─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
ENTAH bagaimana jadinya dan merupakan ide siapa, ruang tamu berubah menjadi tempat nyaman untuk tidur meski beralaskan kasur lantai milik Haidden dan Ghaitsa terbangun di tengah-tengah dua kembar. Dia lantas bangkit dan membenarkan letak selimut dua laki-laki tersebut yang kini justru saling menarik satu sama lain guna berbagi pelukan hangat. Kekehan geli sontak mengudara pelan bersama gelengan kepala. Pasti keduanya akan saling mengumpat ketika bangun tadi, padahal mereka cukup menggemaskan sekarang.
“Den, lo mikir jernih nggak, sih, sekarang?!”
Bentakan nyaring tersebut tentu saja mengalihkan fokus sang puan, derap langkah segera mendekati sumber suara yang berasal dari depan rumah. Dari balik jendela irisnya menangkap perawakan Haidden yang sedang menunduk dalam-dalam bersama seorang perempuan dengan air muka berang, bahkan matanya berkilat merah. Hanleia Agatha. Orang baik yang mau menerima kenyataan bahwa keluarga kecil mereka tidaklah selengkap orang lain. Namun entah karena alasan apa, hubungan Haidden dan Hanleia kandas setelah berjalan tiga tahun.
“Aya, maaf. Aku nggak bisa.”
Orang tuli pun akan menyadari bahwa dari setiap rangkaian kata yang disuguhkan teramat lembut demikian berarti perasaan serupa tahun-tahun manis ternyata masih tersimpan, tidak jauh berbeda dengan dahulu.
“Biar gue yang ngomong sama Aisa.”
Sekuat tenaga Hanleia mencari celah untuk lepas dari Haidden yang terus-menerus mencegat langkah, sementara Ghaitsa membeku mendengar namanya keluar pada pembicaraan serius mereka. Haidden mencengkeram pergelangan tangan lawan tanpa berniar menyakiti, dia tersenyum sendu. “Aya, maaf. Aku beneran nggak bisa.”
Hanleia menyerah. Dia berganti memukuli dada bidang yang lebih tinggi sembari meluruhkan sedih sepagi ini. Puan tersebut terisak-isak kala kepala tertunduk sempurna. Haidden barangkali ingin sekali mendekap tubuh bergetar itu tetapi dia sudah tidak lagi memiliki hak, sehingga yang mampu diberikan cuma sebatas tepukan halus pada pundak sempit sang puan. “Aya, maaf. Aku justru terus-terusan bikin kamu sedih begini.”
“Bego. Lo begoㅡsial!“ Hanleia mundur dua langkah dan mengusap air matanya kasar. “Sampai kapan lo mau begini, Den?” serunya frustasi, benar-benar sakit kepala kala berhadapan dengan Haidden. “Sampai kapan lo harus ngorbanin semua cita-cita, semua impian yang lo rancang sedemikian rupa besarnya, sedemikian rupa tingginya, semua kerja keras yang lo lakuin demi Aisa, hah?!”
Eh?
Apa maksudnya?
Suasana berat mencekik akal, pelan-pelan.
Menurut janji yang pernah Haidden ungkapkan bertahun dahulu, seharusnya dia sedang menenangkan Hanleia lewat sebuah pelukan. Namun yang sanggup pemuda tersebut lakukan ialah menggeleng berat bersama seulas senyum getir. “Nggak ada yang lebih penting di dunia ini bagi gue selain Ghaitsa, Aya. Nggak ada. Gue bisa ngorbanin apapun buat dia, apapun, termasuk impian gue.”
Ia justru melukai.
“Termasuk gue?” sergah Hanleia cepat, setengah menyeru. “Termasuk gue yang ngejar-ngejar lo dari SMP, ngikutin lo ke SMA bahkan universitas yang sama supaya kita bareng-bareng terus.” Iris sang gadis memicing penuh luka terbalut kecewa saat menyambung, “Itu semua nggak ada artinya buat lo, Den, hah? Nggak ada artinya? Apa hubungan kita selama tiga tahun kemarin juga nggak ada artinya buat lo, hah?!”
Seolah baru saja menenggak habis ratusan pil pahit, Haidden mati-matian menahan denyut pedih dalam dada tatkala membalas kelewat berat meski cepat, setegas mungkin nadanya. “Iya. Apapun yang disandingkan dengan Ghaitsa akan selalu tampak nggak berarti bagi gue, Aya. Maaf, lo nggak akan dapat jawaban yang lo mau di sini.”
Hancur sudah pertahanan Hanleia, dia terpaku beberapa saat sebelum meluruhkan dinding asa lebih banyak dari perkiraan dan berbalik pergi usai menampar keras Haidden. Ghaitsa sontak ikut memunggungi jendela dan menyeka kasar air matanya yang turun. Tidak sanggup harus melihat Haidden kehilangan keseimbangan sampai-sampai segera menumpu bobot tubuh pada pagar rumah. Kakaknya yang jenaka itu kini sedang membekap mulut guna menahan derai tangis pilu mengiringi kepergian cintanya yang betul-betul sudah kandas bersama guratan luka terbentang kejam.
Benarkah hidup itu harus sebegini pahitnya untuk mereka? Apa dengan alasan mendewasakan harus semenyakitkan ini? Omong kosong!
Bila demikian, Ghaitsa mengakui seleksi alam ini justru membuat dia ingin bersikap lebih kanak-kanak.
“Gue … harus gimana?”
🌙🌙🌙
Sebagaimana kesehariannya, Haidden bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa sewaktu sarapan. Tetap mengganggu Ghaitsa dengan menggedor-gedor pintu kamar lalu mencuri satu kecupan pada pipi Archie yang langsung dibentak sang sulung. Bahkan menjahili Jeviar bersama Yaziel juga tak urung membuat Haidden berhenti meski telah mendapat teriakan kejengkelan. Perempuan penyuka aroma lavender tersebut sibuk berpikir selagi menerima sodoran helm dari Yaziel kemudian bersuara mengejutkan dua kembar lain. “Gue ngerti, sih, kalau sebenarnya Ziel dan Jepi itu beban keluarga. Tapi masa gue termasuk juga?”
Mendengarnya lantas membuat Yaziel mengetuk helm sang kembar tiga kali. “Permisi, Bu. Suara hatinya kedengaran sampe Kwangya, Bu.”
“I'm going gwangyaro, game in.” Jeviar bergumam diam-diam, takut diledeki Yaziel habis-habisan bila ketahuan.
Ghaitsa berdecih dan buru-buru menaiki motor sang lelaki yang mana langsung melajukan motor tanpa menunggu ia selesai duduk dengan aman. “Ziel, pelan-pelan, anjir! Gue belom mau matiㅡ” dia terdiam sejenak sebelum menyadari sesuatu. Tidak lama kemudian maniknya melebar sempurna dan berteriak. “ㅡEL! TURUNIN GUE, EL! ANJENG! GUE BERANGKAT SENDIRI, NGAPAIN MALAH NAIK MOTOR LU, SIH?! SETOOOOOP! TURUNIN GUE, YAZIEEEEEL!”
Enggan mengabulkan permohonan sang puan, Yaziel justru terbahak-bahak menikmati ekspresi lucu Ghaitsa dari kaca spion. “Hahaha! Gimana, sih?! Kan, elo sendiri yang nerima helmnya, naiknya juga mandiri. Nggak gue paksa sama sekali, jangan ngomel-ngomel dong sekarang. Nggak fair buat gue. Lagian hemat ongkos, Sa. Mending ongkos hari ini buat jajan cilor, tapi bagi dua sama gue, oke?”
Hii! Membayangkan bagaimana reaksi orang-orang nanti di sekolah langsung membuat Ghaitsa bergidik. Dia sudah membayangkan skenario terburuk dari yang terburuk. Tidak-tidak! Hari-hari SMA dambaannya tidak boleh tercoreng arang sedikitpun akibat kerusuhan dua kembar pengganggu seperti mereka.
Tidak! Ghaitsa tidak akan pernah bisa terima!
“Ghaitsa, Jeviar sukanya apa, sih?”
“Kalau Yaziel lagi sedih, biasanya makan yang manis-manis enggak?”
“Ghaitsa? Ghaitsa! GHAITSA!”
Mimpi buruk!
Ghaitsa menggeleng keras sekali bersama gejolak mual pada perut dan buru-buru menggoyangkan tubuh Yaziel yang semakin menaikkan kecepatan kendaraan dengan tawa mengejek, berpacu bersama Jeviar di belakang sana.
“ZIEEEEEEL! TIDAAAK! TURUNIN GUE!”
“ZIEL, BANGSAT! CURANG LO!”
“HAHAHA! HARI INI CUKUP SIAL BUAT KALIAN DAN GUE BAHAGIA!”
“YAZIEL!”
Hai!
Hello!
Hey-yo!
Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗
Bubye-!