Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan

2.3K 524 61
                                    

"Denting yang berbunyi dari dinding kamarku. Sadarkan diriku dari lamunan panjang. Tak terasa malam kini semakin larut, kumasih terjaga. Sayang, kau di mana aku ingin bersama. Aku butuh semua untuk tepiskan rindu. Mungkinkah kau di sana merasa yang sama, seperti dinginku di malam ini. rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini. Kita menari dalam rindu yang indah. Sepi kurasa hatiku saat ini, oh, Sayangku. Jika kau di sini, aku tenang."

Lagu menyedihkan itu terputar lebih sering dari sisi benak yang lain. Di antara awan-awan merah muda yang aneh, telingaku sudah akrab dengan alunan menyayat itu. Bukan siapa yang bernyanyi, lebih kepada siapa yang memberiku lagu itu. Apa tujuannya memberiku lagu galau itu? Mengaduk rasaku atau sekedar memberi harapan palsu.

Kasih siapa yang dia cari, aku maksudnya? Memangnya dia siapa memanggilku "kasih"? Aku tidak percaya dengan kata semacam kekasih, cinta, atau korelasi keduanya. Bagiku, tidak ada ketulusan antara pria dan wanita selain cuma nafsu. Namun, sepertinya aku telah membantah semua itu, entah kapan. Ada garis waktu yang kulompati.

"Ayolah, Sea! Katanya kamu ingin melihat bulan, langit, dan lautan dengan matamu sendiri. Bangun, Se! Banyak yang menunggumu, termasuk langit yang mulai mendung itu. Bangunlah dan lekas buru sinar rembulannya sebelum tertutup mendung musim hujan."

Ah, suara siapa barusan? Terdengar akrab dan dekat sekali, seperti sudah mengenalku bertahun-tahun. Dia sangat fasih menyebut namaku, termasuk nada panggilannya. Seperti pernah bicara di suatu tempat, mungkinkah? Dia menyuruhku bangun, memang aku tertidur?

Bukankah aku sedang melayang di antara awan-awan aneh ini?

"Sea ... bangunlah, Nak! Mama minta maaf atas semua. Izinkan Mama menebus semua kesalahan Mama waktu itu," ratap suara menyayat itu. Dia terdengar sangat dramatis dari sisi benak yang lain.

"Ma, kita lepas saja Sea. Dia telah cukup menderita, kita telah setuju ...," potong suara lainnya.

"Tidak!" potong suara dramatis tadi lebih tegas. Dia membentak suara ribut satunya. "Mama tidak akan melepas Sea. Kita tidak sepakat, Pa! Kita memang tidak akan pernah kompak." Sebuah tangisan terdengar lagi.

Suara-suara lancang itu bersahutan saling bertengkar, berdebat karena nasibku. Jelas mereka menyebut namaku, tidak tahu maksudnya apa. Memangnya aku mau dilepas ke mana? Bukannya aku cuma tidur, tidak pergi ke suatu tempat.

Kalau cuma membuka mata untuk membuktikan aku sudah bangun sepertinya aku bisa. Perlahan, katup mata yang lengket itu mulai terangkat dan sinar-sinar terang itu masuk ke iris hitamku. Tentu membuatku mengerjap, berkedip berulang-ulang. Silau.

Pun dengan alat-alat aneh yang semakin ribut dari sisi kepalaku. Sebenarnya, tempat apa ini? kebingungan, tapi tidak saat melihat dua sosok manusia yang sedang berhadap-hadapan dengan wajah tegang. Mereka berdebat. "Mama tidak akan melepas Sea, sampai kapan pun!"

"Kamu hanya membuatnya menderita, Ma! Kasihan anak kita, kondisinya terus memburuk ...," balas lelaki itu bernada sedih.

Namun, pandangan wanita yang kukenali sebagai Mama itu beralih padaku. Sangat aneh, Mama memukul-mukuli lengan lelaki yang kukenali sebagai Papa itu dengan mulut bisu. Seolah syok karena melihatku memandang mereka. "Pa ... Papa! Sea, Pa!"

Mereka berpandangan dengan Mama yang terus mengoceh. "Papa, Sea sadar! Papa cepat panggil dokter!"

"Ya Tuhan ...," desah Papa sembari menutup mulutnya. "Anakku ...."

"Cepat, Pa!" Mama mendorong halus tubuh Papa. Mereka aneh karena tampil sangat kompak.

Papa berlari cepat keluar kamar. Sementara itu, Mama mendekatiku dengan gontai. Kedua tangannya gemetar saat hendak meraihku yang masih mengerjapkan mata. Pun dengan bibirnya yang bergetar hebat dengan air mata yang luruh. Masih saja wanita yang mewarisiku kecantikan natural ini bersikap dramatis, seperti biasa.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now