─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
DUNIA adalah genap. Koin mempunyai dua sisi. Bumi juga begitu, matahari diperuntukkan bagi siang sementara malam dianugerahi bulan. Pun terhadap arah mata angin yang tidak pernah berjumlah ganji. Bagai ditempatkan pada tiap porsi masing-masing bersama perencanaan yang usai disusun sedemikian rupa oleh semesta. Konsisten dalam lintasan. Barangkali sebab itulah Aubrey berpikir ia harus mematung dari balik dinding, mencengkeram gelasnya sembari mendengar sebuah topik dibawa begitu intens. Terasa pelik dan kapabel membuat gamang lawan.
Memang ada benarnya bahwa Artha tak menyiapkan makan malam sesuai titah sang suami, tetapi bukan guna mendengar sepenggal kalimat yang ampuh membuat engsel melemas seketika. “Maksud kamu, Mas?”
Air muka tercetak akan betapa frustrasinya ia atas apa-apa saja yang sudah terjadi. “Sejak awal kita berdua sama-sama tau kalau hubungan ini sudah salah. Sangat salah malahan. Kamu yang sahabat dekat Aimara berbalik menusuk dia, Artha. Akupun nggak jauh berbeda, melakukan hal yang serupa dengan berselingkuh setelah semua yang dia lakukan untuk kami, untuk anak-anak kami. Tapi karena sudah begini keadaannya, nasi telah menjadi bubur dan terlalu lambat untuk memperbaiki. Aku pikir dulu dengan menikahimu aku sepenuhnya berhenti melakukan hal bodoh, main-main dengan ikatan suci dan bertanggung jawab atas apa yang sudah kita mulai ini. Tapi … ”
“Tapi sekarang kamu mau menceraikan aku? Kenapa, Johan?!” sentak Artha, resmi gamang total. Irisnya bergetar memandang tidak percaya pada sang suami seiring suara terasa riak. “Aku pernah bilang, aku bakalan bantu kamu agar kembali dekat dengan mereka. Hidup bersama-sama dengan mereka. Itu, 'kan, yang sedang kita usahakan selama ini?”
Johan semerta-merta mengangkat tatapan, menyelami air wajah memerah sebab berang itu kemudian mengulum senyum getir. “Selagi ada kamu, mereka nggak akan pernah bergerak mendekat sedikitpun padaku, Tha.”
“Mas!”
Johan bangkit dari duduk guna mencengkeram bahu lawan sembarin menghantarkan sinyal betapa ia juga tidak memiliki pilihan lain sehingga mengambil keputusan ekstrem begini. “Artha, aku nggak punya pilihan lain. Kita nggak bisa terus-menerus beginiㅡ”
“Kita bisaㅡ”
“Aku yang nggak bisa!” sentak Johan. Artha mematung dengan iris melebar selagi sang pria mendesah berat, mengurut pelipis dan mengambil dua langkah mundur. “Aku gagal menjadi seorang suami, bahkan seorang ayah juga. Aku bahkan nggak bisa mengemis permintaan maaf dari Aimara yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri di saat aku mulai tertampar kenyataan bahwa cuma dia perempuan yang aku cintai. Bahwa selama ini aku terlalu dimakan kekuasaan, atensi kolega dan narsistik gila-gilaan sampai tanpa sadar melukai keluargaku sendiri lewat kalimat kalau semua yang aku lakukan itu untuk kebaikan mereka. Tapi ternyata bukan begitu, 'kan? Apalagi mereka sampai mengambil langkah besar dengan mengganti nama belakang tiga tahun lalu.”
Johan mengambil napas berat, melipat bibir sekilas guna kembali menyambung. “Artha, mengertilah keputusanku sekarang. Selagi anak-anakku masih bisa aku gapai di dunia ini, biarkan aku, ayah mereka yang gagal ini mencoba menebus semua kesalahan yang pernah dengan gilanya dilakukan. Setidaknya aku ingin sama gigihnya dengan perjuangan Aimara selama dia menjadi istri dan ibu bagi anak-anak kami.”
Tanpa menunggu lebih lama lagi bahkan untuk respon sang istri. Johan mengangkat satu tas besar dan sebuah koper berisikan barang-barang yang bisa ia bawa malam ini menuju hotel. “Surat perceraian akan aku kirim secepatnya, kamu bebas mengambil waktu dan sampai tanggal putusan, jangan hubungi aku. Maaf, Artha, maaf.”
Dentuman pintu seolah menjadi akhir pahit bagi tanah yang ia tapaki. Johan betul-betul pergi, tekad pria tersebut bulat sekali. Artha tidak bisa berpikir jernih apalagi dengan benar agar sang suami berubah pikiran. Dia tidak bisa ditinggalkan begini. Tidak! Setelah apa yang dia perjuangkan secara mati-matian.
“Nggak, nggak boleh. Nggak bisa begini.”
Hei! Tentu saja tidak boleh berakhir naas seperti ini. Johan juga melupakan betapa sukarnya ia berusaha menata kembali hidupnya. Seberapa keras ia merangkai kewarasan guna bertahan hidup lebih lama lagi. Artha tidak berjuang keras hanya untuk dibuang begitu saja. Mengabaikan aroma amis darah yang mengalir dari ibu jari yang terus-menerus digigit. Artha mengacak-acak seisi ruang tamu.
“Aimara! Aimara! Aimara terus! Selalu dia! Bahkan setelah kematiannya, anak perempuan itu yang sekarang mengambil alih semua perhatian! Argh!”
Aubrey menggeleng pelan, menenggak habis air dingin dan berguman pelan. “Udah dinasehatin dulu malah batu, sok-sokan puitis mau memperbaiki hidup supaya nggak ada kesalahan yang berlanjut lebih lama lagi. Sekarang rasain, dah, tuh.”
🌙🌙🌙
Ck! Ghaitsa mengerti benar bahwa dialah yang menyerahkan izin. Pun dia jugalah yang menghantarkan ratusan rangkaian kata nan disusun sedemikian rupa agar sang pendengar termaksud sungkan berkecil hati. Namun kendati telah dihadapkan pada apa yang dipersiapkan jauh-jauh hari supaya hati maupun raga dapat menerima berita baru. Kenyataan lapangan jauh lebih sulit diterima.
Lengkungan manis terpapar sangat cerah bersama segaris kebahagiaan teramat yang tak tanggung-tanggung mengetuk jiwa. “Abang ternyata masih bisa ikut beasiswa kemarin karena ada dua orang yang milih ngambil ke negara lain. Hehe~ karena waktunya mepet, Abang berangkat akhir minggu ini, Aisa.”
Ah … sekarang bagaimana ia harus memberikan respon yang dewasa agar tidak memberatkan siapapun terutama Haidden? Apakah ia lantas tersenyum dan memberikan selamat? Hm, dia enggan, cukup enggan malah. Atau, lebih baik dia memeluk sang kakak dan melancarkan petuah-petuah sekaligus kiat-kiat menjaga kesehatan juga menjauhi makanan instan sebisa mungkin? Hah! Agak-agaknya terdengar menyebalkan. Tidak, deh. Lalu bagaimana?! Yang jelas jikalau berdiam mematung begini tidak bagus, bukan?
Haidden mengerjap, meletakkan tiket di atas nakas dan mengamit telapak tangan sang adik. “Apa nggak usah pergi aja, ya, Abangnya?”
“Jangan!”
“Kamunya sedih begini,” balas Haidden, ia ikut mencelos menemui bungsu terkasih kebingungan harus bersikap bagiamana agar tidak ada yang terluka. “Abang nggak tega.”
Ghaitsa menggeleng, mencoba memberikan senyuman paling damai yang ia miliki sebelum menangkup wajah Haidden untuk dihujani kecupan demi kecupan ringan. “Di sana Abang harus makan yang bener. Aisa tau, lho, ya, semisalnya Abang ninggalin makan. Makan yang sehat. Nggak boleh kebanyakan minum kopi. Minimal bobo harus tiga jam, nggak boleh kurang atau aku nggak mau teleponan. Terus sering-sering nyuci, jangan ditumpuk. Nanti jadi males liat tumpukan baju kotornya. Jangan ngegodain cewek-cewek bule, belajar yang bener sesuai niat. Jangan males bikin tugas, pas dikasih langsung bikin supaya nggak keteteran.
“Sediain cadangan mantel atau syal. Jangan sampai sakit. Abang kalau sakit, tuh, manja. Bawel, jangan sampe nyusahin di perantauan. Mainnya sesekali aja. Nanti kalau Aisa liburan semester, main ke sana. Ajak jalan-jalan ke tempat-tempat cantik, ya? Janji. Harus rajin-rajin ngabarin. Dan! Dan jangan sampe kebawa arus pergaulan sesat di sana mentang-mentang nggak ada yang ngawasin. Nggak boleh mabok, nggak boleh ngerokok lagiㅡyang ini diharamkan, nggak boleh ganjen. Kalau ceweknya punya cowok gimana? Hayo? Nggak ada yang mau nolongin terus babak belur, siapa yang ngobatin? Abis itu jangan lupa sholat, nggak boleh ditinggal. Ngaji itu disempat-sempatin bukan nunggu sempat dulu.”
“Masih ada lagi?” tanya Haidden memastikan.
Ghaitsa serta-merta bungkam sesat sembari mengerucutkan bibir. Dia gundah gulana sewaktu mencengkeram ujung kaos sang kakak. “Abang jangan bosen ngabarin akunya. Jangan dibentak, jangan dilarang, jangan diketusin kalau aku nyepam. Abang nggak boleh ada adek-adekan di sana. Adek cewek Abang cuma aku doang.”
“Hiii! Gemes banget, sih. Fufufu~”
Laki-laki dua tertua dalam saudara Alexzander tersebut segera mendekap sang puan guna digoyangkan kesana-kemari saking gemesnya. “Mana mungkin bisa lupa, sih, Aisayang. Secantik, semanis, segemesㅡ”
“Jangan alay. Aku jijik.”
“Oke.” Haidden melepas pelukan dan menangkup wajah chubby manis Ghaitsa guna mengangguk afirmatif seolah meyakinkan. “Kamunya juga jangan bosen ngabarin Abang juga, ya. Kalau mau, ambil beasiswa ke Jerman juga. Ikut sama Abang.”
Dua kembar langsung bereaksi. Yaziel melempar komik animenya penuh emosi menuju meja. “Jangan macem-macem, Bang. Adek kita jangan terkontaminasi luar. Cukup lokal aja.”
“Aisa, nggak usah di denger. Dia ngebacot doang.”
Ghaitsa mengabaikan mereka. “Iya, nanti Aisa nyusul kalau nemu beasiswanya. Biar belajar gratis dan pinter supaya bisa Abang bangga-banggain ke temen-temen, Abang.”
“Kamu napas aja membanggakan, cuma dua kodok di sana yang nyusahin. Padahal kerjaan cuma napas doang,” hina Haidden tanpa melirik dua adiknya yang lain.
Ghaitsa manggut-manggut dan merentangkan tangan. “Gendong. Mau beli es krim di depan tapi akunya digendong.”
“Sumpah! Kerjaan gue selaku orang yang selalu manjain lo berasa direbut paksa tau nggak! Setelah sekian lamaㅡoke, gue yang salah jadiㅡTOLONG VAS BUNGANYA DI TAROK. MASIH AJA, NIH, ANAK GADIS JADI PSIKOPAT! KURANG-KURANGIN MAIN SAMA TEMEN-TEMEN ANARKIS LO ITU, DEH! HERAN! NGGAK DI SEKOLAH, NGGAK DI RUMAH NYAWA GUE MULU YANG JADI TARUHAN!”
Puan tersebut menurut dan meletakkan vas bunga kesayangan Aimara dulu kembali ke tempat semula kemudian meloncat naik menuju punggung Haidden. Haidden pun melempar senyuman paling songong dan mengejek nan sangat-sangat kapabel mereka pukul. “Seminggu ini dia punya gue. Mampus kalian! Cuma ngontrak!”
“Babi!”
Jeviar menahan pergelangan tangan sang kembar dan menutup buku filsafat di tangan. “Nggak usah khawatir. Sepuluh menit sebelum pesawatnya lepas landas, kita acak-acak isi kopernya, hehe.”
“Sinting tapi gue suka! Gas!”
Meninggalkan dua kembar yang sedang menyusun rencana untuk membalas Haidden yang sekarang berada dalam lindungan kuasa Ghaitsa. Perempuan termuda tersebut menumpu dagu pada pundak sang kakak dan berbisik. “Yang paling penting. Abangnya jangan sampai lupa sama Aisa, ya?”
Haidden menaikkan alis sejenak sebelum tertawa kecil nan geli. “Nggak akan, Cantik.”
“Janji?”
“Janji.”
“Kalau sampai lupa, aku batal ngejemput Abang.”
Haidden tertawa dalam kepala mengingat adegan beberapa belasnhari lampau. “Iya-iya, pasti. Nggak akan.”
“Aisa sayang Aiden.”
“Abang juga sayang sama siㅡeh, Sa. Ada janda, noh!”
“KAN! BARU AJA AKU BILANGAN NGGAK USAH GANJEN! AISA PUNDUNG!”
HAI!
HELLO!
SELAMAT MALAM!
Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗
bagaimana dengan chapter ini teman-teman?
Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Semoga nggak bertele-tele
Ditulis :
Minggu, 12 Juni 2022
Bubye-!