Episode 22 See You When I See You

2.1K 506 40
                                    

Uraian ramyun ayam pedas tampak sangat menggoda air liurku untuk terus mengumpal di ujung bibir. Tak sabar rasanya ingin segera memasukkannya ke dalam mulut. Apa daya aku harus menunggu beberapa menit lagi agar tak perlu meniupnya, masih panas. Table manner memaksaku tak melakukan itu. Selain itu, kebiasaan Hana di meja makan juga sesuai kesopanan dan kecantikan.

Aku tak mau mengubah kebiasaan Hana lagi. Kasihan jika imejnya rusak karena aku. Apalagi sekarang aku sedang makan di depan Gavin dan Yunita. Melipir ke resto makanan Korea, tempat yang ngeyel kupilih dari tadi. Jujur, aku sangat ingin makanan Korea semenjak rasa lapar kembali datang. Sejak pagi aku tak selera.

Meski aku harus makan bersama mereka, acara makan bersama yang tak kusukai. Inginku makan sendiri di tepi jendela resto sembari menatap mobil dan jalanan kota Solo di sore hari. Hanya berteman mangkok dan uap panasnya tanpa ada sepasang mata manusia lain. Aku suka kesendirian, tapi mereka tak pernah membiarkanku sendiri.

"Kok wajahmu nggak suka gitu, Han? Lagian sejak kapan kamu suka makanan ginian? Bukannya kamu suka makanan Sunda?" cerocos Yunita sambil membolak-balik kimchi. Sesaat dia menahan mual karena tak suka baunya.

"Makanan apaan sih ini, Han!" keluhnya sambil mendorong mangkok kimchi dengan wajah pucat.

Gavin mendorong mangkok kecil itu padaku. "Makanlah, mungkin kamu lagi suka coba makanan baru. Masih ada dua jam sebelum kita terbang ke Jakarta," suruhnya sambil menatap arloji.

"Bisa aku makan sendiri aja?" tanyaku sembari menatap mereka berdua. "Aku benar-benar tidak suka makan bersama."

"Kenapa sih, Han?" sambung Yunita cemas.

Aku mengedikkan bahu malas. "Nggak suka aja."

"Sudahlah, toleransi saja! Kami juga nggak suka makanan ini, Hana!" Gavin memandangku tegas yang memaksaku mendengus kesal.

"Ya udah deh, apa boleh buat," desahku lirih sambil menyumpit seurai mi khas Korea itu.

Masuk ke mulut dan rasa yang lezat itu menjalar langsung ke seluruh lidah. Tak lupa kuambil selembar kimchi dan kukunyah dengan meriahnya. Selalu enak, seperti biasa. Serasa lupa semua beban hidup, semua masalah yang menjemukan termasuk dua orang yang sedang menatapku heran.

"Bang, sejak kapan sih bini lo suka makanan gini?" bisik Yunita yang tentu saja kudengar dengan jelas. Mereka sedang membicarakanku tepat di depan wajahku!

Gavin hanya menunduk cuek sembari menikmati odeng dengan wajah dinyaman-nyamankan. "Nggak tahu. Jangan berisik di meja makan!" omelnya kecil.

Yunita menunduk malu dan kembali menikmati nasi goreng kimchi – makanan yang menurutnya paling masuk di lidahnya – tanpa banyak kata lagi. Mungkin benar katanya, Gavin adalah sosok yang sangar dan galak. Namun, bagiku dia sangat sabar dan baik, meski pendiam dan dingin. Entah ya kalau nanti ketemu dengan asliku dalam bentuk Sea.

Memikirkan tentang itu, hatiku sedikit bungah. Tentu saja karena keberadaan Sea sekarang sudah jelas ada di mana. Sekarang tinggal meminta Gavin mengantarku ke sana. Tentu saja aku tak bisa pergi sendiri, tak ingin memicu amarahnya lagi.

Gavin membuka tas kecil selempangnya lalu mengeluarkan sebuah kotak ke depanku. Di bagian kotak berwarna putih itu terdapat logo apel tergigit, logo sebuah merek gadget. "Ini ponsel barumu. Isi kontaknya sudah ku-backup dengan icloud milikmu. Begitu pun dengan foto dan video. Mulai sekarang kita berkomunikasi dengan itu."

"Sejak kapan kamu bawa HP ini ke mana-mana?" tanyaku setengah terhenyak.

"Sejak dari Jakarta. Baru sempat kasih sekarang," jawabnya cuek tanpa memandangku.

Hai, Sea! (End/Complete)Onde histórias criam vida. Descubra agora