Episode 20 Suatu Hari di Solo

1.9K 465 85
                                    

Aku suka hawa dingin kabin pesawat, tapi tidak dengan hawa dingin musim kemarau. Itu hanya membuat kulitku kering dan keriput, serta kadang pecah-pecah. Padahal bekerja di balik seragam anggun itu butuh kulit mulus bak pualam. Meski aku hanya menunjukkan sebagian kulitku, mulus sebuah keharusan.

Terbang saat musim kemarau adalah yang paling menyenangkan. Pesawat jarang mengalami kendala teknis. Langit bak lautan yang tenang dan cerah. Membuat pilot dan awak kabin merasa tenang tanpa gangguan awan CB. Namun, tetap saja aku tak suka musim itu.

Membuatku harus rajin mengoles krim demi krim pada jengkal-jengkal kulit Hana – tipikal kulitnya mirip sepertiku yang cenderung mudah kering. Kutatap langit yang cerah di pagi ini, sepertinya tanah ini sudah bertemu dengan kemarau. Beberapa pohon besar di satuan militer ini mulai meranggas, menggugurkan dedaunannya. Mereka berserak, tersibak angin dari mobil yang melewatinya. Membuatnya terlihat tragis, dramatis, atau mungkin romantis.

Semacam mataku yang mengembun karena menatap dedaunan itu buyar dari balik jendela mobil yang disetiri Gavin ini. Hatiku teraduk, entah apa alasannya. Mungkin karena di pagi yang dingin ini aku hendak terbang ke Solo, untuk menemukan jejak keberadaan Sea, tubuhku. Tentu saja, semua masih buram. Yunita pun tak tahu jelas posisi tubuhku di mana. Hanya kami punya petunjuk penting, rumah sakit pertama yang jadi tempat perawatanku dan Hana.

Sepanjang jalan, Gavin tak banyak bicara. Dia hanya diam di balik kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Pun dengan persatuan jempol dan jemari yang menyangga hidung itu, kebiasaan Gavin saat menyetir memang unik. Bagaimana tidak, tangan kirinya menyangga hidung dengan bertumpu pada arm rest dan tangan kanannya berada di kemudi.

Dia membawa mobil ini dengan santai. Sesantai outfit-nya hari ini. Suami milik Hana ini membalut tubuh tinggi proporsionalnya dengan kaos kerah Polo warna biru muda, celana jeans dongker, dan jaket pilot parasut warna hitam. Tangannya yang jenjang sudah dilapisi smartwatch Garmin. Penampilan yang necis untuk ukuran pria beristri.

Membahas Gavin tidak ada habisnya. Sama seperti arti namanya “Elang”, tatapan pria itu memang kadang setajam paruh elang. Mata sedih sayunya itu bisa berubah jadi garang saat aku mulai menyudutkannya. Kalau dirasa, situasi kami tak pernah benar. Sejak hari pertama aku sadar di tubuh Hana sampai hari ke 25 ini, kami tak pernah terlibat percakapan santai.

Namun, bukan berarti dia tak pernah mengajakku santai atau sekedar bicara ringan. Akunya saja yang terus memberontak. Meski bertekad berusaha menjadi Hana, tapi aku tetap tidak bisa. Hati kecilku terus berontak karena tak bisa kehilangan jati diri.

Honey, kita sudah sampai. Kamu tidak mau sarapan dulu?”

Pertanyaan Gavin diiringi dengan tatapan perhatiannya memecah lamunanku. Sejak kapan ingatanku berhenti bekerja, tadi bukannya aku masih menatap daun-daun yang tersibak? Lantas sekarang aku sudah di parkiran bandara Soekarno-Hatta, CGK, dengan masih ditatap lekat olehnya. Gavin bahkan membantuku melepas sabuk pengaman dan mempersilakanku turun.

“Kamu berubah pikiran?” tanyanya karena melihatku tercenung.

Aku menggeleng kuat. “Nggaklah, kita harus tetap ke Solo!” tegasku sembari menarik kenop pintu. “Dan lagi, aku nggak mau kita sarapan bersama. Aku suka makan sendiri,” pintaku tegas.

“Dan Abang nggak akan biarkan kamu sendiri. No excuses!” tandas Gavin menyisakan sesak di dada ini. Bisa apa, dia merantaiku untuk beberapa jam ke depan. Huh!

Akhirnya, kaki jenjang milik Hana ini kugerakkan turun dari mobil. Dengan antusias, kuedarkan mata milik Hana ini ke sekeliling parkiran. “Ah, aku kangen tempat ini,” ceplosku tanpa sadar.

“Ada apa dengan tempat ini? Kamu sering kabur ke mana?” sahut Gavin sambil berdiri di sebelahku. Diselempangkannya tas di dada dan dia melepas kacamata hitam itu. Pandangannya mengikuti arah mataku yang sibuk.

“Kabur ke angkasa, runway itu adalah jalan kaburku,” ceplosku santai sambil meliriknya sekilas.

Dia berdecak lantas menggeleng kecil. “Sudahlah, menurutimu hanya membuat pusing. Masuk saja, cari sarapan dan check-in,” ajaknya cuek.

Tanpa berkata banyak, aku menuruti langkah jenjangnya. Postur tubuh Hana yang semampai membuatnya tak sulit mengimbangi langkah lebar Gavin. Menurutku, mereka pasangan jerapah, sama-sama tinggi. Maka tak butuh waktu lama kami beranjak masuk ke pelataran bandara.

Terlalu akrabnya aku dengan tempat ini, maka aku sampai salah masuk ke bagian check-in counter kru kabin. Tentu saja petugas darat Sky Airlines langsung menatapku aneh. Ohlala, aku lupa sedang berada di situasi apa. Sambil menyengir bodoh, aku undur diri. Pun dengan Gavin yang menarik tanganku cepat seraya meminta maaf.

“Kamu beneran lupa identitas sekarang? Kacau banget,” ejeknya sambil menggigit donat bomboloni penuh gula halus. Dia melengos cuek meski mulutnya kotor. Kekanakan sekali.

Sambil menahan tawa dengan gulungan tangan, kutarik sebuah tisu basah dan kuangsurkan padanya. Gavin menyambarnya dengan cuek lalu melengos lagi. “Sudah kubilang, kalau bandara adalah tempat yang kurindukan. Aku hanya menghayati peran,” kataku santai sambil menggigit kecil donat toping cokelat kacang.

“Terusin aja …,” sindir Gavin setengah mendelik, “lama-lama Abang pulang aja nih kalau kamu ngaco!” ancamnya sambil mengusap mulutnya sedikit keras.

“Oh … key,” desahku menyerah. Tidak ada gunanya mengganggu kenyamanan lelaki ini. Mau berada di tempat ini untuk menuruti permintaan ngeyelku saja sudah bagus. Gavin tak mudah sewelas asih ini kok.

“Bang …,” panggilku ragu, tapi Gavin langsung memfokuskan matanya padaku.

“Kenapa?” sambutnya dingin.

“Beneran nggak bisa kasih waktu sebentar, 24 jam saja, untuk percaya bahwa aku bukan Hana, tapi …,” kugigit bibirku cemas dan kupandangi Gavin takut-takut, “Sea ….”

Air mukanya yang sempat mengeras itu perlahan kendur. Apalagi kedatangan Yunita membuyarkan semua. Si tambun datang di saat yang tidak tepat, saat aku sedang menggiring hati Gavin. “Hai … maaf, ya, aku terlambat.” Sapaan Yunita yang ceria berubah menjadi sedih saat melihat wajah galak Gavin.

“Eng … maaf, ya, Abang,” ucap Yunita sambil meletakkan segelas Starbucks yang masih mengepul ke hadapan Gavin. Semacam sogokan mungkin.

“Kalau niat pergi, jangan telat!” sambut Gavin dingin sembari menyambar tumbler itu.

“Siap, Abang!” Yunita membuat sebuah hormat di kening, lalu si gimbul itu menoleh padaku.

“Hana, gue udah dapat nama rumah sakit pertama yang merawatmu dan pramugari itu. RSAU dr. Siswanto Solo, ini alamatnya,” sodor Yunita padaku yang menyambut uluran tangannya. Ada selembar kertas yang berisi alamat tempat tujuan kami.

“Kalau nama rumah sakitnya aku udah tahu kali,” sindir Gavin sinis. Hanya dibalas senyum sungkan dari bibir Yunita.

“Semoga semua terbuka hari ini,” harapku lirih, tapi ternyata didengar Gavin dengan jelasnya.

“Lalu kamu mau apa?” tanggapnya dingin.

Aku menatapnya penuh keraguan. “Tentu saja mencari cara untuk kembali ke tubuhku, Bang. Bagaimana pula ini bukan tubuhku, tapi milik Hana istri Abang,” jawabku dengan tempo cepat. Takut salah, berharap dia tak mendengarnya dengan sempurna.

Namun, air muka lelaki itu makin suram. Mendung menggantung di kedua mata sedihnya. Bibir seksinya itu melengkung kecewa, mungkin dia pikir aku kambuh lagi. Apalagi sebuah kalimat kekecewaan meletus beberapa detik kemudian. “Bisakah kamu diam saja, Sayang? Abang takut nggak kuat dan mendingan sudahi saja hari ini!” geramnya.

“Jang – jangan, Bang … kumohon jangan, ya?” bujukku tanpa ragu. Parahnya, tanpa ragu pula aku membentuk Namaste di dada sebagai tanda aku sangat memohon.

“Bener, Bang. Mungkin sikap Hana ini hanya terlalu simpati pada Sea, makanya dia jadi gitu. Gimana pula Sea adalah orang terakhir yang dilihat Hana sebelum koma,” bubuh Yunita dengan pandangan memelas. Meski ragu, aku hanya mengiakan ucapan Yunita.

Gavin hanya menggeleng kuat, layaknya orang yang tak percaya telah terjebak di situasi bodoh buatanku. Pun dengan gelas kopi hitam pahit yang diselesaikannya tanpa ragu. Setengah donat gula itu hanya teronggok tanpa dihabiskannya. Gavin memilih ngeloyor ke stan tiket, untuk cek masuk dan mendapat boarding pass. Lelaki itu malas menanggapiku yang halu dan Yunita yang menurutnya menyebalkan.

Ingin sekali aku menjaga jarak dengan lelaki marah itu. Sayang seribu sayang, tempat duduk kami malah berdekatan. Yunita malah terpisah di row belakang, sedangkan kami di row depan. Cukup aneh karena yang memesan akomodasi adalah Gavin. Apa karena sesuatu dia ingin berdekatan denganku?

Sepertinya iya, karena aku yang ketakutan setengah mati saat duduk di 29F, kursi dekat jendela. Entah kenapa sekujur tubuhku dingin bak terjun ke kolam yang beku. Kedua kaki Hana yang kugerakkan ini juga mendadak lemas dan gemetaran saat deru pesawat menyapa telinga. Serasa semua bayangan seram kecelakaan siang itu terputar lagi.

Apa ini yang namanya trauma? Batin sesakku bertanya-tanya.

Are you okay, Honey?” telisik Gavin sambil meneliti wajahku. Sepertinya dia menangkap gelagat anehku lagi.

“B – Bang, apa … pes – pesawat ini akan mel – meledak …?” tanyaku terputus-putus sembari meliriknya nanar.

Lelaki itu seperti langsung membaca ekspresi wajahku. Sandaran tangan yang menjadi sekat kami langsung dinaikkan. Dengan sigapnya, dia merangkul pundak istrinya ini. Gavin mendorong kepalaku untuk rebah di pundak kerasnya. Dia memberiku obat penenang, semacam desisan lembut bak ibu ke bayinya. “That’s okay, Honey. Kamu pasti bisa melewati semua ini, Hanaku selalu kuat memperjuangkan apa yang dia mau. Pesawat ini bukan yang nahas siang itu, kamu aman bersamaku.”

Apa yang dilakukan Gavin saat ini tentu sangat berbeda dengan beberapa menit yang lalu, di mana dia sangat emosional. Detik ini, dia terdengar lembut dan penuh welas asih seperti biasa. Lelaki bermata sedih yang tak banyak bicara. Pemilik pundak kuat dan tangan yang hangat, seorang lelaki berpangkat dan berseragam.

Ingatlah ini, Sea, meski kamu berada di tubuh wanita lain tapi kamu telah merasakan kehangatan seorang pria dewasa. Lewat pelukan, sentuhan, bisikan, pujian, dan ketenangan, kamu sangat beruntung hari ini. Paku itu, camkan itu!
---

Pukul 10 Waktu Indonesia Barat, kujejakkan kaki di Bandara Adi Soemarmo Solo. Bandara yang penuh nuansa menyakitkan bagiku. Langit terlihat sendu juga, sebab mendung masih tersisa di awal kemarau ini. Langit suram, seperti hatiku yang harus dikuat-kuatkan selama 1 jam 15 menit.

Terbang dari Jakarta menuju Solo tidak semudah bayanganku saat menjadi pramugari dulu. Nyatanya, aku sekarang lebih pada mabuk udara. Sepanjang jalan aku harus meletakkan airsickness bag di depan wajah, demi menampung isi perut yang mendesak keluar. Semua isi lambung keluar karena grogi, takut, dan trauma saat burung besi ini membawaku mengudara.

“Hei, kamu nggak apa-apa?” tegur Gavin karena melihatku tertahan di tepi tangga turun pesawat dengan wajah yang pasti sudah pucat.

Aku setengah membungkuk, meletakkan tangan di kedua lutut untuk menumpu badan. Menarik napas yang sesak lebih panjang meski percuma, tetap sesak. Rasanya berat untuk menjejaki landasan ini. Apalagi kalau melihat ke sisi sebelah sana, ada pagar bandara yang catnya masih baru. Dalam artian, beberapa bulan yang lalu SYA 111 menerjangnya hingga hancur tak bersisa.

Ya Tuhan, aku masih ingat dengan jelas saat itu!
Suara badan pesawat yang bergesekan dengan benda apa saja yang menghalanginya. Keras dan menyapuku seperti gulungan ombak. Semua gelap dan aku hanya bisa menutup mata, dan saat aku membuka mata semua telah berantakan seperti tsunami. Teriakan, ratapan menyedihkan menguar ke seisi kabin. Semua kesakitan, berdarah-darah, dan ada yang tak bergerak lagi. Ah, aku sesak!

“Ah …,” desahku sambil menarik napas panjang. Mata milik Hana ini terasa panas dan berkabut, air mataku luruh tanpa bisa ditahan-tahan. Kepala berat ini terhuyung, seperti belakangan ini.

“Hana!” pekik Yunita sambil menahan tubuh lemasku yang hendak lunglai.

Pun dengan Gavin yang langsung membopong tubuh ringkih ini. Kejadian buatanku ini kontan membuat semua orang panik. Pihak kesehatan bandara langsung mengambil kursi roda untuk menolongku. Namun, aku tak mau mengulur waktu lagi. Kutahan tangan Gavin agar menurunkan tubuh istrinya ini.

“Nggak apa-apa, Bang. Sudahlah, kita lanjutkan saja, hem?” ujarku berusaha meyakinkannya. Kutegar-tegarkan wajah lemas ini, kubuat mental sekuat baja.

“Kamu yakin?” tahan Gavin tanpa mengendurkan pandangan cemasnya.

Aku mengangguk cepat agar waktu tak semakin terulur. Gavin pun menurut dengan menurunkanku ke tanah. Telah kukuatkan kedua kaki Hana untuk mulai berjalan menuju exit door. Entah memakai apa untuk pergi ke rumah sakit itu. Tak ingin menunda pencarian meski Gavin terus mengusik keyakinanku.

“Aku takut kamu kenapa-napa, periksa dulu, ya? Please!” mohonnya sekuat tenaga.

“Abang, aku nggak apa-apa. Udahlah!” tepisku meski tak bisa menutupi sorot mata yang masih ketakutan.

“Kamu ingat sesuatu, Han?” tanya Yunita sambil mengiringi langkahku.

Aku hanya menatapnya datar. “Hari di mana kekacauan ini dimulai,” jawabku singkat sambil terus berjalan.

Sesampainya di depan pintu keluar kedatangan domestik, aku dilanda kebingungan baru. Dengan apa kami akan pergi ke rumah sakit Angkatan Udara itu? Dan Gavin menjawab semua dengan diplomatis, sebuah mobil jemputan sudah menunggu kami.

Adalah Letnan Dua Johandi Reza. Pria berseragam loreng itu adalah adik asuh Gavin yang dulu sama-sama Satgas Perdamaian di Libanon. Semua penjelasan gamblang ini Gavin katakan saat kami berada di dalam mobil untuk memulai perjalanan. Tak perlu kuragukan bepergian dengan orang sepertinya, dia penjaga yang bertanggung jawab dan penuh perhitungan, bukan?

“Terima kasih banyak, Dik, sudah membantu Abang,” ucap Gavin sekaligus menjadi kode bahwa tujuan kami sudah dekat.

Letnan muda itu menegakkan badan sembari tersenyum hormat. “Siap Abangku, suatu kehormatan bagi Adik bisa menjemput dan mengantar Abang dan Mbak,” ujarnya penuh hormat sembari melirikku dari spion kecil.

Aku mengangguk sungkan, sama seperti Yunita yang malah gagal fokus pada rupa tentara ini. “Terima kasih, atas bantuannya, Mas,” ucapku pelan.

Sampai Gavin menyenggol tanganku seraya berbisik lewat gerakan mulut, “Dik, bukan Mas.”

Seketika mulutku membola paham. Lupa lagi dengan aturan unik dunia mereka. “M – maksud saya, Dik. Maaf … saya orang amnesia,” ujarku berusaha melucu. Berhasil si Johandi tertawa lebar sekarang.

“Siap, Mbak. Semoga Mbak cepat sembuh, ya? Izin, semoga hawa kota ini membuat Mbak sedikit fresh,” harapnya ramah yang hanya kutanggapi dengan anggukan santun. Aku takut salah ucap, mendingan diam.

Kediamanku bertahan sampai pada akhirnya roda empat ini berhenti di depan sebuah rumah sakit milik Angkatan Udara. Aku masih ingat siang itu, suasana sepinya berubah jadi ramai karena kedatangan para korban kecelakaan. Memang mulut ini diam, tapi hati dan pikiran ini sudah sibuk sendiri. Ingin segera melesat masuk, menemui suster atau siapa pun untuk menanyakan puluhan pertanyaanku.

Gavin atau Yunita tak lagi mampu menahan kakiku melangkah masuk. Mereka yang masih berbasa-basi dengan Johandi tertinggal di belakang, sedangkan aku telah masuk ke resepsionis dan mulai memberondong petugas medis. Tak peduli mereka siapa, berperan apa, aku hanya ingin membeberkan semua.

“Apakah Suster tahu di mana pramugari itu dirawat sekarang?”

Puluhan pertanyaan pembukaku bermuara pada pertanyaan pamungkas yang paling penting itu. Dengan wajah muram, mulut penuh desakan, air mata yang hampir tumpah aku berharap suster menjawab pertanyaanku yang satu ini. Namun, sama seperti respon semenjak awal, perempuan muda itu hanya menggantung rasa penasaranku.

“Menunggu jawaban dokter yang berwenang saja, ya, Bu.” Begitulah jawabnya, sangat mengesalkan.

“Saya butuh jawaban, bukan basa-basi, Mbak!” ulangku tegas dengan mata sedikit mendelik.

“Ya Tuhan, Hana!” cegah Gavin dari arah belakang. Nada suaranya terkejut dan menarikku sedikit mundur dari meja tinggi itu.

Gantian Yunita yang pasang badan dan wajah lebih ramah. Dia menghadapi suster muda yang ruwet itu. “Sus, mohon maaf atas sikap teman saya. Kedatangan kami ke sini hendak mencari seseorang yang pernah dapat perawatan di sini. Kecelakaan Sky Airlines, pernah dengar?” tanya Yunita lebih santai dan sopan.

Memang benar, raut muka suster ruwet itu lebih bersahabat dibanding menghadapiku yang meletup-letup. “Saya paham, Mbak. Oleh karena itu, akan saya antarkan ke ruang dokter yang berwenang. Mari silakan ikut saya.”

“Baik, terima kasih, Sus,” balas Yunita lega. Kemudian, dia menatapku puas.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now