─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
SELAKU satu-satunya manusia yang paling waras di rumah iniㅡcuma Jeviar yang berpikir demikianㅡsang pemuda merasa ia baru saja membuat satu kesalahan besar yang mana bisa-bisa saja Ghaitsa memenggal kepalanya sebagai bentuk hukuman paling ringan. Merasa lapar sepulang sekolah merupakan hal wajah, oleh karena itu Jeviar memasak lebih cepat tanpa menunggu jam makan malam agar cacing di perut tidak berdemo lagi minta dikasihani. Akan tetapi tampaknya semesta agak sedikit membenci sang lelaki sebab membuatnya harus berada di posisi seram begini.
Jeviar sukses mematung sementara Yaziel terperangah dari counter dapur.
“E-el?” panggil Jeviar gamang, wajahnya pucat pasi kini dengan tidak sedikitpun mengalihkan pandangan dari arah kompor. “Mampus gue dimutilasi Aisa, El. Ya Allah! Tolong hamba!” sambungnya panik. “Gue blank banget ini, astaghfirullah! Iniㅡini gimana caranya, El?!”
Meskipun Archie adalah tulang punggung keluarga sekaligus bendahara utama rumah. Ghaitsa diberi kepercayaan sebagai "Gadis Rumah Tangga" yang tugasnya mengawasi keadaan rumah selagi sang sulung bekerja, sebab Archie tahu benar bila sang bungsu tidak akan terpedaya apapun untuk diajak kompromiㅡbila tidak dalam situasi mendesak, yaa, lain cerita, pikir Ghaitsa tatkala sang kakak berkata demikian dalam pembagian tugas rumah bertahun lalu.
Dikarenakan pekerjaan Archie semakin menyita waktu kian kemari, tanpa di sadari Ghaitsa yang mengemban peran ganda untuk mengatur ekosistem rumah Alexzandra bersaudara semenjak Archie menyerahkan uang bulanan pada si gadisㅡsebab bila dipercayakan pada tiga pemuda lain, mereka hanya akan membawa pulang barang-barang yang tidak dibutuhkan. Pun jelas membuat Ghaitsa murka bukan perkara baik, yang Jeviar takutkan ialah dia kehilangan nyawa alih-alih uang bulanan.
Yaziel masih tidak percaya dengan apa yang matanya lihat. “Apapun yang terjadi, jangan pernah lo bawa-bawa nama gue di depan Aisa. Demi Allah! Gue nggak ada sangkut pautnya, Je. Gue ogah ikut-ikutan.”
“Kita kembaran, sat!” tandas Jeviar, menoleh sebal dan tidak percaya atas pengkhianatan hubungan darah mereka yang jauh lebih erat dibandingkan orang pada umumnya. Jeviar mencengkeram pundak Yaziel kuat-kuat. “Gue menderita, lo juga menderita. Harus!”
Sang lawan balas menggoyangkan tubuh Jeviar yang jauh lebih berotot dibandingkan dirinya. Yaziel melotot, “Jadi lo rela Aisa juga menderita kalau lo menderita, gitu?!”
Jeviar berkedip kaku, mulai goyah akan pernyataannya beberapa waktu lalu. “Ta-tapi … kalau gitu bantuin gue buat beresin ini yangㅡsumpah! Gue nggak tau kenapa bisa pecah begitu!” tandasnya frustasi.
“Nyembunyiinnya gimana, setan?! Aisa sering masak mie pake itu, pasti ditanya juga akhirnya!” Entah mengapa Yaziel harus ikut resah dan was-was atas kesalahan yang tidak dia perbuat. Dia mendorong kasar sang kembaran dan mengangkat tangan di udara. “Semoga amal ibadah lo diterima Allah, Je. Gue do'ain dari jauh.”
“Bantuin, anjiㅡ”
“Bantuin apa?”
Bagai tersambar petir, keduanya melempar pandangan pada Ghaitsa yang baru saja pulang bersama Haidden. Perempuan tersebut melepas almamater sekaligus dasi sembari memandang kebingungan pada dua saudara Alexzandra yang mematung, saling mencengkeram satu sama lain. Dia baru ingin mendekat, “Kalian masak, ya? Kecium bau pastaㅡ”
“AISA! JANGAN KE SINI! ADA KECOA!”
Haidden langsung meloncat ke belakang tubuh sang adik sembari mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. “Mana-mana?!” serunya ngeri. “Kita beneran harus manggil pembasmi hama, anjir! Udah kayak sarang kecoa aja ini rumah, ew!”
“Yaudah, kaliannya minggir, 'kan geli liat kecoa tapi masih berdiri di sana. Aneh, deh. Awas, sini gue usirin,” ujar Ghaitsa seraya mengikat rambut dan kembali berniat mendekati kalau-kalau Jeviar tidak melengkingkan teriakan.
“NGGAK USAH!”
Ghaitsa berkedip, begitu pula Haidden. Yaziel memaki laki-laki tersebut dalam hati atas tindakan sembrono Jeviar. Merasakan hal janggal menyelimuti dua pemuda yang sudah pucat pasi seputih kertas sukses membuat sang gadis mengernyit dalam-dalam. “Kalian bikin kesalahanㅡ”
“Jeviar mecahin panci, Sa!” sergah Yaziel tiba-tiba. Jeviar terbelalak, merasa terkhianati sementara Ghaitsa mencerna informasi baru tersebut. Maaf, kawan. Semoga kita bertemu di kehidupan selanjutnya sebagai tuan dan babu, itupun kalau ada. “Panci merah kesayangan lo masak mie.”
Adegan selanjutnya Ghaitsa terpaku di depan kompor, nyawanya seolah hilang setengah mendapati panci kesayangan yang dia perjuangkan dengan berdesak-desakan bersama ibu-ibu pengejar diskon dua tahun lalu. Terlebih Ghaitsa harus menabung serta mengemis pada Archie agar dibelikan lantaran panci mereka sebelumnya jauh lebih besar, tidak etis rasanya digunakan untuk merebus mie belaka.
Ghaitsa menatap nanar panci yang sudah bolong pantatnya sementara Jeviar berkeringat dingin. “Haha … hahaha.”
“Hahaha.” Tiga pemuda ikut tertawa hambar selagi diserang kengerian.
Satu sekon kilat Ghaitsa menyambar spatula dan berbalik mengejar Jeviar yang sudah siaga berlari keluar rumah. Ghaitsa sudah pasti akan murka, mana mungkin tidak, teman-teman. “GUE PENGGAT PALA LO, JE! BAJINGAAAAAN! PANCI MAHAL GUE LO RUSAKIN, JEPIIIII! DEKETAN LO SINI GUE BILANG!” teriak sang puan menggelegar. “GUE BOLONGIN PANTAT LO SEKARANG JUGA!”
“NGGAK SENGAJA, SA! YA ALLAH! GUE BENERAN NGGAK SENGAJA!”
“PERNYATAAN LO NGGAK BAKALAN BIKIN PANCI GUE KEMBALI KE SEDIA KALA! GUE RAJAM PACAR-PACAR LO DI KAMAR ABIS INI!”
Kian kemari suara-suara tersebut makin samar sedangkan baik Haidden dan Yaziel terpaku di posisi. Meski bukan sekali-duakali melihatnya, tetap saja mereka masih merinding setiap kali Ghaitsa meledakkan amukan serupa bom. Yaziel menelan salivanya kasar, mengembuskan napas lega sambil mengelus dada. “Syukur bukan gue yang masak tadi, atauㅡudah, abis gue dirajam.”
Haidden berdeham kaku, mengejap berkali-kali sebelum menyugar rambut. “Sebenarnya … ” Sang adik menoleh guna mendengarkan dan ia menyambung canggung bersama satu cengiran. “ … dua hari lalu gue mau masak mie tengah malem pas bikin laprak tapi ada kecoa, El. Gue kaget, reflek ngambil pancinya Aisa terus gue getok tuh kecoa dan … ”
“Pecah?” sambung Yaziel.
Yang lebih tua lantas mengangguk, berjengit sesaat sewaktu mendengar makian Ghaitsa di luar sana. Haidden melanjutkan lugas. “Gue lem dulu pake lem super sampe ketemu yang mirip karena gue takut dilindes Aisa. Eh, alih-alih bang Archie yang gue pikir bakalan kena karena masak sarapan malah Jevi. Nasibnya kurang beruntung.”
Tiba-tiba muncul ide cemerlang nan licik sehingga Yaziel diam-diam tersenyum miring sebelum berdecak tidak habis pikir. “Gue harus nolongin kembaran gue, Bang. Nyawa dia terancam punah sekarang. Maaf-maaf aja, nih. Cara loㅡ” Haidden menatap datar dan jengah kala mengeluarkan satu helai uang biru yang mana membuat Yaziel tertawa senang. “ㅡbegini yang gue suka, Bang. Rahasia anda aman bersama saya. Tenang, jangan khawatir, jangan cemas. Biarin aja Jepi meregang nyawa di luar sana.”
“SA, UDAH DONG! GUE CAPEK! LAPER, SA!”
“BACOT! GUE JADIIN TALI JUGA USUS 12 JARI LO ITU! SINI NGGAK LO, BANGSAT! NGGAK BERHAK NGOMONG LAPER LO ABIS NGEBUNUH PANCI GUE, JEP! SINI!”
Lalu sore hari itu dihabiskan dengan Haidden dan Yaziel menonton aksi kejar-kejaran dua saudara mereka sembari duduk manis di teras. Tak lupa churros kebanggaan Haidden menjadi teman dalam menyaksikan pertunjukan langsung tanpa siaran ulang. Yeah, do'akan saja Jeviar selamat, ya, teman-teman.
Yaziel mengangguk afirmatif. “Hidup ini memang keras, Kawan.”
Hai!
Hello!
Hey-yo!
Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗