Hai, Sea! (End/Complete)

By NaylaSalmonella

101K 18.5K 2.5K

Picture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada :... More

Halo Temans
Episode 1 Game Over
Dream Cast
Episode 2 Paginya Pengantin Baru
Episode 3 Pelarian Hidup Sea
Episode 4 Mesmerize
Episode 5 Pergumulan Batin
Episode 6 Siang Nahas
Episode 7 Siang Nahas 2
Episode 8 Breaking News
Episode 9 Where Are You, Now?
Episode 10 Tentang Lelaki Itu
Episode 11 Mengenal Hana
Episode 12 Aku Sudah Bersuami
Episode 13 Adegan di Kubah Bunga
Episode 14 Stranger
Episode 15 Benang Merah
Episode 16 Kartu AS
Episode 17 Konsep Rumah Tangga
Episode 18 Pagi dan Siang yang Ganjil
Episode 19 (Bukan) Akting yang Natural
Episode 20 Suatu Hari di Solo
Episode 21 Happen for a Reason
Episode 22 See You When I See You
Episode 23 Trial
Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta
Episode 25 The Pines
Episode 26 Percaya Padaku, 24 Jam Saja!
Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu
Episode 28 Sudah Saatnya Pergi
Episode 29 Suara Pria Terlarang
Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan
Episode 31 Setia
Episode 33 Halo, Sea, Temanku!
Episode 34 How Are You?
Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku
Episode 36 Langit Malam Itu (End)
365 Senja

Episode 32 Kilas Balik

2.4K 565 115
By NaylaSalmonella

Koordinat -2,6388454, 140,9999017 di bawah hutan yang lebat hingga sinar matahari susah menembus tanah, terlihat pergerakan pasukan berseragam angker. Siluet warna loreng hijau dan hitam terlihat sibuk membangun tenda dan membuat api. Sebentar lagi hari malam, para pasukan yang dipimpin oleh seorang komandan peleton itu butuh beristirahat. Situasi mulai tidak kondusif karena hari mulai gelap dan hujan khas Papua mulai turun.

Beberapa dari mereka bergotong royong membangun tenda yang besar. Beberapa tentara sibuk membuat makanan siap saji di atas unggun yang membara. Ada yang membuat minuman panas, sekedar mengusir hawa dingin. Komandan regu sibuk berkoordinasi dengan pimpinan regu lain yang tersebar di beberapa titik. Untuk koordinat itu agak spesial karena pimpinan tertua mereka ikut bersama. Ialah Lettu Inf. Gavin Supadio.

Para ksatria bangsa itu tengah bertugas di perbatasan Indonesia – Papua Nugini. Memeriksa batas antar negara demi menjaga kedaulatan bangsa. Sebentar lagi tugas mereka akan tunai dan segera kembali ke homebase di Tanah Jawa. Akhirnya, penugasan sembilan bulan lima hari akan segera usai dengan baik.

Mereka tegas, sekaligus tegar. Menahan rindu di balik seragam berwibawa itu tak mudah. Menyembunyikan air mata dan luka apalagi. Namun, apabila negara telah memanggil semua harus rela ditinggal termasuk anak, istri, kekasih, dan keluarga. Perpisahan mendewasakan mereka.

Salah satunya Gavin, menjejakkan kaki di salah satu tanah negara di ujung timur ini merupakan kebanggaan terbesarnya. Lelaki bermata sedih itu bisa mengamalkan teori-teori survive yang dipelajarinya selama ini. Memegang dan menggendong "istri pertama" sepanjang waktu. Bersenda gurau dengan rekan sejawat meski di tengah hutan belantara minim signal komunikasi. Itu sangat menyenangkan, pikirnya.

Bisa mengusir rasa rindunya pada "istri kedua" yang jauh di mata. Hanya bisa memandangi selembar foto kusut di dompet basahnya. Berlembar-lembar uangnya kali ini tak berguna, jika tak bisa dipakai untuk mendatangi sang istri. Beberapa lembar kartu ATM pun sama, tiada guna untuk membeli signal demi menebus rindu pada keluarganya. Semua hanya tentang doa, yang bisa menembus apa saja.

Maka Gavin hanya bisa mendoakannya, di sela-sela menunggu makanan yang dimasak Praka Jefry matang. Memandangi foto kusut itu lagi dengan mata kosong. Dengan punggung dan kepala bersandar ke pohon yang tinggi besar, di sebelah senjata disenderkan tanpa mengurangi kesiapsiagaannya. Kedua kakinya terbuka lebar menopang tubuh besarnya yang letih. Mungkin karena telah lima hari mereka mengendap di hutan sebelum tugas mulia itu usai esok lusa.

"Izin, Ndan, T2!" buyar Praka Jefry. Gavin mendongak dan menyimpan foto kembali ke dompetnya, karena Jefry menyodorinya nasi kaleng panas rasa rendang sapi. "Izin, masih panas, Ndan!" aba-aba Jefry.

"Ma kasih, ya, Jef!" sahut Gavin singkat, lalu tersenyum pada bawahannya itu.

"Siap!" jawab Jefry tegas. Tentara muda itu tak sengaja melirik sang Danton memasukkan foto yang terlipat ke dompet sebelum menerima makanan darinya. Tentu memancing keusilan prajurit itu pada Gavin, apalagi Gavin dikenal akrab dengan para anggotanya.

"Izin, Ndan, kangen Ibu, ya?" tanya Jefry yang membuat Gavin menjeda kunyahan nasi ala tentara itu.

"Apa boleh merindukan orang yang teramat jauh, Jef?" tanya balik Gavin sambil tersenyum santai. Perwira muda itu lantas menerima secangkir imukal panas dari tangan Serda Dwi.

"Ma kasih, Wi!" sahutnya yang dibalas badan tegap Serda Dwi. Sersan itu kemudian duduk di sebelah sang komandan untuk ikut berbincang.

Situasi cukup kondusif hingga membuat mereka bisa berbincang santai. Lagipula hujan merantau cukup deras, membuat doa-doa mereka semakin lancar menuju langit. Sederhana, mereka hanya meminta para pengacau malas berbuat onar di waktu seperti ini. Tak seperti pekan lalu, di mana mereka hampir berkontak senjata. Biasalah, situasi di Papua sekeras bentang alam dan curah hujannya.

"Ndan, sebentar lagi kita kembali ke markas. Pasti menyenangkan ketemu anak dan istri," ujar Dwi setelah menyelesaikan seruputan susu cokelat panas berkalori tinggi itu.

"Siap, betul, Ndan! Ah, sa su kapok bertugas di Papua," celetuk Jefry memperlihatkan barisan gigi putihnya.

Gavin hanya tersenyum tipis, berdecak enteng seraya menggeleng-geleng. "Kalian ini cengeng sekali ka! Baru sembilan bulan su kangen," ejek Gavin yang dibalas tawa renyah kedua anggotanya.

Lelaki pendiam itu kembali melamun karena gelontoran Imukal membawa angannya melayang ke saat itu. Minuman hangat manis ini, bukannya amat disukai oleh seorang gadis aneh? Mata dan wajahnya sampai berbinar saat itu. Gavin ingat betul dia siapa, pramugari yang pernah tersesat di tubuh istrinya.

Istri, membahas tentang itu hanya membuat matanya berembun. Apalagi dua anggotanya yang berseri-seri itu makin tergelak saat memamerkan foto dan video anak-anak mereka. Bayi dan balita itu amat menggemaskan, membuat Gavin iri. Suami mana yang tidak ingin menimang bayinya sendiri, Gavin pun sama. Namun, apa daya garisan waktu belum berpihak padanya.

Di titik ini, Gavin masih harus berhenti di tempat. Memendam rindu yang semakin menderu dari hari ke hari. Tanpa bisa terucap, hanya bisa menyembul lewat untaian doa demi doa.

Untung saja, jam malam tiba. Sebagai yang tertua Gavin menitahkan sebagian pasukan untuk berjaga serambi, melaporkan setiap pergerakan kepadanya. Sebagian lagi beristirahat demi mem-back-up para rekannya. Mereka akan gantian jaga dalam beberapa jam sekali. Tentu mereka harus tetap menjaga kesehatan dan kondisi tubuh sebab alam ini ganas, daerah endemik malaria.

Cukup Gavin yang kurang tidur, karena dia bertanggung jawab untuk para pasukannya dan kedaulatan negara ini. Tak masalah tidur beberapa jam saja, toh dia tak pernah tidur nyenyak semenjak memendam rindu. Penugasan ini cukup mengusir kesepiannya akibat cinta yang jalan di tempat. Lebih baik dia bersyukur sebab kondisi malam ini tak semencekam malam-malam kemarin. Tak ada laporan yang menonjol dari regu di titik lain.

Membuat pria itu bisa sedikit santai di dalam tendanya. Duduk selonjor lengkap dengan sepatu lars, helm tempur, senjata di samping, dan seragam yang sedikit dirantau hujan. Tidak masalah asal dia bisa bebas memandangi foto kusut itu lagi. Lagi-lagi, melipur rindu dari selembar foto karena ponselnya kehabisan baterai sejak siang. Masih diisi daya oleh anggotanya, kemungkinan tak bisa penuh karena powerbank mulai menipis dan mereka harus berbagi daya.

Memendam rindu pada seorang wanita yang bernama Hana tidak pernah sesulit ini sebelumnya. Gavin bisa bebas mengungkapkan, melampiaskan lewat kata dan sentuhan jika Hana bisa dijangkaunya. Sayang kini mereka jauh. Bukan hanya jarak, tetapi juga waktu. Bukan perbedaan waktu, lebih ke dimensi.

Sang istri telah pergi ke suatu tempat yang tak bisa dijangkaunya. Sinyal telepon mana saja tak dapat menghubunginya. Pergi ke mana saja takkan bisa menemukannya. Uang berapa saja takkan bisa membantunya. Kecuali mereka sama, dimensi yang sama, alam yang sama. Ya, Hana telah meninggalkan Gavin dalam jarak yang jauh hingga lelaki itu hanya bisa menyebutnya dalam doa.

Hanya doa, untaian doa yang bisa diucap lelaki itu dalam pasrahnya. Dengan mata yang membasah, dia komat-kamit mengucap doa pada Sang Kuasa. Demi menerangi tempat tidur abadi Hana di sana, ya, di sisi Tuhan. Gavin tafakur, menengadahkan doa kepada langit. Berharap rangkaian hujan di titik penugasan ini membawa doanya ke atas sana.

---

Dua tahun yang lalu ....

Pajero Sport hitam berhenti di depan pagar tinggi rumah yang megah. Pengemudinya seorang pria berusia 29 tahun yang larut dalam kebimbangan. Dua hari Gavin tak bisa menghubungi Hana, tak tahu keberadaan Hana di mana. Menghubunginya pun tak kuasa. Dia rasa Hana ada di rumahnya, yang sedang dilihatnya kali ini.

Hatinya bimbang, hendak masuk atau tidak. Berpikir sejuta kali dalam melangkah karena takut salah ambil keputusan. Di suatu sisi, dia menyesali tindakannya pada putri keluarga ini. Di sisi yang lain, amarahnya tak bisa ditahan, Gavin sangat benci diremehkan dan diragukan. Perihal cintanya apalagi, setianya sudah diuji berulang-ulang dan menyakitkan jika Hana sampai meragukannya.

Maka, yang terbaik adalah menemui Papi dan Mami Hana di rumah itu. Mungkin saja Hana juga sudah ada di dalam, sehingga sekali Gavin datang semua urusan akan selesai. Pria itu langsung melangkah menyisihkan ragu setelah memarkir mobil hitamnya di halaman luas rumah sang mertua. Tanpa sempat mengetuk, pintu jati besar itu terbuka dan menampakkan si empu keluar dengan wajah suram.

"Gavin, sejak kapan datang?" sambut Pak Hutomo bingung.

Gavin yang salah tingkah hanya mencium punggung tangan sang mertua sembari izin bicara. "Sebelumnya, apa Hana ada di sini, Pi?" tanya Gavin ragu.

"Apa kalian ... bertengkar?" Pak Hutomo terlihat ragu. Meski menyayangi sang putri, tapi dia tetap ingin mendengar penjelasan Gavin. Jelas mereka ada masalah, dua hari pula Hana tak bisa dihubungi.

"Boleh Gavin bertemu Hana, Pi?" tanya Gavin cemas. Raut mukanya tak pernah santai meskipun sudah digiring duduk di ruang keluarga yang nyaman. Pak Hutomo hanya menarik napas sesak dan panjang. Sesekali dia menoleh ke arah kamar tempat Bu Laila sedang histeris.

"Hana ...," Pak Hutomo menunduk, "tidak bisa dihubungi sejak kemarin lusa, Vin."

Pria bermata sedih itu langsung menunduk, pencariannya bermuara pada kebuntuan. Hana tidak ada di rumah ini, tak ada juga di setiap rumah teman yang didatangi Gavin. Benar, semenjak dua hari yang lalu Gavin tak berhenti mencari sang istri. Tentu saja menyesal, ingat tekad bahwa tak ingin kehilangan Hana lagi.

Namun, sia-sia, percuma. Dari semua teman Hana yang berusaha ditemuinya, hasilnya nihil. Hana bak hilang ditelan bumi, lagi dan lagi. Lagi, Gavin tenggelam dalam bimbang sehingga dua hari tak bisa bekerja dengan benar. Teguran terus mampir dari atasan dan seniornya, sama seperti hati kecil yang terus mengutuki egonya.

Andai saja sore itu dia agak berpikir jernih. Andai saja dia menahan tangan Hana agar tak sampai keluar dari pagar asrama. Andai saja ....

"Apa masalah kalian sebenarnya, Vin?" tanya Pak Hutomo yang membuyarkan lamunan kosong Gavin.

Tentara itu tersentak kecil lalu berkedip berkali-kali demi menyamankan matanya yang perih. Air mata mulai menggenang rupanya. "Salah paham, Pi. Hana marah karena tahu Gavin berteman dengan Sea. Padahal semua terjadi di luar kuasa Gavin, kami berteman juga saat Sea ada di tubuh Hana."

Penjelasan Gavin membuat Pak Hutomo melongo bingung. Antara konyol dan aneh dengan penjelasan sang menantu. Namun, ada benarnya, sikap Hana saat pertama sadar dulu sangat aneh. Beda dengan sikap Hana, putri yang teramat dikenalnya, selama ini. Rasa-rasanya amnesia mengubah Hana terlalu drastis.

"Maksudmu ...?" selidik pria paruh baya itu hati-hati. "Tubuh Hana dimasuki jiwa orang lain bernama Sea? Sikap anehnya karena jiwa Sea?" tanyanya memperjelas ucapan Gavin.

"Benar, Pi. Memang tidak logis, susah bagi saya untuk percaya. Namun, memang terjadi. Lusa, Hana mengakui semua. Dia berpura-pura menjadi Sea beberapa hari sebelum ketahuan. Katanya untuk menguji sikap saya." Gavin menghela napas panjang. "Maaf, saya terlalu emosi. Kemarahan saya meledak karena Hana meremehkan saya."

Pria itu menunduk. Seolah telah siap dengan penghakiman dari mertuanya. Begitu pun dengan Pak Hutomo yang kehilangan kata-kata. Hanya bisa menerawang ke titik kosong, mulut terkatup, dan telinga yang terus tertuju ke kamar tempat sang istri masih menangis tersedu.

"Papi sebagai orang tua Hana meminta maaf atas kemanjaan dan sikap tidak dewasanya. Kami menyadari bahwa Gavin selalu berusaha menjadi suami yang baik yang menerima Hana apa adanya." Pak Hutomo menghela napas panjang seraya mengurut janggutnya. "Lalu setelah ini apa kamu akan menceraikan Hana, Vin?"

Pertanyaan sang mertua membuat Gavin terhenyak. "Tentu tidak, Pi. Saya tidak pernah kepikiran untuk meninggalkannya. Semua keputusan ada di tangan Hana sekarang, meski itu adalah hidup dan mati saya," ujarnya pasrah.

Pak Hutomo hanya bisa menunduk kehabisan kata-kata. Entah apa lagi yang harus diperbuatnya pada Hana dan sang menantu.

Tak lama kemudian, suara pintu terbuka memecah suasana, keluarlah Bu Laila dengan wajah sembab dan mulut terus meracau. Di tangannya tergenggam tasbih yang terus terputar, wanita itu menyebut nama Tuhan demi sang putri semata wayang.

"Gavinkah itu?" tanyanya sedih sembari mendekati dua pria putus asa yang menunduk itu.

Pak Hutomo mendongak dan menarik halus tangan lemas Bu Laila. "Papi, apa Gavin tahu di mana Hana? Mami takut Hana nekat, Pi. Apalagi kata-katanya ...," urai Bu Laila sembari menunduk dalam tangis.

Gavin tak sabar bertanya. "Kata-kata bagaimana, Mi?"

"Vin, tolong temukan anak Mami. Hanya Hana yang Mami punya, Mami mohon ... apa pun kesalahannya, Mami minta maaf," Bu Laila menyatukan dua tangannya ke depan wajah Gavin. Seolah meminta ampunan, dan itu makin membingungkan Gavin.

"Mi, justru saya yang meminta maaf karena tidak bisa menjaga Hana. Kedatangan saya kemari untuk mencarinya, sebab dua hari dia tak berkabar setelah kami bertengkar," jelas Gavin yang membuat tangis Bu Laila makin meledak. Kini dia meronta di pelukan sang suami karena bayangan yang bukan-bukan.

"Hana bilang ingin merenung di tempat yang jauh. Mengganti langit Jakarta dengan langit yang lain karena tak ada tempat di hati Bang Gavin lagi," celoteh Bu Laila parau. Tanpa memandang sang menantu, dia terus saja berceloteh. "Mami mohon Gavin, apa pun kesalahan Hana itu salah Mami. Tolong temukan anak Mami, Mami mohon ...," pintanya hancur.

Pria tinggi itu hanya bisa menunduk sesak. Seolah langit telah runtuh, hatinya luluh lantak hancur berantakan. "Sejujurnya, Hana meminta perpisahan dari saya, Pi, Mi."

"Apa ...? Cerai maksudmu?" sambung Pak Hutomo tak percaya.

Gavin menggeleng lesu. "Entah perpisahan seperti apa yang dia minta. Saya pun masih menunggu jawabannya, Pi. Makanya saya terus menunggu teleponnya, tapi ternyata malah ponselnya yang tidak aktif sejak dua hari yang lalu."

"Saya kira Hana di sini, saya pikir dia bertemu dengan Papi dan Mami, makanya saya bertahan sampai dua hari. Ternyata ...," ucap Gavin tak sanggup terlanjutkan.

"Kami bahkan sudah melapor ke polisi, Vin," imbuh Pak Hutomo pelan. Matanya tak pernah berpendar cerah, hanya suram dan mendung mengingat nasib Hananya.

"Lalu, Pi?" sambung Gavin tak sabar. Sayangnya, Pak Hutomo hanya bisa menggeleng sembari menunduk lesu. Nihil, masih tak ada kabar dari kepolisian.

"Hana ... Hana kamu di mana, Nak ...," Bu Laila terus menangis dan meracau. Tak lama kemudian, tubuh lemas itu lunglai dalam pingsan. Wanita cantik itu tak kuasa menahan kekalutan batinnya akan nasib sang putri semata wayang.

"Mi, kalau tidak ada kabar tandanya Hana baik-baik saja," hibur Pak Hutomo berusaha menguatkan kaki Bu Laila yang lunglai. Tidak berguna.

Dua pria sedih itu kemudian menolong Bu Laila dengan membopongnya ke kamar. Sembari terus berdoa, mengetuk pintu Tuhan agar nasib Hana segera muncul. Agar mereka tak semakin bingung menerka-nerka. Satu titik saja dari Hana sudah melegakan mereka semua. Gavin hanya berharap detik ini gambar secawang abu di ponselnya akan berubah dua cawang.

Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Saat sebuah dering nyaring telepon berasal dari ruang tengah. Pembantu yang tergopoh mengangkat langsung mencari Pak Hutomo yang sedang menenangkan sang istri. Kata asisten rumah tangga, itu telepon dari Singapura. Tentang Hana, dan itu teramat penting.

"Hello, this is First Leuitenant Gavin Supadio. I am Hanasarah Zettira's husband. You can talk to me," ucap Gavin serius menyambut telepon penting itu. Bukan suara Hana yang didengarnya, melainkan seorang petugas medis dari Negeri Singa itu.

Beberapa detik dari saat itu, wajah Gavin makin tak bisa dikondisikan. Kedua alisnya yang hampir menyatu karena terlalu serius itu mendadak luruh. Lemas, seiring dengan mata sedihnya yang menatap ke satu titik. Mulutnya terbuka, melongo kehabisan perkataan karena jawaban dari seberang telah memukul telak hatinya.

Bukan kabar Hana yang membahagiakan rupanya. Tak berkabar bukan karena ingin menenangkan diri, tapi karena Hana telah tenang dalam pelukan Tuhan. Bukan kabar bahagia, tapi duka mendalam. Hana telah pergi dalam sebuah kecelakaan di Singapura.

Baru saja terjadi kemarin malam, kata mereka Hana menabrak pembatas jalan. Diperkirakan Hana sedang dalam kondisi mabuk minuman beralkohol. Mustahil bagi Gavin, dia tahu betul Hana tidak mungkin mengenal benda semacam itu. Namun, semua masuk akal karena wanitanya sedang putus asa.

Putus asa dengan nasib percintaannya hingga lupa pada akal sehat.

"Ada apa, Vin?" sentak Pak Hutomo yang tak mampu dijawab Gavin dengan perkataan. Tentara itu hanya bisa memeluk sang mertua dalam tangisan.

Dengan parau, lidah nan kelu, Gavin menjelaskan semua dalam air mata. Terbata-bata dan hampir jatuh pingsan karena merasakan nasib sang istri yang malang. Kenapa harus seperti ini akhir cinta mereka? Gavin kira Hana sedang menepi di pantai sepi, berjalan di pasir lembut dengan kaki telanjang. Menenangkan diri dan kembali dalam pikiran yang segar. Ternyata ....

Andai saja dia tahu, tentu tangannya itu menahan tubuh Hana agar tak pergi. Sayangnya, yang tersisa kini hanya penyesalan. Semua telah berakhir dengan kepergian Hana untuk selamanya. Kerinduannya abadi pergi bersama Hana ke tempat yang sangat jauh.

"Kenapa tidak merajuk seperti biasa, Sayang? Kenapa kamu tidak memukuliku saja? Kenapa kamu tidak memilih perpisahan saja, daripada meninggalkanku seperti ini? Walau kita tak bersama, tak apa asal kamu tetap sehat dan hidup di dunia yang sama denganku. Jangan begini, Hana! Katakan ini hanya mimpi!" teriak Gavin dalam benaknya sembari memeluk erat foto besar sang istri di ruang itu.

"Kukira kamu baik saja setelah meninggalkanku. Kukira kamu akan kembali dalam pikiran segar untuk membawa keputusan terbaik. Ternyata ...," racau Gavin kacau.

Tangisnya tak terjeda lagi. Air matanya tumpah bak air bah. Emosinya tak tertahan lagi, lupa dia tentara atau apa pun itu. Dia hanya ingin menangis menunjukkan lukanya pada dunia. Rasanya tak percaya, detik ini masih tak percaya. Namun, telepon demi telepon itu berdatangan. Dari pihak kedutaan, kepolisian, rumah sakit, dan lain sebagainya.

"Ya Allah, Hanaku ... anakku ...," ratap Pak Hutomo memukul-mukul emosi dada dan benda apa pun yang ada di dekatnya.

Kenyataan ini terlalu berat bagi pria paruh baya itu. Kehilangan si semata wayang setelah dua hari tak menerima sepatah kabar apa pun. Sangat menyakitkan, lebih sakit dari kabar pertama kemalangan Hana beberapa bulan yang lalu. Sekarang apa yang harus dikatakannya pada sang istri saat sadar nanti? Tak usah dibayangkan, hancur itu sudah pasti.

---

Gavin mengusap air yang membasahi matanya. Selain dari tetesan air hujan hutan Irian Jaya, air itu berasal dari matanya akibat kenangan lama. Dua tahun yang lalu dia harus melepas Hana mau tak mau, rela tak rela. Bisa apa, bukan dia pemilik waktu di dunia ini. Gavin sadar setiap manusia punya garis waktu masing-masing.

Sekarang dia sudah lebih tegar. Bisa berkata dengan kuat bahwa tugasnya membersamai Hana telah selesai. Dia telah menjaga pernikahannya sampai garis akhir, meski itu baik atau buruk. Gavin telah berusaha menjadi suami yang baik meski hasilnya tak sebaik bayangannya. Tak bisa memaksa karena Hana juga manusia biasa. Bisa berubah meski telah mengenal bertahun-tahun.

Lelaki berloreng itu telah memaafkan Hana, baginya Hana telah malaikat suci yang tak pernah berbuat salah. Dia berharap Hana juga telah memaafkan semua dan pergi dengan damai. Mungkin, karena Gavin sering bermimpi Hana tersenyum damai. Sampai detik barusan, Gavin masih bermimpi tentang Hana. Mimpi indah karena kerinduannya yang abadi. Dan itulah yang membuat pria tegar itu terjaga.

Kembali Gavin membuka foto lusuh di dompetnya. Setengah melamun, dipandanginya lagi wajah Hana yang cantik sedang tersenyum. Hatinya hangat karena senyum itu rasanya nyata. Hana seperti sedang tersenyum di depannya. Sama seperti saat menyambutnya bangun tidur atau pulang kerja. Hingga dua tahun, dia masih ingat semua.

Tangan berorotnya kemudian memberanikan diri membuka lipatan tebal dari dalam dompetnya, sebuah kertas yang lecek karena ratusan kali dibaca dan dilipat ulang. Goresan tangan terakhir dari cinta abadinya, Hana. Benda itu ditemukan di dalam tas kecil saat Hana kecelakaan. Sepertinya ditulis di hari kepergian Hana ke Singapura.

"Dear Abang (masihkah aku boleh memanggilmu seperti ini?)

Saat aku menulis surat ini, kita telah bersama selama 10 tahun 4 bulan. Sebuah perjalanan waktu yang panjang dan sia-sia, bukan? Bosan juga ya menghabiskan waktu dengan orang yang sama? Sehingga otakku sempit karena hanya terus memandang pada orang yang sama, langit yang sama.

Maaf Abang, jika aku terlalu serakah dan kurang syukur. Pikiranku sempit karena definisi setia kita berbeda. Tak kukira, kadar cinta kita pun beda. Aku tidak tahu besar siapa, karena cinta tak ada timbangannya.

Aku yang salah karena melanggar hal yang kamu benci, tak percaya. Ya, Abang, kita bisa bertahan karena percaya dan aku telah melupakannya. Itu karena aku sangat muak dengan duniamu, maaf. Aku ingin bebas seperti angin lautan, tak bisa dibatasi meski dengan layar perahu yang lebar.

Maaf harus meninggalkanmu dengan cara seperti ini. Entah sementara atau waktu yang lama, aku hanya ingin tenang sementara waktu. Jika surat ini terkirim dan terbaca padamu, percayalah aku baik saja. Aku hanya ingin terhubung lewat surat dan tulisan seperti dulu. Agar kita tak perlu terjebak panggilan internasional. *ps: sampaikan hal yang sama pada Papi dan Mami.

Jujur, aku ingin damai, Bang. Aku ingin memaknai dunia di bawah langit yang beda, mungkin Singapura mungkin juga Paris. Tolong sampaikan pada Papi dan Mami juga, mereka lebih percaya padamu daripada aku :). Sekali lagi merepotkanmu, sorry Abang.

Kalau kamu ingin bebas status dariku, feel free to contact me! Aku mau kok menandatangani surat apa pun darimu. Mungkin kita tergaris hanya menjadi pasangan selama 10 tahun dan 4 bulan, selanjutnya jadi teman not bad-lah.

Last but not least, terima kasih buat semuanya. Aku nggak bisa sebut satu-satu, Abang karena kamu terlalu baik buatku. Seriusan, aku memang senaif itu. Aku memang sebuaya itu, maafkan aku, ya. Terima kasih buat semua, termasuk membiarkanku pergi.

I love you for 10 years and still counting, Abang. Hanasarah."

"Surat macam apa ini, Hana? Kamu menganggap perpisahan kita seenteng itu, seperti leluconkah? Hatiku menangis setiap membacanya, tapi apa kamu sedang tertawa renyah di sana?" Gavin menyeka air matanya sembari bergumam sedih. "Sudah bahagiakah kamu memandang langit yang beda bersama mimpi-mimpi itu, Sayang?"

"Kamu memang memberiku sebuah status baru, duda. Miris sekali, Hana! Tak kusangka surat wasiatmu seriang itu," kutuknya tak henti dalam hati. Seperti yang diperkirakan, mengenang itu akan bermuara pada sesal dan sesal akan berakhir pada kurang syukur. Mungkin karena itulah Gavin menyisihkan kenangan pahit manisnya, hanya sesekali mengenangnya. Sekedar lewat.

Pria bermata sedih itu tergugu pilu di bawah tendanya yang dirantau hujan. Suara air langit itu menyamarkan ratapan sedihnya. Tentu saja tak ada manusia yang boleh tahu, kecuali alam semesta dan Tuhan. Bisa hancur ketegaran yang susah payah dibangunnya selama ini. Sudah cukup dia dikasihani karena ditinggal istri pergi selamanya. Menjadi duda di usia muda itu tidak mudah bagi Gavin.

Surat dari Hana dikatakan terlalu riang untuk sebuah surat perpisahan terakhir kalinya. Lelaki itu tak menyangka bentuk perpisahan mereka tak seindah cara penyatuannya. Mereka terpisah dalam kondisi bertengkar yang berujung pada penyesalan terhebat. Gavin benar-benar tak menyangka bahkan sampai detik ini bahwa perpisahan ini nyata.

"Andai aku pergi bersamamu sore itu, apakah ending kita akan sama? Kurasa tidak," sesal Gavin lirih, lalu dia menggelengkan kepala kuat untuk menegaskan ikhlasnya. "Tidak, semua sudah suratan. Aku tidak akan menahanmu lagi, Hana. Maafkan aku," ucapnya kuat seraya mengusap sisa air matanya.

Sekali lagi, pria itu menyembunyikan luka di balik seragamnya. Menata ulang ketegaran seperti karang di tebing laut. Kembali dilipatnya surat panjang itu dan masuk ke dalam dompet tebalnya. Kemudian dia bersandar di pohon basah yang menjadi tiang tendanya, menatap langit luar yang gelap tanpa gemintang.

Tiba-tiba sebuah lipatan kertas yang terselip di balik foto di dompetnya menyembul keluar. Gavin tercenung menatap benda itu dan kembali ingatannya melayang ke sebuah nama, Sea Rose Sophia. Dia lupa tak hanya surat dan foto Hana yang selalu dibawanya. Surat perpisahan dari Sea juga turut serta, dibawanya ke mana-mana. Dia baru ingat hubungannya bersama Sea selama ini, sepasang teman.

"Apa kabarmu, Se? Apa kamu masih ingat denganku?" batin pria itu makin haru membiru. Punya teman Sea atau tidak, tiada berbeda bagi Gavin. Dia tetap sendirian, tak berkawan untuk berbagi kesedihan. Menanggung beratnya kesepian berdua bersama bayangan.

Akhirnya, pria tinggi itu menyudahi semua dan mencegah air cengeng tumpah dengan menyimpan benda-benda menyedihkan itu kembali ke dalam dompet. Terakhir, dimasukkannya dompet itu ke dalam salah satu saku celana loreng dengan wajah datar. Dipasangnya sebuah senyum tegar, tak lupa doa tulus agar semua berjalan baik-baik saja.

Hidup masih terus berjalan. Mungkin seperti derap langkah orang yang sedang berjalan menuju tendanya. Serka Ismail mendekat dengan wajah serius. Membawa sebuah kabar yang kemudian menyibukkan para lelaki bersenjata itu.

"Izin Ndan, Prada Theo melaporkan ada pergerakan di sektor utara. Izin petunjuk?" tanya Serda Ismail.

"Semua anggota siaga 1! Kumpulkan semua Danru di saluran aman!" putus Gavin serius.

Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah berkata, "Jangan mudah tergelincir dalam saat seperti ini, segala tipu muslihat dan provokasi yang tampak atau tersembunyi dapat dilalui dengan selamat, kalau kita waspada dan bertindak sebagai patriot."

***

Bersambung..

Another plot twist :)

Terima kasih sudah membaca ❤️❤️❤️

Terima kasih untuk komentarnya, maaf InsyaAllah nanti balasnya dirapel ya ❤️❤️❤️❤️❤️

Di dalam hatimu, 4 September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

207K 528 20
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya
164K 9.7K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
176K 11.2K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
58.8K 572 5
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...