Jevano William

By devintasantoso

1.7M 125K 15.6K

Ini tentang Jevano William. anak dari seorang wanita karier cantik bernama Tiffany William yang bekerja sebag... More

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.⚠️
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41. ⛔️
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49. 🚫
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.

34.

35.9K 2.3K 582
By devintasantoso

Dikta mengulurkan tangannya untuk mengambil secangkir teh hangat yang dibuatkan oleh Tiffany, menghirup wangi dari teh hangat itu sejenak lalu dokter tampan itu baru menyesapnya, merasakan pait dan manis dari teh asli.

Dikta menoleh ke arah Jeffrey yang tengah menyenderkan punggungnya dengan badan sofa, kedua kakinya disilangkan dan diatas pahanya terdapat laptop yang menyala, sejak tadi memang kedua bola mata Jeffrey tak luput dari layar laptop.

Dokter tampan itu memilih menaru secangkir teh hangat ketempat semula lalu bangkit dari duduknya berjalan mendekat ke arah meja kerja Jeffrey dimana terdapat tas kulit berwarna hitam miliknya yang terletak diatas meja kaca tersebut.

Dikta mengeluarkan sebotol vitamin dengan ukuran sedang.

" Vitamin. "

Jeffrey memindahkan laptopnya dari atas pangkuannya ke samping kirinya, menangkap lemparan botol berwarna putih itu dengan tepat sasaran, Jeffrey membuka botol tersebut mengambil satu pil vitamin lalu menegaknya dibantu dengan segelas air putih.

Pintu ruangan di ketuk, membuat Jeffrey yang niatnya ingin memejamkan matanya sejenak, harus ia urungkan dan memberikan izin masuk kepada asisten pribadinya.

" Sudah datang? " Tanya Dikta

" Sudah dok, baru saja tiba. " Jawab Roy, yang langsung di angguki oleh Dikta.

" Bawa kemari. " Perintah Dikta, yang langsung mendapat anggukan dari Roy.

Roy memanggil anggotanya melalui earpiece, dan masuklah Demian kedalam ruangan, asisten pribadi milik Jeandra itu menunduk hormat, setelah itu menaru sebuah Hardcase Box berwarna hitam di atas meja kerja.

Jeffrey bangkit dari duduknya, ia mendekat ke sana membuka Hardcase Box itu, dan memperlihatkan beberapa obat injeksi serta alat alat medis yang lengkap.

" Obat injeksi sudah lengkap semua. Demian, jika kau membutuh lebih banyak alat, bilang kepada bos mu. "

" Persiappan untuk di mansion. " Ucap Dikta, lalu menutup Hardcase Box dan mengucinya.

" Baik tuan. " Ucap Demian.

Demian, adalah salah satu anggota yang memiliki ke ahlian di bidang medis, karna Demian memang mengambil jurusan perawat waktu kuliah di itali.

Dikta mengecek jam tangan yang melingkar di pergelengan tangannya, sudah menunjukkan pukul 02:16 pagi.

" Jevano sudah ku berika cairan infus Propofol, jika cairannya sudah habis kau bisa ganti dengan cairan RL "

Demian mengangguk mengerti mendengar perkataan dari dokter pribadi.

" You will get the whining back from your baby boy. " Ucap Dikta, membuat Jeffrey tersenyum miring.

Dikta melangkah keluar ruangan di antar oleh Roy hingga pintu depan rumah, dan di perjalanan pulang mobil Dikta akan di ikutti oleh satu mobil yang berisi bodyguard Jeffrey, yang memang di perintahkan untuk mengawal Dikta sampai rumah.

" Simpan itu, Demian. "

Perintah Jeffrey lalu melangkah keluar ruangan.

Kaki jenjangnya dibawa untuk menaiki tangga menuju lantai dua, lebih tepatnya ke kamar putra bungsunya yang pintu kamarnya tidak dapat tertutup rapat karna engsel pintu sudah terlepas dari bautnya.

Mendorong pintu kamar dengan perlahan dan menutupnya sedikit, di atas ranjang ia melihat istri dan putra bungsunya yang sama sama terlelap dalam tidur.

Sebelah kiri ranjang terdapat tiang infus dengan cairan botol infus yang tergantung disana, selang infus yang panjang menusuk kedalam kulit punggung tangan kiri putra bungsunya.

Tiffany yang menyadari keberadaan suaminya terbangun dari tidurnya.

" Dikta sudah pulang? "

" Sudah. "

Dikta menang sengaja memberikan cairan penenang karna pasien kecilnya ini mengalami kesuliatan tidur, matanya terpejam namun mulutnya seperti mengeluarkan kata kata tak jelas dan susah di mengerti, bahkan kemeja yang dikenakan Jevandra sama sekali tidak boleh terlepas dari genggaman tangan Jeno.

" Kembali tidur Tiff. " Ucap Jeffrey, yang menyadari sang istri tak kembali memejamkan matanya, hanya melihat ke arah Jeno yang tertidur pulas.

Jeffrey berjalan kearah sisi kanan ranjang dengan perlahan ia naik ke atas ranjang membuat Tiffany sedikit bergeser tubuhnya ke tengah ranjang, karna sangat tidak mungkin kalau Jeno berada ditengah tengah antara mereka, bisa bisa selang infusnya akan tercabut karna jarak.

Sebuah tangan melingkar di pinggang ramping Tiffany, membuat Tiffany menoleh ke belakang dan melihat sang suami yang sudah memejamkan matanya dengan posisi tidur menyamping dan tangan yang memeluk pinggangnya.

🛡🔫

Pagi ini Tiffany bangun sedikit telat, tidak seperti biasanya alhasil tidak bisa membantu budeh Darmi membuat sarapan, karena ketika ia datang ke dapur sarapan sudah tersedia rapih di meja makan.

Akhirnya Tiffany menyiapkan sarapan untuk putra bungsunya, Tiffany menuangkan beberapa sendok cream soup ayam jagung ke dalam mangkuk, dan menarunya di atas nampan yang sudah berisi segelas air putih serta sepiring nasi dan tumis sayuran sebagai lauknya.

Sarapan yang sudah disiapkannya itu di tolak oleh putra bungsunya, Jeno menolak untuk sarapan, dan hanya meminum segelas air putih saja dengan sabar Tiffany terus membujuk Jeno untuk memakan sarapannya, dan berhasil walau hanya tiga sendok makan nasi yang masuk ke dalam perutnya.

Jeno menyenderkan punggungnya dengan kepala ranjang setelah Tiffany keluar kamar untuk menaru alat makan bekasnya tadi.

Helaan nafas kasar keluar begitu saja dari remaja tampan tersebut, Jeno sedikit mengangkat tangan kirinya yang terasa pegal.

Jeno berdecak kesal ketika melihat plaster infus yang menempel di punggung tangannya, jika plaster infus berwarna putih seperti biasanya namun ini berbeda, kenapa plaster infusnya menjadi ada hewan beruang kecil yang menempel di sana.

Jari jari lentik tangan kanannya yang terbebas dari infus itu dengan iseng  membuka ujung plaster, membuat seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya langsung menahannya, dan kembali menempelkan plaster berwarna putih dengan motif beruang coklat itu di kulit punggung tangan kiri Jeno.

" Jangan macam macam, Jevano. "

" Tau! " Ucap Jeno, dengan nada yang terdengar ketus namun kepalanya menundum.

Jeno masih tak berani untuk menatap Jeffrey seperti biasanya, masih ada rada takut yang menyelimutinya, tatapan kemarin milik Jeffrey sungguh seperti ingin menerkam dan memakan dirinya.

" Ingin ganti baju sekarang? " Tanya Jeffrey.

Jeno sebenernya ingin sekali membasuh tubuhnya menggunakan air, namun sangat tidak memungkinkan jika sekarang ia harus mandi, bisa bisa ia akan mati kedingin didalam kamar mandi.

Selimut tebal yang menutupi bagian kaki saja disibak oleh Jeno, memakai sendal rumahnya yang sudah selalu tersedia dibawah ranjang.

Jeffrey mematikan Roller Clamp terlebih dahulu lalu baru melepaskan botol infus dari tiangnya, tangan kanannya mengulur untuk menuntun sang putra namun langsung ditepis dengan kasar oleh Jeno.

Jeno merebut botol infus yang berada di tangan Jeffrey ia melangkah lebih dulu masuk ke dalam walk in closet dengan perlahan.

Jeffrey menghembuskan nafas kasar, sebelum menyusul putranya ia mengambil minyak angin baby yang sudah di siapkan oleh Tiffany, lalu melangkah menyusul putra bungsunya.

Di dalam walk in closet, Jeno mengambil satu kaos lengan pendek berwarna gelap lalu menarunya diatas sofa kecil yang berada disana, namun kaos itu tiba tiba di letakan kembali di dalam lemari oleh Jeffrey dan di gantikannya dengan kaos lengan panjang.

" Keluar, gw bisa ganti baju sendiri! "

Jeno ingin merebut paksa kaos panjang yang berada ditangan Jeffrey, namun Jeffrey dengan cepat menjauhkan kaos tersebut.

" Duduk. "

" Engga, gw bisa pake baju sendiri. "

" Duduk. "

" Gw engga lumpuh. "

" Duduk, Jevano. "

Jeno berdecak sebal dengan terpaksa akhirnya ia duduk diatas sofa sesuai perintah Jeffrey.

Tubuh besar Jeffrey berjongkok dihadapan Jeno untuk menyamakan tingginya, Jeffrey membantu membuka kaos yang di kenakan oleh Jeno dengan perlahan, takut menyenggol infus sang putra, setelah kaos itu terlepas, Jeffrey segera membaluri tubuh putra bungsunya dengan minyak angin baby secara merata.

" Kenapa pake itu sih! " Protes Jeno.

Tangan kanan Jeno yang terbebas dari infus menahan tangan Jeffrey yang tengah membaluri minyak angin ditubuhnya, namun Jeffrey yang tetap membaluri seluruh tubuh putranya dengan minyak angin tersebut. 

Selesai mengoleskan minyak angin baby di tubuh putranya, Jeffrey mulai memakaikan Jeno kaos lengan panjang dengan perlahan, setelah selesai mengganti pakaian dan tubuh Jeno sudah tercium lebih wangi dari sebelumnya.

Sudah sangat yakin, jika Tiffany ada di sini dan mencium wangi bayi dari tubuh putra bungsunya, sudah pasti Jeno habis mendapat ciuman gemas dari sang ibunda.

Jeno bangun dari posisinya dan meninggalkan Jeffrey begitu saja di dalam walk in closet.

Jeffrey menatap datar punggung Jeno yang mulai menghilang dari pandangannya,  setelahnya ia memilih untuk melangkahkan kaki jenjangnya menyusul sang putra.

Jeno duduk dipinggir ranjang sedangkan Jeffrey dengan sigap kembali menggantung bontol infus di tiang besi yang berada di samping ranjang,  menghidupkan kembali Roller Clamp dan menghitung setiap tetesan cairan yang berjatuhan dari botol infus yang di tampung di Drip Chamber yang nanti akan turun melalui selang infus dan masuk ke dalam tubuh putra bungsunya.

Jeno mengelus punggung tangannya ketika kembali merasakan perih dan pegal, mengusap plaster infus dengan perlahan namun tak sengaja ia malah menyenggol selang yang tertusuk kedalam tubuhnya.

Mendengar ringisan dari putranya membuat Jeffrey segera berjongkok dihadapan putra bungsunya, tangan kiri Jeno yang terdapat plaster infus diletakan diatas telapak tangannya.

" Sakit? "

Jeno yang menunduk hanya mengangguk pelan, jarum yang menusuk punggung tangannya seperti semakin menusuk ke dalam kulitnya.

Jeffrey dengan perlahan mengusap dengan lembut punggung tangan Jeno, sesekali Jeffrey meniupnya berharap sakitnya mereda, Jeno yang melihatnya hanya bisa terdiam.

Apa setan yang berada di dalam tubuhnya sudah keluar?!.

" Sudah? " Tanya Jeffrey

Jeno mengangguk kecil, Jeffrey kembali berdiri dan melihat setiap tetesan cairan infus yang berjatuhan di Drip Chamber, setelah sesuai dengan perhitungan yang di ajarkan Dikta, Jeffrey menyuruh Jeno untuk kembali beristirahat.

Jeno baru ingin menidurkan tubuhnya di atas ranjang namun mendengar suara pintu yang di ketuk dari luar, ia urungkan kembali niat untuk tidurnya.

" Tuan. "

" Masuk. "

Sebelum pintu kamar Jeno dibuka oleh Roy, pintu berwarna coklat itu sudah lebih dulu di dorong oleh seorang remaja berkulit tan, di ikuti oleh dua remaja yang berdiri belakangnya yang hampir saja kesandung satu sama lain.

" Pelan dong nyet! nanti kalau nyusruk ke depan kan kaga lucu! "

" Dewa noh yang dorong bukan gw! "

" Roy ege yang dorong "

Roy yang mendengar namanya di salahkan oleh salah satu dari remaja itu hanya berdiam. Padahal ia tidak melakukan apapun sejak tadi.

" Lah kok malah diem di sini, itu Jeno nya di kasur engga keliatan? " Perkataan Tiffany membuat atensi ketiga remaja itu teralihkan.

Mereka langsung tersenyum tanpa dosa ke arah Jeno yang tengah duduk di atas ranjang, berbeda dengan Jeno yang menatap ketiga sahabatnya dengan malas.

" Duluan tan, kita ngikutin dari belakang " Ucap Haikal, lalu menyuruh kedua sahabatnya untuk memberikan jalan buat Tiffany.

Tiffany tertawa kecil lalu berjalan mendekat ke arah Jeno, dengan Demian yang mengikutinya di belakang sembari membawa nampan yang di atasnya berisi makanan riang untuk cemilan sahabat putranya. 

" Bisa letakan di situ, Dem. " Ucap Tiffany, menunjuk sebuah meja yang di atasnya kosong, meja itu adalah letak di mana pc gaming Jeno berada.

Setelah meletakan nampan tersebut, Demian izin untuk keluar ruangan.

" Ada Yuna dan Bagaskara di bawah " Ucap Tiffany, berniat untuk mengajak sang suami keluar kamar putra bungsunya.

Sebelum keluar kamar, Tiffany dengan jahil mencium kedua pipi putranya lalu menghirup wangi bayi yang melekat di tubuh Jeno.

Jeno mendorong pelan tubuh sang bunda agar tidak menciumnya terlalu lama, malu di lihat sahabatnya.

" Bun.. " Jeno yang mulai kesal, Tiffany tersenyum dan menjauhkan tubuhnya dari Jeno.

" Have fun yaa " Ucap Tiffany, kepada Jeno dan ketiga sahabat putranya.

Tiffany berjalan keluar kamar lebih dulu di susul oleh Jeffrey di belakang, sepasang suamu istri itu keluar kamar dan pintu kamar ditutup oleh Roy dari depan.

Ketiga remaja itu bernafas lega dan mulai menghampiri Jeno.

Haikal yang berada di dekat Jeno dapat mencium wangi harum yang melekat di tubuh sahabatnya.

Haikal semakin mendekatkan dirinya dengan Jeno dan semakin mencium wanginya yang sangat candu. Wangi bayi.

" Nyenyoo aku wangiii bayiii " Ucap Haikal, lalu langsung ingin mencium pipi Jeno namun Jeno refleks menjauhkan wajahnya dari Haikal.

" Haikal ih! "

Jeno kesal lalu menutupi mulut Haikal dengan telapak tangannya.

Haikal akhir pasrah tidak bisa mencium pipi Jeno, padahal ia sudah menahan kegemasannya.

Dewa duduk di lantai kamar yang beralasan karpet berbulu, dengan Ardan yang sudah sibuk dengan brownise coklat di mulutnya, nampan yang berisi cemilan sudah berpindah tempat yang tadinya di atas meja kini berada di atas karpet.

" Demi coi gw laper banget buset dah! " Ucap Ardan, lalu mengambil satu potong cookies coklat yang di bawakan Yuna- mamahnya Dewa.

" Itu brownise telen dulu Chandra! " Dewa menepuk lengan Ardan.

" Bapak gw tuh Chandra! "

" Siapa bilang Chandra bapaknya panjul?! "

" Engga ada sih "

" Yaudah! "

" Elu kok udah nyerah duluan sih nyet! US masih minggu depan lu udah tipes aja " Ucap Haikal kepada Jeno

" Kena mental gw. Stress. Depreshot. " Ucap Jeno

" Di infus enak engga Jen? " Tanya Ardan

" Enak, lu mau nyoba? " Jeno menjawab, Ardan langsung menggeleng.

Jeno turun dari ranjag, ia berdiri dengan bingung di samping tiang infus, Jeno harus  membawa tiang infusnya juga apa hanya botol infusnya saja(?), yang ia lihat tadi tindakan Jeffrey hanya menurunkan Drip Chamber saja lalu melepaskan botol infus dari tiangnya, namun ia ragu untuk melakukannya.

" Mau kemana Jen? " Tanya Haikal

" Gabung di bawah. " Jawab Jeno.

" Bawa aja sini tiangnya, nanti gw turunin pelan pelan " Ucap Dewa, lalu mengelap tangannya yang bekas makan brownise coklat dengan tissue, lalu bangkit dari duduknya berjalan mendekat ke arah Jeno.

Dewa mendorong tiang besi itu dengan pelan, menyamakan langkahnya dengan langkah Jeno.

Jeno duduk di samping Ardan, menghadap ke arah televisi yang menampilkan layar berwarna hitam, Dewa menurunkan tiang besi itu dengan pelan sedikit melebihkan tinggi tiangnya dari Jeno yang sedang duduk di bawah, setelah sudah pas Dewa mengeratkannya.

" Makasi Dewaa "

" Aduh kok lu jadi lucu kaya bayi gini sih?! " Ucap Dewa, kedua tangannya tergenggam seperti menahan gemas kepada Jeno.

" IYAKAN! JENO WANGI MINYAK TELON! " Teriak Haikal, dari atas ranjang.

" Engga sih! Ini wangi minyak angin! " Elak Jeno.

" Minyak angin bayi itu minyak telon Jen, wanginya kaya gini, ih gemes " Ucap Ardan, ia mencubit pipi Jeno dengan pelan.

Dewa duduk di samping Jeno, lalu kembali melanjutkan makan brownise potong sisanya, sedangkan Jeno memilih untuk makan cookies yang di buat mamahnya Dewa.

Haikal memposisikan tidurannya menjadi tengkurep menghadap ke tiga sahabatnya yang duduk di bawah dengan bantal yang mengganjal dadanya.

" Mau cookies dong satu " Pinta Haikal dari atas ranjang.

" Ambil dewek anjir manja banget lu " Ucap Dewa, yang langsung mendapat timpukkan bantal dari Haikal untung saja tidak kena.

" Engga nyamper anjir! "

" Manja kali dia gess "

" Hahahakkh! "

" Anjir anjir minum dan minum! Mati lu nanti "

Dewa menyodorkan segelas air putih dingin kepada Ardan yang tersedak karna ketawa.

" Mampus anjir ketawa banget gw " Haikal tertawa kencang melihat Ardan.

" Kalau makan nafas dulu ngapa, kan keselek engga lucu nyong! "

" Gw tuh laper ya Dewa, laper! ngerti laper engga sih, pengen makan! "

" IYA NIH MAKAN NIH MAKAN! " Dewa mendorong semua cemilan mendekat ke arah Ardan.

" Makasi "

" Sama sama "

" Temen lu Jen "

" Temen lu ege gw mah mau resign, cape. "

🛡🔫

Flim action yang mereka nonton sudah habis, Ardan mematikan televisi menggunakan remot membuat layar yang tadinya berwarna menjadi menghitam.

Jeno menyenderkan punggungnya dengan ujung ranjang karna ia mulai merasakan pegal yang menjalar diarea punggungnya.

Dewa membersihkan sisa mereka makan seperti membuang sampah tissue dan merapihkan karpet berbulu yang tadi sedikit terkena tumpahan makanan, sedangkan Haikal sejak awal flim mulai sudah tertidur pulas setalah memakan satu potong brownise dan dua cookies.

Haikal sedikit terganggu dengan sinar matahari yang sangat terik masuk ke dalam kamar melalui celah kaca jendela, membuatnya harus terpaksa terbangun.

" gordennya gw tutup yaa, silow banget anjir "

Haikal terpaksa bangun dari tidurannya, lalu mulai menutupi jendela kaca itu dengan gorden kamar hingga suasana kamar kini menjadi minim cahaya.

Sebelum kembali menidurkan tubuhnya dia atas ranjang milik Jeno, Haikal melirik jam dinding kamar yang menunjukkan pukul 13:49 siang, pantas saja sinar matahari sangat terik dan cuaca cukup terasa panas.

" Mau balik jam berapa? " Tanya Haikal

" Engga tau, mamah sama papah gw aja masih ngobrol dibawah kayanya. " Jawab Dewa, yang langsung di angguki oleh Haikal.

Jeno bangkit dari duduknya, tubuhnya sedikit oleng karna waktu ia bangun pandangannya memburam dan mendadak menghitam, untung saja tubuhnya dapat ditahan oleh Ardan yang juga tadi ikut berdiri.

" Tidur aja gih sana, oleng begitu lu "

" Bisa jalankan Jen? "

" Bisaa Ardan, tadi cuman karna gw berdiri tiba tiba aja "

Jeno mendekat ke arah ranjang mendorong tubuh Haikal agar sedikit ke tengah, tenaga Jeno saat ini lemah sekali mendorong tubuh Haikal saja seperti tidak bisa, karna tidak ada pergerakan dari Haikal yang tengah memejamkan mata itu.

" Dan.. " Jeno menatap Ardan meminta pertolongan.

" Aduh anjir jangan natap gitu dong, gw gigit mau?! "

" Engga! "

Plak

Badan Haikal ditampar oleh Ardan membuat sang empu hanya melenguh dan malah kembali tidut.

" Kal anjir! Jeno mau tiduran kasihan tadi bocahnya oleng " Ucap Ardan, membuat Haikal yang mendengarnya samar samar langsung berpindah ke pinggir kanan ranjang.

Jeno meletakan kembali tiang infusnya dipinggir ranjang tempat semula, ia duduk di atas ranjang lalu menyenderkan punggungnya di kepala ranjang, kepalanya mendadak pusing.

" Kal sonoooo! " Ardan mendorong tubuh Haikal agar ketengah ranjang, karna ia juga ingin naik keatas ranjang.

Haikal yang tidurnya terganggu berdecak kesal dan bangun dari tidurnya, remaja berkulit tan itu memilih duduk di tengah tengah ranjang dengan punggungnya yang ikut menyender di kepala ranjang.

Setelah karpet kembali berdih dan tidak ada lagi sisa makanan atau sampah, akhirnya Dewa ikut menyusul ketiga sahabatnya yang sudah naik diatas ranjang, sebelum naik ke atas ranjang dan ikut duduk disana, Dewa menaikan kembali tiang infus seperti semula membuat Jeno kembali mengucapkan kata terimakasih untuk sahabat kecilnya.

Dan setelahnya, Dewa juga ikut naik ke atas ranjang, ia memilih untuk menidurkan tubuhnya dengan paha Haikal yang di jadikan bantal.

Jeno menyenderkan kepalanya di bahu lebar Haikal.

" Pusing.. " Gumam Jeno dengan sangat pelan.

Haikal mendengarnya ia menoleh ke arah Jeno yang sudah memejamkan kedua bola matanya.

" Tidur aja deh yaa kalau pusing "

Jeno membuka matanya dan menggeleng, mendengar perkataan Haikal.

" Tangan gw pegel " Ucap Jeno, lalu menatap botol infus yang tinggal setengah cairan.

" Emang biasanya cairan infus itu habis dalam berapa jam sih? " Tanya Haikal

" Biasanya cairan infus dihitung dalam tetesan yang ditentuin, misalnya cairan yang tersedia 500 cc harus habis dalam waktu 10 jam berarti sekitar 16,6 tetes per menit. "

Penjelasaan Ardan sontak langsung mendapat tatapan takjub dan tak percaya dari sahabatnya, suara tepuk tangan langsung terdengar sangat meriah di dalam kamar.

Ardan langsung tersenyum bangga.

" Ini benerran Ardan engga sih? " Bisik Jeno kepada Haikal.

" Engga tau anjir tapi otaknya encer masa, mungkin dia kenyang jadi pinter kali ya, tapikan anak nya emang pinter " Haikal kembali berbisik ke Jeno padahal suara mereka cukup besar dan bisa di dengar Ardan dan Dewa.

" Kok lu tau dan? " Tanya Dewa

Ardan memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sebuah artikel penjelasan tentang Ingin Tahu Cara Menghitung Tetesan Infus.

" Yehh si bangsat! Gw kira tau beneran " Ucap Dewa, yang langsung mendapat senyuman tanpa dosa dari Ardan.

" Sebenernya siang siang gini enaknya makan tempe mendoan emak, di tambah  teh jus gula batu, beuh nikmat mana yang engkau dustakan " Celetuk Haikal yang langsung di setujui oleh Jeno.

" Bener gw tim teh jus gula batu! "

" Udah pernah nyobain nutrisari rasa milky orange? " Tanya Ardan

" Owhh gw tau yang rasanya mirip kaya apa tuhh Jen, yang iklan ada di tv! " Haikal menepuk bahu Jeno pelan

" Apaan, yang mana anjir "

" Yang cintai usus mu minum-- "

" --amer tiap hari "

Haikal refleks menampar wajah tampan Jeno dengan pelan.

" YAKULT ANJIR YAKULT! Amer mulu hidup lu! "

" Nagih habisnya, di tambah sama nyebat dah "

" Engga nyebat engga smile brow "

" Bahasanya anak muda, mantapz syekalii "

Suara pintu kamar yang diketuk dengan pelan dari luar, membuat atensi ke empat remaja tampan itu teralihkan, Dewa dan Ardan yang tadinya tiduran diatas ranjang langsung mengubah posisinya menjadi duduk.

Pintu kamar dibuka dari luar oleh Roy dan masuklah Tiffany bersama dengan Jevandra dan Jeandra, yang berjalan di belakangnya.

" Tante Yuna katanya mau pulang duluan, kalian mau main disini dulu apa ikut pulang? " Tanya Tiffany, membuat ketiga pemuda itu langsung turun dari atas ranjang sang putra.

Ardan, Haikal dan Dewa merapihkan ranjang Jeno yang sedikit berantakan, dan terlihat seperti orang salah tingkah.

" Pulang tan, mamah masih di bawah kan? " Jawab Dewa

" Main aja dulu lamaan di sini yaa, temenin Jeno " Ucap Tiffany, yang langsung mendapat tatapan ragu lagi dari Dewa, Haikal dan Ardan.

Mereka bertiga saling tatap satu sama lain, Haikal mengkode Dewa dengan lirikkan yang ke arah pintu berharap Dewa mengerti dengan kode nya.

Haikal meringis ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan mata tajam seperti elang milik Jeandra.

" Mampus gw mampuss "

" Pu--lang aja tan, iya pulang, besokkan bisa main lagi iy-ya kan " Ucap Dewa, yang langsung diangguki tanpa ragu oleh Ardan dan Haikal. 

Sebelum keluar kamar, Haikal mendekat ke arah Jeno lalu berbisik pelan.

" Tadi gw engga sengaja ngelirik anak keduanya om Jeffrey, gw engga bakal di tembak kan ya Jen? " Bisik Haikal kepada Jeno.

" Engga lah anjir! "

" Udah ayooo "

Kerah baju belakang Haikal di tarik begitu saja oleh Dewa, membuat Haikal menjauh dari Jeno.

" Tan, makasi atas cemilannya, nanti kita mampir lagi buat makan brownisenya hehe  " Ucap Haikal, yang di selingi cengiran khas nya agar tidak terlalu grogi di depan Tiffany.

" Hahaha iyaaa, tante dengan senang hati nanti buatin lagi kok, makasi juga ya udah nemenin Jeno main " Ucap Tiffany

" Pulang dulu tan. " Ucap Ardan, lalu menunduk ketika melewati Tiffany dan kedua anaknya.

" Iya hati hati "

" Misi k--ak "

Ardan yang berada didepan langsung berlari keluar ruang diikuti oleh Dewa dan Haikal yang ikut berlari kecil menyusul keluar kamar.

" Mereka kenapa sih Jen? " Tanya Tiffany, yang merasa heran dengan sikap ketiga sahabat putranya yang sangat berbeda dari yang biasanya.

" Engga tau. "

Padahal Jeno tau, kalau ketiga sahabatnya itu takut terhadap Jeffrey dan kedua anaknya.

" Gimana, udah merasa jauh lebih enak engga badannya? " Tanya Tiffany.

Jeno menjawab hanya dengan anggukan kecil, jujur sebenarnya ia merasakan pusing dan sedikit mual.

Jeno memilih untuk menidurkan tubuhnya dan mencari posisi nyaman diatas ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dibantu oleh Tiffany.

" Nanti pas makan malam bunda bangunin yaa " Ucap Tiffany, tangannya terulur kembali untuk memberikan belaian pada wajah tampan sang putra.

Jeno tak menjawab, ia memilih untuk memejamkan kedua bola matanya, dirinya masih malas untuk berbicara dengan anggota keluarganya.

Cklek

Suara pintu kamar yang kembali di buka membuat Jeno yang sudah terpejam namun belum masuk ke alam mimpi itu, cukup penasaran namun ia abaikan kembali, ia mengantuk.  

Jeffrey masuk kedalam kamar putra bungsunya dengan tangannya yang membawa sebuah ipad dengan layar yang masih menyala, kaki jenjang itu berjalan mendekat ke arah ranjang Jeno.


Jeffrey menatap wajah damai putra bungsunya yang tengah memejamkan mata, nafasnya sudah terdengar teratur tidak seperti semalam, sudah pasti putranya sudah masuk ke alam mimpi.

" Sudah lama tidurnya? " Tanya Jeffrey, yang langsung mendapat gelengan dari sang istri.

" Baru. " Jawab Tiffany.

Jeffrey beralih tempat ke arah posisi kanan ranjang, dengan perlahan ia naik ke atas ranjang dan menyenderkan punggungnya dengan kepala ranjang, tangan kirinya sibuk mengelus puncuk rambut putra bungsunya dengan lembut sedangkan tangan kananya sibuk dengan Ipad dengan layar yang menyala, membaca beberapa kiriman e-mail yang baru saja di kirimkan oleh asisten barunya di perusahaan.

" Kalian sudah merapihkan koper kalian? " Tanya Tiffany, dengan pelan kepada kedua putra tampannya yang tengah duduk di sofa panjang.

" Sudah, tidak terlalu banyak pakaian, jadi cukup satu koper kecil. " Jeandra menjawab.

" Owh iya benar juga, pakaian kalian rata rata di mansion utama semua " Ucap Tiffany.

" Baju Jevano sudah rapih semua, mom? " Tanya Jevandra

" Nanti, biar mamah sama budeh Darmi yang menyiapkan "

" Aku akan panggil beberapa asisten ke sini. " Ucap Jevandra, mengeluarkan ponsel dari saku celana kerjanya berniat ingin menghubung Alex sang asisten, namun ponsel pintarnya sudah ditahan lebih dulu oleh sang ibu.

" Engga usah, biar mamah saja sama budeh Darmi, baju adik kalian engga terlalu banyak kok " Ucap Tiffany

Di sela obrolan kecil meraka, ternyata Jeno masih bisa mendengar, ia tak tertidur walaupun rasa kantuk sudah menyerangan namun ia tidak bisa memejamkan matanya begitu saja, di tambah ada obrolan dari keluarganya.

Jeno mendengar percakapan mereka dari awal, sepertinya besok ia benar benar akan pindah dari rumah lamanya, meninggalkan rumah bertingkat dua ini yang sudah menjadi tempat tinggalnya sejak kecil bersama sang bunda.

Kenangan masa kecil Jeno dihabiskan di rumah bertingkat dua ini hingga sekarang, namun tidak untuk besok.

Kenangan masa kecilnya itu masih berputar di pikirannya.

Tak habis pikir dengan sang bunda yang langsung menyetujui akan pindah rumah begitu saja, rasanya sedih sekali kalau mengingat hal itu.

Tanpa sadar Jeno menjatuhkan air matanya yang mendadak turun dari sudut matanya.

Jeno akhirnya membuka kedua kelopak matanya dan terlihat kedua bola matanya yang memerah dan berkaca kaca, Jeffrey sontak langsung menaru ipadnya di atas laci kecil samping ranjang.

Jeffrey ikut menidurkan tubuhnya di samping putra bungsunya, dengan posisi membelakangi kedua putranya dan istrinya.

" Mas, kenapa? " Tanya Tiffany

" Hanya terbangun. "

Jeffrey memilih untuk membawa tubuh Jeno kedalam dekapannya, tangannya dengan lembut mengusap kepala putranya memberikan sebuah ketenangan.

" Don't cry again, go back to sleep. " Ucap Jeffrey, tepat di telinga sang putra dengan pelan membuat Jeno kembali menutup kedua bola matanya.

Harapan Jeno dalam tidurnya, berharap besok adalah hari baru yang beruntung dan berpihak untuknya.

Semoga.




























Jenokan selalu wangi minyak telon😖❤️

Continue Reading

You'll Also Like

36.2K 2.2K 25
"Lo maunya apa, sih, Bang?" "Lo mati." ***** "U-udah gu-e kabulin, B-bang." "Bangun, anjing!" ***** Hanya sepenggal kisah antara Jeyfano laki-laki ya...
PAIN By Dew

Romance

12.7K 1K 24
Aku harap tidak bertemu kalian lagi meski dikehidupan selanjutnya.
77.3K 7.4K 44
[END] DON'T PLAGIARIZE ‼️‼️❌❌ Hanya tentang dua bintang paling terang, yang menjadi pusat cahaya milik ayah. ▪️▪️▪️ |Brothership| |Family| 💢Minim...