'' Terkadang, melarikan diri bisa menjadi solusi yang bisa diambil untuk keselamatan''
Rembulan belum bisa melepaskan pelukannya pada pinggang Alvaro saat ini. Seluruh tubuhnya gemetar, teringat dengan balapan motor yang pernah ia rasakan sebelumnya. Kali ini kondisinya sama, Alvaro kebut-kebutan namun dalam keadaan yang genting. Axares masih mengejar mereka setengah jam yang lalu, sampai akhirnya mereka kehilangan jejak karena Alvaro memilih jalan menuju bukit.
Jalannya tak terdapat aspal, hanya tanah biasa yang berbatu. Tampaknya Alvaro sudah mengenal jalan itu, sebab ia dengan mudah mengendarai motornya di sana, hingga tiba di bukit sepi.
"Turun." Alvaro mendelik begitu melihat lengan Rembulan masih memeluknya erat, bahkan wajah gadis itu menempel di punggungnya seakan-akan terkena lem. "Turun!" perintahnya lagi, lebih keras.
Karena itu, Rembulan mulai mengendurkan pelukannya. Ia menatap sekitar, membenarkan letak kacamatanya sejenak. Udara di sini jauh lebih sejuk walaupun panas matahari begitu terik, dan hamparan luas rumput yang terpampang jelas di hadapannya membuat Rembulan takjub.
Seketika Rembulan turun dari motor, tetapi kaki-kakinya masih lemas dan gemetaran membuatnya terjatuh begitu saja. Rembulan mengusap-ngusap lututnya, kemudian mendongak pada Alvaro. "Kak, ini di mana? Cantik banget."
Alvaro melepas helmnya, melirik Rembulan sebentar kemudian ia turun. Pandangan matanya tertuju pada arah yang sama dengan Rembulan. Hamparan rumput luas yang berada di samping kiri jalan yang Alvaro lalui tadi dengan motornya.
Sebenarnya ini tempat yang Alvaro temukan dulu secara tak sengaja, kala itu Alvaro belum tinggal di luar negeri, ia masih bersekolah di sini dan Alvaro terbilang masih sangat nakal. Dulu, ia juga dikejar oleh sekelompok geng motor karena tak sengaja mengusiknya, karena menemukan jalan yang terlihat tak banyak dilewati, akhirnya Alvaro memilih menerobos jalan itu hingga menuntunnya kemari.
Ia tak menyangka jika ia masih ingat dengan jalan ini. Serta, tak menyangka ia kembali lagi ke tempat ini dengan orang yang tak pernah ia harapkan.
"Kenapa?" Alvaro masih berdiri tegap, memperhatikan Rembulan yang terduduk dengan tangan memijat kakinya. Ia tak menjawab apa yang menjadi pertanyaan Rembulan, justru balik bertanya.
Kepala Rembulan menoleh pada Alvaro, menengadah supaya bisa menatapnya. "Kaki Bulan lemes ... Bulan takut kak kalau kebut-kebutan," jawabnya pelan.
Alvaro memutar bola matanya dengan malas. "Lebay."
Rembulan hanya tersenyum tipis, ia melihat Alvaro berbalik dan berjalan ke arah sebaliknya dari Rembulan. Lelaki itu duduk di atas rumput begitu saja, dengan tangan bertengger di lutut. Melihatnya, Rembulan segera bangkit dan duduk di samping kanan Alvaro.
"Wah, ini lebih cantik, Kak. Bulan baru tahu ada tempat kayak gini, jauh dari kota, ya?" Rembulan menunjuk beberapa bukit, kemudian tangannya mengarah pada rumah-rumah yang ada di sekitaran bukit. Pemandangan jauh yang memanjakan mata, serta menyegarkan. Tidak seperti gemerlapnya kota dan padatnya gedung-gedung.
"Hm." Alvaro memijat kening, sebenarnya ia masih pusing karena beberapa pukulan yang ia dapatkan tadi, dan tambah pusing lagi karena penyesalannya saat ini, penyesalan mengajak Rembulan kemari. "Lo diem," lanjutnya.
Mendengar itu, Rembulan segera menutup mulut. Ia menoleh dan memperhatikan wajah Alvaro. Lelaki itu terpejam dengan kening mengerut, ringisan di bibirnya juga beberapa kali Rembulan dengar membuat ia jadi khawatir. Ingin bertanya, tapi ia disuruh diam. Jadinya Rembulan bingung mau bagaimana.
Tetapi setelah dipikirkan lebih lama, akhirnya Rembulan membuka almamater seragamnya dan menutup pangkuannya dengan itu. Ia menggoyangkan pundak Alvaro, kemudian tangannya menunjuk pangkuannya sendiri.
Alvaro mengernyit. "Apa?"
"Tiduran di sini aja, Kak. Bulan pijitin kepalanya biar gak pusing."
"Apa, sih?! Gue gak papa." Alvaro mendengkus, kembali memejamkan matanya. Heran sekali dengan gadis di sampingnya ini. Sudah beberapa kali Alvaro melontarkan perkataan tajam dan menyakitkan, tapi tutur katanya masih lembut pada Alvaro, dan tatapan bulatnya itu masih polos dan cerah. Apa kebencian Alvaro masih belum terlihat? Padahal sudah terang-terangan ia tunjukkan.
Lagi-lagi Rembulan hanya menampilkan senyuman karena tolakan Alvaro. Walaupun lelaki itu keras sekali, serta kasar, tapi Rembulan tak ingin membalasnya. Rembulan sudah mengaku, dirinya yang salah karena harus datang ke dalam kehidupan Alvaro. Dan Rembulan harusnya bersyukur, Alvaro hanya menunjukkan rasa tak suka padanya, dan tak berbuat berlebihan. Selain itu, Alvaro juga masih bersedia membantu Rembulan walaupun tak secara langsung.
"Sebelum Bulan banyak ngomong lagi, Bulan mau bilang makasih ke kakak." Rembulan mengeluarkan suaranya, ia menatap lurus ke depan, menikmati pemandangan yang cantik di sana. "Kakak udah nolongin Bulan. Kata bang Zero sama bang Vano, Kakak udah hubungin mereka waktu Bulan di-bully. Makasih ya, Kak."
"Gue benci sama lo. Gue gak nolong lo." Alvaro menyahut cepat, dalam hati ia merutuki Alzero dan Alvano yang malah mengatakan itu pada Rembulan.
"Ya udah, Bulan tetep mau ngucapin rasa terima kasih Bulan ke kakak. Kakak juga masih mau nerima Bulan di rumah walaupun kakak benci sama Bulan."
"Gue terpaksa," sahut Alvaro lagi. "Gue tetep benci lo."
Kepala Rembulan kini mengangguk-ngangguk. "Ayah Bulan dulu pernah bilang, kalau benci jangan terlalu dalam, Kak. Nanti rumit sendiri. Jatuh cinta juga jangan terlalu dalam, nanti gak bisa lepas kalau udah waktunya berakhir."
Alvaro tak menanggapi, mulutnya jadi tertutup rapat dengan sebelah matanya melirik Rembulan diam-diam. Entah mengapa rasanya aneh. Biasanya Alvaro akan melihat tatapan gadis itu yang menghindar jika mereka saling tatap, atau gestur tubuh gadis itu, pasti akan menjauh saat Alvaro berada di dekatnya. Sekarang, terasa berbeda. Bahkan dengan bebas gadis itu berbicara panjang padanya, terasa tenang tanpa getaran.
Alvaro bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya bagaimana perasaan gadis itu terhadap Alvaro yang mengatakan dengan terang-terangan bahwa ia membencinya? Alvaro tak tahu banyak dengan perasaan para gadis, ia tak pernah dekat dengan perempuan, karena perempuan yang ada di hidupnya dulu telah pergi. Keduanya pergi mengubah keadaan keluarganya.
Lantas, sekarang dua perempuan baru datang. Apa mereka termasuk pengganti?
Tidak bisa. Semua yang menetap dan pergi di masa lalu tak bisa digantikan oleh siapapun dalam diri Alvaro.
Tak sadar kepala Alvaro jadi menunduk, rasa berdenyutnya jadi semakin parah membuatnya kembali terpejam.
Alvaro melirik ke samping kanan, dan tanpa aba-aba ia langsung menjatuhkan dirinya ke sana, membuat kepalanya mendarat di pangkuan Rembulan.
"Kak? Kakak gak papa?!" Rembulan tentu saja terkejut dengan tingkah Alvaro barusan.
"Diem lo." Alvaro hanya membalasnya singkat, memejamkan matanya dengan erat, hingga napasnya mulai teratur, denyut nyerinya tak terasa lagi begitu usapan ia terima di kepalanya. Dari sana, Alvaro tertidur, merasa nyaman dengan kondisinya saat ini, tak mempedulikan siapa yang ada di sana atau siapa yang sudah membuatnya nyaman seperti ini. Ia memilih memejamkan matanya.
Halo!!
Eh, aku mau bilang nih.
Konflik 4B ringan-ringan yaa.
Yang mau liat Varo sama Bulan. Silakan cek ig aku ya! @ariraa_wp