ETERNAL PART OF THE SKY ; Kim...

بواسطة DavinaMhr

8.3K 4.6K 681

❝ Sebelum kamu pergi, tolong izinkan aku melukis wajahmu di kaki langit.❞ Akasa tidak tahu bahwa pertemuannya... المزيد

PROLOG : Beginning and End
1. Hello, Jakarta!
2. Lucrexia Academy
3. I Know You
4. Scramble
5. Beats and Rhythm
6. Un Pomeriggio
8. Ersen's Habitat
9. Hidden
10. About (We)
11. Lucy's Mood
12. Pelanggaran
13. Medicine
14. Something That Needs To Be Heard
15. Day Before War
16. The War
17. Who Is He?
18. Serene Night
19. Escape
20. Gift Box
21. His Arrival
22. Lost
23. Meet again?
24. Dance Party
25. Eclipse
26. Lo(u)ve
27. Truth
28. Long Time No See
29. Thing Who Called Love
30. The Show
31. Death
32. Right and Wrong
33. 2 Weeks
34. Sakura
35. Karantina
36. Sidang Pertama
37. A Week Without You
38. First Mission
39. Tragedi
40. Letter From The Sky
EPILOG : THE REASON WHY ILU
TERBIT & PEMBELIAN

7. Perubahan

281 189 26
بواسطة DavinaMhr

Happy reading!

Eternal Part of The Sky
Chapter 7 — Perubahan

Memangnya ada pilihan lain selain harus tetap kuat dalam menjalani hidup meskipun berat?

Tidak ada. Kita tetap harus kuat atau setidaknya berusaha menjadi kuat.

𓋜

Astrid berjalan dengan langkah pelan menuju pintu rumah kala mendengar ketukan di depan sana. Ia penasaran, siapa yang datang pagi-pagi begini? Bahkan mentari belum menunjukkan cahaya paginya.

Pintu itu dibuka, menampilkan perempuan cantik berambut panjang yang mengenakan seragam sekolah. Ia tersenyum sopan, lalu menyalimi tangan Astrid.

"Pagi, Eyang," sapanya.

"Eh, kirain eyang siapa. Sama siapa tadi ke sini, Sha?" balas Astrid tak kalah ramah.

"Tadi supir mau ke pasar, terus aku ikut minta mampir ke sini. Kangen, nih, sama eyang," tutur Varsha senang.

Astrid terkekeh kecil, "bisa aja kamu, nih. Ayo sini masuk dulu, Asa lagi siap-siap."

Varsha melangkahkan kakinya ke dalam. Rumah ini tidak sebesar rumah miliknya, hanya saja masuk ke dalamnya membuat ia merasa tenang. Seperti ada kenangan-kenangan indah yang pernah terukir abadi di sini.

Ini bukan pertama kalinya perempuan itu datang untuk sekedar mampir. Sudah terhitung lima tahun sejak ia dengan Akasa saling mengenal di sekolah menengah pertama.

Jadi, bukan hal yang aneh jika Varsha dan Astrid akrab.

"Eyang udah sarapan?" tanya Varsha ketika mendaratkan tubuhnya di sofa.

"Sudah, eyang sama Asa udah sarapan tadi sebelum dia mandi," jawab Eyang.

"Gimana sekolahnya, Sha? Akasa nggak nakal, kan, sama kamu?" ucap Astrid bergurau.

"Nggak, dong, Eyang. Asa baik banget sama aku." Varsha tertawa kecil, ia memangku tasnya sambil menatap sekeliling yang tidak berubah.

"Syukurlah."

Merasa cucunya tak kunjung datang, Astrid memanggil dengan teriakan sopan. "Sa? Udah belum? Ini ada Varsha."

"Ih, eyang nggak usah dipanggil. Nggak papa nanti juga kan dia keluar, Eyang. Barangkali Asa masih siap-siap," protes Varsha tak enak.

"Kamu, nih, kayak sama siapa aja. Memangnya kamu sendiri sudah sarapan?" kata Astrid balik bertanya.

"Udah, Eyang. Mami masak pagi-pagi tadi, malah tadi marah-marah waktu aku di jalan mau ke sini."

"Loh? Kok marah-marah Maminya?"

Varsha tertawa kecil, "iya, Eyang. Soalnya mami nggak tau kalau aku mau mampir ke sini. Kalau tau, mami mau bawain masakannya."

Astrid ikut tertawa, tawa kedua perempuan berbeda usia itu seketika memenuhi seisi rumah. Akasa dengan seragam rapinya keluar dari kamar, turun dari tangga dan menghampiri sumber keberisikan di pagi hari.

Mata Akasa tertuju pada gadis cantik yang duduk di sofa sana. Ia tersenyum, membuat Si Gadis tersenyum pula.

"Sha, nggak bilang-bilang mau ke sini."

"Ini dadakan hehe." Varsha melebarkan senyumannya, menatap Akasa seperti ini adalah ketenangan bagi hatinya.

"Mau berangkat sekarang?" tanya Akasa.

"Boleh, aku ngikut kamu aja. Nggak papa kan aku nebeng?" ucap Varsha hati-hati.

"Nggak papa, ngapain nanya segala, biasanya nggak nanya juga nggak masalah." Akasa tertawa kecil, lalu menyampirkan tasnya di bahu kanan.

"Gantengnya cucu eyang, yaudah hati-hati di jalan, ya." Astrid berdiri, diikuti Varsha yang ikut berdiri pula.

Laki-laki tampan tadi menyalami tangan Astrid, begitu juga dengan Varsha. Sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan pekarangan rumah.

Astrid tersenyum tipis, "kemana kamu? Udah bertahun-tahun tapi janji yang kamu buat belum ditepati."

𓋜

"Jadi, pasangan buat pentas seni kamu siapa, Sha?" tanya Akasa memecah keheningan di mobil.

Varsha terdiam, "Bang Ersen."

Akasa menggigit bibir bawahnya, "aku ajuin pengubahan pasangan aja kali, ya? Biar Sadhara yang sama Bang Ersen, aku yang sama kamu."

"Emangnya bisa?"

"Entahlah, tapi nggak ada salahnya nyoba," ujar Akasa sedikit ragu.

"Nggak papa, Asa. Ini keputusan Miss Morana. Pasti yang terbaik buat kita juga." Varsha menghadapkan kepalanya pada Akasa, kembali menatap laki-laki yang tengah fokus menyetir.

Asal kalian tahu, melihat Akasa fokus adalah sebuah mantra sihir yang mampu membuat perempuan tergila-gila.

"Tapi kita udah rencanain ini dari lama, Sha. Pentas seni bareng..."

"Lagi pula, aku males urusan sama Sadhara. Dia itu keras kepala banget, nggak mau ngalah," gerutu Varsha mengingat bagaimana Sadhara berlagak angkuh.

Akasa lagi-lagi tertawa kecil, "Miss Morana pilih aku sama dia karena warna suara kita serupa. Dan kamu itu terlalu istimewa buat disandingkan sama suara aku dan Sadhara, Sha."

Jantung Varsha berdetak semakin cepat, ini memang bukan pertama kalinya Akasa memujinya seperti ini. Namun tetap saja, ia dibuah jatuh cinta berkali-kali pada laki-laki berperawakan lembut di sampingnya.

"Kalau ternyata nggak bisa diubah... Kamu mau kan bantu aku buat bujuk Bang Ersen supaya dia ikut berpartisipasi juga?" ucap Varsha resah.

"Pasti, jangan khawatir, nggak cuma aku, anak RANGUL pasti bantu juga, kok."

Mobil yang Akasa kemudi akhirnya tiba di halaman Lucrexia. Ia memarkirnya di tempat biasa, bersama dengan jejeran mobil yang lebih mewah dua meter di sebelahnya.

Akasa dengan cepat turun dan membukakan pintu untuk Varsha. Kemudian mengunci mobilnya dengan sekali pencet tombol. Ia sedikit berkaca di bagian mobilnya yang memantulkan dirinya di sana. Namun tiba-tiba saja sosok perempuan berdiri di sampingnya dengan kaca mata hitam yang membungkus hampir separuh wajahnya.

"Astaga!" pekik Akasa.

Perempuan itu bersedekap dengan wajah datar. Kepalanya menghadap Varsha yang berdiri tak jauh dari keduanya. Seperti mengisyaratkan ia untuk pergi dari sana.

"Silahkan, jalan masuk masih lebar," ucap perempuan berkaca mata hitam dengan intonasi datar.

Varsha melirik Akasa yang menyuruhnya untuk pergi duluan saja. Ia menurut, tangannya melambai pada Akasa sebelum ia pergi.

"Ekhm."

"Kenapa, Ara?"

"Kamu tau sekarang jam berapa?" Sadhara menunjuk jam tangan di lengannya.

"Saya tau, tapi ini belum telat."

"Aku tau! Tapi kita jadi nggak punya waktu buat latian pentas seni," kata Sadhara sedikit sebal.

"Ra, masih ada banyak waktu buat latihan. Jangan panik, ya?" Akasa berusaha menenangkan.

Sadhara menengok kesana-kemari, seperti was-was sedang dimata-matai. Ia menarik lengan Akasa, membawanya masuk ke dalam gedung dengan langkah cepat.

"Ada yang salah, Ra?" tanya Akasa bingung.

"Manajer aku udah datang tadi malam, aku takut dia mata-matai aku," jawab Sadhara.

Akasa menatap perempuan yang panik itu dengan ekspresi tenangnya. "Jangan lari-lari, semuanya bakal baik-baik aja."

Tangan yang semula menarik Akasa itu kini berganti dengan genggaman tangan yang Akasa tautkan di jemari Sadhara. Ia berjalan santai, membawa Sadhara masuk ke dalam auditorium kelas musik lewat koridor yang sepi.

Sementara perempuan yang digandeng tak mampu berkata-kata. Mengapa sisi Akasa yang tenang selalu membuatnya tak bisa berkutik? Ayolah, Sadhara tidak ingin diperlakukan seenaknya seperti itu.

Pintu auditorium terbuka, Varsha yang semula duduk itu langsung melirik. Namun senyumnya mendadak hilang ketika melihat Akasa tidak datang sendirian.

Rupanya Sadhara masih bersamanya.

"Lama, ya?" kata Akasa pada Varsha.

"Nggak, kok. Sini duduk."

Varsha menepuk bangku panjang di sebelahnya yang kosong. Tetapi matanya tertuju pada gandengan tangan yang tertaut antara Akasa dan Sadhara. Ia lantas memalingkan wajahnya.

"Aku duduk di sana aja. Kayaknya temen kamu nggak suka aku duduk di sini juga," ucap Sadhara agak keras, sengaja agar Varsha mendengarnya.

Sadhara melepas kaca mata hitamnya, melipatnya dan mengibaskan rambut begitu saja. Kemudian ia duduk di bangku kosong yang berada tepat di sebelah bangku yang Varsha dan Akasa tempati.

Menyadari ekspresi Varsha tak seceria biasanya, Akasa lantas duduk dan bertanya. "Sha? Kenapa?"

"Kayaknya tentang pengubahan pasangan pentas seni itu nggak usah deh, ya?" Varsha menghela napas pelan.

"Kenapa? Nggak papa nanti aku yang bilang."

"Nggak, Sadhara itu baru pindah ke sini, dia nggak kenal siapa-siapa. Kalau sampe dia bikin masalah dan lapor ke pihak sekolah, kita bisa tanggung akibat, Sa," tutur Varsha penuh kehati-hatian.

Akasa mengangguk paham. Namun, ia turun dari tempatnya duduk, berjalan menuju Morana yang baru saja tiba. Guru yang kini menata rambutnya itu menunggu Akasa mengucapkan sesuatu.

"Miss, sorry that I have to say this, but... Saya mau ajuin pengubahan pasangan untuk pentas seni," ucap Akasa.

Morana tahu ini akan terjadi, ia tahu betul bagaimana persahabatan Akasa dan Varsha yang jelas sekali terlihat sejak tahun pertama. Ia menatap Akasa, di mata laki-laki itu, dapat ia temukan kebingungan dibalik sisi tenangnya.

"Siapa dan siapa yang harus diubah?"

"Saya dan Varsha, Sadhara dan Ersen."

Sadhara melotot di tempatnya, ia tak percaya namanya disebut-sebut untuk pengubahan pasangan. Siapa itu Ersen? Ia tidak pernah mendengarnya sekali pun. Demi Tuhan, Akasa akan habis dimarahi setelah ini olehnya.

"Saya nggak menolak atau setuju, tapi saya akan kasih kalian waktu buat beradaptasi satu sama lain. Sadhara siswa baru di sini, tentu dia harus mengenal Ersen yang notabenenya jarang masuk di kelas musik." Morana berdiri, memosisikan dirinya di hadapan Akasa.

"Varsha dan Sadhara," panggilnya.

Kedua perempuan itu turun dari bangkunya, berdiri di samping Akasa untuk menghadap Morana.

"Saya tunggu besok untuk keputusan akhir. Saya harap, kalian bijak dalam memilih keputusan ini. Don't be selfish, I don't like it."

𓋜

Sadhara menghentakkan kakinya sebal, ia berjalan cepat, tak peduli dengan Akasa dan Varsha yang mengejarnya di belakang. Ia sama sekali tak menggubris teriakan dan panggilan dari orang-orang menyebalkan itu.

"Ara!"

"Sadhara, berhenti dulu, gue mau jelasin!"

"Apa?!" Kedua orang yang mengejar itu mendadak berhenti, sedikit kaget dengan teriakan Sadhara.

"Gue sebenernya udah ilangin niat buat ubah pasangan di pentas seni, tapi—"

"Saya tetep ajuin," ucap Akasa memotong ucapan Varsha.

Sadhara menatap cemberut pada Akasa, "kenapa? Kamu nggak mau satu tim sama aku, ya?"

Akasa menggeleng cepat, "nggak gitu. Saya sama Varsha udah kenal deket, kita udah rencanain untuk tampil di pentas seni bareng-bareng di tahun kedua. Tapi ternyata Miss Morana yang pilih timnya."

"Terus aku sama siapa, dong?!"

"Bang Ersen."

Perempuan tinggi itu mendengus kesal, ayolah, ia tidak ingin repot-repot berkenalan dengan orang baru.

"Dia jarang masuk kelas musik, Ra. Kamu harus temuin dia di gedung olahraga," kata Akasa.

"Sembra che tu non voglia davvero fare squadra con me," ucap Sadhara sebelum pergi dari sana. (Sepertinya kamu benar-benar tidak ingin satu tim dengan aku)

Butuh beberapa detik bagi Akasa untuk memahami sedikit demi sedikit apa yang Sadhara katakan. Ia memijit pelipisnya bingung. Mengapa perempuan itu sangat keras kepala? Ia bahkan tidak tahu seperti apa keperawakan Ersen.

"Sa... Gimana ini..." ucap Varsha semakin panik.

"Ayo, susul dia."

Sementara itu, Sadhara terus berjalan tanpa mendengarkan orang-orang di sekitarnya berbicara. Entah itu menyapa, memanggil, atau bertanya. Ia benar-benar kesal. Langkahnya tertuju pada gedung olahraga yang terpisah dari gedung utama.

"Huh... Semoga laki-laki itu nggak repotin aku."

Tangan Sadhara terangkat untuk membuka pintu gedung. Namun ia terkejut mendengar gemuruh bersih yang sepertinya datang dari dalam. Ia refleks mundur beberapa langkah. Lalu dua detik kemudian, dua orang perempuan keluar dari sana dengan posisi nyaris terjatuh.

"ATLAS! Jangan dorong-dorongan, dong!" bentak Yara.

"AAAAA!"

Atlas dan Faith yang berada di belakang Si Kembar menahan napasnya saat melihat kedua perempuan itu terdungsuk. Namun untungnya, tubuh Yume ditahan Janus. Lalu tubuh Yara ditopang Samurai.

Sejenak adegan itu menjadi sebuah drama anak sekolah yang mengisahkan romansa cinta. Atlas dan Faith terkekeh melihat kejadian itu. Lucu sekali!

"Aduh, untung gue nggak jadi jatoh! Lo tuh ya, emang nggak bisa diem sebentar aja?!" teriak Yume kesal.

Janus menatap Yume dari atas hingga bawah, memeriksa apakah anak itu terluka. "Lo nggak papa?"

"Eng... Iya nggak papa," kata Yume gugup.

"NGAPAIN SIH PEGANG-PEGANG GUE! MODUS YA LO?!"

Samurai mendengus sebal ketika bahunya didorong oleh Yara. "Gue tuh nolongin lo, kok malah dimarahin," gerutu Samurai.

Di tempatnya, Sadhara memicingkan matanya tak menyangka. Ia kira hal seperti ini hanya ada di naskah film yang biasa ia pelajari. Ternyata hal sedramatis ini memang nyata adanya.

"Kalian ini memang aneh..." gumam Sadhara. Ia kemudian membelah keributan di sana, masuk ke dalam gedung olahraga yang pintunya masih terbuka.

"Lah? Ngapain tuh cewek?" tanya Erlangga menyadari Sadhara sejak tadi di sana.

"Sadhara?"

"Mau olahraga kali," jawab Yume acuh.

"Masa olahraga make baju seragam formal," timpal Atlas.

"Mau ketemu Bang Ersen kali," ucap Janus asal yang membuat Atlas, Faith, Yume, Yara, Samurai dan Erlangga menatapnya.

"Sadhara di mana?" tanya Akasa dengan napas terengah.

"Tuh, tadi masuk ke dalem."

Akasa menghela napas panjang, ia lelah berlarian mengejar perempuan itu. Tapi yang dilihatnya di sini adalah pemandangan yang sangat langka. Bagiamana bisa...

"Lo... Sejak kapan?" Varsha berucap kala matanya melihat Janus dan Yume yang berdiri begitu dekat.

"Eh?" Yume mundur, takut Janus merasa tak nyaman. Detik itu juga, kakinya seperti disetrum listrik yang begitu besar.

"KAKI GUEE!" teriak Yume yang tubuhnya oleng lagi. Dan sekali lagi, Janus menahannya dengan cepat.

"Kaki lo kenapa Yume?!" ujar Yara cemas.

"Nggak tau... Kayaknya terkilir tadi waktu didorong Atlas." Yume meringis, pergelangan kakinya sakit sekali.

"Katanya tadi nggak papa," gumam Janus yang mampu Yume dengar.

Yume ingin protes, tidak mau direpotkan Janus. Namun laki-laki itu merangkulkan tangan Yume di bahunya. Ia memapah tubuh Yume dengan tangannya yang melingkar di pinggang perempuan itu.

Untuk kedua kalinya, Atlas dan Faith terkekeh. Mereka gemas bukan main.

EPOTS

Halo, Epotiess!
Long time no see huhu, maaf aku sakit minggu kemarin.
Thankiee sayangkuu <3

Instagram : @_vinadavv

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

7.5K 1.5K 25
[short chapter] "aku tidak mengingatmu. tapi kenapa aku merindukanmu?" "𝚒'𝚖 𝚜𝚘𝚛𝚛𝚢 𝚒 𝚌𝚘𝚞𝚕𝚍𝚗'𝚝 𝚖𝚊𝚔𝚎 𝚒𝚝." [txt w/ oc] copyright, 20...
1.4K 134 8
"maafin gue ken... Jun....," "gue nyerah ken!" "kalian bohong! nyesel gue percaya Ama kalian berdua," treasure 00L -park jihoon -kanemoto Yoshinori ...
4.8K 1.1K 40
❝Nama dia itu unik, lo mau tau ngga?❞ ❝Unik? emang siapa namanya?❞ ❝Lee keumia.❞ Hah?! Leukemia, nama yang aneh. ❝Unik dari mananya? Nama penyakit...
51.7K 9.6K 27
PARK SUNGHOON :: LOKAL AU SEQUEL SEGA DAN SAGA (Slow Update) Setelah kisahnya dengan Sega berakhir, kini dimulailah kisahnya bersama Jesia dan circl...