─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
TAUTAN jari-jemari merupakan manifestasi afeksi tipis-tipis dari jutaan nostalgia yang mati-matian ditahan. Pun satu persatu gundah gulana dalam kepala mendadak membesar hingga enggan pergi guna merajalela mengusik relung jiwa. Namun, mana bisa menarik kembali izin yang sudah dikantongi terhadap jadwal kepergian akan alasan sepele begitu. Ekspresi ditekuk lesu ini bisa-bisa menampakkan keegoisan mutlak di mana mimpi besar terancam batal terwujud. Kendati demikianlah Ghaitsa berhasil menapaki lantai berkilau dan hawa dingin dari bandara tanpa mendramatisir keadaan guna mengulur-ulur waktu keberangkatan Haidden.
Tolong berikan apresiasi sebab Ghaitsa sanggup tidak merengek tatkala koper-koper kepunyaan Haidden digeret masuk ke bagasi mobil pagi tadi. Itu merupakan pencapaian terbaik hari ini, bukan?
Mengerti benar bahwa bungsu Alexzander itu membutuhkan detik-detik khusus bersama Haidden sebelum ditinggal pergi menjauh dari jangkauan. Saudara Alexzander lain lantas sudi memberikan ruang bagi dua anak adam serta hawa tersebut membagi kehangatan satu sama lain bersama lilitan tangan puan manis begitu erat menjerat pinggang lawan.
Tentu saja, tingkah laku lucu ini mendatangkan kekehan gemas, terlebih sewaktu telapak tangan mengusap lembut surai sehitam jelaga yang terkasih. Dia merunduk kecil untuk mengintip sedikit raut mendung bergemuruh milik Ghaitsa. Ah, adiknya ini sedang menahan diri ternyata. “Aisa, mau ikut sama Abang aja nggak? Seminggu di sana terus pulang lagi ke sini?”
Segera mendongak, Ghaitsa menatapnya tanpa berkedipㅡhaa, astaga, lihat! Lihat bagaimana cara si manis menunjukkan air muka keruh bersama iris berselimut kristal. Sungguh, sang kakak tidak sampai hati harus meninggalkan Ghaitsa dalam kondisi seperti ini, akan tetapi mau diapakan lagi? Takdir sudah berbicara. Puan itu mengerjap lembat mengerucut mungil sebelum makin merapatkan diri. “Abangnya ikut pulang juga?”
“Enggak, dong. 'Kan, Abang kuliah di sana.”
“Yaudah, nggak usah.” Ghaitsa cemberut.
Lantas saja respon gemas tersebut mengundang gelak tawa dari dua belah bibir sulung nomot dua. Haidden serta-merta menangkup wajah menggemaskan itu dan menggesekkan hidung mereka sesaat sebelum berujar, “Anggap aja liburan berdua bareng Abang. Nanti singgah ke tempat-tempat estetik di Berlin. Nggak mau?”
“Enggak, deh.” Menyatukan kembali pipi pada dada bidang Haidden selagi mengeratkan dekapan. Perasaan berat ini benar-benar menghantuinya sepanjang minggu. Ghaitsa seolah memiliki alasan kuat untuk menentang kepergian sang kakak tetapi entah apa itu. Juga mengingat lagi bagaimana perjuangan Haidden selama ini menempuh pendidikan gila-gilaan sampai bergadang demi mendapat validasi atas bakat. Ia tentu tidak enak hati pula memaksa Haidden agar tetap tinggal dan merenggut impian besar sedari SMP tersebut. Jelas-jelas nggak adil, tentunya. Di samping mengetahui bahwa Haidden bisa-bisa saja menurut demi dirinya seorang. “Pas sampai di sana jangan lupa kabarin aku, tapi kalau capek karena pindahan. Malemnya aja. Nggak papa, istirahat dulu, bobo dulu. Cuaca di sana katanya lagi dingin, udah siapin mantel di tas buat di bawa ke pesawat? Udah, 'kan? Terus syalnya juga, aku yang rajut sendiri, lho. Udah belum?”
Senyuman lembut laki-laki itu terbit, seiring dengan tangan mengusap-usap sayang adiknya yang akan jarang dia temui untuk beberapa tahun ke depan. Dia berniat menenangkan kekhawatiran Ghaitsa, tetapi justru Haidden sendirilah nan merasa tentram sekaligus damai, sebab mengetahui seberapa besar kasih sayang disalurkan percuma padanya. Haidden kemudian menghujani setiap inci wajah lawan dengan kecupan-kecupan dan berakhir menggamit telapak tangan Ghaitsa yang juga diberi ciuman lama, pun melakukan hal serupa pada dahi sang puan. “Abang nitip diri kamu, ya. Bisa, 'kan?” yang mana diangguki Ghaitsa walau sedikit enggan. “Jaga kesehatan, baik hati maupun fisik. Jangan bergadang kalau nggak perlu. Kurang-kurangin negative thinking. Jangan takut nelepon atau ngespam, nggak papa. Abang selalu sedia waktu buat kamu, anytime. Terus, jangan kabur-kaburan kalau lagi berantem. GPS hapenya hidupnterus supaya orang rumah nggak bingung nyari kamu, kalau kamu masih bandel pengen kabur. Keselamatan kamu itu utama. Jangan nangis sendiri, bagi-bagi sama yang lainㅡgunain dua curut di sana, biar ada gunanya dikit jadi manusia.” dan sembari membawa Ghaitsa memasuki dekapan ternyaman, Haidden berujar hangat. “Abang sayang Aisa, sayaaang banget. Tungguin Abang pulang, ya? Abang pasti pulang, secepat mungkin buat kamu. Buat Aisa. Jadi, jangan pergi kemanapun sebelum Abang pulang, ya, Cantik? Okay, Love?”
Ghaitsa mau tidak mau meluruhkan biru meski dia telah mengutuk diri agar berhenti mencetak segaris duka nan kapabel membuat lawan meneguk cemas. “Aisa sayang banget sama, Bang Aiden. Abang cepet pulang, ya.”
Sisi lain berbicara berbanding terbalik atas realita di depan mata. Yaziel memicingkan mata atas ketidaksukaan berbalut jengah terhadap perpisahan dramatis nan bisa-bisa saja mengalahkan film terbaik sepanjang masa. Jujurnya, bila dikaji dan diamati lebih dalam, anak ini sedang cemburu buta melihat Ghaitsa bermanja-manja ria pada Haidden hingga absen mengunjungi kamarnya malam-malam belakangan ini. Sebagai jimat pengusir mimpi burukㅡYaziel mendeklarasikan dirinya demikianㅡia merasa pekerjaannya direnggut secara tidak hormat. Dia mendumal, “Haidden pergi belajar bukan berperang. Nggak usah lebay gitu, deh, Sa.”
Lihat saja! Setelah ini Yaziel akan memblokir nomor Haidden agar mati mengenaskan di sana, haha! Rasakan itu!
Namun sialnya, malapetaka justru menghampiri. Lirikan tajam serupa mata pedang nan berkaca-kaca dari Ghaitsa berhasil dihunus. Anak itu menyeru jengkel. “Iel jahat! Iel jelek! Aisa nggak mau ngomong lagi sama Iel, dasar kecoak jelek! HUAA, ABANG! AISA IKUT ABANG AJA, YA?! ZIELNYA NAKAL!”
Rentetan adegan berikutnya ialah jitakan panas dari Archie yang emosi di tempat dan mengeluarkan maklumat tidak terbantahkan. “Kalau nggak bisa membantu, mending diem atau nggak musnah sekalian. Udah tau adeknya lagi sensitif malah lo komporin,” tandas sulung Alexzander sebal. “Je, bawa bocah absurd ini pergi dari peredaran. Keberadaannya nyusahin aja.” dan berderap menghampiri sang bungsu yang semakin merengek. “Iya-iya, Sa. Zielnya nggak usah ditemenin, monyet emang dia.”
Helaan napas mengudara cukup berat dari Jeviar, dia mengusap kasar wajah lalu memukul belakang kepala sang kembar laki-laki. “Pake acara nyari pekara lo. Enyah sana!”
Pun, anak itu bersikap hiperbolis atas kenyataan pahit yang diterima dengan berjongkok lesu tanpa aura kehidupan di samping koper-koper raksasa milik Haidden. “Gue udah nggak disayang lagi, hiks.”
Usai mengusap penuh perhatian sepasang bahu bergetar kepunyaan Ghaitsa. Archie perlahan-lahan membawa sang adik untuk didekap erat. “Jahat, ya, Ielnya. Nanti kita usir dia dari rumah, berani-beraninya jahatin adek Abang ini.” kemudian memeluk agresif yang lebih muda selagi membiarkan Haidden menggendong tas ransel di pundak dan menggeret dua koper mendekat dengan hati-hati. “Jangan sedih-sedih, Cantik. Masa nganterin Abangnya pergi sambil nangis begini, hayo?”
“Aisa nggak mau ditinggal Bang Aiden.”
Archie pun tersenyum mengerti, padahal udah pelukan berjam-jam tapi belum cukup juga buat kamu, Dek. Maka dari itu diperlukan siasar untuk mengelabui Ghaitsa yang enggan lepas. Terkekeh pelan sebelum mengecup singkat puncak kepala sang adik dan buru-buru berlari memasuki area keberangkatan. “Dah, Adek~ Abang pergi dulu, ya! Babai!”
“Eh?”
Iris semenawan bulan saat malam tersebut membulat sempurna bersama rangkaian panik bercampur detakan jantung nan menggema gusar. Ghaitsa menoleh menatap Haidden yang melambaikan tangan, dia pun segera berusaha melepaskan diri dari perangkap muslihat Archie, tetapi sang sulung justru semakin erat menjeratnya. “ABANG! ABAAANGㅡIH LEPAS! BANG AIDEN! ABANG TUNGGU DULU! AISA BELUM SALIM! BANG AIDEN BALIK DULU, IH! ABAAAAAAANG! AAA, ABAAANG BALIK DULU!”
“ABANG SAYANG KAMU, DADAH~”
Ratusan pasang mata jelas-jelas saja mengarah percuma pada mereka, hanya saja tidak diindahkan selain berfokus menenangkan Ghaitsa yang berlinang air mata. “Abang, Aisa belum salim padahal,” katanya dengan sesegukan.
“Sa, udah, ya? Nanti abangnya kita telepon lagi, oke?” ujar Jeviar selembut mungkin agar sang bungsu merasa lebih baik.
Yaziel mengangkat tangan ragu-ragu. “Aisa, nanㅡ”
“NGGAK USAH! HUSH, SANA!”
Begitulah rentetan adegan yang diketahui secara runtut oleh Joanna, Kanaya dan Yeziraㅡmereka bertamu bertepatan kala Alexzander bersaudara pulang. Sehingga pemuda bermanik karismatik itu menerima beragam macam tatapan selagi Ghaitsa bertelepon dengan Haidden yang sedang menunggu waktu keberangkatan.
Kanaya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya sembari melipat tangan di dada. “Gue nggak nyangka lo tidak berperikemanusiaan dan berperikehatian demikian. Padahal lo kembarannya, harusnya lebih tau dong, masa gitu banget. Kecewa gue sama lo, Yel.”
Decakan demi decakan tidak habis pikir keluar dari dua belah bibir Joanna. Perempuan itu terang-terangan menunjukkan sorot hinanya sebelum menukikkan bibir tajam. “Lo bener-bener kembaran biadab. Lo nggak tau, sih, gimana sedihnya ditinggal orang yang di sayang walau cuma pergi sebentar. SEBENTAR yang BEDA BENUA, tuh, NYAKITIN BATIN, asal lo tau. KESIKSA RINDU soalnya, biar gue kasih tau, ya! Dasar cowok, emang bejat banget emang pola pikirnya.”
Bahkan tatapan sendu Yezira nan mengarah padanya pun benar-benar membuat kepala pusing. “Aisa cuma nggak mau pisah, masa lo harus ngomenin dia lebay. Kanㅡudahlah, emang bener semua cowok, tuh, nggak akan ngerti.”
Gonjang-ganjing sudah hatinya, hancur berkeping-keping citra yang telah dibangun. Yeziel jatuh terduduk secara dramatis ke tanah di mana Jeviar lewat dengan sepenggal kalimat menusuk. “Gitu aja LEBAY. Apaan, dah.”
Hiks, padahal Yaziel cuma cemburu bukan berharap diburu begini.
TIDAAAK!
Hai!
Hello!
Selamat siang, wahai manusia!
Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗
Gimana harinya, nih?
Ada cerita apa?
Sudah lama tidak menyapa, ya~
Hehe, gue ada sedikit hambatan di IRL
Ternyata banyak yang harus diurus sesegera mungkin sebelum terlambat
Semoga kalian suka part ini
Semoga nggak bertele-tele
Semoga likey, yaaa
Jangan lupa vommentnya, yuhuu~
Ditulis :
Selasa-Kamis, 19-21 Juli 2022
Bubye-!