Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Dua: Menuju Masa Lalu

29.6K 2.2K 81
By kianirasa

Bagian Dua: Menuju Masa Lalu

 ==

"Aku Faust."

Atha duduk termangu-mangu menatap makhluk bersayap didepannya angkat bicara. Suaranya terdengar datar dan dingin. Mata hitamnya terlihat begitu memikat tapi juga misterius. Membuat Atha merasa sedikit iri karena dia selalu menginginkan iris matanya berwarna hitam ketimbang coklat. Sejak beberapa saat yang lalu, makhluk dengan perawakan persis seperti manusia laki-laki itu berdiri disana. Hidungnya mancung, rahangnya tegas, dan rambutnya yang sedikit ikal dipangkas pendek berwarna coklat kehitaman.

Dia benar-benar tampan.

"Faust?"Atha mengulang namanya dengan tidak yakin. Takut pengucapannya salah.

Makhluk itu mengangguk.

Atha mencubit lengannya dan meringis kesakitan saat merasa cubitannya terlalu keras. Dia melakukan itu hanya sekedar untuk menguji kesadarannya, karena dia pikir dia sedang berada dalam mimpi.

Sejujurnya Atha tidak pernah percaya dengan makhluk-makhluk yang biasa diceritakan dalam sebuah dongeng. Seperti peri dan sejenisnya. Namun ketika makhluk itu muncul sungguhan didepannya, Atha hanya bisa termangu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Jadi, Faust, apa yang lo lakukan di kamar gue malam-malam begini?"tanya Atha beberapa saat setelahnya.

"Mengabulkan permohonanmu. Itu sudah jadi tugasku, malaikat purnama."

Atha melipat kedua tangannya didada. "Malaikat purnama?gue nggak pernah dengar yang seperti itu."ucapnya.

Faust memunculkan sebuah buku didepan Atha dalam sekejap mata.

"Malaikat purnama itu malaikat yang tugasnya mengabulkan permohonan salah satu manusia terpilih di malam bulan purnama. Dan kami hanya muncul setahun sekali."seiring Faust menjelaskannya, lembaran buku itu terbuka sendiri dan memaparkan gambar-gambar juga tulisan dalam bahasa yang tidak Atha mengerti.

Atha mengerutkan dahi. "Gue pikir seharusnya malaikat itu bajunya bukan kaos hitam juga jeans belel. Dan biasanya mereka bawa panah. "guraunya tidak penting.

Faust memutarkan kedua matanya malas. "Yang bawa panah itu cupid."koreksinya.

"Kamu."makhluk itu menunjuk Atha dengan jari telunjuknya. "Memohon supaya bisa kembali ke masa lalu kan?"sambung Faust yang ditanggapi anggukan pelan dari Atha.

"Aku bisa membantumu, Athalia."

Perkataan Faust tanpa sadar membuat Atha menahan nafasnya. Matanya tidak berkedip, dia menatap Faust dengan pandangan tidak percaya. Pikirannya berusaha berpikir rasional akan makhluk yang berada didepannya.

Mungkin semua ini hanya ilusi yang tercipta diotak Atha karena belakangan dia kurang tidur. Atha memijat pelipisnya dengan ibu jari sementara matanya tertutup. "Astaga, gue udah gila kali ya."gumamnya pelan.

Faust yang mendengar gumamannya kemudian―dalam satu kedipan mata―mengangkat Atha dengan sihirnya dan menggendong perempuan itu disebelah bahunya terbalik, membuat Atha berteriak karena kaget. Dia memukul Faust sementara kedua kakinya menendang-nendang punggung makhluk itu, meminta untuk dilepaskan walaupun pada akhirnya itu percuma. Faust mengabaikan permintaannya dan menggendongnya kedepan lemari kayunya yang besar.

Atha menautkan kedua alis saat Faust hendak membuka lemarinya.

Mau apa dia?

Pipi Atha seketika memerah saat teringat kalau lemarinya berantakan sekali, terlebih ada pakaian dalam didalam sana. Tapi diluar dugaan, ketika Faust yang membuka lemarinya―tidak terdapat satu pun pakaiannya disana. Atha sampai dibuat menganga kecil saat suasana didalam lift terdapat dibalik pintu lemarinya. Lift yang biasa ditemui di pusat perbelanjaan atau hotel.

Faust melangkahkan kakinya masuk dan pintu lemari tertutup secara otomatis. Jari makhluk itu menekan sebuah tombol berwarna kuning yang terdapat disisi kanan lift sebelum menurunkan Atha dari gendongannya.

"Kenapa bisa?"tanya Atha yang kini berdiri disamping makhluk itu.

Faust meliriknya melalui ekor mata."Karena bisa."jawabnya.

Atha mendenguskan nafas kesal, tangannya menarik lengan kaos Faust ketika lift tiba-tiba bergerak dengan cukup cepat. Faust menolehkan kepalanya untuk menatap Atha, kedua alisnya bertaut bingung.

"Kita kemana?"Atha bertanya seraya menatap Faust.

"Ke masa lalu, kamu bilang kamu ingin ketemu Nara lagi kan?"

Atha menganggukan kepalanya pelan lalu menunduk. Kedua matanya mendelik saat dia menyadari kalau dirinya masih memakai piyamanya dan tidak memakai sepatu apa pun sehingga kakinya langsung bersentuhan dengan lantai lift yang dingin. "Gue harus ganti baju dulu, bisa nggak kita balik ke kamar ?"tanya Atha lagi.

Faust kali ini menatapnya dari atas hingga bawah berulang kali, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya. Dia sedang memikirkan pakaian yang cocok dikenakan oleh Atha.

Mulut Faust lalu mengucapkan sebuah mantra dan lagi-lagi dalam satu kedipan mata, Atha dibuat menganga kecil ketika mendapati piyamanya sudah diganti dengan kaos putih yang tertutupi oleh kemeja kotak-kotak berwarna merah, sepatu snickers berwarna hitam, dan jeans belel.

"Selera yang bagus, Faust."ucap Atha.

Dentingan lift yang tiba-tiba berhenti membuat keduanya menoleh kearah pintunya. Atha mengedipkan matanya dan kemudian melirik Faust. Makhluk itu sepertinya kurang asupan ekspresi karena sedaritadi dia hanya memasang wajah datar.

"Tunggu apa lagi?ayo keluar. Dibalik pintu lift sana, ada kehidupan masa lalu yang Nara jalani."Faust mengatakannya sambil memegang kedua pundak Atha dan mendorongnya pelan kearah pintu lift. Atha meneguk ludahnya, kedua matanya bergantian menatap Faust dan pintu lift. Beberapa saat setelahnya Atha melangkah maju namun tiba-tiba saja sebuah tangan menahan pergelangan tangannya.

"Kenapa Faust?"

"Cuman ingin memperingatkan kamu―jangan mengubah apa pun yang bisa mengubah masa sekarang yang kamu jalanin."jawab Faust. Kali ini ekspresinya terlihat serius.

Sesaat kemudian pintu lift terbuka secara otomatis, Atha mengangkat sebelah alisnya saat menyadari pandangan didepannya hanyalah kabut putih. Belum sempat membuka mulut untuk bertanya lagi kepada Faust, makhluk itu mendorongnya lagi hingga Atha keluar dari lift. Dan kali ini, tubuh Atha langsung melayang jatuh kebawah.

》》》

Tenggorokan Atha tercekat, teriakannya tertahan di lidah. Atha menyadari tubuhnya kini terjatuh kebawah, menembus kabut yang ternyata adalah awan. Tangannya terlentang lebar kesamping seiring pemandangan dibawahnya lama-lama membesar. Gedung-gedung pencakar langit dan kehidupan lainnya dibawah sana.

Atha menutup kedua mata dan meneriakkan nama Faust berulang kali dalam hati. Atha phobia ketinggian, jantungnya terasa seperti akan melompat dari tempatnya.

"Faust!"Atha berteriak panik saat dirinya semakin lama semakin dekat dengan daratan.

Detik selanjutnya, Atha merasakan sebuah tangan meraih pinggangnya. Memeluknya erat. Seketika membuat Atha menolehkan kepala dan menyipitkan mata saat sinar matahari menyilaukan matanya. Faust ada disana, memeluknya dengan sepasang sayap hitamnya yang membentang di udara dan bergerak perlahan. Atha bisa merasakan deru nafas makhluk itu dan mata hitamnya yang terlihat jernih.

"Pegangan ke leherku erat-erat."ucap Faust.

Atha menarik nafas dan melingkarkan kedua tangannya kebelakang leher makhluk itu, memeluknya dengan erat seperti yang diperintahkan. Atha bisa merasakan bagaimana Faust perlahan terbang kebawah.

Seiring tubuh mereka melayang mendekati bumi, Atha memberanikan diri melihat pemandangan yang terbentang dibawah sana. Dari atas Atha bisa melihat ladang, balai kota, pelabuhan yang ramai, dan sebuah bianglala besar berada diatas bukit kecil―dia bertanya-tanya, dimana ada tempat seindah ini di Indonesia?

Perlahan tapi pasti, Faust menurunkan keduanya hingga menapaki pinggiran jalan dengan sebuah tembok lumayan tinggi berukuran tiga meter disamping kiri sementara jalanan kecil disamping kanan mereka terlihat sepi.

Atha menghela nafas panjang. "Akhirnya,"gumamnya. Dia mengedarkan pandangannya kesekeliling―setelah beberapa saat meneliti sekitar, Atha seakan baru sadar kalau tempat yang dia pijak ini terasa asing.

"Faust,"panggil Atha.

Makhluk berambut coklat kehitaman yang berdiri disebelahnya menoleh, hanya mengangkat kedua alisnya.

"Dimana Nara?dan kita dimana?"

Wajah Faust terlihat bingung selama beberapa saat. "Bukannya ini tempat pertama kali kamu ketemu dia?"tanyanya tidak yakin.

Atha menggelengkan kepalanya. Pertama kali dia bertemu Nara itu didalam toko buku. Tempat yang dikunjunginya bersama Raya beberapa waktu lalu.

Apa mungkin Faust melakukan kesalahan?

Atha hendak membuka mulutnya lagi untuk bertanya―tepat ketika derap langkah kaki yang cepat menghampirinya. Membuat Atha juga Faust menolehkan kepala kearah yang sama―sayangnya, mereka sedikit terlambat menyadarinya hingga menyebabkan seseorang jatuh menindih Atha. Berada tepat diatasnya.

Brukk

Seseorang yang menindihnya meringis kesakitan.

"Yaampun,"Faust mengatakannya sambil geleng-geleng kepala. Tangannya bersedekap di dada.

Atha melirik Faust sambil berdumel pelan karena makhluk itu sama sekali tidak membantu―Atha pun mencoba menyingkirkan tubuh diatasnya. Namun tanpa perlu banyak usaha, seseorang yang menabraknya itu beranjak berdiri. Mengebaskan celana abu-abunya sebentar sebelum mengulurkan tangan untuk membantu Atha.

"Liat-liat dong kalo lari, mata lo itu kemana sih?"dumel Atha usai berdiri. Kepalanya masih menunduk, membenarkan kemeja yang dikenakannya.

"Maaf. Gue lagi buru-buru banget nih."

Perempuan berambut sebahu itu mengernyit dan mendongak. Berniat memberikan ekspresi juteknya dan mengomeli siapa pun dia―tapi yang ada, Atha membisu saat mendapati pemuda didepannya.

Sepasang mata coklat yang rasanya sudah lama tidak dia temui. Posturnya tidak setinggi yang Atha ingat demikian juga dengan rambutnya yang di cat pirang tertata keatas berantakan―dia kelihatan berbeda. Walau begitu bola mata coklatnya tetap sama.

Suara Atha lagi-lagi terasa tertahan di lidah. Namun setelah beberapa saat mencerna pemandangan didepannya, Atha memutuskan angkat bicara.

"Na―ra?"

Yang dipanggil hanya diam, tidak berkutik. Lain hal dengan mata pemuda didepannya yang menelusuri mata Atha seolah sedang bertanya dan berusaha mengingat sesuatu tentangnya. Namun belum sempat membalas, suara pentungan dan teriakan dua satpam berbadan gembul yang berlari kearah mereka memecahkan keheningan.

"Gue cabut duluan ya."ujar Nara yang kemudian berlari pergi―menembus Faust yang kebetulan berada didekat mereka.

Tidak lama setelah Nara yang berlari diekori oleh kedua satpam gembul itu, Faust menyentuh bahunya―menyadarkan Atha berdiam diri disana. Sedang mengontrol detakan jantungnya yang berdebar cepat.

"Athalia."

"Hmm?"Atha menolehkan kepala, alisnya bertaut bingung.

"Sepertinya aku salah."jawab Faust. Iris mata hitamnya menatap kosong jalanan yang sepi.

"Salah apa?"

Kali ini Faust kembali melempar pandangannya kearah Atha. Matanya mengunci tepat dimanik mata coklat Atha. "Seharusnya, kamu ketemu Nara yang baru lulus SMA dan mau ikut tes salah satu universitas ternama di Jakarta―bukan yang masih SMA."

Mata Atha membelalak kaget. Dia baru menyadari kalau pakaian yang dikenakan Nara barusan adalah putih abu-abu. Dan itu berarti, yang barusan adalah Nara sewaktu SMA. Atha meneguk ludahnya.

Itu artinya, mereka sedang berada di pulau Gili. Pulau kecil yang eksotik di timur Indonesia―tempat kelahiran Nara. Dan tandanya, Atha sekarang berada di masa lalu yang salah.[]

==


16:58

A/n: Haiii tolong di vote sama komen yaa. Biar cepet updatenya. Doain nggak nge stuck hehe. By the way diliat dulu dong foto Faust si ganteng disebelah kanan/atas.

―sav

Copyright ©  2015 by saviranc


Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 108K 43
[ Setelah membaca jangan lupa vote. ] Bianca Hara Violetika tidak akan pernah menyangka, akan menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Dean Dari...
1.9M 231K 54
PART MASIH LENGKAP NOVEL TERSEDIA DI MARKET PLACE SHOPEE JAKSAMEDIA Ini adalah kisah seorang gadis bernama Adhara Zefanya Claire. Gadis dengan traum...
27.4M 2.4M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
8.8M 319K 26
Ini kisah Naina Putri Praja. Sosok gadis dingin, berwajah cantik, si pemilik tatapan tajam, namun jarang tersenyum. Member Popopi yang merupakan prim...