My Friend Is My Mama

By jungle0

5M 369K 14.1K

"Len, jadi mama gue ya." Ucap Divia dengan wajah memerah dan air mata yang sedari tadi meluruh. Sontak gadis... More

Pembukaan
πŸ’™1
πŸ’™2
πŸ’™3
πŸ’™4
πŸ’™5
πŸ’™6
πŸ’™7
πŸ’™8
πŸ’™9
πŸ’™10
πŸ’™11
πŸ’™12
πŸ’™13
πŸ’™14
πŸ’™15
πŸ’™16
πŸ’™17
πŸ’™18
πŸ’™19
πŸ’™20
πŸ’™21
πŸ’™22
πŸ’™23
πŸ’™24
πŸ’™25
πŸ’™26
πŸ’™27
πŸ’™28
πŸ’™29
πŸ’™30
πŸ’™31
πŸ’™Follow meπŸ’™
πŸ’™32
πŸ’™33
πŸ’™34
πŸ’™35
πŸ’™36
πŸ’™37
πŸ’™38
πŸ’™39
πŸ’™40
πŸ’™41
πŸ’™42
πŸ’™43
πŸ’™44
πŸ’™45
πŸ’™Selamat Hari Raya Idul FitriπŸ’™
πŸ’™46
πŸ’™48
πŸ’™49
πŸ’™50
πŸ’™51
πŸ’™52
πŸ’™53
πŸ’™54
πŸ’™55
πŸ’™56
πŸ’™
πŸ’™57

πŸ’™47

42.9K 3.3K 106
By jungle0

Besok adalah hari terbebas untuk Alenza. Entah mengapa Suaminya memberikan dirinya One Day kegiatan yang Alenza lakukan dengan bebas tanpa ada gangguan Divia ataupun Arsya sekalipun.

Menarik. Satu kata yang menggambarkan keantusias an Alenza saat ini.

Awalnya Alenza ingin tertawa saat mendengarnya, sungguh sangat konyol menurutnya. Tetapi untuk menghargai anak dan juga suaminya yang sudah merencanakannya ide itu, jadilah Alenza yang saat ini sedang mengelist beberapa kegiatan yang akan dirinya lakukan besok tanpa Divia dan juga Arsya suaminya. Alenza menganggap ini adalah me timenya. Kesempatan tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya, untuk itu Alenza akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

" Ini cuma satu hari aja nihh? Gak bisa ditambah harinya?" Tanya Alenza seraya menawar dengan bolpoin yang ia ketukkan di dagunya.

Dengan duduk di tengah-tengah ranjang, sembari menerawang untuk mengisi list kegiatan yang akan ia lakukan besok, sungguh membuat bayangan-bayangan impian Alenza seolah berdatangan begitu saja.

" Hanya satu hari. Kamu tidak berniat menelantarkan suamimu kan?" Selidik Arsya sembari menaikan sebelah alisnya seolah sedang mengintimidasi Alenza.

Membayangkan satu hari tanpa Alenza sudah seperti neraka bagi Arsya, sangat sulit di lakukan. Bagaimana mungkin dirinya akan berjauhan dengan Alenza jika setiap menit dirinya selalu ingin bertemu dengan Alenza? sekarang Arsya sungguh sangat menyesali usulan dari Divia ini. Bahkan sepertinya Arsya sedang mabuk pada saat itu, karena sudah termakan bujuk rayu dari Divia untuk menyetujui usulannya.

" Lah bunda mau nya berapa hari emang?" Tanya Divia dengan enteng sembari memakan cookies yang ia bawa ke kamar orang tuanya.

Arsya melayangkan tatapan tajamnya pada Divia, Arsya seolah sedang memprotes perkataan putrinya baru saja. Bagaimana mungkin dengan seenaknya Divia seolah ingin menambah hari buruk untuk Arsya. Sungguh tidak bisa dibiarkan!!

" Satu hari. Tidak ada tawar menawar." Timpal Arsya dengan nada tegas disertai tatapan datarnya.

" Nanggung banget Mas, satu hari udah habis di pesawat." Gerutu Alenza sembari memanyunkan sedikit bibirnya.

" HAH PESAWAT?!! Bunda mau kemana naik pesawat segala." Pekik Divia.

Alangkah terkejutnya Divia saat Alenza mengatakan akan pergi dengan pesawat. Sungguh di luar perkiraannya. Apakah seniat itu ibu sambung dan sahabatnya ingin kabur dari dirinya dan juga Papanya?

Memberikan Alenza kebebasan sehari adalah usulan ide darinya, sebagai bentuk permohonan maafnya untuk Alenza, dengan tujuan tentu saja memaafkan dirinya. Tidak mudah memang untuk membujuk papanya menerima usulan darinya ini. Divia membutuhkan banyak usaha keras untuk itu. Tetapi dengan bantuan dukun Divia berhasil mendapatkan persetujuan dari Papanya. Bercanda!!

" Spanyol." Jawab Alenza sembari menunjukkan raut binar nya seolah menerawang suasana yang akan Alenza rasakan saat nanti berada di Spanyol.

" Ngapain?"

" Tidak."

Seru Divia dan Arsya secara bersamaan, yang tentu saja membuat Alenza sedikit tersentak karena terkejut mendengar seruan keduanya yang terdengar seperti seruan.

" Ishh.... Katanya One Day Aku boleh ngelakuin yang aku mau Mas." Ujar Alenza dengan memberengut saat mendapat penolakan tegas dari Arsya.

Arsya yang tadinya duduk di sofa yang terletak di kamarnya, sekarang berpindah duduk di tepian ranjang yang berlawanan posisi dari Divia.

" Kenapa harus jauh hm?" Tanya Arsya dengan nada lembut sembari mengusap rambut Alenza penuh pengertian.

Alenza sedikit tertegun saat mendengar suara Arsya yang terdengar merdu di telinganya. Bahkan usapan lembut tangan Arsya mampu membuat kedua pipinya terasa panas dengan perutnya yang terasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang.

Dasar Alenza yang lemah iman!!!.

Berbeda dengan Arsya yang saat ini berdoa agar rencana Alenza untuk pergi ke Spanyol di batalkan, meskipun saat ini dirinya sedang berusaha meredam penolak kan tegas Alenza yang akan pergi ke Spanyol. Namun Arsya tidak ingin terlalu terburu menolaknya, karena takut jika Alenza justru akan berbalik mendiaminya atau justru lebih parahnya akan menyakiti hati Alenza. Karena bagaimanapun kelabilan dan ke sensitiv an Alenza masih ada pada diri Alenza.

" Kan aku mau lihat balapan di Circuito de Jerez Mas." Jawab Alenza dengan penuh keantusiasannya sembari menatap mata Arsya yang saat ini juga sedang menatapnya.

" Sekalinya di kasih kesempatan bebas gini amat Bunda gue." Gumam Divia sepelan mungkin agar Alenza tidak mendengarnya.

" One Day nya diganti Three Day ya Mas." Pinta Alenza dengan jarinya yang memperlihatkan angka 3, di sertai raut bujukannya agar Arsya mengizinkan dirinya untuk pergi.

" Atau mau sekalian aku pergi Seminggu." Lanjut Alenza menunjukkan wajah garangnya saat Arsya sama sekali tidak merespon perkataannya dan terlihat sedang menimang permintaannya.

Alenza berniat untuk menggoyahkan pikiran Arsya agar menyetujuinya. Sungguh akan menjadi moment yang tidak akan pernah terlupakan untuk Alenza, jika rencana yang ia susun ini akan berhasil.

" Boleh." Jawab Arsya singkat.

Dengan antusias Alenza tersenyum sumringah. Keinginannya yang sudah sejak lama Alenza inginkan akan segera terwujud.

" Seminggu Mas?" Goda Alenza senang tanpa menaruh curiga apapun pada Arsya.

" Sama Mas perginya." Sahut Arsya yang membuat Alenza seketika menghentikan ke antusiasnya karena diperbolehkan untuk pergi selama seminggu. Namun siapa sangka jika perkataan Arsya selanjutnya justru membuyarkan semuanya begitu saja.

" Mas ikut maksudnya?" Tanya Alenza guna memastikan kembali pendengarannya.

" Iya. kamu keberatan Mas ikut?" Ujar Arsya sembari menatap Alenza dengan intens.

Tentu saja melihat tatapan intens dari Arsya sedikit membuat Alenza susah payah menelan ludahnya sendiri.

Seharusnya Alenza sudah bisa menebak semuanya, bagaimana mungkin Arsya akan mengizinkan dirinya pergi sendirian dengan begitu mudahnya? Sangat mustahil sepertinya.

" Divia ikut juga ya Pa!?!" Timpal Divia yang juga ikut Antusias.

Alenza tercengang di tempatnya, bukan kah anak dan suaminya yang sudah mengusulkan untuk membebaskan Alenza seharian, lalu apa-apaan dengan keikutsertaan mereka berdua di hari kebebasan Alenza itu. Seharusnya mereka berdua mengusulkan liburan saja kalau begitu.

" Dimana letak planning kalian tadi tentang kebebasan Aku seharian Mas?" Tanya Alenza sembari bersedekap dada seolah sedang mengintrogasi kedunya.

Baik Arsya maupun Divia saling tatap menatap satu sama lain. Bungkam, itu yang mereka lakukan saat ini, Bahkan Arsya menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena gugup akibat tatapan Alenza yang sedang tidak bersahabat.

" Mungkin lain waktu." Jawab Arsya dengan seadanya.

" Yeayyy SPANYOL I'M COMING." Seru Divia sembari berlari keluar dari kamar kedua orang tuanya dengan penuh keantusiasan.

Divia akan mempersiapkan segala keperluannya untuk besok pergi ke Spanyol, siapa tahu pulang-pulang gandeng suami kan? Eh...

" Kenapa Divia yang jadi se Antusias itu?" Gumam Alenza terheran.

" Dia butuh Refreshing setelah kamu mendiaminya." Timpal Arsya terkekeh pelan saat melihat kepergian Divia dari kamarnya dengan begitu antusias.

Alenza menggeleng tak setuju dengan pendapat atau perkataan suaminya itu.

" Itu ide Mas bukan Aku. Mana bisa aku diemin Divia lama. Pake alasan Divia harus diberi pelajaran lah, padahal bapaknya yang mau monopoli aku. Iyakan?!! Ngaku hayo?!!" Ujar Alenza sembari menunjuk Arsya dengan kedua mata menyipit.

Arsya menggigit pelan jari telunjuk Alenza yang tidak sadar menunjuk ke arah nya. Hal itu membuat Alenza sedikit meringis saat jari telunjuknya menjadi korban keganasan dari Arsya.

" Tidak baik menunjuk suami seperti itu." Ucap Arsya dengan suara halus untuk menasihati Alenza.

Alenza yang tersadar, refleks menundukkan kepalanya dan meminta maaf kepada Arsya atas ketidak sopanan nya, meskipun tanpa sengaja sekalipun.

" Dimaafkan." Jawab Arsya yang saat ini sudah mendusel kan dirinya di tubuh Alenza.

" Mas." Panggil Alenza pelan.

" Hm?"

" Buka baju ya." Pinta Alenza dengan raut memohon nya.

Arsya dengan sigap duduk dan mendapati istrinya yang saat ini terlihat menggemaskan dengan raut memohon nya.

" Mau apa?" Tanya balik Arsya disertai senyum tipisnya.

" Ya udah kalau Mas gak mau." Ucap Alenza yang akan bersiap untuk membaringkan tubuhnya di ranjang dengan wajah memberengut.

Namun hal itu bisa Arsya cegah dengan cepat dan kembali mendudukkan Alenza ke tempat semula, meskipun Arsya sedikit membutuhkan tenaga untuk menahan Alenza karena Alenza yang sedikit memberontak.

" Buka saja." Ucap Arsya singkat ketika Alenza tidak lagi memberontak sembari mengerlingkan matanya.

Alenza sedikit enggan, namun entah kenapa keinginannya jauh lebih besar daripada gengsinya saat ini.

" Mas tiduran." Pinta Alenza.

Arsya menurut karena tidak ingin Alenza semakin marah padanya. Namun yang terjadi selanjutnya sungguh di luar ekspektasi Arsya. Dimana Alenza yang saat ini sedang menduduki perutnya, dengan jari jemarinya yang perlahan membuka satu persatu kancing kemejanya dengan gerakan sensual.

Hanya melihat Alenza diatasnya sudah mampu membangkitkan gairahnya saat ini, dengan kedua mata terpejam Arsya menikmati setiap sentuhan Alenza yang saat ini sedang berusaha melepaskan kancing kemeja yang melekat di tubuhnya.

Arsya tertegun saat Alenza justru mendekatkan wajahnya pada dadanya yang sedikit di tumbuhi oleh bulu halus atas permintaan Alenza yang melarang Arsya untuk mencukurnya. Terpaan nafas Alenza semakin terasa dan membuat Arsya terbakar oleh gairahnya sendiri. Jari lentik Alenza juga ikut menari-nari di atas dadanya. Arsya sama sekali tidak menegur ataupun menghentikan kegiatan yang Alenza lakukan saat ini, yang dapat membangkitkan gairahnya, karena justru Arsya sangat menikmatinya bahkan kedua matanya hingga tertutup rapat.

Arsya membuka kedua kelopak matanya, saat tidak ada lagi pergerakan dari jari Alenza, dan justru merasakan dadanya yang kian memberat disertai dengkuran halus yang dapat Arsya pastikan jika Alenza sedang tidur dengan lelap saat ini.

" Tidur?" Gumam Arsya pelan atau lebih tepatnya speechless dengan tindakan Alenza yang menggantung gairahnya begitu saja.

Dengan tangan mengusap rambut Alenza yang saat ini berbaring diatas tubuhnya, Arsya terkekeh pelan saat pikiran-pikiran sebelumnya yang mengira jika Alenza akan menuntaskan gairahnya yang bangkit akibat ulah Alenza. Nyatanya justru sang pelaku sudah tertidur lelap diatas tubuhnya, meninggalkan Arsya yang sedang mati-matian menahan gairahnya agar tidak mengganggu tidur Alenza yang terlihat nyenyak.

💙💙💙💙💙

Gerutuan demi gerutuan Divia layangkan kepada Arsya. Divia terus memukul guling nya untuk meluapkan rasa kesalnya. Sudah lelah dirinya mengemas barang-barangnya kemarin malam dan sudah bersiap untuk pergi liburan, tetapi nyatanya? Papanya itu justru membatalkannya secara mendadak pagi ini karena ada urusan penting.

" Sepenting apa urusan papa sampe batalin liburan segala. Lagian kenapa juga gue ngemas barang segitu banyaknya." Gerutu Divia tak.henti-hentinya.

" Div, buka pintunya bunda mau ngomong." Ucap Alenza yang terus mengetuk pintu Divia yang terkunci rapat.

" Divia mogok duniawi bun! Divia gak mau makan, gak mau mandi, gak mau kuliah, pokoknya gak mau semuanya." Seru Divia menjawab dengan sedikit keras agar Alenza mendengarnya.

" Yaudah." Sahut Alenza yang tak kalah keras agar Divia juga mendengarkannya.

Sontak Divia membulatkan kedua matanya saat mendapatkan respon cuek yang jauh dari perkiraan Divia tentu saja.

" Lah? Gak dibujuk lagi gue? Gimana nasib perut gue kalau gitu?!!" Gumam Divia sembari meratapi nasibnya, dan sedikit merutukki ibu sambungnya yang tak lain adalah Alenza yang sungguh tidak pengertian kepadanya.

" Sial!! Tau gitu sebelum marah gue sarapan dulu harusnya." Ucap Divia merutukki kebodohannya.

Di luar kamar Divia, Alenza masih setia berdiri sembari menghembuskan nafasnya berat. Sejujurnya Alenza juga sedikit kecewa karena rencananya melihat Suami kedua dan ketiganya yaitu Fabio Quartararo dan juga Marc Marquez harus tertunda, karena Arsya yang mendapatkan kabar tiba-tiba dari seseorang yang tidak Alenza ketahui.

Suaminya itu hanya mengatakan jika ada urusan penting yang harus dirinya selesaikan segera, dan setelahnya pergi begitu saja, sebelum Alenza sempat menanyakan urusan penting apa yang membuat suaminya harus terburu-buru pergi.

" Nyonya, ini sarapan untuk Non Divia." Ucap salah satu pelayan yang mengantarkan sarapan untuk Divia.

" Alenza minta tolong, bibi saja yang memanggil Divia, masih marah dia soalnya bi, gak papa kan bi? " Pinta Alenza pada pelayan itu.

" Gak papa Nyonya, jangan meminta tolong seperti itu. Sudah tugas saya menjalankan perintah Anda Nyonya Alenza." Ujar pelayan itu dengan sopan seraya sedikit membungkuk hormat.

" Bibi pelayan Baru?" Tebak Alenza.

" Eh...iya Nyonya Alenza, saya pelayan baru disini. " Ucap pelayan itu sembari menunduk hormat dengan salah tingkah.

" Pantas saja. Ada peraturan mutlak yang harus Bibi patuhi selama bekerja disini." Ujar Alenza sembari memperlihatkan wajah seriusnya.

" Maaf Nyonya, apa kah saya sudah melanggarnya?" Ucap Pelayan itu dengan nada ketakutan.

" Iya. Kesalahan Bibi karena memanggil Alenza dengan Nyonya. Jadi selama bibi bekerja disini, dilarang memanggil Alenza dengan panggilan Nyonya. Panggil Alenza atau gak Non aja bi. Sekarang Bibi paham kan?" Jelas Alenza disertai senyum manisnya.

" Ah.. saya paham Nyonya.. eh Non Alenza. Maaf non." Ucap pelayan itu.

" Tidak papa, nanti bibi juga akan terbiasa. Oh gawat... Bi, Alenza pamit ada kuliah pagi soalnya. Nanti kalau Divia udah buka pintu dan ambil makanannya, jangan lupa beritahu Alenza lewat kepala pelayan ya bi. Terima kasih sekali lagi. Assalamu'alaikum." Pamit Alenza saat teringat jika dirinya ada mata kuliah pagi ini.

" Wa'alaikumussalam."

Dengan tergesa- gesa Alenza berangkat diantarkan oleh supir yang telah ditugaskan oleh Arsya tentunya, untuk mengantarkan Alenza kemanapun jika Arsya sedang ada keperluan mendesak, yang membuatnya tidak bisa mengantar ataupun menjemput Alenza .

Ting

Alenza membuka ponselnya saat terdengar suara notifikasi pesan masuk dari ponselnya.

Asiya

Len, lo gak perlu ke kampus, Dosennya lagi ada bimbingan skripsi sama Kating. Tapi ada tugas, nanti bakal di share di grup.

Alenza menghembuskan nafas nya lelah sembari mengetikan pesan terima kasih kepada Asiya karena telah memberitahunya. Alenza memejamkan kedua matanya, sudah lelah dirinya tadi tergesa-gesa karena takut terlambat, tapi nyatanya? Zonk! Antara kesal dan juga senang yang saat ini Alenza rasakan.

" Pak, putar balik lagi ya ke mansion." Pinta Alenza menyandarkan tubuhnya pada jok penumpang.

" Baik Non."

Alenza sedikit menurunkan kaca jendela mobilnya, seketika itu juga udara segar masuk menerpa wajah Alenza yang terpejam. Disepanjang perjalanan, Alenza masih setia menikmati udara segar hingga tidak sadar jika dirinya sudah sampai di Mansion.

" Terima kasih pak." Ucap Alenza berterima kasih kepada sang supir yang telah mengantarkannya.

Saat kaki jenjangnya ingin memasuki mansion. Kedua matanya menyipit hingga terlihat kerutan di dahinya.

" Kamu mau kemana Div?" Tanya Alenza mencegah Divia yang sedang berjalan sembari menggeret kopernya.

" Rumah Oma Dania." Jawab Divia singkat.

" Kam..."

" Divia mau liburan disana aja bun."

Alenza bungkam mendengar jawaban Divia, Alenza mengerti dengan kekecewaan Divia saat ini.

" Berapa hari?" Tanya Alenza.

" 2 bulan."

" 2 hari." Bantah Alenza sembari bersedekap dada.

" 1 bulan?" Tawar Divia dengan wajah memelas.

" 1 hari."

" Eh ...lohh mana bisa gitu bun." Gerutu Divia.

" Disana kamu tidur di kamar Bunda. Jadi terserah Bunda." Ujar Alenza dengan acuh.

" Seminggu deh bun ya? Ya ya." Bujuk Divia yang kali ini mendapatkan persetujuan dari Alenza.

" Tapi izin ke Papa dulu." Sahut Alenza.

" Kalau gak izin ke papa, Bunda bolehin berapa hari?" Tanya Divia dengan ragu. Alenza tahu mengapa Divia menanyakan itu pada Alenza, karena gengsi Divia yang tinggi pada Arsya.

Ingat!!! Dirinya sedang marah saat ini pada Papanya itu.

" Gak boleh pergi." Jawab Alenza tanpa beban.

" Sama aja dong." Cibir Divia pelan.

" Bunda aja deh yang bilang ke papa." Bujuk Divia seraya merayu Alenza.

" Ya udah gak boleh pergi." Ucap Alenza beranjak dari tempatnya dan akan masuk ke dalam mansion.

" Eh iya iya bun. Divia telefon nih." Seru Divia sembari memberengut.

Divia dan Alenza sama-sama sedang menunggu jawaban telefon dari Arsya. Sebelum telefon tersambung Alenza bertanya kepada putri sambung sekaligus sahabatnya itu.

" Kamu ke rumahku mau ngapain Div?" Tanya Alenza dengan rasa penasarannya.

" Bunda kepo." Jawab Divia dengan nada jahilnya.

" Mau bunda gak izinin kesana?" Ancam Alenza.

" Eh iya iya.... Uncle Yudha mau ngajak Divia healing bun!!" Seru Divia dengan Antusias.

" Kamu yang paksa ya?!!" Sahut Alenza menyelidik dengan kedua mata menyipit.

" Gak ya bun, orang Uncle yang ngajak sendiri." Bantah Divia.

Ucapan Alenza dan Divia terhenti tak kala ponsel Divia berdering menandakan ada notifikasi pesan masuk di ponselnya.

" Yess!!! Papa ngijinin bun, bunda juga boleh nginep di rumah Oma. Lihat!!!!" Ujar Divia memperlihatkan pesan masuk dari papanya.

Sugar Daddy Divia cantik💙

Boleh. Ajak bunda sekalian.

" Kamu kan belum bilang ke Papa Div."

Divia mengedikkan bahunya acuh.

" Jangan lupakan mata-mata Papa yang bejibun itu ya bunda ku sayang. Mata-mata Papa udah kayak cenayang nya bun." Ucap Divia dengan akhir kalimat sedikit berbisik pelan yang hanya dapat di dengar oleh Alenza.

" Jadi sekarang gimana bun?" Tanya Divia.

"Lah gimana? Kan udah dapat izin dari Papa. Yaudah kamu boleh pergi." Ujar Alenza dengan heran.

" Gak gitu bun. Papa kan juga bilang boleh ajak bunda sekalian. Jadi gimana? Bunda ikut kan?" Jelas Divia pada Alenza yang tidak mengerti maksudnya.

" Gak Div kayaknya. Bunda gak ikut. Kamu hati-hati, diantar supir kan kesananya?" Tanya Alenza sembari menolak halus ajakan Divia.

" Iya bun. Kan tangan kanan kesayangan papa yang itu udah gak pernah nongol lagi bun sekarang." Ujar Divia.

" Mungkin Om Daren sedang ada kerjaan dari Papa Div." Ucap Alenza dengan bijak.

Sudah beberapa hari ini Alenza sama sekali tidak melihat keberadaan Daren, yang katanya di tugaskan untuk menjaga Divia. Entah tugas sepenting apa yang suaminya berikan kepada Daren saat ini.

" Bagus deh, kalau gak nongol lagi dia bun. Gedek Divia tuh sama dia." Ujar Divia dengan berapi-api.

" Kamu mau berangkat sekarang atau nanti?" Tanya Alenza mengubah topik pembicaraan mereka, karena Alenza tahu jika Divia tidak akan berhenti untuk merutuki tangan kanan dari suaminya itu.

Sepertinya Divia memiliki dendam tersendiri kepada Daren tentunya.

" Sekarang aja bun. Divia pamit ya Assalamu'alaikum." Pamit Divia mencium punggung tangan Alenza sebelum masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke rumah Dania.

" Wa'alaikumussalam. Hati-hati, kalau ada apa-apa hubungi Bunda." Jawab Alenza.

.....enjoy💙

Ruang kritik dan Saran 💙

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 196K 48
Dibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan...
572K 39.1K 47
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
1.1M 54.5K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
865K 75.1K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...