Tin tin tin.
" Kamu milea ya?" Dilan kw alias Franklin mensejajarkan motornya dengan seorang gadis yang berpakaian ala tomboi.
Gadis tersebut tak menggubris perkataan Franklin karena ia tau tak ada gunanya sama sekali. Hal seperti ini adalah rutinitas cowok tersebut setiap berjumpa dengannya.
" Tris, jawab dong. Gue udah susah payah cari topik." Ujar Franklin.
" Topik Lo gak berguna banget." Balas gadis bernama Patrisia Arabella itu.
" Ya setidaknya Lo hargain dong." Kata Franklin kesal.
" Mau gue anterin pulang?"
" Nggak."
" Mau gue traktir makan siang?"
" Nggak."
" Mau gue nikahin?"
" Lo itu bisa gak sih sehari aja gak usah muncul di hadapan gue. Lama-lama gue bisa katarak nih gara-gara liatin muka dongo Lo itu." Sarkas Patrisia yang kini berhenti berjalan dan menatap lurus pada Franklin yang ikutan berhenti.
" Nggak." Balas Franklin polos.
Patrisia berdecak lalu kembali melanjutkan langkah. Entah bagaimana takdir yang dituliskan untuknya sehingga bisa satu kampus dengan cowok abnormal itu.
" Yakin gak mau dianter? Jarang-jarang lho seorang Franklin Prima Angkasa Stefano Bruto Arjakson Ardipta nawarin boncengan sama cewek." Ujar Franklin menggabungkan marga keluarga teman-temannya.
" Pantat Lo jarang. Setiap hari Lo bolak-balik nganterin cewek cabe-cabean." Cerocos Patrisia.
" Abis Lo gak mau gue anter, jadi gue anterin mereka ajalah." Jawab Franklin santai.
" Ya udah, gue pulang duluan ya. Kalo ada apa-apa telfon inspektur ladusing, jangan telfon gue." Franklin segera melajukan motornya meninggalkan Patrisia seorang diri.
" Kita berbeda, Lin." Lirih Patrisia setelah Franklin benar-benar jauh.
Awal mula pertemuan mereka adalah saat ospek mahasiswa sedang berlangsung. Ketika dengan bangganya Franklin datang ke kantin memesan bakso tetapi lupa membawa dompet. Dulu ia amatlah malu namun si penyelamat datang dan meminjamkan ia uang. Ya, si Patrisia. Mulai dari situ Franklin menjadi penguntit Patrisia. Tiga tahun lebih mereka saling mengenal dengan menyimpan perasaan masing-masing. Franklin yang blak-blakan mengatakan cinta kepada Patrisia dan Patrisia yang selalu menolak walaupun memiliki perasaan yang sama. Bukan karena cewek itu sok jual mahal, tapi karena mereka memang tidak akan pernah bisa bersatu. Banyak yang menentang, termasuk Tuhan masing-masing. Kalian sudah paham?
Mereka..... Beda agama.
Patrisia Arabella seorang gadis tomboi beragama Katolik sedangkan Franklin si cowok humoris beragama Islam.
Franklin telah sampai di rumah nya dan mengernyit heran saat melihat sebuah mobil hitam parkir di halaman rumahnya.
Ia segera turun dari motor lalu berjalan memasuki rumah, suara tiga orang yang sedang mengobrol memenuhi Indra pendengarannya. Hingga matanya menangkap dua orang dewasa serta satu anak gadis cantik.
" Bunda, ayah."
Ketiganya menoleh mendapati sosok yang ditunggu-tunggu. Wanita paruh baya itu segera berdiri mendekati putranya lalu memeluk dengan perasaan rindu dan dibalas juga dengan perasaan yang sama.
" Kamu baru pulang dari kampus ya?"
" Baru pulang ngamen, bun." Jawab Franklin ngawur.
Bunda mencubit pelan lengan putranya lalu mengajak duduk setelah bertos terlebih dahulu dengan sang ayah. Pemuda tampan itu di dudukkan secara paksa di samping seorang gadis yang mulai dari tadi diam.
" Eh, yah! Handphone bunda ketinggalan di mobil." Ujar bunda berlaga akting.
" Waduh, dompet ayah juga ketinggalan di mobil." Kata ayah lagi.
" Eh, kita ambil dulu ya. Kalian ngobrol aja dulu." Ujar bunda lalu pergi dari sana diikuti suaminya.
Kini hanya ada sepasang insan di sana yang saling berdiam. Franklin tau kedua orangtuanya hanyalah berpura-pura untuk memberikan waktu kepada mereka berdua.
" Kamu Franklin ya?" Tanya gadis di sampingnya.
Retoris.
Tidak ada jawaban sebab kini Franklin dalam mode dingin.
" Kamu gak mau nanya nama aku siapa?"
Lah, maksa?
" Aku Brigitta."
" Gak nanya."
" Umur aku delapan belas tahun."
" Gue gak nanya, bangsul."
" Ohhh, aku kuliah baru semester dua."
" Sinting Lo."
" Iya, aku suka warna biru."
Fiks, cewek itu benar-benar memiliki kelainan jiwa.
Franklin memiringkan wajah untuk menatap gadis bernama Brigitta itu dengan datar.
" Gue gak nanya, dan gak nanya, atau gak nanya."
Fiks, Franklin juga memiliki kelainan jiwa.
Be-berarti me-mereka cocok dong?
" Oh iya, aku bakalan pindah ke kota Bandung ini lho." Kembali Brigitta berujar dengan semangat.
Mau tau apa alasan Franklin bersikap dingin?
Satu Minggu yang lalu ia telah di jodohkan dengan dengan gadis itu akibat orangtuanya tau ia menyukai Patrisia, juga karena mereka tau Patrisia adalah gadis beragama Katolik. Awalnya orangtua Franklin sudah melarang tapi tetap ketahuan bahwa ia menyukai gadis itu, hingga akhirnya cara ini di pilih.
Foto-foto Brigitta juga sering dikirim kedua orangtuanya kepada Franklin tapi sama sekali tidak pernah pemuda itu menggubris. Karena foto itu juga Franklin tau bahwa gadis di sampingnya ini adalah Brigitta.
" Franklin, mau nemenin aku jalan-jalan?" Tawar Brigitta.
" Berhenti manggil aku-kamu, gue gak pacaran sama Lo." Sarkas Franklin tidak suka.
Belum sempat Brigitta menjawab, kedua orangtua Franklin telah kembali.
" Gitta, ayok sayang. Kita bakalan antar kamu ke kosan yang udah kamu sewa." Ajak bunda.
" Trus kalian pulang sekarang bun?" Tanya Franklin dibalas anggukan.
" Iya, soalnya besok mau ke acara keluarga." Ayah yang menjawab.
" Ya udah, kamu hati-hati disini ya sayang. Jangan lupa makan, jaga kesehatan juga." Bunda memeluk Franklin sekilas lalu mencium kening putranya lembut.
" Bunda juga." Balas cowok itu.
" Bye bye Franklin." Brigitta melambaikan tangan dengan senyum lebar.
Dan tanpa sengaja mata Franklin menangkap ada luka goresan di pergelangan tangan gadis itu yang tertutupi oleh baju panjang tangannya.
Franklin menyenderkan punggungnya pada kepala sofa seraya mendengus sabar. Ia merogoh sakunya untuk menghubungi seseorang dimana langsung tersambung pada dering pertama.
" Halo!"
" Nginap di rumah gue dong Rev, gue butuh sentuhan hangat Lo."
" Eh anjing, Lo kira gue cowok apaan?" Itu adalah suara Revion yang memang juga kuliah di Bandung tapi beda universitas dengan Franklin. Namun jarak rumah mereka juga tak terlalu jauh dan tak terlalu dekat.
" Ck, datang ajalah. Lagian besok juga kan libur. Satu malam doang, gue bayar Lo kok."
" Babi Lo, mati Lo, hidup Lo, tewas Lo." Revion memberikan beberapa kalimat penyemangat.
" Nginap ya Rev. Gue tunggu Lo. Ummah...." Franklin mematikan sambungan telepon secara sepihak.
Kini kembali pikirannya terbang ke arah wajah Patrisia. Si tomboi yang dulu berani melawan panitia ospek. Senyum tipis terbit di bibir Franklin.
" Apa gue pindah agama aja?"
" Ck, ya kali. Gini-gini gue tuh taat agama walau kelakuan kayak setan. Tenang, Lo para readers gak usah marah."
⚔️⚔️⚔️
To be continued.
Part nya pendek ya?
Iya, soalnya otak author tiba-tiba blank.
Maaf ye✌️