan komen) ya♡

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

350K 67.3K 20
Tidak ada yang salah dengan media sosial. Yah, setidaknya, itu pendapatku sebelum tiga remaja asing seumuranku datang menghampiri dan mengaku bahwa m...
Quartam By Rend

Science Fiction

9K 1.2K 39
Langit biru hanya ada di buku dan mungkin di pulau itu, tidak di sini. Tidak ada yang pernah tahu seperti apa indahnya langit seperti itu. Terlahir d...
1.4K 543 21
Langit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang...
174K 36.9K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...