.
.
.
Pintu besi berbunyi, memecah keheningan yang menyelimuti ruang bawah tanah kala itu. Kana masuk bersama dua bodyguard dibelakangnya, matanya langsung tertuju pada satu-satunya orang yang ada dalam ruangan besar itu.
Suara langkah kaki Kana menggema saat dia berjalan mendekat, ruangan luas itu hanya mengandalkan penerangan dari 2 lampu remang-remang yang menempel di dinding batu.
Begitu Kana sudah sampai pada tujuannya, dia menatap dingin orang didepannya. Masih dalam posisi bersimpuh, dua tangan serta lehernya di rantai, kepala pria itu tertunduk dalam, kemeja yang awalnya berwarna putih itu sudah berubah.
"Kak Ren" panggil Kana pelan
Tanpa di duga kepala yang tadinya terkulai lemas itu mulai terangkat, menatap Kana dengan kosong.
"Ka..na?"
"Nyonya, silahkan" Ian membawa kursi kayu untuk Kana dan Kana tanpa ragu langsung duduk, tepat di depan Ren yang masih bersimpuh dilantai.
"Makasih Ian, bisa tolong kalian tinggalin saya disini? Saya pengen ngomong berdua aja sama kakak saya" pinta Kana yang langsung diangguki oleh Ian dan Noah.
Setelah dua bodyguard itu pergi, Kana kembali menatap Ren dengan serius. Terjadi keheningan untuk beberapa saat, Kana ingin tau apa yang sekarang tengah di pikirkan Ren.
Apakah seperti Kana dulu? Yang setiap detiknya hanya memikirkan kapan dia akan segera mati? Kana sangat tau bagaimana rasanya, pasti sangat menyiksa.
"Aku ketemu Kak Rega sama...Kak Clara" Kana membuka percakapan itu dengan sekali tembakan yang membuat Ren seketika langsung bereaksi hebat.
Pria itu mengangkat kepalanya, menatap Kana dengan sorot ketakutan. Jelas ketakutan itu bukan ditujukan untuk Kana, tapi pada apa yang baru saja Kana lontarkan.
"Kita berdua ngobrolin banyak hal waktu itu," ucap Kana dengan pandangan menerawang, dia tersenyum mengingat kembali moment saat dia bersama Clara.
"NGGA! GA MUNGKIN!"
Teriakan itu membuyarkan lamunan indah Kana, dia berdecak melihat Ren memberontak ditempatnya. Sepertinya nama Clara sangat mempengaruhi kakaknya itu.
Kana membungkuk untuk mendekat ke arah Ren, Kana akhirnya bisa melihat Ren dengan jelas. Beberapa luka lebam tampak di wajahnya, leher Ren juga memar akibat rantai yang mengikat lehernya. Kana tersenyum tipis
"Kak Ren jangan banyak gerak, aku tau banget rasanya jadi tahanan kayak gini, sakit kan? Saking sakitnya Kak Ren pasti mikir lebih baik mati daripada kayak gini terus" Bisik Kana pelan membuat Ren menatap Kana dengan raut ketakutan, kali ini ketakutan itu benar-benar untuk Kana.
Kana menarik nafas panjang, lalu kembali menegakkan posisi duduknya, pura-pura berpikir "Aku penasaran, dulu waktu kalian bunuh Kak Clara, apa ekspresinya kayak kakak sekarang?"
Kana melirik Ren yang gemetar hebat ditempatnya, senyum sinis Kana terbit "Ah pasti lebih menarik, soalnya kakak sampe ketawa lepas gitu di cctv. Aku jadi pengen liat juga, yah walaupun aku bukan psikopat kayak kakak sama Aletta sih"
Ren menatap lantai dengan ekspresi keras, tangannya terkepal, airmatanya mengalir. Bukan menangis karena menyesali semua perbuatannya, tapi Ren menangis karena ketakutan yang tak bisa dibendung lagi.
Ren melihat Kana sekali lagi, dan Ren seperti mendapat jumpscare begitu melihat Kana menatapnya dengan ekspresi menyeringai.
"Pfftt" Kana menahan tawanya " Ya ampun kak, ampe gemeteran gitu loh. Jangan takut, karena aku ga bakal bunuh kakak sekarang" ucapnya santai
Kana beranjak dari kursinya, berdiri menjulang didepan Ren yang mendongak, masih memandangnya dengan tubuh tremor.
"Kakak ga perlu heran ngeliat aku kayak gini, bukannya kita sedarah ya? Harusnya kakak bangga karena aku udah bener-bener jadi seorang Dirgantara sejati"
Kana terdiam sejenak lalu tampak berpikir serius "Dirgantara sejati?" Gumamnya
"Kalau dipikir-pikir lagi, keluarga kita emang keluarga sadis ya ternyata, walaupun awalnya aku lebih kayak kelinci di tengah-tengah para rubah" Kana terkekeh, dia mengedikkan bahunya tak peduli.
"Yah seenggaknya aku bukan anak pungut kek Aletta" Setelah mengatakan itu, Kana berbalik hendak meninggalkan ruangan tapi teriakan di belakangnya cukup membuat dia mematung.
"Emang kamu pikir selama ini kamu bener-bener anak dari keluarga Dirgantara?"
"Apa?" Kana berbalik menatap Ren yang memandangnya dengan tajam, sepertinya hinaan Kana pada Aletta barusan cukup membuat Ren terbakar hingga memberinya kekuatan untuk melawan.
"Kamu bahkan lebih hina dari anak pungut" desis Ren
Tangan Kana mengepal, menatap Ren minta penjelasan "Jangan harap kakak bisa tidur malam ini kalau kakak gabisa jelasin apa yang baru aja kakak ucapin"
Dua orang itu saling melempar tatapan membunuh, sebelum akhirnya Ren membuka suara
"Canaria Adelia, kamu bukan anak sah dari keluarga Dirgantara"
***
"Nyonya" Noah berbalik saat melihat Kana keluar dari pintu yang mereka jaga sejak tadi. Noah dan Ian saling berpandangan begitu sadar bahwa suasana hati Kana tampak memburuk.
"Nyonya gapapa?" Tanya Ian hati-hati
Tidak ada jawaban, Kana melamun. Noah memberi kode pada Ian agar tidak bertanya lagi, Ian mengangguk. Saat mereka memutuskan untuk memberi Kana waktu disaat itu pula Kana bersuara
"Ian, Noah"
"Ya nyonya" jawab keduanya serentak
"Panggil Ezra, kalian bertiga harus nemenin saya ke suatu tempat" ucap Kana dengan nada rendah
"Baik."
Selagi Ian dan Noah pergi untuk memanggil Ezra, Kana yang hendak bersiap-siap jadi menghentikan langkahnya begitu ponselnya berbunyi. Dia mengecek ponselnya dengan serius, membaca pesan yang baru saja masuk dari orang suruhan yang dia pekerjakan untuk mengikuti jejak Aletta.
Kana tersenyum kecil, dia mengantongi ponselnya kembali lalu melanjutkan langkahnya, Kana bergumam "Mungkin Al bakal seneng kalo aku minta bantuan dia sedikit"
Menghela nafas, Kana kembali merenung sambil menatap telapak tangannya yang memerah "Yah tapi pertama-tama, gimana caranya ngasi pelajaran ke keluarga sialan ini dulu?"
***
"Halo Na, kenapa?" Galang mengangkat panggilan dari Kana tepat saat dia sampai diruangan Alderian.
Leon, Danu, dan Al menatapnya penasaran terutama Alderian, untuk apa Kana menelpon Galang? Apa mereka ada urusan? Atau jangan-jangan Kana meminta bantuan Galang untuk masalah Aletta? Alderian berdecak, memikirkannya saja sudah membuat kesal.
"Sip Na, kita ketemu disana sejam lagi ya" Galang memutuskan sambungan telpon itu lalu menatap teman-temannya dengan bingung "Napa pada ngeliatin gue kayak gitu?"
"Yang nelpon barusan itu Kana?" Tanya Danu
Galang mengangguk "Iya, katanya dia minta bantuan gue, gatau deh buat apa. Abis dari sini gue ada janji ketemu dia di cafe depan"
"Apa dia minta bantuan lo buat ngelacak Aletta?" Sahut Leon
"Ga mungkin sih, kan ada Al ngapain dia minta bantuan Galang?" Ucap Danu
Mereka terus membicarakan tujuan Kana meminta bantuan Galang, tanpa menyadari bahwa satu orang sudah di kelilingi aura gelap.
"Ahahah mungkin Al keliatan ga berguna di mata Kan-"
"Galang Adelardo."
Galang berjengit saat dia hendak melempar leluconnya, Alderian yang masih duduk dikursi kerjanya menatapnya dengan tatapan tajam.
"Eh eum, gue ada urusan deh"
"Duduk." Kata Al tegas
Galang langsung duduk ditempatnya, rencana untuk kabur tertelan mentah-mentah setelah melihat binatang buas berkedok temannya itu tampak seperti malaikat maut untuknya.
"G.A.L.A.N.G"
"hiiiiyyyyy!!"
***
Kana termenung sambil mengaduk-ngaduk gelas minumannya dengan sedotan, ucapan Ren beberapa waktu lalu kembali terngiang dikepalanya.
"Kamu bahkan lebih hina dari anak pungut"
"Anak pelacur, anak haram, anak pembawa sial, apalagi yang lebih hina dari itu?"
"Brengsek." Kana bergumam dengan tangan terkepal.
Menghela nafas pelan, Kana kembali menenangkan dirinya sendiri. Saat Ren mengungkap fakta itu, Kana terlalu terkejut sampai terbawa emosi, dia tidak sempat mendengar penjelasan Ren karena pria itu langsung tak sadarkan diri akibat pukulan telak dari Kana.
Sebenarnya yang membuat Kana terpancing emosi bukan karena dia tau bahwa dirinya bukan anak kandung keluarga Dirgantara. Sejujurnya, Kana tidak kaget lagi kalau saja Ren menjelaskan semuanya dengan baik-baik, sayang sekali Ren memilih mengungkap fakta itu dengan hinaan keji di awal.
"Hai Na, sorry lama"
Kana mengangkat kepalanya lalu terpaku, dia melihat Galang cengengesan dengan lubang hidung yang disumbat tissue.
"Loh, kak. Itu kenapa?" Tanya Kana kaget
Galang tertawa paksa "Gapapa kok, tadi abis berantem sama anjing penjaga dikantor" saat mengatakan itu, yang dipikiran Galang adalah wajah menyeramkan Alderian beberapa saat lalu.
"Hah?"
"Udah-udah gausah dipikirin" potong Galang cepat sambil menarik kursi dan duduk didepan Kana "Nah, jadi lo mau ngomongin apa sampe minta ketemuan gini?"
Sebelum Kana membuka mulut, Galang sudah lebih dulu menyela dengan ekspresi percaya dirinya "Ah kalo lo jatuh cinta sama gue, udah terlambat Na. Hati gue udah punya Emma seorang, dan gue ga mau mati di gantung Al jadi maaf-maaf aja, lu gue tolak."
Raut wajah Kana berubah kesal, "Denger ya, kalau pun di dunia ini tinggal kita berdua, gue juga ogah. Mending jadi perawan tua dari pada jatuh cinta sama lo" balas Kana sadis
Galang mendengus. "Yaudah jadi apaan? Lu mau apa?"
Akhirnya ekspresi Kana kembali serius, dia memandang Galang dengan lekat lalu bertanya dengan nada biasa "Kak, lo bisa bunuh orang ga?"
Galang mengerjap, dia balik menatap Kana "Lo mau gue apa?"
Kana terdiam sejenak.
Tidak, dia tidak menyuruh Galang menjadi pembunuh secara tiba-tiba karena sejak awal, Galang memang sudah banyak membunuh orang.
Ingat, di masa depan Galang adalah pembunuh bayaran kelas atas yang ikut mengeksekusi Kana. Harusnya saat ini Galang sudah terjun di dunia itu meski belum seaktif dikehidupan sebelumnya.
Kana ingat betul, di kehidupan sebelumnya Galang dikenal dengan nama G. Identitasnya tidak pernah di ketahui, meski begitu dia sangat aktif. Orang-orang yang menyewa jasanya itu kebanyakan adalah orang-orang dari kelas atas, mereka bahkan rela membayar Galang dengan harga tinggi karena kerjaannya selalu mulus tanpa cacat sedikitpun.
Bayangkan betapa kuatnya para pelindung Aletta di kehidupan sebelumnya. Mengingat wajah Aletta yang tersenyum penuh kemenangan di hadapannya yang saat itu berada di ambang kematian, Aletta pasti merasa sedang diatas angin.
Kana tersenyum, sekarang keadaannya sudah terbalik. Walau begitu Kana tidak ingin ini semua berakhir begitu cepat. Ada yang harus Kana selesaikan sebelum dia menyeret Aletta ke ruang eksekusi.
"Kak." Kana kembali menatap Galang yang masih melihatnya dengan wajah bingung
"Gue punya kerjaan buat lo. Bukan, maksud gue... buat G." Ucap Kana tersenyum manis dan saat itu juga Galang mematung.
.
.
.
TBC