Episode 11 Mengenal Hana

2K 402 59
                                    

Setiap pilihan pasti memiliki risiko. Setiap keputusan pasti dipertanggungjawabkan. Begitu pun dengan apa yang sudah kuputus dan kupilih dengan menjadi sosok Hana meskipun jiwaku adalah Sea. Menjalani fisioterapi, menjalani banyak tes dan pemeriksaan, menenggak puluhan obat sehari, berpura-pura bodoh demi mencari info, dan … menurut dibawa pulang ke rumah.

Tujuh hari setelah sadar, aku diputuskan boleh pulang dan menjalani rawat jalan. Aku juga harus menjalani fisioterapi di rumah sakit terdekat dari rumah. Rumah, ya? Pulang ke rumah siapa lagi? Entah, aku masih menebak-nebak saat hendak memulai perjalanan panjang ini. Jam sembilan pagi aku keluar dari rumah sakit dengan dijemput dua orang paruh baya itu, orang tua Hana. Mereka terlihat bahagia dan bersyukur sekali karena akhirnya aku bisa pulang.

Lelaki bermata sedih itu tidak ikut menjemputku karena dia harus dinas dan katanya apa tadi … jadi perwira piket? Ya itulah, aku tak paham bagaimana dunianya. Sebelum celaka aku memang suka dunia tentara, tapi sekarang tidak lagi.

Padahal dalam hatiku tak menentu. Bagaimana bisa aku pulang ke rumah yang bukan milikku? Andai boleh, aku ingin pulang ke rumah Papa. Namun, keributan besar pasti terjadi. Tidak mungkin meyakinkan kedua orang tuaku yang ruwet itu. Semua akan bertambah runyam.

Mobil yang membawaku ini tergolong mobil mewah, sebuah sedan Mercedez Bens hitam mengkilat. Mirip sama salah satu milik papalah. Jadi, Hana termasuk anak orang kaya, plus keluarga yang harmonis. Baik, aku iri padanya. Mungkin karena itulah aku masuk ke tubuhnya. Sarkastis sekali!

“Kalau Hana pusing bilang Mami, ya? Nanti Mami pijitin kepalanya,” ucap Ibu berbaju gamis cokelat keemasan ini dengan wajah cerah dan bahagia. Kedua tangan lembut berkerutnya mengelus-elus pundakku penuh sayang, perhatian. Sosoknya penyayang sekali pada tubuh ini, Hana maksudku. Iri untuk kali kedua.

“Kita langsung pulang, ya, Mi?” sambut sang suami dari kursi depan. Dia kemudian mengomando si supir di sebelahnya untuk segera berangkat.

“Eng …,” tahanku bimbang, “pulang ke … mana, ya?” tanyaku terbata-bata.

Ibu itu tersenyum. “Ke rumah kita, Hana. Di Bandung, kota yang sejuk tidak sesesak Jakarta. Bang Gavin meminta Mami untuk merawatmu sementara sampai kamu membaik dan ingatanmu kembali,” jelasnya sabar sambil terus tersenyum.

Dasar nggak tanggung jawab! Kutukku puas dalam hati.

“Nanti Bang Gavin akan datang setiap akhir pekan kok,” sambung si bapak dari depan. Mungkin melihat aku yang melongo.

“Maksudnya … dari Jakarta ke …?”

“Bandung!” celetuk Ibu di sebelahku ini dengan bahagia. “Romantis, ya, Bang Gavin?” pujinya berseri-seri sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela saat mobil telah berjalan.

Cih, bukankah itu terlalu boros bensin? Buang-buang tenaga dan tidak efisien? Kenapa aku tidak dibawa pulang ke rumahnya Gavin saja? Lebih praktis, ‘kan? Tunggu dulu, jadi rumahnya Hana di Bandung? Cukup jauh juga dari rumah papaku di Jakarta Barat, dan kota tempat Gavin bekerja. Jaraknya hampir memakan waktu enam jam pakai mobil!

Tunggu sebentar, bukankah opsi ini lebih baik daripada aku pulang ke rumah Gavin? Aku tak nyaman berdekatan dengannya, apalagi sampai berkontak fisik. Lagian dia tentara, pasti sibuklah. Jelas tidak bisa mengurusku, sehingga aku diungsikan ke rumah mertuanya.

Sebenarnya, dia sedang bersikap masuk akal, bukannya lepas tanggung jawab.

Mungkin dia merasa kalau aku masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Ya, terima kasih atas pengertiannya, Bapak Gavin!

“Ibu, Hana ini tinggal di mana selama ini?” tanyaku aneh sambil menunjuk hidung.

Ibu di sebelahku menoleh dengan spontan dan mimik wajah anehnya kemudian dinetralkan. “Kamu tinggal bersama Bang Gavin di asrama militer di Ciracas, Jakarta Timur. Kalian menikah selama tiga bulan setelah berpacaran selama sepuluh tahun,” jelasnya sabar.

Sepuluh tahun, mereka pacaran apa nyicil motor? Apa nggak bosen menghabiskan waktu selama itu hanya dengan orang yang sama? Kalau aku sih ogah!

Mulutku melongo lagi hingga ibu ini menutupnya dengan sentuhan lembut. “Apa lagi yang Hana ingin tanyakan ke Mami? Mami pasti bantu Hana, Papi juga,” katanya sambil menunjuk si suami yang sedang main ponsel di jok depan.

“Bener itu, Nak!” timpal si suami pendek lalu menatap layar ponselnya lagi.

“Nama …?” desahku bimbang.

“Mami dan Papi maksudmu?” Ibu ini meyakinkanku dengan mata bulatnya.

Tanpa menunggu jawaban atau tanggapanku, ibu ini menjawabnya dengan lantang, “nama Mami, Laila Azahra dan Papi adalah Hutomo Pambudi. Mami keturunan Arab dan Belgia, sedangkan Papi keturunan Jawa dan Belanda. Itulah kenapa kamu mirip bule, Hana.”

Ibu yang bernama Laila Azahra ini kemudian tersenyum bangga sambil mengibaskan jilbabnya yang kusut. Kemudian si suami yang bernama Pak Hutomo itu memberiku seulas senyum. Oh, terjawab sudah kenapa Hana begitu cantik dan tinggi semampai. Karena dia berasal dari bibit unggul dan berkualitas.

Tidak sepertiku, cuma punya wajah cantik tapi akhlaknya buruk. Karena didikan kedua orang tua yang tak jelas. Mengedepankan unsur kekerasan daripada kasih sayang. Ah, sial! Kenapa aku bisa seharu ini di situasi pelik! Tanpa sadar aku menitikkan air mata.

“Oh, Hana, jangan menangis, Nak …,” Bu Laila terburu-buru menghapus air mataku dengan punggung tangannya. Dia kemudian menatapku lembut. “Tidak apa-apa, kamu pasti bisa mengingat semua. Kami tidak menyalahkanmu atas semua kejadian buruk ini. Tidak ada yang mau sakit dan kehilangan ingatannya, Sayang," hiburnya sangat sabar.

Penghiburan itu diakhiri dengan pelukan pada tubuh ringkihku. Ibu cantik ini memelukku erat sekali kemudian menyeka air mataku yang tumpah. Sesekali dia berdesis kecil semacam lullaby agar aku tenang. Seperti seorang ibu dan anak bayinya yang menangis.

Itulah kenapa aku menangis. Seumur hidup aku tak pernah mengalami kejadian segila ini. Sebuah kesempatan langka bagiku bertukar hidup dengan seorang anak yang teramat disayang orang tuanya. Jujur, aku sangat merindukan kasih sayang dan belaian seorang ibu.

Mamaku yang tukang drama itu apa kabarnya, ya? Apa masih sering menangis karena dipukul Papa? Atau sedang menangisi nasibku sekarang? Atau mungkin sedang menangisi pusaraku bersama Papa? Ah, andaikan kepergianku bisa membuat Papa dan Mama rukun, tidak apa kok. Ironis sekali!

Seironis nasibku sekarang. Mereka teramat baik dan aku sedang menipunya. Yang dia peluk bukan Hana, tapi jiwa orang lain. Bagaimana caranya jujur? Aku ingin mengakhiri semua ini, tapi masih sangat menikmatinya. Siapa yang tidak suka berada di tengah keluarga hangat seperti ini?

“Istirahatlah, Mami tidak mau membuat Hana lelah. Nanti Bang Gavin sedih dan tidak konsen bekerja,” hibur Bu Laila sambil membantuku rebah ke kursi mobil.

Dia kemudian membiarkanku sendiri. Aku menurut dan kembali tenggelam dalam lamunan kosong dengan mata yang menatap ke jendela mobil. Manik mata memilih untuk memandang pembatas jalan di tol, mobil terlihat lambat padahal sedang berjalan kencang.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now