Episode 15 Benang Merah

2.4K 469 31
                                    

Dulu aku kagum pada tentara hanya karena fisik mereka. Mereka punya badan yang bagus di balik seragam mereka. Mereka teratur, rapi, dan tidak berisik saat menjadi penumpangku dulu. Ternyata setelah aku melihatnya langsung dari dekat semua kesan itu bertambah.

Gavin adalah sosok yang lembut, baik, penyabar, dan bisa menjadi dingin di waktu yang sama. Dia bak kulkas dua pintu, dingin tapi bermanfaat bagi kehidupan. Sikap dinginnya itu menarikku untuk memandangnya lebih lekat dalam diam. Caranya bicara, memandang, bahkan sampai saat menyetir mobil punya aura yang beda. Manly but cool, semacam itulah.

Pundak tegap, dada bidang, lengkungan siku, dan lengan bawahnya yang seksi. Berurat pasti karena olahraga yang teratur. Pergelangan tangan yang selalu tertempel jam tangan, pertanda dia sangat memperhitungkan waktu. Aroma tubuhnya wangi, tidak bau asap karena no smoking. Pria yang menarik.

Itulah kenapa dia sangat menjaga dan menyayangi Hana, karena dia mencintai dirinya sendiri.

Gavin yang kukagumi dari video pernikahannya dulu saat ini ada di sebelahku langsung. Dia tak banyak bicara kalau tidak diajak bicara, pendiam. Suka mendengar musik slow dari mobilnya. Suka menyetir dengan tenang tidak grusa-grusu, bahkan saat melewati lubang jalan dia akan memelankan mobilnya.

Inikah benang merah kenapa aku masuk ke tubuh Hana? Untuk merasakan sensasi berdekatan dengan pria setampan inikah? Atau mungkin untuk merasakan kenyamanan palsu? Sampai tiba di rumah aku masih berpikir keras.

Aku pulang saat sore sudah mendatangi hari. Disambut bahagia oleh papi maminya Hana. Tak lupa Ambu yang mengurus manusia ini sejak bayi. Mereka tampak berharap banyak pada Gavin yang berseri-seri. Sepertinya semua berharap Hana menemukan ingatannya. Sayangnya, tidak.

Mungkin wajah datar dan senyum nanggungku bisa jadi jawaban. Kalau di dalam tubuh ini bukan manusia yang mereka harapkan. Apalagi saat aku ngeloyor masuk ke kamar tanpa menyentuh meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa. Sepertinya mereka hanya membiarkanku begitu. Sekali lagi, mereka anggap aku butuh ruang sendiri. Termasuk Gavin yang membiarkanku meninggalkannya.

Bluk! Kulempar sandal berat Hana ke ujung kamar. Kasur rapi di kamar bernuansa merah muda ini juga kutimpa kasar. Setidaknya nuansa kamar ini masih senada denganku, suasana cerah dengan warna pastel meski hidup suram. Yah, hidup bahagia Hana itu tak luput juga kok dari kata suram.

Harus mulai dari mana untuk mencari benang merah kejadian ini? Hana dan Gavin adalah penduduk kota Bandung, sedangkan aku lahir dan besar di Jakarta. Bagaimana bisa kami bertemu? Tidak, kami tidak mungkin punya keterkaitan. Aku saja tidak pernah satu sekolah apalagi bertemu dengan Hana.

Sambil berpikir keras, aku membuka laci meja rias Hana. Wanita ini hidup bagaikan cerita dongeng ‘kan? Pasti dia menulis kejadian-kejadian ajaib di hidupnya, atau setidaknya buku harianlah! Kubalik-balik kotak kertas dan isi laci itu. Hati terus berharap menemukan sesuatu yang berguna.

Hatiku berdetak keras sekali tatkala mendapat sebuah buku tebal bersampul flanel merah muda dengan sulaman bunga sakura. Pasti ini buku harian, dan tak menunggu waktu lama aku membukanya. Halaman pertama kudapati tulisan rapi dari tangan Hana. Isinya biasa, tentang ciuman pertamanya yang ternyata bukan … Gavin.

“Wanita yang … wow,” gumamku heran.

Mataku lanjut menelusuri lembar kedua. Dia bercerita tentang pertemuannya dengan Gavin. Terjadi saat mereka masih duduk di bangku SMA, ternyata memang satu sekolah. Selisih usia mereka tiga tahun, Hana kelas 1 dan Gavin kelas 3. Selebihnya aku tak membacanya, terlalu muak jujur. Tak lebih dari kisah cinta remaja dimabuk kasmaran.

Semua berubah saat aku membaca lembar keenam. Di mana Hana menuliskan tentang kemalangannya. Saat dia kelas duduk di bangku kuliah dan Gavin sedang berjuang di pendidikan tentara, Hana terlibat kecelakaan. Mobil yang dikendarai supirnya menabrak pohon. Keduanya terluka, Hana yang lebih parah.

Hana menulis, dia dibawa ke rumah sakit dengan baju yang penuh darah dan tangis histeris orang tuanya. Kesadarannya terus turun karena sedang merindukan Gavin yang jauh di Magelang. Wanita ini bilang, baru kali itu dia memendam kemalangan demi Gavin. Asal Gavin memperjuangkan cita-citanya. Hana berkata dia sangat bangga pada Gavin, tak perlu mencemaskan dirinya. Meskipun sangat ingin Gavin menyemangatinya sembuh.

Dan masih kuingat mata sedih lelaki itu saat kami berpisah beberapa bulan yang lalu. Aku marah jika kamu sibuk, Kak. Aku nggak suka kita jauh. Namun, kali ini aku bangga meski kamu tak di sisiku. Demi sepotong loreng di masa depanmu.”

“Ah … dia bisa dewasa rupanya,” gumamku sambil menyeka air mata dari tubuh ini. Ternyata Gavin memang biasa bertampang sedih sejak dulu.

Aku tidak takut pergi, hanya takut sendiri. Aku takut sendirian tanpa Mami Papi, tanpa Kak Gavin. Tuhan yang Baik memberiku pertolongannya. Masa kritis itu lewat dan diakhiri dengan pelukan erat dari mereka. Siapa pun kamu, terima kasih atas sekantong darahmu. AB rhesus negatif, darah kita yang langka, ‘kan? Hanasarah, di beranda jendela rumah sakit Mitra Kencana Bandung.”

Deg! Seperti ada kabel putus di otakku. Seperti baru tersengat kabel listrik, aku terpaku membeku. Sepertinya aku tak asing dengan curahan hati Hana barusan. Empat tahun silam saat usia baru genap 17, aku berlibur ke vila Papa di Bandung dan tidak usah ditanya, pertengkaran meletus antara Papa dan Mama.

Papa melempar Mama dengan vas bunga dan aku menangis sejadi-jadinya. Ya, waktu itu aku masih menganggap pertengkaran mereka seperti perang dunia. Mama lalu mengajakku pergi ke rumah sakit pakai taksi tanpa dipedulikan papa. Tangis sedihku penuh ratapan karena baju mama berlumuran darah akhirnya berhenti saat dokter menjahit lukanya.

Sembari menunggu mama, aku duduk diam di depan ruang IGD dan membaca tulisan “RS Mitra Kencana” berkali-kali. Mengamati para petugas medis berlalu-lalang sibuk membawa pasien. Sampai pada sebuah keributan sibuk di ruang suster. Dari yang kudengar, mereka butuh darah golongan AB negatif. Seorang gadis 20 tahun dalam kondisi kritis karena kehilangan banyak darah.

“Ah …,” dengan hati runtuh aku meremas bibir. Tangan dan seluruh tubuh ini bergetar dengan hebatnya.

Bukankah anak tujuh belas tahun yang mendonorkan darahnya waktu itu adalah aku? Ya, aku yang mendonorkan darah pada Hana ini. Akulah si darah langka itu, AB rhesus negatif. Masih ingat muka polosku saat mendekati para suster itu. Aku hanya kasihan saja, ingat mamaku yang berdarah-darah. Meski sekarang aku apatis, dulu aku punya jiwa sosial juga.

Jadi … inilah benang merah kenapa kami bisa terhubung? Dalam tubuh Hana mengalir darahku. Golongan darah langka yang kudonorkan untuk menolongnya.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang