.
.
.
"Papa meninggal"
Aletta terduduk dengan wajah pucat, dia tidak lagi mendengar suara Arsa yang terdengar khawatir. Pikiran Aletta kosong, bahkan dia tidak sadar bahwa airmatanya perlahan mengalir.
Pagi tadi Arsa dan Roan keluar untuk mencari info tentang keluarga Dirgantara. Selama seminggu ini, tidak ada kabar apapun dari keluarga itu, membuat Aletta cemas dan akhirnya meminta Roan dan Arsa untuk memeriksa kediaman keluarganya.
Aletta merasa ada yang aneh, keluarga Dirgantara merupakan keluarga yang cukup dikenal banyak orang. Jika terjadi sesuatu pasti kabar itu akan menyebar dengan cepat, tapi anehnya Aletta sama sekali tidak mengetahui apapun bahkan orang dirumah itu juga tidak pernah menghubunginya lagi.
Keluarga itu seakan-akan tidak pernah ada.
"Papa bunuh diri di dalam selnya sendiri" Arsa memelankan suaranya hampit berbisik. Dia tidak tega melihat keadaan Aletta sekarang, tapi dia harus menyampaikannya.
"M-Mama?" Aletta mengangkat pandangannya, menatap Arsa setengah berharap "Mama sama Kak Ren gimana?"
Lagi-lagi Arsa terdiam, dia malah berpaling untuk melihat kearah Roan. Roan mengangguk, barulah saat itu Arsa menatap Aletta lagi. Pemuda itu perlahan menggeleng dengan wajah menyesal.
"Nggak ada yang tau mereka dimana"
Aletta syok.
Saking syoknya perempuan itu sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Aletta beranjak dan berlari masuk ke dalam kamar setelah membanting pintu. Dia meraih apa saja dalam jarak dekat lalu melemparnya, menghancurkan semua benda dalam kamar itu.
Arsa dan Roan menatap pintu kamar dengan khawatir.
"Semua ini pasti kerjaannya Kana" desis Roan
Arsa hanya diam.
"Dasar cewek sialan! Dia gabisa nangkep Aletta, makanya dia pake cara kotor kayak gini." Roan menendang meja didepannya, emosi.
"Dari awal dia tuh emang iblis! Harusnya gue bunuh aja dia, kenapa sih dia nggak mati setelah jatoh dari rooftop waktu itu?!"
Arsa mengepalkan tangannya, tanpa aba-aba dia berbalik dan memukul Roan dengan kuat sampai pria itu tersungkur.
Roan menatap Arsa tak percaya sembari memegang sudut bibirnya yang berdarah.
"Apaan sih lo?!"
"Jangan pernah lo coba-coba nyentuh Kana lagi" kata Arsa pelan
"Serius?" Roan berdiri tanpa melepas pandangannya dari Arsa, lalu terkekeh sinis "Lo serius ngomong gitu? Setelah apa yang udah cewek itu lakuin selama ini, lo masih belain dia?"
"Gue nggak lupa. Gue nggak akan pernah lupa." Arsa mengatakannya dengan ekspresi kosong, seolah sedang menahan sesuatu didalam sana.
Roan akhirnya diam. Dia tidak ingin memperpanjang masalah ini dengan Arsa, Arsa mungkin punya alasan tiba-tiba memukulnya tadi.
Tanpa mereka ketahui, Aletta yang berada dibalik pintu kamarnya mendengarkan semua pembicaraan mereka tadi. Perempuan itu mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan marah.
"Kana, kenapa sih lo selalu aja ngancurin kebahagiaan gue?"
***
Kana bertopang dagu, menatap surat-surat undangan miliknya yang berceceran diatas meja. Dia memainkan pisau ditangannya, mengiris daging dan memasukkan ke mulutnya, mengunyah tanpa minat.
Sepertinya para istri dari rekan-rekan bisnis Alderian mulai meliriknya, sekarang mereka berusaha mendekatinya.
Sebenarnya sejak dia hadir di pernikahan Arsa dan Aletta, Kana sudah mencuri perhatian wanita-wanita dari kalangan atas. Beberapa dari mereka sering mengirimkan surat undangan, entah itu undangan pesta atau acara-acara kecil yang hanya di hadiri para wanita.
Puncaknya adalah saat pesta ulang tahun anak laki-laki keluarga Lavana. Semua orang dari kalangan atas hadir disana, dan bahkan menyaksikan adegan bombatis antara Kana vs Maya.
Kana menghela nafas, membuat Melvin yang baru datang mengernyit. Lelaki itu duduk dikursi depan Kana.
"Kenapa?"
Kana mendongak untuk melihat Melvin lalu kembali menghela nafas "Nih liat," ucap Kana menunjuk atas meja dengan dagunya.
Melvin meraih salah satu surat itu dan membacanya, dia terkekeh setelah tau apa isinya lalu berkata "Bikin kaget aja, kirain surat dari polisi"
"Papa kan udah mati, jadi aku udah nggak punya urusan lagi sama polisi. Masalah itu biar keluarga Dirgantara yang masih tersisa yang urus semuanya" jawab Kana tanpa minat.
Melvin hanya tersenyum penuh arti, dia tau apa yang dipikirkan Kana tapi Melvin tidak akan bertanya apapun.
Semua orang di rumah ini tau, sebenci apapun Kana pada Rio, anak itu tetap menganggap Rio sebagai Ayahnya. Bahkan setelah Kana tau bahwa Rio terlibat dalam kasus kematian Rega, Kana juga masih menganggap Rio sebagai Ayahnya.
Benar. Rio Dirgantara adalah orang yang memberitahu Alderian bahwa pembunuh Clara adalah Rega. Malam itu Alderian kembali dari London untuk mencari keberadaan Rega setelah pesan itu sampai padanya, dan malam itu juga Rio kembali berulah dengan memberitahu posisi Rega hingga Alderian bisa bergerak lebih cepat.
"Tuan Rio tau bahwa anda terlibat, tapi Tuan hanya menyebutkan nama Rega."
"Padahal kenyataannya, saya memang tidak pernah terlibat" jawab Kana dingin
"Tuan Rio melakukan itu untuk membuat Varen Dirgantara menjadi satu-satunya penerus keluarga Dirgantara."
"Kenapa dia nggak nyebutin nama saya? Apa karena keberadaan saya di rumah itu nggak penting dan nggak mengancam posisi siapapun?"
Orang itu tampak gugup ketika Kana bertanya dengan raut luar biasa datar. Hingga akhirnya dia hanya bisa menunduk.
Semua fakta itu keluar dari mulut orang-orang kepercayaan Rio yang berhasil Kana tahan setelah Rio dimasukkan ke penjara. Bahkan kebenaran tentang apa yang selama ini disembunyikan oleh Rio, semuanya sudah terbongkar.
Tau reaksi Kana seperti apa setelah mengetahui semuanya? Perempuan itu hanya diam.
Sekuat apapun mereka meyakinkan Kana, bahwa alasan Rio tidak menyebutkan nama Kana adalah untuk melindunginya, hati Kana tidak akan tersentuh.
Karena di kehidupan sebelumnya, dia juga tetap mati dengan cara yang sama.
Dan setelah semua itu, Kana masih menangis untuk Rio. Perempuan itu menangis ketika tau bahwa Rio mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak ada yang Rio tinggalkan selain sepucuk surat untuk Kana. Surat itu masih ada di dalam laci, Kana tidak berniat untuk membacanya.
Dan untuk Ren, Kana mengingat ucapan Ren yang mengatakan bahwa Kana bukanlah anak sah keluarga Dirgantara. Seperti yang di duga, Ren tidak tau apapun atau mungkin otaknya juga sudah tercuci oleh Rio.
Sebenarnya Ren juga korban disini, tapi Kana tidak peduli. Ren sudah banyak melakukan tindakan yang membuat Kana menderita dan dia pantas menerima hukumannya.
Kemudian Ibunya, Kana tidak punya kenangan bersama Ibu kandungnya tapi Kana begitu marah saat mendengar apa yang sudah keluarga itu lakukan pada Ibunya.
"Mbak."
Lamunan Kana buyar, dia menoleh dan melihat Alsa menatapnya khawatir sementara Melvin sudah berpindah di depannya, ikut memandangnya cemas.
Saat sadar sepenuhnya, Kana langsung meringis. Dia menunduk menatap tangannya sendiri, ada darah disana.
"Lepasin mbak." Alsa berusaha melepas pisau yang ada digenggaman Kana.
Kana linglung, dia melepas pisau itu. Alsa bergerak cepat untuk menutup luka Kana dengan tissue.
"Na, kamu gapapa?" Tanya Melvin pelan
"Aku...kenapa?" Bukannya menjawab Kana malah balik bertanya, sungguh dia tidak menyadari apapun daritadi.
Melvin dan Alsa saling pandang, lalu menatap Kana khawatir.
"Mbak, kita balik ke kamar aja ya. Biar Emma obatin luka Mbak Kana dulu"
Kana hanya mengangguk.
***
Aletta tidak bisa diam lagi, dia tidak mau hancur secara perlahan tanpa ada perlawanan. Seperti yang selalu Aletta bilang, dia tidak ingin Kana merasa diatas angin karena sudah berhasil membuatnya mati kutu.
Hanya dengan berbekal nekat dan Roan sebagai pendukungnya, Aletta memutuskan untuk menemui seseorang. Dan di sinilah dia, dikediaman Lavana.
Aletta tau bahwa Steven Lawrence, pemilik villa yang mereka tempati adalah saudara ipar dari Gavin Lavana. Saat mengetahui itu, Aletta seakan mendapat secercah harapan.
Gavin Lavana adalah orang besar, yang eksistensinya hampir menyamai Alderian. Jika ada yang bisa menentang keluarga Agrient maka keluarga Lavana lah orangnya. Aletta tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini.
Airmatanya bercucuran saat menceritakan kisah hidupnya, keluarganya, bahkan perlakuan Kana dan juga suaminya padanya.
Sebuah karangan yang sangat pilu, fitnah yang dia lontarkan tanpa memikirkan apapun. Aletta kembali menggunakan topengnya untuk menarik simpati orang-orang didepannya.
Gavin menghela nafas, pria itu bersandar di sofa dengan ekspresi tak terbaca.
"Saya nggak pernah tau kalau Alderian dan istrinya ternyata bisa sejahat itu" setelah sekian lama akhirnya Gavin mengeluarkan suaranya.
Aletta menahan senyumnya. Berhasil!
"Dan Nyonya Kana, saya nggak nyangka. Padahal dia keliatan seperti wanita yang baik dan polos" sahut Steven tak habis pikir
Ghea menyahut setelah sekian lama terdiam "Yah, kita nggak bisa nilai orang cuma lihat dari covernya aja kan?"
Setelah itu Ghea menoleh pada Gavin "Gila sih Gav, lo harus bantuin mereka"
Gavin mengangguk, memijat keningnya. Dia memandang Aletta dengan prihatin "Saya pasti bantu kamu, tenang aja. Mereka nggak akan pernah bisa nyentuh kamu selama kamu ada dibelakang saya"
"Makasih Pak Gavin" kata Aletta pelan
***
BRAKKK!
Melvin memukul meja dengan keras, membuat semua orang di ruang tengah terkejut.
"Gavin sialan!" Teruak Melvin dengan wajah memerah, menahan emosi.
"Vin, kamu kenapa?" Tanya Alsa kaget melihat suaminya yang tiba-tiba emosi setelah menerima telepon dari seseorang.
Alderian juga ikut mengernyit, tidak biasanya Melvin meledak seperti ini. Jika ada masalah, Pria itu selalu diam lebih dulu dan menyelesaikannya dengan kepala dingin.
Dan apa tadi? Gavin? Memang kenapa dengan dia?
"Kenapa dengan Gavin?" Akhirnya Alderian bertanya
Melvin meraup wajahnya dengan frustasi "Dia tiba-tiba mutusin kontrak kerjasamanya dengan kita Al. Selain itu,"
Melvin mengepalkan tangannya, lalu menatap Alderian dengan serius "Dia ngasih peringatan ke kita soal Aletta"
Alsa terbelalak, dia yang tadinya syok berubah jadi emosi "Aletta?! Jadi selama ini dia ada di kediaman Lavana?"
Melvin memijat kepalanya, pening. Dia bergumam "Keluarga Lavana, gue nggak nyangka hubungan yang udah berjalan 20 tahun lamanya bisa hancur cuma gara-gara Aletta"
"Jadi mereka lebih percaya Aletta ya" akhirnya Kana angkat suara setelah lama terdiam, menyimak mereka.
Alsa memandang Kana, bingung "Maksud Mbak?"
Kana menghela nafas, "Sebenernya waktu di acara ulang tahun itu, aku sempet ngobrol sama mereka. Aku bilang aku lagi cari perempuan, aku sebutin nama Aletta dan mereka setuju buat bantuin aku cari dia."
Alsa dan Melvin menatap Kana dengan syok "Terus?"
Kana menggeleng "Ini salah aku yang nggak cerita permasalahan aku sama Aletta yang sebenernya. Aletta mungkin berhasil ngehasut mereka lewat cerita bohong"
Melvin memejamkan matanya, menahan emosi. Sementara Alsa cuma bisa diam masih tak bisa berpikir lagi
Diam-diam Kana dan Alderian saling berpandangan, tidak ada raut cemas diantara mereka. Sampai akhirnya Alderian mengangkat suara
"Yah kalau emang begitu, nggak ada pilihan lain" Alderian memanggil Abian dalam satu kali panggilan "Hubungi Galang dan Leon, suruh mereka kesini"
"Kak, ngapain lo nyuruh mereka dateng malam-malam gini?" Tanya Alsa
Alderian menopang kepalanya, santai "Keluarga Lavana lebih milih berpihak pada Aletta, mereka bahkan berani mengancam kita demi perempuan itu. Jadi buat apa? Sekalian aja hancurin mereka semua"
"Kak!"
"Sa," Alsa menoleh pada Kana, perempuan itu tersenyum penuh makna "Tenang, nggak ada yang perlu kamu khawatirin"
.
.
.
TBC
Duh kepencet, padahal niatnya mau up minggu depan~