Tinta Terakhir ✔

Von Lilpudu

1.7M 222K 36K

[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal... Mehr

Halaman pertama🍂; Prologue
Halaman kedua🍂; awal
Halaman ketiga🍂; Warteg pinggir jalan.
Halaman kelima🍂; Ditempat yang sama.
Halaman keenam🍂; Awal dari pertemuan.
Halaman ketujuh🍂; Tolong rahasiakan.
Halaman kedelapan🍂; Pertemuan yang dibalut rasa sakit.
Halaman kesembilan🍂; Harus Sempurna Di mata Ayah.
Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.
Halaman kesebelas🍂; Maaf karena merepotkan Ayah.
Halaman keduabelas🍂; Bisa sembuh, kan?
Halaman ketigabelas🍂; Peristiwa di gang.
Halaman keempat belas🍂; Gelisah yang membuncah.
Halaman kelima belas🍂; Menjadi kuat untuk sementara
Halaman keenam belas🍂; Maaf karena tidak bisa menjadi sempurna.
Halaman ketujuh belas🍂; Apapun untuk ayah.
Halaman kedelapan belas🍂; Berjuang sedikit lebih lama
Halaman kesembilan belas🍂; Belum siap kehilangan
Halaman kedua puluh🍂; Tidak bisa jika tanpa oksigen
Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir
Halaman kedua puluh dua🍂; Tinta terakhir
Halaman kedua puluh tiga🍂; [end] Berhasil menjadi kebanggaan ayah
Bonus chapter🍂; Kita mulai semuanya dari nol.
Bonus Chapter II🍂; Semuanya akan baik-baik saja
Segera Terbit!
VOTE COVER!
PRE-ORDER DIBUKA!
Versi AU⚠️

Halaman keempat🍂; Rumah kedua.

94K 12.1K 1.4K
Von Lilpudu


Happy Reading!


Sudah satu jam lamanya kota bandung diguyur hujan, rintik kecil yang jatuh secara bersamaan pada atap sekolah membuat beberapa dari mereka yang masih berdiri di depan kelas enggan untuk melangkahkan kaki, menerobos derasnya hujan sore ini. Sama seperti pemuda dengan pakaian pramuka yang masih berdiri menunggu hujan reda, padahal di dalam tasnya sudah tersimpan jas hujan berwarna coklat muda pemberian sang bunda, tapi entah kenapa tubuhnya tetap geming, manik kecoklatan itu menatap lurus pada setiap percikan dari air yang menghantam tanah dengan kasar.

Tangan kirinya kini bergerak, lantas ia tatap arloji di pergelangan tangannya. Ternyata sudah pukul enam lebih tiga puluh menit, tapi kenapa hujan belum juga reda, dan kenapa tidak ada satu keluarga pun yang menjemput atau bahkan peduli? Entah lah, Hanan juga bingung. Padahal sekarang tidak ada jadwal les, seharusnya ayah dan bunda menelpon dan menanyakan keberadaannya yang sampai semalam ini belum juga menginjakkan kaki di rumah.

Ah iya, Hanan hampir lupa kalau kehadirannya kadang tidak pernah di anggap. Senyuman kecut kini terlihat, Hanan menghembuskan napas kasar sembari mulai melangkahkan kakinya dan berlari secepat yang ia bisa menuju parkiran sekolah. Dengan napas yang terengah-engah Hanan merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motor, kemudian tanpa berlama-lama ia langsung menancapkan gas di atas rata-rata. Tidak pedulikan seberapa kencangnya angin yang menerpa tubuh kedinginan itu, yang terpenting  Hanan harus segera sampai.

Sekitar lima belas menit berlalu, tubuh basah milik Hanan kini berjalan dengan langkah gontai sebab kepalanya terlampau sakit dan tubuhnya menggigil hebat. Mata sayu itu mengerjap beberapa kali sebab pandangannya perlahan mengabur, sampai akhirnya dengan sisa tenaga yang ia punya, kaki itu berhasil sampai di rumah kayu dekat rel kereta, rumah kedua paling nyaman dan hangat yang Hanan punya.

“Assalamu'alaikum..”

Tak perlu menunggu lama, seorang pemuda yang terlihat lebih muda dari Hanan pun keluar, dan di detik itu juga tubuh Hanan jatuh tepat pada pelukan si pemuda yang kini terlihat begitu panik.

“Ya ampun, bang!” dengan suara serak nan berat ia lantas berteriak, “Bang Bian! Tolong, bang!”

Lantunan ayat suci yang sempat terdengar dari dalam alun-alun berhenti saat si paling muda berteriak, sampai-sampai sarung yang sedang ia gunakan hampir jatuh jika saja tangan itu kalah cepat.

“Astagfirullah, aya naon, Ji?”

Setelahnya iris gelap milik Bian langsung terarah pada tubuh Hanan yang semakin merosot kebawah.

“Berat, bang.. Cepet ini bawa ke dalem.” perintah Aji, selaku anak paling muda di dalam rumah.

Dengan cepat Bian mengangguk, mengambil alih tubuh Hanan untuk ia bopong ke dalam walaupun tenaganya hampir habis sebab tubuh Hanan lebih berat darinya. Tapi tidak apa-apa, demi Hanan, Bian rela berkeringat.

“Bang? Bangun..”

Bian menepuk pelan pipi Hanan setelah berhasil menidurkan tubuh itu di atas kasur kecil yang selalu ia tempati berdua dengan Aji. Walaupun kadang harus di awali dengan perang suit terlebih dahulu agar tidak ada kelicikan diantara mereka berdua.

“Ambilin sarung abang, Ji, tuh deket ukulele.” manik gelap Bian terus menatap ke arah darah yang mulai keluar dari hidung Hanan, “Ini hidung si Hanan berdarah.”

“Hah? Berdarah?!” Aji yang panik malah menghampiri Hanan hanya untuk sekedar melihat, sampai akhirnya pukulan cukup kuat mendarat di bahunya.

“Buru keun ari maneh!”

Sembari meringis kecil Aji meraih sarung biru milik Bian, kemudian ia berikan sarung itu sembari tak hentinya mericau, mengucapkan ribuan sumpah serapah untuk laki-laki berpakaian koko cokelat yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri.

“Sakit, tahu!”

Bian terkekeh pelan sembari mengusap bahu Aji,
“Iya, maaf..” lantas menyodorkan bahunya, “Nih pukul, gantian.”

Melihat itu Aji tersenyum licik, dengan kekuatan penuh ia tinju bahu Bian menggunakan tangan kosong. Sampai akhirnya ringisan terdengar dari mulut Bian, laki-laki itu memberikan lirikan maut nya pada pemuda yang kini tengah tertawa karena merasa puas.

“Satu sama.”

Bian memberikan ekspresi tidak terima setelah melihat seberapa puasnya Aji.
“Perasaan abang ngga sekeras itu pukul kamu, Ji.” bibirnya dimajukan beberapa centi, “Jahat..”

Dan demi apapun melihat ekspresi Bian yang sok manja seperti itu membuat perut Aji mual, ingin sekali ia bacakan ayat-ayat ruqiah pada telinga pemuda itu.

Sampai-sampai mereka tidak sadar kalau Hanan tengah tersenyum kecil melihat pertengkaran antara mereka berdua. Teringat saat ia masih bersama dengan sang kakak di panti asuhan beberapa tahun lalu. Tapi hingga detik ini, Hanan masih belum bisa menemui sang kakak sebab entah kenapa ayah bersikeras melarangnya untuk pergi ke panti, tempat dimana Wisnu masih menetap dan tinggal disana.

Alun-alun Hanan mengubah posisinya menjadi duduk meskipun kepalanya masih berdenyut nyeri, sembari tersenyum Hanan meraih sarung dari tangan Bian untuk mengusap darah dari hidungnya. Di situ Bian langsung menatap Hanan, seolah menanyakan apa yang sudah terjadi sampai ia bisa seperti ini.

“Kenapa, bang?” Suara berat milik Aji ternyata lebih dulu terdengar, membuat fokus Hanan sepenuhnya terarah pada pemuda di samping Bian.

“Ngga pa-pa..” tangan Hanan masih berusaha mengusap sisa darah dari hidungnya, “Abang minta minum, boleh? Tenggorokan abang kering.”

Dengan gerakan cepat Aji langsung beranjak, mengambilkan satu gelas air untuk Hanan. Sebenarnya bukan kali pertama Hanan seperti ini, bahkan dua minggu lalu Hanan sempat menangis karena tidak kuat menahan sakit akibat pukulan yang tak sengaja ayahnya berikan saat Hanan mencoba melawan.

“Masih sakit?” tanya Bian, melihat Hanan yang terus memijat pelipisnya sendiri.

Hanan mengangguk kecil, matanya sesekali terpejam menahan sakit.
“Sedikit, bentar lagi juga sembuh.”

Kini Bian yang mengangguk kecil, matanya masih ia fokuskan pada Hanan yang baru saja menerima segelas air dari tangan Aji. Dengan perlahan Hanan habiskan air itu sebab entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba kering.

Di dalam sini, Hanan selalu bisa merasakan kehangatan hanya dengan berkumpul bersama Aji dan Bian. Dua pemuda yang sudah Hanan anggap sebagai adik sendiri, anak-anak kuat yang mampu merawat dirinya tanpa mengeluh walau kadang semesta tidak pernah mau berteman baik.
Ukulele di samping meja kecil yang Hanan lihat adalah benda paling berharga bagi mereka, barang yang memang tidak seberapa tapi berhasil merubah kehidupannya.

Hanan ingat sekali, malam itu adalah jadwal kereta terakhir, sengaja Hanan memilih untuk menaikinya sebab malam-malam adalah waktu yang tepat untuk pergi tanpa sepengetahuan ayah. Di situ air mata tidak mampu Hanan tahan lagi, janjinya untuk menemui Wisnu saat sudah dewasa masih belum bisa ia tepati, alasannya hanya satu, Ayah. Iya, laki-laki yang sudah Hanan anggap seperti ayahnya sendiri tak pernah sekalipun mengizinkan ia untuk bertemu dengan Wisnu.

Dan mungkin sekarang lah saat yang tepat untuk Hanan menemui Wisnu, tak apa jika esok hari ayah akan marah atau bahkan memukulnya, demi apapun Hanan ikhlas, tapi tolong untuk kali ini saja biarkan Hanan pergi, rasa rindunya sudah tidak dapat lagi di bendung. Tapi sialnya, entah ini hal yang baik atau tidak, manik teduh milik Hanan tak sengaja melihat seorang pemuda yang tengah berlari dengan tubuh sempoyongan, lututnya berdarah, tulang pipinya lebam, tangannya terus meremas bagian perut sembari menahan tangis.

Dengan gerakan cepat Hanan berlari menghampiri pemuda yang kini mulai ambruk, air matanya jatuh detik itu juga, sampai akhirnya Hanan berjongkok, menyamakan tingginya dengan si pemuda di hadapan.

“Ampun.. Jangan pukul Aji lagi, sakit..” sembari mengangkat kedua tangannya, pemuda bernama Aji itu mencoba melindungi diri, padahal Hanan hanya berniat menolong.

“Uangnya udah Aji kasih semua, bang.. Aji mau pulang..” suaranya bergetar hebat, sama seperti bahunya yang kini mulai turun, pemuda itu menunduk sampai keningnya menyentuh tanah.

Jelas, melihat itu Hanan langsung mengangkat tubuh Aji, dan dengan begitu mata mereka langsung bertemu. Bisa Hanan lihat sorot mata itu memancarkan kepedihan, bulir kecil di pelupuk matanya alun-alun kembali jatuh bersamaan hembusan napas panjang.

“Aji mau pulang..”

Hanan mengangguk kecil, ia usap air mata yang terus jatuh di pipi pemuda itu. “Dimana rumahnya? Nanti biar saya antar.”

Aji tidak merespon, tangannya masih setia meremas bagian perut, membuat Hanan lupa pada tujuan awalnya untuk menemui sang kakak.

“Kenapa?” iris kecoklatan milik Hanan kini mengikuti arah pandang Aji.

“Sakit..”

Hanan mengangguk kecil, lantas ia bantu pemuda itu untuk berdiri meskipun kakinya masih bergetar dan kesulitan untuk berjalan.
“Duduk di sana dulu, ya? Biar saya obatin lukanya.”

Kini giliran Aji yang mengangguk, membiarkan Hanan membopong tubuh bongsornya pada kursi di samping jalan. Lantas setelah itu Hanan bersihkan luka besar di lutut Aji menggunakan sebotol air yang sempat ia bawa dari rumah.

“Saya bersihin lukanya ngga pa-pa, kan? Soalnya bisa iritasi kalau ngga cepet-cepet dibersihin.”

Lagi, Aji mengangguk. Kini tangisannya mulai mereda, mata berair itu ia fokuskan pada Hanan yang tengah membersihkan darah dari lututnya.
“Maaf Aji ngerepotin.”

Senyuman simpul terlihat di bibir ranum milik Hanan, sembari terus membersihkan luka di lutut Aji, Hanan mulai membuka suaranya.
“Kenapa? Abis berantem, ya?”

Aji menggeleng sembari meringis kecil, merasakan perih di lututnya.
“Uang Aji tadi dicuri sama abang-abang di sana.” jari telunjuknya mengarah pada gang kecil yang bisa Hanan lihat sangat minim pencahayaan, “Waktu Aji nolak, mereka malah tendang perut Aji, terus mereka ngejar sampai akhirnya Aji jatuh dan uang hasil Aji kerja dari pagi sampai malem diambil.”

“Sialan.” gumam Hanan yang ternyata masih bisa Aji dengar. “Terus kamu ngapain di sana malam-malam?”

Dengan tampang polosnya pemuda itu menjawab, “Awalnya abis pulang kerja Aji udah ada niat mau kasih makan anak kucing di sana, tapi ternyata malah kaya gini.”

Belum sempat Hanan bertanya, teriakan dari arah samping berhasil menarik atensi keduanya.

“AJIII!!!”

Lantas di detik berikut nya suara Aji terdengar lirih, “Abang..”

Pemuda dengan pakaian koko putih berlari secepat mungkin untuk menghampiri Hanan dengan Aji di kursi panjang. Wajahnya pucat, kentara sekali sedang merasakan panik yang berlebihan setelah melihat keadaan Aji sekarang.

“Ya allah, Aji..” matanya langsung tertuju pada luka di wajah Aji, lantas di detik berikutnya mata Hanan bertemu dengan iris sendu pemuda itu.

“Abang cari kamu dari tadi, Ji.. Kenapa malah kaya gini?” suara berat itu semakin terdengar bergetar, tangannya mengusap lembut kepala Aji.

Dan melihat itu tiba-tiba hati Hanan menghangat, rasanya sentuhan di kepala Aji ikut terasa di kepalanya. Bedanya, sentuhan itu Hanan bayangkan dari telapak lembut milik Wisnu. Hanan rindu, tapi kenapa rasanya begitu susah hanya untuk sekedar bertemu.

“Uang Aji di ambil, bang..” saat itu juga lamunan Hanan buyar, ia lantas menatap Aji yang ternyata kembali mengeluarkan air matanya.

“Ngga pa-pa.. Besok-besok Aji diem di rumah, ya? Biar abang yang kerja.” senyuman manis dari pemuda di hadapan Aji terlihat jelas, dan terlihat sama tulusnya dengan Wisnu.

“Maafin Aji, bang..”

Dari saat itu, entah bagaimana bisa Hanan langsung jatuh hati pada keduanya. Hanan ingin sekali membantu Bian dengan Aji yang ternyata tidak ada ikatan persaudaraan, iya, mereka tidak sedarah, tapi bisa Hanan rasakan ketulusan dari keduanya.

Sampai akhirnya beberapa hari kemudian Hanan kembali ke stasiun hanya untuk menemui Aji dan memberikan ukulele dengan stiker  HBA di sana, yang artinya Hanan, Bian, dan Aji. Senyuman langsung terpancar dari bibir merah muda milik Aji, lantas dengan girang pemuda itu berlari sambil melompat-lompat kecil menuju rumah dengan Hanan yang membuntutinya dari belakang.

Dan dari hari itu, Bian dan Aji adalah rumah kedua milik Hanan setelah Wisnu.





































(+)

Abian Restu Pamungkas

Putra Aji


feel-nya dapet ngga sih?
kalian masih mau baca, kan?😭

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

28.5K 7.2K 42
[SEDANG DI REVISI] "Ini bukan kisah pilu penuh duka dan berakhir tragis." "Tapi secuil kisah cinta sejati yang di rencanakan oleh Tuhan." ©_llalov3
1.1M 183K 28
[ Part lengkap ] Tidak peduli bagaimana tubuh itu di terpa angin, hujan, ombak, bahkan badai sekalipun. Punggung Ayah akan tetap menjadi yang ter-ko...
85.6K 9.1K 24
[REVISION] -ft na jaemin© #Book1 Kisah Na Jaemin si kutu buku dingin yang selalu menjadi laki-laki pujaan seorang gadis ceria yang sangat menyukai hu...
218K 18K 91
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...