Replaying Us

Galing kay kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... Higit pa

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi

14.4K 1.6K 86
Galing kay kianirasa

==

Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi.

==

"Kalian udah mulai akur ya, sekarang."Diana tertawa usai menatap kedua remaja didepannya bergantian. Tapi keduanya tidak menanggapi, karena mulut mereka sama-sama sibuk mengunyah roti selai kacang buatannya.

Pagi ini, meja makan terasa sedikit sepi. Erik―Papa Kariza―masih tertidur pulas di kamar, karena semalam pulang lewat dari jadwal biasanya. Katanya sih, ada rapat.

Diana bertopang dagu sebelah tangan sambil memasang senyum menggoda. "Riza, bilang dong sama Mama―kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?maksudnya, kamu kan tadinya nolak Atha tinggal di rumah ini. Tapi tiba-tiba bolehin. Pasti ada sesuatu deh."ucapnya panjang lebar.

Kariza terbatuk pelan dan meneguk air mineralnya hingga tersisa setengah. Sementara Atha tidak berminat menanggapi. Jadi dia hanya diam dan menikmati sarapannya dengan damai.

Pagi ini, Faust bilang dia tidak ingin ikut menyusul Atha ke sekolah. Makhluk bersayap itu rupanya memilih berleha-leha diatas kasur kamar yang ditempati Atha sekarang―berhubung energinya menipis setelah memakai terlalu banyak sihir. Alhasil, Faust memutuskan untuk hanya memonitori Atha dari rumah sesekali. Bahkan Atha pun agak kaget mendengarnya, karena dia pikir―sihir yang Faust gunakan tidak berpengaruh pada energinya. Rupanya malaikat purnama seperti dia pun bisa kelelahan.

"Makasih sarapannya, Tan."ucap Atha lalu menyalimi wanita itu. Selanjutnya dia pamit berangkat sekolah dan mengekori Kariza yang lebih dulu menuju garasi untuk menyalakan motornya.

"Gue heran,"ucap Kariza sesampainya mereka di garasi. Pemuda itu sedang memanaskan motornya sebentar.

"Heran kenapa?"Atha bertanya sambil memasang helm berwarna putih ke kepalanya―agak sedikit kebesaran sih, tapi Kariza bilang tidak ada yang lain ukurannya.

"Kapan lo beli seragam, serahin dokumen pindah, dan dapatin baju-baju lo yang lain?"Kariza memiringkan kepalanya. "Padahal seingat gue, waktu gendong lo kesini―nggak ada koper atau apa pun yang lo bawa."lanjutnya menyelesaikan.

Atha berpikir sejenak. Mencari-cari alibi yang pas. Tidak mungkin kan, dia membocorkan soal Faust pada Kariza?lagipula kalau dibeberkan pun, Kariza pasti hanya akan menertawainya dan menyangka Atha sudah tidak waras dengan mengada-ngada soal keberadaan Faust.

"Koper gue dimalingin orang, terus kemarin―malingnya sama koper gue ditemuin sama polisi. Jadi gue ke kantor polisi buat ambil habis itu pulang dulu naruh kopernya baru deh ke sekolah lo sekalian serahin data-data."jawab Atha kemudian.

Selanjutnya, pemuda itu hanya ber'oh' ria tanpa suara. Atha pun menaiki motornya. Menggamit pundak Kariza cukup kencang, takut kalau dia tiba-tiba saja menjalankan motornya dadakan.

Namun setelah Kariza mencoba menginjak pedal gasnya berulang kali―motor itu tak juga jalan.

Atha mendengus kesal dan kembali turun dari motor selagi Kariza mencoba.

"Kemarin, bisa kok. Kenapa sekarang enggak?"gerutu Atha. Dia menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya lalu menggigit bibir bawahnya. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi―tapi keduanya masih saja belum berangkat.

Atha melihat Kariza menggeram dan mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya, kalau bisa, Atha ingin berlari keatas dan meminta bantuan Faust―namun dia mengurungkan niatnya.

"Oi,"panggil Kariza beberapa saat kemudian.

"Apaan?"

"Lo nggak mau kan, telat di hari pertama lo pindah?"Kariza balas bertanya.

Atha mengangguk.

"Nah, daripada berdiri disitu, mending bantuin dorongin motor gue."ucap Kariza tanpa repot-repot menatap Atha. Dia masih saja sibuk berkutat dengan pedal motornya.

Perempuan itu melotot. Sialan, batin Atha.

"Dorongin motor lo?"

Kariza mengangguk.

Atha memutar matanya kesal sebelum mengibaskan rambutnya kebelakang, perempuan itu lalu berjalan ke bagian belakang motor. Menarik nafas dalam-dalam dan meletakkan tangannya diatas kursi penumpang―mendorongnya sekuat tenaga selagi Kariza menginjak pedal gas motornya berulang kali.

Sayang, bukannya berhasil, Kariza malah terjerembab jatuh menabrak pintu gerbang rumah bersama motornya. Menimbulkan suara berisik yang mengagetkan burung-burung pipit yang berterbangan di pekarangan rumah Kariza.

"Lo nggak apa-apa Za?kayaknya kita naik bus aja deh."usul Atha menghampiri pemuda itu dan mengulurkan sebelah tangannya untuk membantu Kariza berdiri.

Setelah mengebaskan celananya dan membenarkan posisi motornya, Kariza menghela nafas panjang. Sejujurnya Kariza paling anti dengan kendaraan umum. Menurutnya ramai dan merepotkan. Maka dari itu―saat Kariza melihat sebuah sepeda terpakir tak jauh dari mereka, senyum terkulum dibibir Kariza.

"Jangan bus, kita naik itu aja."pemuda itu mengendikkan dagu kearah sepeda gunung milik Papanya.

"..Sepeda?"ujar Atha, terdengar tidak meyakinkan.

Kariza menoleh kearahnya dan mengangguk.

Atha?dia meneguk ludah, firasatnya terasa tidak mengenakkan entah mengapa.

》》》

"Terus, yang cepat dong. Kita hampir telat."omel Kariza sambil menepuk-nepuk punggung Atha selagi perempuan itu melengos―sibuk mengayuh sepeda milik Papa Kariza melewati supaya bisa melewati polisi tidur yang cukup tinggi didepannya.

Seharusnya Atha tahu arti senyum Kariza saat mengajukan ide briliannya―juga mengapa firasatnya terasa tidak enak.

"Berisik banget sih lo. Kalo nggak bisa naik sepeda nggak usah protes.Lagian ini salah motor siapa?"Atha menimpali.

Kariza menggerutu. Tidak bisa mengelak ucapan Atha barusan. Itu benar, pemuda tampan yang kini duduk di kursi sepeda belakangnya ―sekaligus anggota klub boxing itu―tidak bisa melakukan hal sederhana seperti mengendarai sepeda. Alasan yang mengundang tawa dari mulut Atha begitu Kariza mengatakannya.

Adu tinju di ring bisa, tapi kenapa mengendarai sepeda tidak bisa?aneh.

Atha menghela nafas saat akhirnya dia berhasil mengayuhkan sepeda melewati polisi tidur. Jalan menuju sekolah menurun―sehingga Atha tidak perlu terlalu mengayuh sepedanya.

Angin pagi berhembus sepoi-sepoi mengenai wajah tirusnya, membuat rambut Atha terkibas kebelakang hingga mengenai Kariza. Pemuda itu sendiri sibuk menyingkirkan rambut Atha dari wajahnya.

Tak berapa lama setelahnya, Kariza menyuruh Atha menurunkannya beberapa meter sebelum gerbang.

"Masa gue kelihatan naik sepeda ke sekolah?nggak keren dong."Kariza beralasan. Dia memakai tasnya sebelah bahu dan berjalan pergi menuju gerbang―selagi Atha memutar matanya kesal dan mau tak mau harus memakirkan sepeda Erik lebih dulu di parkiran sepeda sekolah. Untungnya, gerbang sekolah masih belum di tutup.

"Za, Karizaaa!"panggil Atha setengah berteriak. Dia berlari kecil dari parkiran sepeda mendekati Kariza yang baru ingin masuk ke gedung sekolah. Dari jauh Atha bisa melihat para siswi yang menyapa Kariza menoleh kearahnya, memberi pandangan sinis.

Yang aneh, Kariza langsung memutarkan badan dan tersenyum manis menghadap Atha. "Kenapa manggil?"tanyanya ramah. Persis seperti sosok Kariza yang pertama kali Atha temui di taman.

"Riza,"sapa seorang siswi yang berjalan melewati keduanya.

Kariza mengangguk tanpa melepas senyumnya yang justru makin melebar. "Hai."balasnya.

Butuh waktu beberapa detik untuk Atha mencerna tingkah aneh pemuda didepannya. Tangan kanan Atha pun terangkat dan menyentuh dahi Kariza. "Lo lagi sakit ya?demam atau sakit jiwa?"tutur perempuan itu, yang alih-alih dibalas sinis oleh Kariza―pemuda berseragam putih abu-abu itu justru dengan kalemnya menggeleng dan menyingkirkan tangan Atha pelan.

Seperti bukan seorang Kariza.

Kariza lalu memutar badannya lagi dan berjalan memasuki gedung sekolah.

Atha mengedipkan matanya cepat lalu menyusul pemuda itu. "Za, ruang kepala sekolah dimana?gue belom tahu dimana kelas gue."tanyanya lagi.

Kariza mendadak menghentikan langkahnya dan mengangkat jari telunjuknya. Menunjuk sebuah papan arahan kecil yang bertuliskan Principal's Room tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Oh, oke. Makasih."ucap Atha.

Kariza―tanpa repot menoleh lagi―berjalan pergi menyusuri koridor yang mulai sepi karena bel masuk rupanya baru berbunyi. Meninggalkan Atha yang kemudian menghampiri ruang kepala sekolah, mengetuknya pelan lebih dulu hingga mendengar sebuah suara menyuruhnya masuk.

Jantung Atha berdebar, rasanya sudah lama sekali sejak dia menginjakkan kaki di SMA. Walau Atha tidak pernah merasakan jadi murid pindahan, tapi dia sering berandai-andai akan rasanya pindah sekolah. Dan sekarang, ketika dia yang baru ingin lulus S1 kuliah―dia malah disini. Berakting menjadi murid pindahan.

Thanks to Faust, batinnya.

Atha menarik nafas dan membuka pintu. Ruangannya benar-benar wangi. Rak-rak buku tinggi menjulang di sisi kiri ruangan, selagi Atha mendapati seorang wanita setengah baya yang cantik dengan rambut disanggul keatas―duduk di tengah ruangan.

"Kamu pasti..Athalia Sharafina?"tanyanya ramah. Tangan kanannya sibuk menekan-nekan  pulpennya selagi mata wanita itu sedang meneliti kertas yang dipegangnya dan Atha secara bergantian―sedang menyesuaikan foto yang terpampang disana.

Setelah Atha mengangguk, wanita itu menyuruh Atha duduk didepannya. Atha melirik sebuah nama yang tercantum di pin bajunya. Lilies Filliska.

"Mm, kamu nggak bareng wali-mu yang kemarin?"tanyanya yang sukses membuat Atha menautkan alis bingung.

"Itu lho, yang tinggi, matanya biru, rambutnya pirang, gan―"dia berdeham pelan lalu menghela nafas. "Ah sudahlah, kamu kesini pasti karena ingin tahu kelasmu dimana kan?"sambungnya.

Atha mengangguk. Sesaat dia berpikir yang dimaksud Lilies barusan adalah Faust―yang sepertinya menyamar menjadi bule sampai membuat wanita didepannya pangling saking tampannya.

"Kamu di kelas 11 IPA 3, dari sini lurus dua kelas sebelum tangga. Wali kelasmu Pak Idris."jelasnya.

Atha mengangguk dan berdiri,  membungkukkan sedikit badannya sambil mengucapkan terima kasih sebelum pergi.

》》》

Perempuan bermata coklat itu mengintip kelasnya dari celah-celah tirai yang dipasangkan dibalik jendela kelas. Seorang pria bertubuh tambun sedang menjelaskan rumus-rumus kimia yang ruwet di papan tulis. Atha mengatur nafasnya lalu kembali berdiri di depan pintu kelas.

Tangannya terangkat. Memegang gagang pintu sebelum kemudian menariknya. Mengalihkan seluruh mata di kelas, termasuk pria tambun barusan.

"Permisi,"ucap Atha sambil menyengir canggung.

Kelas mendadak hening. Atha bisa merasakan tatapan penasaran dari hampir seluruh murid.

"Maaf, kamu.."

"Atha. Athalia Sharafina, Pak. Saya pindahan."tambahnya cepat. Pria tambun itu mengangguk mengerti lalu menyuruhnya berdiri disamping dia, di depan kelas untuk memperkenalkan diri.

Mata Atha menyisir sekeliling, dia terbelalak kaget saat mendapati Kariza yang juga terlihat syok melihatnya didepan kelas. Buru-buru Atha mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Untuk sepersekian detik, jantungnya berhenti ketika melihat Nara diujung belakang kelas.

Tertidur pulas diatas kedua tangannya yang dijadikan bantalan kepala. Di lain sisi Atha bisa melihat Nanda duduk beberapa kursi di depan Nara. Bertopang dagu seraya menatapnya.

Mengingat kejadian kemarin, Atha harap Nanda tidak melihat atau menyadarinya.

Well, yang tidak kalah mengejutkan lagi adalah perempuan yang duduk beberapa senti didepannya, dengan poni yang mirip Atha dan rambut bergelombang yang tergerai sepundak. Dia memakai kacamata berbingkai, tapi tidak bisa menyembunyikan kecantikan dibaliknya.

Irina.

Rasanya, saat itu juga, Atha ingin menjedotkan kepalanya ke tembok. Dia jauh-jauh kesini dan masih saja bertemu Irina―gebetan Nara di masa depan?

Dehaman pelan pria tambun itu menghentak Atha kembali pada kenyataan. "Silahkan mulai, perkenalannya."

Atha mengangkat dagunya dan tersenyum tipis, sedikit dipaksakan.

"Hai semuanya, saya Athalia Sharafina, panggil aja Atha. Pindahan dari―SMA Petra Dharma, Jakarta."

Suara riuh langsung terdengar dari penjuru kelas tepat setelah Atha mengenalkan diri.

"Sudah, sudah semua diam."tutur pria tambun yang masih berdiri disampingnya. Setengah berteriak seraya menepuk tangan, yang ternyata ampuh membuat puluhan mulut itu bungkam. "Kenalkan, saya Idris. Wali kelasmu sekaligus guru Kimia. Maaf saya lupa soal murid baru, padahal Bu Lilies semalam sudah kabari saya."lanjutnya.

Atha mengangguk.

"Oh ya, kamu mulai sekarang bisa duduk disebelah―sana. Ya. Sebelah Nara."

Deg. Deg. Deg.

Jantung Atha berdentum seiring langkahnya mendekati bangku persis sebelah jendela, dan juga sebelah Narado Rasyid yang sejak beberapa menit lalu terjaga. Rambutnya berantakan dan matanya terlihat agak merah.

Pemuda itu rupanya benar-benar tidur.

Atha tidak menyangka. Seingatnya, Nara yang dikenalnya, menurut sumber terpercaya―teman sejurusan Nara―hampir tidak pernah tertidur saat dosen menerangkan.

Inget Tha, yang lo hadapin sekarang adalah Nara versi SMA. Dan lo udah liat sendiri kemarin, dia bukan Nara yang lo kenal, batinnya dalam hati.

Atha menaruh tas merahnya dibawah meja dan duduk diatas bangku sebelah Nara yang memperhatikannya lalu membuang muka ke depan. Menatap kosong Idris yang kembali menjelaskan rumus.

Atha menghela nafas kemudian bertanya,"Lo Nara kan?"

"Mm,"gumamnya.

"Gue Atha. Salam kenal, ya."ucap Atha.

Nara menoleh kearahnya, bertopang dagu.

"Gue udah tahu."[]

==

17:32

A/n: *jeng jeng* Tinggalkan jejak untuk tau lebih lanjut. Vote vote vote, komen komen komen!

―sav

Copyright © 2015 by saviranc

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

473K 5.2K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG๐Ÿคญ Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
691K 54.7K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
350K 67.3K 20
Tidak ada yang salah dengan media sosial. Yah, setidaknya, itu pendapatku sebelum tiga remaja asing seumuranku datang menghampiri dan mengaku bahwa m...
1.7K 381 60
[A ๐“๐ž๐ž๐ง๐Ÿ๐ข๐œ๐ญ๐ข๐จ๐ง (๐˜๐จ๐ฎ๐ง๐  ๐€๐๐ฎ๐ฅ๐ญ) ๐๐ฌ๐ฒ๐œ๐ก๐จ๐ฅ๐จ๐ ๐ฒ๐œ๐š๐ฅ Story] [๐Œ๐š๐ฌ๐ฎ๐ค ๐๐š๐Ÿ๐ญ๐š๐ซ ๐›๐š๐œ๐š๐š๐ง "๐Š๐ž๐ค๐ฎ๐š๐ญ๐š๐ง ๐–๐š๐ง๐ข๏ฟฝ...