Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta

2K 487 39
                                    

Cinta adalah sesuatu yang lebih berat daripada perang, sebab berurusan dengan hati bukan senjata. Senjata bisa dibongkar komponennya, sedangkan hati tidak. Hati manusia punya banyak sekat dan ruang, bisa berganti-ganti sesuai suasana. Cinta membuat manusia bergelut dengan hati dan perasaan. Bukan sesuatu yang tampak pasti seperti kekuatan.

Cinta jualah yang membuat Sea sadar bahwa jalan keluarnya sudah di depan mata. Meski harus jatuh dalam pingsan, Sea sadar bahwa perasaan salahnya pada Gavin itu bisa menolongnya. Semakin sering mengutarakan cinta, semakin cepat dia bisa keluar dari tubuh itu. Sea coba sekali lagi, saat mata milik Hana yang sedang didiaminya itu terbuka. Sea sadar sedang berada di pelukan Gavin di atas ranjang ruang IGD, rumah sakit yang sama tempat tubuhnya dirawat.

"I love you," ucap Sea sekali lagi, memakai bibir Hana, pada Gavin yang menatapnya sedih.

"Abang tahu. Lalu apa, Hana?" tanya Gavin sedih. "Bagaimana kondisimu?" lanjutnya seraya melepas pelukan pada tubuh istrinya.

"Saya cinta sama Bapak," tegas Sea masih ngotot. Gavin hanya menatapnya hampa.

Lelaki tinggi berseragam loreng itu memutuskan untuk mencari dokter. Sepertinya ada yang salah dengan kepala istrinya, apa amnesia yang semakin parah. Namun, tangan istrinya yang digerakkan Sea itu menahan tangan Gavin. Pandangan sedih itu membuat Gavin makin kacau, "Aku nggak apa-apa, Pak. Jangan ke mana-mana, sepertinya aku tahu cara baru agar semua kembali ke tempatnya."

"Semakin parah saja kamu, Sayang. Tunggu di sini, Abang cari dokter!" putus Gavin, tapi Sea menahan tangan itu lebih erat.

Sea menggunakan mata Hana untuk menatap Gavin teramat lekat. "Jangan, Pak! Kumohon, percaya aku sekali saja. Sehari saja, tidak, satu menit saja! Aku tahu caranya, tahu!" tegasnya berulang-ulang seraya mengikuti Gavin berjalan ke ambang pintu.

"Berhenti, Hana!" bentak Gavin yang membuat suster dan para dokter yang sedang bertugas memandangi mereka. Mata lelaki itu menajam dengan napas yang ngos-ngosan.

"Lihatlah dirimu sendiri! Betapa kacaunya kamu sekarang." Suara Gavin merendah untuk menunjukkan betapa kacau pikirannya saat ini. Matanya dibuat setajam mungkin agar Hana berhenti bertindak konyol.

"Tunggu di sini!" pungkas Gavin sambil berlalu meninggalkan sang istri yang melongo kosong.

Sepeninggal Gavin, Sea bak tersadar dari tidur panjangnya. Dia masih ada di tubuh Hana, tapi apa yang sudah dilakukannya? Sea lupa akan tekadnya, menjaga tubuh Hana baik-baik. Lihatlah Hana sekarang, kacau. Sikapnya tak tertata, penuh prasangka yang mengejutkan.

"Maafkan aku, Hana ...," gumam wanita itu sembari memegangi bayangan wajahnya di pantulan kaca ruang IGD.

Dia bak berada di satu titik kosong dengan di sekitarnya banyak orang sibuk berlalu-lalang. Tak tahu harus berbuat apa, serasa semua salah. Satu tindakannya bisa mengacaukan Gavin, membuat lelaki itu makin marah.

"Padahal aku udah tahu gimana cara keluar dari sini. Cinta, ya, cinta. Perasaan yang salah itu tak diizinkan takdir. Seorang Sea tak boleh mencintai suami orang, dan karena itulah rohku serasa lepas. Kenapa sesulit ini berkata jujur? Aku tidak boleh terlalu nyaman di tubuh ini," batin Sea gamang.

Kegamangan itulah yang membuatnya diam, termasuk saat dokter memeriksanya. Sea hanya membuat kepala Hana menunduk, tak mau menatap mata siapa saja. Pun dengan Gavin yang tak banyak mengajaknya bicara. Mungkin takut kecewa, atau sudah terlalu kecewa. Entah.

Sampai mereka pulang pun, Gavin masih mendiamkan sang istri. Keduanya hanya hening menatap surya yang mulai labuh di ufuk barat. Sebentar lagi malam akan datang, kepekatan makin menguasai keduanya saat sampai di rumah. Gavin hanya memarkir mobilnya sembarangan, lalu masuk ke dalam kamar tanpa banyak bicara.

Hai, Sea! (End/Complete)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora