─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
KENDATI melewati dua hari di SMA Atraxia dengan buruk; terlempar bola, menjadi pusat perhatian gara-gara si kurang ajar Elvan dan dihadang oleh segerombolan perempuan aneh. Hari ini barangkali merupakan hikmah yang Ghaitsa dapatkan usai bersabar menahan diri untuk tidak membumi hanguskan semesta. Setelah jadwal pelajaran resmi beredar lewat website resmi sekolah, guru-guru mulai berdatangan memperkenalkan diri sesuai jam dan memaparkan kontrak belajar selama setahun.
Perdana dalam sejarah Ghaitsa tidak akan membenci serangkaian rumus fatamorgana dari matematika, sebab Pak Elios yang menjabat sebagai guru matematika termuda Atraxia akan menjadi guru favorite. No debate!
Barisan anak perempuan memandang keindahan di depan mata dalam berbentuk manusia dengan sorot takjub luar biasa dan decak kagum, tiada henti-hentinya lisan memuji sang guru muda kepunyaan Atraxia ini walau sedang menjelaskan kontrak belajar matematika untuk ke depannyaㅡtampaknya mereka terhipnotis, hihi. Yaa, tidak ada peraturan yang begitu penting untuk dipaparkan kecuali Pak Elios tidak menerima penerimaan tugas terlambat dengan alasan apapunㅡkecuali ada hal-hal yang bisa dipertimbangkan di masa depan nanti.
Termasuk ke dalam lingkaran terpesona, Kanaya menangkup wajah serupa bunga. “Pasti dia jodoh gue yang dikirim Tuhan dalam takdir pertemuan sebagai guru matematika dan murid. Aww, jantung gue degdegan parah. Aduh-du-duh! Telepon ambulans cepet, senyumnya mematikan! Allahuakbar!”
“Joanna berjanji tidak akan mengeluh belajar matematika karena menghargai kerja keras Pak Elios mengajar di SMA Atraxia!” tutur Joanna serius, tidak ketinggalan tangannya terkepal di dada kiri sembari mengangguk serius. “Saya akan mengerjakan semua soal serta tugas tanpa menggerutuㅡasalkan dikasih kedipan permenit, deal tidak, Pak?” sambungnya, jelas hanya di dengar pada area meja mereka saja. Tenang, Joanna tidak segila kelihatannya, kok!
Meski agak mengkhawatirkan, memang.
Ghaitsa tertawa geli, geleng-geleng kepala menanggapi dan setuju. “Gue kira dia wali murid yang lagi nyari adeknya gitu. Eh, tau-tau ngenalin diri sebagai guru. Warbayazah, di usia muda telah menjadi sosok pendidik yang sangat digandrungiㅡ”
“ㅡketampanannya.” Yezira memotong geli. “Mukanya kayak lukisan, kek nggak nyata gitu. Ragu gue kalau Pak Elios bukan manusia tapiㅡ”
“ㅡtapi bidadara kesayangan kita semua. Huhuhu~ Pak Elios, kosong delapan berapa, nih?” sambung Joanna, pura-pura menghapus titik air mata transparan miliknya. Gadis bermata bulat tersebut kemudian mengangkat tangan guna menarik perhatian. “Bapak~ Joanna mau nanya dong. Boleh nggak?”
Kanaya berbisik melotot. “Anjing! Heh, berbagi sama gue ya, sat!”
Joanna berdecih, mengangkat bahu tak acuh dan kembali memasang lengkungan gulali pada guru muda tersebut. “Iya, Joanna. Silakan, ingin bertanya apa.”
“Anjeng! Suaranya adem bener, gue bisa nih melintasi andromeda kalau begini caranya,” gumam Joanna hiperbola. Dia salah tingkah! Sang puan segera mendongak selanjutnya seraya berpangku dagu. “Bu Hanna tadi sempat bilang, kalau murid-murid nggak papa ngehubungin guru secara pribadi tetapi sopan akan waktu. Jadi cuma mau memastikan, sayaㅡah, maksudnya apa kami boleh menghubungi Bapak secara pribadi?”
Pertanyaan halus Joanna mendapat dukungan gadis-gadis 10 MIPA 4 sementara para laki-laki berdecih muak di kursi mereka. “Gatel banget.”
“Sebelum gue serut bibir berdosa lo itu, mending diem!” sahut Kanaya galak sembari menunjukkan rautan pensil berwarna biru muda di tangan.
Pak Elios meletakkan spidol di mimbar dan tertawa geli sejenak sebelum melayangkan anggukan. “Boleh.” dan mendapat sorakan gembira gadis-gadis setelahnya. “Tapi tolong ingat waktu, ya. Jangan lupa gunakan bahasa yang sopan juga beserta maksud dan tujuan jelas. Saya hanya melayani orang-orang yang benar-benar butuh bantuan belajar. Juga, kalian bisa menghubungi semua guru secara pribadi karena pihak sekolah menyarankan demikian agar membantu murid-murid Atraxia belajar lebih mudah bila kesulitan paham saat KBM kelas.”
Joanna tersenyum manis. “Boleh nanya lagi nggak, Pak?”
“Iya, Joanna. Ada yang tidak kamu pahami?”
Seketika firasat Ghaitsa tidak enak bila melihat gelagat teman sebangkunya sekarang. Joanna berdeham, “Minta nomor NIK Bapak dong.”
“Eh, buat apa?”
“Buat bikin KK baru bareng saya, jiaaakh!”
Sorakan demi sorakan tertuju untuk kalimat tidak terduga Joanna sementara si pelaku menutup wajah malu-malu, masih melepaskan tawa geli. Gelengan kepala resmi diberikan sebagai respon awal bersama seraut wajah menggelitik. “Anak zaman sekarang berani-berani semua, ya,” gumam Pak Elios. (Gatau aja ponakannya di sebelah kek reog😣) Seusai memberikan maklumat tepat satu menit sebelum bel berbunyi nyari, Pak Elios pamit undur diri. “Mohon bantuannya selama satu tahun ke depan ya, Anak-anak.”
“Siap, Pak!”
“Oke, Bapaak!”
Suara Kanaya paling keras menyahut. “Mohon bantuannya juga, Pak, supaya nggak bikin jantung saya merosot. Ahak!” Kanaya menggebrak meja dengan topi baret hitamnya dan memegangi dada kemudian. “Baru ketemu aja gue rasanya udah jatuh cinta, gimana, nih? Gue sangat-sangat tidak bisa melupakan wajah tampan, cerah, gemilang nan memukau Pak Elios. Gue yakin dia jomblo makanya dipertemukan dengan gue agar segera memperoleh kisah romansa berpasangan dengan gue. Yakin aing.”
Yezira menghela napas tidak habis pikir lalu mengeluarkan sebuah kantong mini berwarna kuning dari tas. “Kemarin nenek gue bikin cokelat gitu, jadi gue bungkusin buat kalian. Ayo ambil, jangan rebutan, ya. Bawa banyak, kok!”
Sepersekian sekon mengerjap bungkam menyaksikan Yezira menumpahkan puluhan bungkus kecil cokelat di meja membuat Ghaitsa merasa janggal dalam hati. Dia menipiskan bibir, menaikkan alis sekilas sebelum mengulurkan tangan ragu-ragu mengambil satu sementara Joanna sudah memakan dua. Irisnya melebar, “Waaah! Enak banget gilaaa, parah-parah-parah! Mau satu lagi ya, Ra,” kata sang gadis dan mencomot satu bungkus lagi.
“Iya, ambil aja.” Yezira mengetuk punggung tangan Ghaitsa dan menatap penasaran. “Gimana, Sa? Enak?”
Ghaitsa lantas segera mengangguk bersama ekspresi lucu, tersenyum lebar tanpa sadar kala membalas dengan gelenyar canggung di dada. “Enak kok, Ra. Nenek lo pinter bikin dessert gini, ya.”
“Gimana enggak pinter, neneknya punya pabrik cokelat,” timpal Kanaya cuek, dia membuang sampah plastiknya ke meja dan menyandarkan punggung pada kepala kursi. “NenekㅡWOI, BANGSAT! MAIN BOLA LAGI KALIAN DI KELAS, HAH?! GUE PATAHIN KAKI LO-LO SEMUA, YA?! LAPANGAN DI DEPAN BIJI MATA APA ENGGAK KELIATAN, HAH?! MAIN DI LUAR!”
Berjengit hebat mendapat bentakan keras dari Kanaya, barisan pemuda di sana cepat-cepat keluar kelas sebelum Kanaya semakin murka dan menghantam mereka sungguh-sungguh dengan kepalan tangan seusai melempar sepenggal kalimat sebal. “Kanaya cantik-cantik galak banget, sih. Darah tinggi nanti, Nay.”
“Nggak usah ngurus, keluar cepetan!”
“Iya-iya, sabar!”
“Bacot banget, heran.” Kanaya mengibas manja rambutnya sementara Joanna menaikkan jempol dengan ekspresi serius memuji. “Keren! Abis ini langsung lempar kursi aja, mereka nyampah.”
“Tokcer juga ide lo.”
Gantian Joanna yang menyibak rambut sombong. “Gue gitu, lho.”
Ghaitsa meringis dalam senyuman, berkedip berkali-kali guna merasakan jantung berdetak aneh. Gelenyar asing tersebut mengganggu konsentrasi dan bagaimana ia berpikir sekarang ketika berada di posisi ini, detik ini, hari ini. Sang puan diam-diam menerbitkan senyuman, kemudian meletakkan kotak bekal buatan Archie di meja dan berujung mendapat pandangan kaget serta decakan kagum atas kilauan ayam dengan aroma mengetuk hidung.
Ghaitsa menerbitkan cengiran lebar, “Abang gue yang bikin tadi pagi. Mau makan bareng nggak?”
“Dih, yakali seorang Kanaya nolak makanan seksi begini di depan mata.” Kanaya lantas bersiap-siap makan, mengumpulkan setiap helaian rambut dan grasak-grusuk sendiri memeriksa setiap kantong yang diyakini ialah ikat rambut. Oleh karena itu Ghaitsa langsung menyodorkan ikat rambut warna-warni pemberian Yazial pada gadis tersebut. Kanaya mengerjap, “Eh, buat gue, Sa?”
“Iya,” jawab Ghaitsa disertai kekehan kaku. Dua gadis lain terlihat terpesons akan rainbow yang berkilau penuh estetika sampai-sampai mulut terbuka kecil. Ghaitsa pun menyodorkan masing-masing satu untuk mereka dan sepersekian detik selanjutnya mengangkat miliknya. Cengiran manis sang puan terbit sehingga menimbulkan kerutan indah di sekitar mata. “Ada empat jadi kita couple ikat rambut, deh. Kalian … nggak papa samaan kayak punya gue?”
“Jelas nggak papalah! Gila kali kalau nolak, lucu juga lagian, ih.” Joanna menangis dramatis di posisi tiba-tiba. “Nggak salah gue sokab sama lo di depan papan koridor kemarin, huhu. Baek banget anak gue yang satu ini. Ayo setelah ini panggil aku ibu, Nak. Cah ayu.”
Yezira menatapnya dengan sepasang mata berkaca-kaca dan menggenggam tangan Ghaitsa berikutnya. “Kebetulan banget gue mau beli iket rambut karena gue sering banget kehilangan iket rambut, punah aja udah dari peredaran. Tapi gue janji, Sa. Ikat rambut persahabatan kita ini akan gue jaga dengan sepenuh hati. Tidak akan hilang, janji!”
“Yaa … nggak usah sampe segitunya kali. Cuma iketㅡastaghfirullah.”
Kanaya menggebrak meja kasar. “Ini tuh bukan sekedar cuma tapi ini hati lo.” dan memandang serius bukan main menggemaskannya dengan obsidian membulat. “Gue akan jaga iket rambut ini dengan setengah nyawa gue karena setengahnya lagi buat Pak Elios. Jangan khawatir, Sa. Bakalan gue wariskan ke anak-cucu gue di masa depan nanti. Sekarangㅡayo makan!”
“Anjeng! Harus banget lo makan ayamnya duluan? Mana digigit lagi, potong anjir!” seru Joanna, mulai rebutan ayam dengan Kanaya. “Dasar kingkong! Tarok sini, mau gue acak-acak lambung lo entar, hah?! TAROK, ANJING! MAJU LO, KELAHI KITA SEKARANG JUGA!”
“NANTI! TUNGGU GUE KELAR MAKAN DULU!”
“OALAH, SETAN!”
Yezira memijit pelipisnya yang berkedut. “Hadeeh, Kanaya aja udah susah banget jinakinnya. Sekarang malah nambah lagi satu, sama ganasnya pula. Pusing gue pusing.”
Ghaitsa mau tak mau melepaskan tawa renyahnya melihat dua perempuan di hadapan saling berperang memperebutkan dada montok ayam yang Archie masak pagi tadi. Ah, seharusnya tadi dia membawa lebih agar tidak terjadi pertengkaran begini.
Namun, di sini juga letak serunya bukan?
Semesta berjalan sebagaimana mestinya bersama waktu yang perlahan-lahan berputar meninggalkan sang lampau dan alunan renyah tawa Ghaitsa yang berkumandang tanpa satupun beban. Cakrawala bergetar melihatnya, sekaligus sungkan mendengarkan.
Ah, Ghaitsa menambah catatan tawanya hari ini, teman-teman.
Halo!
Hello!
Haaaai!
Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗
Doa yang selalu sama
Terimakasih sudah mampir
Terimakasih sudah meninggalkan jejak
🤗🤗🤗
Nggak tau lagi mau ngetik apa selain ini, guys
Nah bonus, akang batagor keliling
😣😣😣
Ditulis :
Rabu, 19 Januari 2022
Bubye-!