Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk

14.5K 1.6K 107
By kianirasa

==

Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk

==

Atha menopang dagunya, bosan,selagi teman-teman sekelas barunya itu berlari mengelilingi lapangan dengan mengenakan seragam olahraga.

Karena dia belum tahu jadwal pelajarannya, jadi Atha tidak membawa seragam olahraganya. Perempuan berambut sebahu itu pun terpaksa duduk di pinggir lapangan. Mengamati murid lainnya yang sibuk mengelilingi lapangan sekolah yang luasnya bukan main.

Tidak terkecuali Nara. Pemuda berpostur tinggi dengan senyum yang memikat itu kini sedang berlari―membuat sebagian rambut depannya terkibas kebelakang, sementara keringat bercucuran dari dahinya.

Akhirnya permohonan Atha kesampaian, dulu dia memang selalu penasaran―bagaimana Nara saat SMA sedang berolahraga. Berhubung tubuhnya atletis. Dan ternyata dilihat dari sudut mana pun, Nara tetap saja keren. Walaupun dia bukan Nara yang Atha kenal.

"Jadi, naksir Nara atau Kariza?"tanya seseorang tiba-tiba. Memecah lamunan Atha.

Saat menoleh kearah kiri, Atha mendapati seorang perempuan berseragam putih abu-abu seperti dirinya duduk persis disebelahnya. Alis Atha awalnya terangkat keatas, tidak punya ide mengenai siapa si pemilik suara. Namun seketika Atha menatap bordiran nama disebelah kiri beberapa senti diatas kantung seragam atasan perempuan itu.

Salsabila Deaniva.

Namanya manis, mirip orangnya. Wajah ovalnya terbingkai oleh rambut ikalnya yang cukup panjang dan berwarna coklat keemasan. Sepertinya dia teman sekelas Atha, soalnya saat ini hanya kelasnya saja yang ada pelajaran olahraga.

Maklum bila Atha belum mengenali wajah teman-temannya, ini baru hari pertama dia―dan Atha baru menginjakkan kakinya di kelas beberapa jam saja.

"Maksudnya?"Atha balas bertanya beberapa saat kemudian.

Salsa menarik kedua sudut bibirnya keatas. Menyeringai lebar. Dia lalu mengendikkan dagu kearah Nara dan Kariza yang saat ini melakukan push up setelah berlari sprint bolak-balik dari ujung ke ujung lapangan.

"Gue tadi pagi ngelihat lo ngobrol sama Kariza di depan pintu masuk sekolah."Salsa menarik nafas. "Terus gue ngelihat lo lagi perhatiin Nara sampai nggak kedip. Jadi, lo suka yang mana?"tambahnya diikuti tawa pelan.

Atha merasakan pipinya sedikit terbakar. Bukan karena teriknya sinar matahari pagi ini, melainkan karena perkataan Salsa barusan.

Karena tidak mau mengingkari perasaannya sendiri, Atha hanya menggelengkan kepala. Yang entah kenapa disambut tawa oleh Salsa. Perempuan dengan rambut ikalnya itu menepuk-nepuk sebelah pundak Atha pelan.

"Gue bercanda, jangan terlalu serius gitu dong. Oh iya gue Salsa. Teman sekelas lo, pasti nggak tahu deh."ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya dan tersenyum hangat.

Atha tersenyum tipis kemudian menerimanya. "Gue Atha."

"Lo bukan asli Gili ya?"tanya Salsa lagi.

"Iya, bukan. Gue pindah dari Jakarta."

"Ooh," Salsa manggut-manggut. "Kenal Kariza darimana?"

"Dia―"Atha berhenti sejenak untuk berpikir. Kemarin pemuda itu mengenalkannya pada Nanda sebagai tetangga, yang artinya Atha harus menjawab hal yang sama. Bisa jadi kontroversi juga bila ada gosip tentangnya dan Kariza tinggal serumah. "Tetangga gue."jawab Atha menyelesaikan.

Salsa mengangguk mengerti lalu ikut mengalihkan pandangannya kearah lapangan. Murid laki-laki dan perempuan kini berolahraga terpisah. Kalau yang perempuan rakbi, sementara laki-lakinya futsal.

Mata Atha untuk beberapa saat tidak bisa terlepas dari Nanda. Perempuan berpostur tinggi dengan hidung mancung itu sedang berusaha merebut bola dari lawan. Walau dengan celana olahraga yang digulung keatas dan rambut dikuncir tinggi sekali pun, dia tetap saja terlihat cantik juga keren. Usai berhasil merebut bola, Nanda meneriakkan nama seseorang dan sedikit melompat untuk mengopernya kepada―Atha menyipitkan mata.

Irina.

Mulut Atha terbuka kecil saat melihat Irina yang dioper bola secara tiba-tiba jatuh tersungkur diatas lapangan. Membuat pertandingan seketika terhenti. Perempuan dengan bingkai kacamata besar itu mengaduh kesakitan sebelum akhirnya berdiri―dibantu oleh Nanda.

"Maaf ya, lo nggak apa-apa kan?"Atha cukup bisa mendengar omongan Nanda walau terpaut jarak cukup jauh.

Irina tersenyum kikuk dan membenarkan bingkai kacamatanya. Sesaat membuat Atha merasa kalau dia sedang menonton drama dimana si tokoh utama biasanya adalah si nerd yang kemudian akan bermetamorfosis seperti kupu-kupu tanpa di duga-duga.

"Nanda cantik banget ya, keren lagi."ujar Salsa, memecah keheningan.

Atha mengangguk setuju.

Salsa kemudian menoleh kearahnya. "Lo kepikiran buat ikut klub tennis?ketuanya kan Nanda."tanyanya terdengar antusias.

"Gue ikut tennis?hahaha, megang raket aja gue masih salah."jawab Atha diiringi tawa kecil. Dia memang tidak berminat pada olahraga, Atha lebih menyukai seni musik. Walau dia sebenarnya hanya bisa mendengarkan lagu.

"Ooh terus udah mikirin mau ikut estrakulikuler apa belom?soalnya, kalau di sini semua wajib ikut eskul. Tapi harus satu."

Atha menggeleng kepalanya pelan. "Gue juga belom tahu eskul apa yang bagus."

"Kalau olahraga ada banyak, tapi seni itu cuman ada band, modern dance, marawis sama paduan suara."jelas Salsa yang ditanggapi anggukan mengerti Atha.

Band. Kedengarannya menarik. Saat SMA dulu, sekolah Atha membebaskan muridnya mengikuti eskul atau tidak. Karena mayoritas sibuk dengan kegiatan bimbel dan lainnya, akhirnya Atha tidak mengikuti apa pun. Lagi pula Atha yang dulu itu agak introvert, dan sedikit kuno.

Mungkin nanti, Atha harus mendaftar eskul band.

Walaupun Atha tidak akan lama di masa lalu, ada baiknya bila Atha melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan saat SMA dulu.

Sebuah bola futsal menghampiri kaki Atha. Diikuti derap langkah sepasang kaki. Salsa menyikutnya pelan, menyadarkan Atha dari lamunan singkatnya.

"Ada Nara,"bisik Salsa pelan.

Atha menolehkan kepala kearahnya, mengerutkan dahi sebelum mendongakkan kepala kearah Nara yang terpaut beberapa meter dari mereka. Pemuda itu tengah mengatur nafasnya. Sementara Kariza berdiri dibelakangnya, menggunakan bahasa isyarat pada Atha supaya cepat mengambil bola.

"Ambilin bolanya dong. Anak baru."pinta Nara―terdengar menyebalkan karena tidak memanggil Atha dengan nama. Apa segitu susahnya sampai dia tidak mengingat nama Atha?

Oh ya, benar, dia bukan Nara yang Atha kenal. Kesal, Atha pun mengambil bola futsal tersebut dan melemparkannya kelewat jauh. Untunglah bola itu berhasil ditangkap oleh Kariza yang ada dibelakangnya. Sebelum pergi, Nara memincingkan matanya kearah Atha selagi Kariza tersenyum padanya.

Kariza tersenyum padanya?

Atha mengangkat sebelah alisnya. Dia terlihat sinting senyum begitu.

"Tuh kan, tuh kan."ucap Salsa―terdengar sedikit excited. "Kalo dibanding Nara, gue lebih milih Kariza. Dia itu lebih sopan, baik, murah senyum, ramah lagi."sambungnya menyelesaikan.

Bukankah itu terdengar seperti dusta besar?

Jujur saja Kariza saat di sekolah dan di rumah memang seperti berbeda orang. Seperti punya dua kepribadian. Lagipula kenapa dia harus berakting seperti orang lain di depan teman-teman satu sekolahnya sendiri?

Malas menyangkal perkataan Salsa, Atha pun hanya bergumam mengiyakan. Sekarang yang lebih penting harus dia pikirkan adalah―bagaimana caranya Atha mendekati Nara disaat pemuda itu bahkan berbeda jauh dari Nara yang dikenalnya?dan bagaimana caranya Atha mengungkapkan perasaannya?Dia harap sepulangnya nanti, Faust memiliki ide.

Seiring Atha sibuk dengan dunia kecilnya sendiri, bel yang mengakhiri pelajaran olahraga pun berbunyi.

》》》

"Ada isi pensil nggak?"tanya Nara ketika mereka tengah mencatat rumus kimia di papan tulis. Bu Eva, guru kimianya, sedang sibuk mengetik diatas keyboard laptopnya di meja depan kelas.

Atha menghentikan aktifitasnya menulis dan membuka tempat pensil yang disiapkan Faust untuknya. "Nggak."

"Penghapus?"

"Nggak."

Nara menarik nafas. "Pensil deh pensil."

"Nggak."

Atha mengulum bibirnya kedalam. Faust hanya memasukkan satu pulpen dan tip-ex. Mungkin makhluk itu terburu-buru sampai tidak bisa memikirkan hal lain selain pulpen dan tip-ex.

"Pulpen?"tanya Nara, sedikit memelankan suaranya yang berat.

Dengan gerogi, Atha menggelengkan kepala sambil mengayunkan pulpen yang dipakainya di udara tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Lo bawa apaan sih ke sekolah?"ujar Nara setengah berteriak. Menyebabkan seluruh pasang mata di kelas menatap kearah keduanya. Termasuk Kariza, Irina, Salsa, dan Nanda diantaranya. Namun untunglah Bu Eva seperti tidak menghiraukan sekitar. Wanita itu lebih sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Setelah beberapa saat, semua pun kembali tidak menghiraukan. Nara kemudian tiba-tiba meraih tempat pensil Atha selagi perempuan itu mengulurkan tangannya untuk menutup resleting tempat pensilnya.

Hening.

Atha harus mengedipkan matanya dulu untuk menyadari kalau tangan Nara berada diatasnya. Mirip seperti adegan-adegan di sinetron. Hanya saja tidak seperti pemeran utama di kebanyakan sinetron yang langsung melepas tangannya―Atha justru diam saja, malah menoleh ke Nara. Untuk memastikan ekspresi pemuda itu.

Nara memperhatikan tangannya seiring mulutnya terbuka sedikit. Mata coklatnya terlihat jernih karena pantulan sinar matahari dari balik jendela kelas.

Merasa jantungnya sudah tidak kuat, Atha berdeham pelan. Menyadarkan Nara yang segera menolehkan kepala kearahnya menatapnya tepat di manik mata.

Kedua pasang mata itu tidak menyadari kalau dari jarak beberapa meter, Kariza menoleh kebelakang sambil bertopang dagu. Hanya sekedar memperhatikan.

"Lo,"panggil Nara lalu mengalihkan pandangannya ke tangan kanannya. "Nggak jadi."lanjutnya. Seketika membuat Atha ingin melemparkan sepatu ke wajahnya.

Nara kemudian dengan cepat mengubah ekspresi tidak terbacanya dengan seringaian lebar yang memperlihatkan sepasang lesung pipit manisnya. "Nanda, ada isi pensil nggak?"tanyanya, ceria.

The heck?

Atha memutar kedua bola matanya. Semua laki-laki sama saja kalau sudah menyangkut perempuan cantik.

Nanda―yang dipanggil pun―menoleh dan menganggukan kepala sebelum mengoper isi pensil beserta kotaknya ke belakang hingga mendarat mulus diatas meja Nara. "Makasih Ay."tambah Nara tentu saja membuat Nanda bergidik geli didepan sana.

Hal itu sekaligus menyadarkan Atha kalau sifat flirting khas Nara ternyata sudah ada semenjak dulu, membuatnya mengulum senyum kecil.

"Anak baru."Nara memanggilnya lagi setelah setengah jam berlalu.

"Mm?"

"Nama lo siapa tadi?"tanyanya.

"Katanya udah tahu."balas Atha, tidak berminat untuk menoleh.

"Lupa."

"Atha. Athalia Sharafina."

"Oh,"dia berhenti sejenak. Menulis sesuatu diatas kertas buku tulisnya dan merobek sedikit bagian dari kertasnya sebelum menyodorkannya pada Atha.

Yang disodorkan mengerutkan dahi menatap Nara yang sudah sibuk dengan kegiatan lainnya.

"Buka,"suruh Nara kemudian.

Tanpa mengiyakan, Atha pun membuka lipatan kertas kecil itu. Mata coklatnya berbinar diikuti kedua sudut bibirnya yang tertarik keatas.

Gue Narado Risyad.

Tulisan tangan khas Nara. Atha diam-diam melipat kertas itu kembali dan menaruhnya didalam saku seragam.

"Salam kenal ya."lanjut Nara pelan.

Atha mengangguk.

Ternyata, Nara yang dulu tidak terlalu buruk juga.

》》》

"Tadi kenapa sama Nara?"tanya Salsa saat keduanya berjalan menuju pintu keluar gedung sekolah. Dia dan Salsa sudah cukup akrab untuk menjadi teman dekat. Atha sendiri tidak menyangka. Perempuan dengan rambut ikalnya itu memang supel dengan semua orang―bahkan sepanjang berjalan di koridor sekolah tadi, sudah sepuluh orang menyapanya.

Atha menggeleng. "Nggak apa-apa."

Salsa memincingkan matanya.

"Masa sih?"

"Seri―"

Seseorang membekap mulut Atha, menarik tangannya begitu kaki Atha menginjak lantai bagian luar gedung sekolah. Dari balik tembok Atha bisa melihat Salsa yang tadi tidak memperhatikannya celingak-celinguk mencari Atha diantara kerumunan siswa-siswi yang hendak pulang.

Atha yang panik pun hendak menendang dengkul si pembekap mulutnya, tapi niatnya terhenti ketika pelakunya angkat bicara.

"Ssh, ini gue."ucapnya lalu melepaskan Atha. Membuka bekapannya.

"Kariza?"ujar Atha seraya mendelik kesal.

Kariza memutar kedua bola matanya.

"Ngapain sih lo?nggak jelas banget."tutur Atha, melipat kedua tangannya di dada.

"Ngapain lagi?ayo pulang. Lo kan supir gue. Tahu sendiri gue nggak bisa naik sepeda."balas Kariza memelankan suaranya. Tapi tetap saja terdengar menyebalkan.

"Lah―nggak latihan boxing?"

"Sekarang hari apa?"

"Selasa."

"Rabu."

"Ih, sekarang Selasa."

Kariza menepuk dahinya. "Maksud gue latihannya hari Rabu. Duh."

Suara seseorang berjengit ditempatnya mengalihkan pandangan Kariza diikuti Atha. Seorang perempuan berseragam putih abu-abu dengan bingkai kacamatanya berdiri disana. Hendak membuang plastik botol minumannya di tempat sampah yang berjarak beberapa meter dari keduanya.

Itu Irina. Atha bisa melihat wajah terkejutnya.

"M-maaf ganggu."

Ganggu?

Atha melotot ketika sadar posisi keduanya seperti apa. Dengan Kariza berdiri didepannya, mengurungnya dengan sebelah tangan―tentu saja orang lain bisa menyimpulkan hal-hal yang aneh.

Jadi, dengan senang hati Atha menendang dengkul Kariza hingga pemuda itu tersungkur jatuh dari tempatnya sambil mengumpat pelan.

"Rin, ini bukan kayak yang lo lihat kok serius deh."

Irina awalnya hanya diam sambil mengerutkan dahi. Tetapi saat Kariza kembali bangkit dan memperlihatkan senyum ala-ala pangeran kuda putihnya―Atha bisa melihat pipi Irina memerah.

"Belom pulang Rin?"tanya Kariza.

Dia menggeleng sambil menunduk malu.

Atha bisa menyadari satu hal dari reaksinya; Irina naksir Kariza.

Tapi bukankah seharusnya Irina bersama Nara?

"Ooh, yaudah hati-hati ya di jalan. Kita duluan, bye."ucap Kariza sambil menyeret Atha pergi dari tempat barusan.

Seiring mereka melangkahkan kaki ke tempat parkiran. Atha mulai angkat bicara.

"Dia pasti suka banget sama lo."gumamnya.

"Siapa?Irina?"

"Iya."

"Gue udah tahu kok."

Atha melotot. "Lo udah tahu tapi kok ―"

"Ssh."potong Kariza. "Cepat keluarin sepedanya. Gue mau pakai hoodie dulu, biar nggak ada yang ngelihatin."

Atha berdecak kesal dan mengeluarkan sepeda milik Erik―Papa Kariza―dari parkiran yang terlihat sepi. Mungkin karena ini parkiran sepeda, bukan mobil maupun motor.

Setelah Kariza naik di bangku belakang, Atha mulai mengayuh sepedanya keluar gerbang belakang sekolah. Yang memang tersedia untuk para pengendara sepeda ke sekolah.

"Jadi, kenapa lo nggak tanggapin perasaannya Irina?"tanya Atha. Irina kan cantik.

Alih-alih menjawab, Kariza mengeluarkan telunjuknya dan menunjuk kearah Nanda yang sedang berjalan sendirian. "Kenapa dia ada disini?"tanyanya.

"Ya menurut lo?pulang lah."balas Atha, sedikit kesal karena pertanyaannya dihiraukan.

"Bukan. Nanda kan harusnya latihan tennis."

Atha mengendikkan bahu. "Mungkin klub tennis lagi libur. Lagian dia kan ketuanya."

Kariza berdecak sebal dan melotot ketika Nanda menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan sesuatu. Dan seolah tidak menyadari ada dua pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya―Nanda memasuki sebuah gang sempit.

"Tha, ikutin dia Tha."suruh Kariza seenaknya.

"Tapi kata Tante Dian―"

"Ikutin dia."

Atha menghela nafas. Berharap Faust sedang memperhatikan keduanya dari layar ajaib tak-kasat-mata―sehingga bisa menjamin keselamatan Kariza. Karena Atha sewaktu-waktu bisa saja meledak dan mencekik pemuda itu.

Dengan berat hati, Atha membelokkan sepedanya. Memasuki gang sempit yang barusan dimasuki oleh Nanda.

"Lo nyusahin banget tahu nggak Za."

"Biarin."

"Jangan bilang lo suruh gue ngayuh, ngikutin Nanda, karena lo mau tahu dimana rumahnya gitu?"ujar Atha, ngasal.

Kariza dengan tidak sopannya menoyor belakang kepala Atha.

"Gue nggak semenyedihkan itu ya. Udah ikutin aja dia. Ada yang mau gue pastiin."[]

==

11:29

A/n: udah puas belom bacanya?gila ini udah kayak 2000+ gitu wordsnya. Biasanya kupatokin 2000 biar pada nggak capek bacanya. Oh ya, aku masih ujian sampe selasa, dan ini ku post karena banyaak yang minta dilanjutin

Btw, mau ngapain ya Kariza sama Atha nguntit si Nanda dari belakang?

Find out in the next chapter ya, jangan lupa tinggalkan jejak (vote&komen) xoxo

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

3.3K 561 13
∆sasuhina "Eum.... Sasuke-san... -panggil Hinata ragu. Sang pemilik nama melirik, terlihat di sana Hinata menunduk meremas ujung pakaiannya. ... -s...
11.1K 4.2K 38
[Teenfict - Slice of Life - Minorromance] Nama dan pemiliknya sama-sama aneh, Candala. Murid pertukaran pelajar di tengah semester satu, entah dari m...
404K 58.3K 100
Mau nyinyirin pengguna wattpad, tapi gua juga pengguna wattpad. Hmmm.
174K 36.9K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...