Episode 14 Stranger

1.9K 407 71
                                    

Cerita bertele² dengan alur lambat muncul lagi. Yeayy selamat membaca 🙂

###################

Pertengkaran papa dan mama terbiasa mengembalikan kesadaranku ke dunia. Pagi hariku selalu disambut oleh teriakan mereka, cacian, dan suara benda jatuh. Oh iya, suara pukulan dan tamparan juga. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sebuah lagu romantis nan lembut menyambutku membuka mata.

Sejak kapan aku tidur? Tidak jelas, adegan terakhir yang kuingat di otak adalah saat Gavin memasangkan seatbelt melintasi tubuhku. Dia menyeretku masuk ke dalam Pajero Sport hitamnya lalu membawaku pergi dengan kecepatan sedang. Setelah itu, blank!

“Semoga aku sudah jadi Sea!” harapku tulus dalam hati, dan mata kupaksa terbuka cepat.

Aku setengah melotot dan pemandangan jalanan panjang di antara padi-padian menyambutku. Kuamati semua tubuhku dan mata ini berubah pias. Gaun sifon menyebalkan ini masih membalut badan dan pertanda aku masih menjadi Hana. Berapa kali sih aku bangun dan tidur agar bisa kembali ke Sea. Mau berapa kali pun aku bangun dan tidur, tetap saja di tubuh Hana.

Menyebalkan.

“Hai, udah bangun? Ngantuk, ya?” Semenyebalkan suara manis yang menyapaku dengan riang itu. Aku menoleh dan mendapati Gavin sedang menyetir. Pandangannya sesekali tertuju pada jalanan bergelombang ini dan sesekali melirikku.

“Anda mau bawa saya ke mana?” tanyaku bernada ancaman.

Dia terkekeh pelan. “Easy, Honey! Aku nggak gigit kok. Nanti kamu juga tahu. By the way, jangan pakai saya-saya!” ancamnya tak mau kalah.

“Lha memang kenapa?” Aku mulai ngeyel.

Come on, Honey! Kita memang sepakat untuk memulai seperti orang asing. Namun, aku tetap suamimu. Kita harus mulai mengakrabkan diri, ‘kan?” bujuknya sambil memencet tombol di head unit dashboard. “Kita denger musik ajalah.”

Aku menatapnya cengo. Tak bisa berkata apa-apa kalau dia sudah seenaknya sendiri seperti ini. Benar, aku tak boleh salah langkah saat menjadi Hana. Aku masih butuh tubuh ini untuk mencari tubuhku. Sudah sepakat untuk menjalani hidupnya, mau enak atau tidak.

“Lagu apa?” gumamku lirih setengah memaksa jemariku yang masih agak kaku untuk memencet-mencet layar pemutar musik. Lagu berganti acak, mancanegara dan lokal. Namun, tanganku terhenti saat alunan musik lembut yang kukenali terputar. To The Bone, lagu yang penuh kenangan yang membuatku terpaku pada satu titik.

“Kamu terkesima lagi, Honey. Apa kamu ingat dengan lagu ini?” sambut Gavin yang membuatku menoleh. Dia terus cuek menyetir walau mulutnya mengajakku bicara.

“Nggak ingat!” jawabku ketus yang disambut senyum sabarnya.

“Pagi itu, kamu bangunkan aku pakai lagu ini. Bikin aku nggak bisa bangun dan malah ingin memelukmu lagi,” kenangnya yang kusambut rasa mual. Mereka pasangan yang memuakkan.

“Huek!” ceplosku tanpa sadar.

Dia langsung meminggirkan mobilnya, mobil berhenti dan wajahnya berubah cemas. Gavin meneliti satu persatu tubuhku setelah memencet buckle seatbelt. Jujur, aku bingung dengan kelakuan pria satu ini. “Kamu sakit, Hana? Mual?” berondongnya dengan mata cemas.

“Ng – nggak …,” jawabku terbata sambil menggeleng lemas.

“Kok mual?” sambungnya cepat. Kedua alisnya sudah hampir menyatu karena kecemasan itu.

“Aku cuma muak aja sama gaya hidup kalian.”

“Muak gimana, itu kamu, Hana! Kita!” Gavin membuang napasnya kesal. Dia melengos ke arah lain karena merasa aku baik-baik saja.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now