Episode 6 Siang Nahas

2.1K 450 36
                                    

Abang tetap nggak restui kamu ke mana-mana, Sayang!”

Pesan Gavin yang nangkring di ponsel Hana hanya dianggurkan begitu saja. Wanita ayu yang sedang memakai celana jins hitam dan sweater rajut krem itu hanya menyimpan ponselnya ke dalam tas tanpa membalas pesan suaminya. Hatinya carut marut kacau.

Dia saja sedang kabur dari rumah dinas Gavin di asrama. Susah payah dia membawa mobil Gavin keluar dari pangkalan militer itu. Keluar dari penjagaan tanpa menimbulkan kecurigaan itu sudah sebuah prestasi yang susah bagi Hana. Bagaimana tidak, dia terbiasa taat pada aturan.

Hanya kali ini dia merasa tak perlu taat lagi. Sebab semua berhubungan dengan impian masa depannya. Hingga dia rela mengabaikan perintah suami ataupun sesuatu yang berhubungan dengan perizinan Gavin.

Tak biasa dia pergi ke mana-mana tanpa izin dan restu seperti ini. Tak biasa dia memberontak seperti ini apalagi sampai menyetir sendiri ke bandara demi berangkat ke Surabaya bertemu ibu komandan. Bahkan, tak biasa bagi Hana mematikan ponsel saat Gavin sibuk meneleponinya.

Sudah jelas lenyapnya mobil dari garasi rumah menandakan Hana sudah kabur. Sudah jelas Gavin kalang kabut karena tahu istrinya berbuat tanpa izinnya. Tak terbayang betapa marah dan kecewanya Gavin saat ini.

Hana benar-benar sedang menguji kesabarannya.

Angkat, Sayang! Angkat atau kamu nggak cinta Abang lagi!”

Pesan bernada ancaman hanya masuk begitu saja ke aplikasi WA milik Hana. Sayangnya, wanita itu memilih hanya membaca sekilas lantas mematikan ponsel lagi. Dia lebih memilih diam untuk meredakan gemuruh hatinya karena baru saja berbuat sesuatu yang menyebalkan.

Terbayang semarah apa Gavin saat ini, Hana bergidik sendiri. Katanya, orang sabar itu kalau marah pasti seram. Dan itu memang benar. Berulang-ulang Hana celingukan ke sisi bandara yang luas hanya untuk memastikan Gavin tidak mengikutinya.

Hana tak mau diseret pulang saat dia sedang berusaha menentukan masa depannya.

“Maafin aku kali ini, ya, Bang!” gumam Hana putus asa sambil meneguk kopi hitam tanpa gula yang dia beli dengan terburu-buru.

Tangannya sampai gemetar hebat padahal sedang duduk di sebuah kafe menunggu check-in, boarding, dan lainnya. Lagi, dia meneguk isi cangkir yang hampir habis. Tak terasa hampir satu gelas kopi pahit ngendon di lambungnya.

Jam delapan pagi, perutnya belum terisi karbohidrat dan malah terisi dengan kopi. Hana mulai merasakan perih akibat kecerobohannya itu. Mau dikata apalagi, dia hanya terlalu fokus pada egonya. Ambisinya yang menggebu untuk berangkat ke Paris itu mulai menyiksanya.

Hana meremas perut rampingnya sambil melonggarkan syal di lehernya. “Duh, perih banget,” keluhnya sambil mendesis.

Aku harus kuat! Selesaikan hari ini, dapat izin dan minta maaf ke Bang Gavin. Aku nggak boleh melanggar banyak aturan. Iya aku harus sehat!” batin Hana penuh tekad sambil menatap foto pernikahan di dompetnya.

Dia mengelus foto itu. “Maafin aku, ya, Bang? Maafin keegoisanku sekali ini aja!” gumam Hana dengan mata sedih.

“Perhatian, ditujukan kepada penumpang pesawat Sky Airlines dengan nomor penerbangan SYA 111 tujuan Jakarta – Surabaya transit di Jogjakarta agar segera melakukan check-in di counter yang tersedia! Terima kasih!”

Hana mendongak ke arah speaker di atas kepalanya. Dia mendengus lega karena waktunya tiba juga. Dengan langkah yakin, dia berdiri dan merapatkan tas punggungnya. Segera berjalan ke counter untuk check-in dan masuk ke waiting room. Ingin rasanya dia memutar waktu agar cepat berjalan. Rasanya tak sabar lagi menuntaskan hari ini dan memperbaiki semua situasi.

Setelah mendapatkan boarding pass, Hana mengucap terima kasih dan segera naik ke lantai dua. Dia berjalan cepat menuju waiting room sembari merapatkan kacamata hitam di wajahnya. Bagaimana kalau ada yang mengenalinya. Mau dikata apa, dia adalah seorang selebgram yang cukup terkenal.

Bisa jadi ada satu dua orang yang mengenalinya. Dan Hana sedang malas mengurus hal lain selain masalah pelik ini.

Sepelik hatinya yang mulai gatal ingin menyalakan ponsel. Tangannya mulai tergelitik untuk memencet aktivasi data seluler. Dia ingin tahu kabar Gavin, atau mungkin kemarahannya sudah separah apa. Maka, begitu saja Hana menyalakan internet. Seketika puluhan pesan dan panggilan tak terjawab masuk ke dalam layarnya yang menyala.

“Hana, jawab pesanku sebelum Abang benar-benar marah!”

“Abang tunggu kamu, Sayang!”

“Abang nggak suka kamu seperti ini! Tolong jangan buat Abang marah dan khawatir, Hana!”

“Bukan kayak gini caramu, Hana!”

Hana belum selesai membaca semua pesan Gavin, dan Gavin sudah memburunya dengan sebuah panggilan. Dia langsung mengangkatnya dengan jantung yang mau lepas dari tempatnya.

“Halo … Ba – Bang …?” sapa Hana dengan suara lirih.

Suara tinggi Gavin menyambutnya hingga pekak. “Kamu di mana, Hana! Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu mau bikin aku mati berdiri, hah! Katakan kamu di mana, Abang jemput!” berondong lelaki tampan itu dengan kalut.

Hana hanya menahan napasnya sembari celingak-celinguk. Takut kalau calon penumpang di sebelahnya mendengar kemarahan tentara tegas itu. “B – bang … aku mohon sekali ini aja!”

Kamu tahu bukan itu jawaban yang Abang mau, ‘kan?” tegas Gavin tak sabar lagi. “Share lokasimu sekarang, Hana!”

“Ak – aku … di bandara, Bang,” jawab Hana terbata-bata sambil meremas tas di pangkuannya. Matanya hingga terpejam erat karena takut dengan balasan Gavin selanjutnya.

Jadi kamu beneran mau pergi ke Surabaya? Kamu pergi ke bandara diam-diam nggak pamit aku? Kamu sebenarnya masih cinta nggak sama aku, Han? Masih anggap aku suamimu atau tidak, hah!” hardik Gavin setengah membentak.

Mata Hana mulai panas karena dia tetap tidak suka jika Gavin membentaknya, meski ini salahnya. “Abang, semua yang aku lakukan hari ini nggak ada hubungannya sama perasaan cintaku ke Abang.” Hana mulai sesenggukan, meski sangat tertahan.

Dia takut mencuri perhatian meski sudah menepi di tepi ruang tunggu yang agak sepi.

“Aku kayak gini hanya untuk mewujudkan mimpiku pergi ke Paris. Aku berusaha selesaikan masalahku sendiri,” mohon Hana memelas.

Gavin terdengar menghela napasnya berat. “Kenapa kamu memilih sesuatu yang bertentangan sama aku? Kenapa kamu pojokkan aku di situasi yang sulit, Sayang? Kamu tidak bekerja sama saat ini, Sayang! Kamu mementingkan ego!”

“Sama sepertimu, ‘kan, Bang?” sambung Hana lirih.

“Apa …!” lonjak Gavin makin marah.

“Sudahlah, Bang … sekali ini saja! Izinkan aku pergi, ya? Sebentar saja, nanti malam aku akan kembali jadi istrimu lagi. Maafin aku, Bang ….” Bibir Hana bergetar hebat karena menahan tangis yang sedih. Mukanya memerah seperti kepiting rebus, senada dengan bibir berhias lipstik coral pink.

Aku nggak pernah restui kamu ke mana-mana, Hana!” pungkas Gavin sambil menutup teleponnya.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now