Episode 8 Breaking News

2.2K 496 21
                                    

Dua brankar itu didorong terburu-buru masuk ke ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Siswanto. Di atas ranjang ada dua manusia cantik dengan mata terpejam. Tak ketinggalan lengkap dengan luka-luka di sekujur badan, dari kepala sampai ujung kaki. Darah bersimbah di mana-mana, termasuk tangan para penolong yang mulai berkurang keluar ruang.

Tersisalah pada dokter, perawat, dan suster yang sibuk. Rumah sakit milik tentara itu mendadak ramai dengan kedatangan para korban kecelakaan pesawat Sky Airlines. Semua tim dokter dikerahkan untuk memberikan pertolongan pertama. Sea dan Hana menjadi salah satu pasien yang mendapatkan penanganan.

Keduanya sama tidak sadar, dengan luka parah di perut dan kepala. Hana pingsan karena benturan keras di kepalanya. Pendarahan luka robek di dahinya tak kunjung berhenti. Pun dengan Sea yang mengalami pendarahan hebat di perut. Beberapa lebam kemerahan mulai terlihat di tangan dan kakinya, pun ritme jantungnya mulai menurun.

Karena keterbatasan petugas medis dan korban yang banyak berdatangan, dokter memutuskan untuk menolong Hana yang kelihatan lebih parah daripada Sea. Defibrilasi diputuskan karena ritme jantungnya tidak normal. Paddle defibrilator dua kali ditimpakan di dadanya untuk mengembalikan denyut jantung yang melemah. Tak kunjung berhasil, dokter sigap memompa dada Hana dengan sekuat tenaga.
Semua dalam kondisi panik ditambah Sea yang ikutan drop.

Denyut jantung dan tekanan darahnya makin melemah, Sea dalam kondisi kritis. Para dokter yang sibuk itu makin panik karena kondisi keduanya kritis. Panik memutuskan harus memilih mana dulu yang diselamatkan. Semua sama penting.

“Dok, denyut pasien kembali!” seru perawat sambil memandang layar kecil di samping kepala Hana.

Puji syukur terbang ke udara, Hana selamat meski masih kritis. Dokter menghela napasnya sejenak sebelum beralih ke posisi Sea. Jantungnya masih berjuang untuk berdetak setelah mengalami syok hipovolemik. Tentu saja, darah masih merembes dari luka perutnya.

Dokter menghentikan Resusitasi Jantung Paru pada Sea, kemudian mengisi dosis energi pada alat kejut. “Charge!” perintahnya pada perawat sambil memegang paddle di kedua tangan.

“Clear!”

Seketika alat kejut berbentuk mirip setrikaan itu ditimpa di dada Sea. Membuat bagian dada gadis itu tersentak satu kali ke atas dan kembali lunglai lemas ke kasur. Dokter dan perawat memeriksa ritme jantung sambil berharap cemas.

“70 bpm, Dok! Pasien selamat!” seru suster dengan wajah lega.

Mereka tersenyum haru. Dokter, perawat, dan petugas medis mampu bernapas lega karena Sea masih berjuang untuk hidup. Akhirnya, setelah upaya penyelamatan yang keras detak jantungnya kembali juga. Dokter bedah datang untuk segera menghentikan pendarahan Sea lewat operasi, dia dibawa ke ruang lain.

Meski demikian, kesibukan tidak mengendur di ruang itu. Masih banyak nyawa yang harus mereka selamatkan. Pun dengan satu persatu pewarta yang mulai datang, sibuk mengumpulkan data dan fakta penting terkait peristiwa maut itu. Semua sibuk mengabarkan.

Meninggalkan sejenak ruang gawat darurat rumah sakit yang sibuk, beralih ke tanah Jakarta yang murung karena hujan turun di sore redup. Nuansa mendung sama halnya dengan hati pria berseragam loreng yang menunduk lesu di depan televisi itu. Gavin sedang terdiam hancur.

Sayup terdengar suara televisi di depannya. Reporter berita dengan mimik serius sedang membacakan narasi yang sanggup mengaduk kacau hati Gavin. Breaking news yang sempat diabaikannya itu mendadak menyita penuh perhatiannya, setelah sebuah warta datang ke telepon genggamnya.

Pesawat Sky Airlines dengan nomor penerbangan SYA 111 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Soemarmo, Solo-Jawa Tengah. Pesawat tergelincir dan terbakar setelah kehabisan landasan atau overrun. Pesawat Sky Airlines berangkat dari Jakarta ke Surabaya dengan transit di Jogja dengan membawa 125 penumpang dan enam awak kabin. Diduga karena kerusakan teknis, pesawat memutuskan untuk mendarat darurat di Solo.”

Penyelidikan awal Komite Nasional Keselamatan Penerbangan menduga bahwa pesawat mengalami masalah pada tuas pembalik atau tuas pengereman. Diperkirakan 50 orang meninggal dan 10 orang kritis dalam kecelakaan ini.”

Layar kaca berubah dari mimik serius pewarta ke pemandangan pesawat yang rusak parah. Sebagian badannya hancur dan ringsek, masuk ke dalam lumpur sawah. Sementara itu, asap masih terlihat membumbung ke udara saat kamera pewarta merekamnya. Sanggup menggoyah keyakinan Gavin bahwa sang istri tidak baik-baik saja.

“Keterangan dari saksi mata, pesawat terus melaju kencang meski telah mendarat di landasan. Hingga di ujung landasan, kecepatan pesawat tidak berkurang, sehingga menabrak pagar pembatas dan baru berhenti di persawahan.”

“Hingga berita ini diturunkan, asap masih terlihat membumbung pekat dari badan pesawat. Sementara itu, evakuasi korban masih terus berlangsung.”

Ternyata berita terabaikan itu menjadi penting karena berhubungan dengan nasib orang yang paling Gavin cintai saat ini, istri terkasihnya, Hanasarah Zettira.
Bibir Gavin bergetar hebat tatkala telinganya terus menangkap narasi-narasi menyedihkan itu. Dia sangat tak menyangka nasib istrinya benar-benar di luar dugaan. Benar-benar jauh dari pikiran karena Hana hanya pamit untuk menemui istri komandannya di Surabaya. Bukan untuk terlibat dalam musibah mengenaskan yang sedang jadi perbincangan itu.

Bahkan, Gavin tak menyangka Hana berada di pesawat nahas itu. Sama sekali.

Dia kira sore ini sudah memeluk Hana dan memaafkan semua salahnya. Dia kira sore yang dingin ini Hana mampu memeluk dan menghangatkannya. Dia kira bisa berkasih mesra setelah bertengkar atau berdebat sengit seperti biasa. Gavin tahu Hana sangat suka bercinta setelah bertengkar dengan dirinya.

Namun, semua kejadian ini ternyata sebaliknya. Membuat sesak dan pekat seluruh kerongkongannya. Lelaki itu tiada hentinya menitikkan air mata sesekali sambil menggeram tak kuasa saat ponselnya terus berdering. Giginya sampai gemelatuk menahan emosi sambil meremas ponsel yang menempel di telinga.

“… Bapak diminta segera datang ke RSAU dr. Siswanto Solo. Istri Bapak, ibu Hanasarah Zettira sedang dalam kondisi kritis. Kami menemukan KTP dan boarding pass di saku celananya serta melakukan pencocokan data, sehingga dapat menghubungi Bapak.”

Istri Bapak harus segera dioperasi dan semua membutuhkan kewenangan Bapak sebagai suami Ibu Hana.”

Setidaknya dua kalimat panjang dan pamungkas suster dari ujung telepon itu mampu membuat Gavin makin limbung. Kedua kakinya lemas karena membayangkan senyum berbinar Hana berganti dengan wajah kesakitan penuh luka. Kalau tidak mendapat telepon dari Solo, mungkin Gavin juga tidak tahu kalau istrinya sedang dalam musibah.

Hana pergi tanpa pamit, berujung pada kekesalannya. Inginnya Gavin segera bertemu Hana untuk mendapat penjelasan. Bukan dapat telepon berisi kabar menyesakkan ini.

Itu juga diperkuat dengan telepon dari maskapai yang berdering barusan. Mereka berkata, “Kami perwakilan dari maskapai Sky Airlines Jakarta hendak mengabarkan bahwa istri Bapak mengalami kecelakaan pesawat Sky Airlines nomor penerbangan SYA 111. Untuk mengonfirmasinya, Bapak dapat menonton berita di televisi. Dengan ini kami menyediakan akomodasi penerbangan ke Solo bagi Bapak dan keluarga yang lain. Bagaimana, Pak?”

Dan Gavin yang masih tercekat tak percaya langsung terduduk lemas di atas kursi ruang kerjanya. “Is – istri … saya?” desahnya kacau. Kini logikanya mulai percaya.

Benar Bapak. Kami mendapatkan nomor Bapak dari identitas yang diisi ibu Hana.” Jawaban dari seberang makin meyakinkan Gavin bahwa Hana memang menjadi salah satu korban.

“Saya akan segera ke Solo,” putus Gavin berusaha tegar meski suaranya bergetar hebat. Kedua matanya nanar, berair dan memerah.

Dia segera menahan air mata dan ingus di hidung lancipnya, sibuk memasukkan ponsel dan dompet ke tas kecil. Lalu berjalan keluar ruang kerjanya yang bercat hijau, berjalan terburu-buru menuju parkiran motor. Sempat menyapa salah satu seniornya dengan hormat walau wajahnya kacau. Membuatnya harus mengatakan kenyataan pahit itu.

“Izin, istri saya kecelakaan pesawat, Bang,” urainya dengan wajah acak pada Kapten Makmur.

Kedua matanya memerah. Bibirnya bergetar, sejenak air itu luruh dari mata tajamnya. Dia terlalu kaget dan tak percaya dengan kejadian ini. Pun dengan sang senior yang langsung menepuk tenguk dan memijat lengan si junior. Berharap Gavin kuat menghadapi kenyataan.

“Semoga semua baik-baik saja, Dik! Saya doakan selamat, ya!” pesan Kapten Makmur dengan wajah keras, penuh kecemasan.

Gavin berlalu setelah memberikan tubuh tegap sebagai penghormatan pada senior. Namun, wajahnya benar-benar kacau. Kalau tidak ingat sedang berseragam mungkin dia akan menggila, berteriak hingga menangis tersedu. Sayangnya, pantang bagi Gavin untuk merusak imej tegar seragam di badan itu.

Dia terbiasa menyembunyikan luka di balik seragam loreng itu.

Sampai di rumah, pria itu langsung menghubungi keluarga besar sekenanya. Seperti yang sudah diduga, semua syok dan tidak percaya. Beberapa malah sudah menangis hingga pingsan. Namun, dia tak peduli, Gavin sibuk memasukkan baju dan perlengkapan lain ke tas punggungnya. Ingin rasanya dia segera melesat ke Solo.

Mami ikut, ya, Vin …,” ucap sang ibu mertua dengan suara parau melalui sambungan telepon, setelah meredakan tangis histeris.

Mami nggak mau biarin Hana sendirian, nggak mau Gavin …,” imbuhnya kemudian.

Gavin hanya terdiam. Tidak tahu harus memberi jawaban apa saat ini. Tidak hanya sang ibu mertua yang tidak ingin Hana sendiri, dia pun sama. Bahkan, dia tak mau Hana merasakan kondisi seperti ini. Inginnya segera terbang cepat ke Solo.

Memastikan Hana baik saja sambil berdoa keras-keras, semoga Hana selamat dalam kondisi apa pun saat ini. Hanya itu yang diharap Gavin. Hanya itu yang dia doakan sedari tadi. Baik dalam racauan maupun kesadaran penuh. Dia berusaha mengetuk Pintu Tuhan yang Maha Tinggi.

Namun, kedua kaki Gavin terasa lemas tatkala memandang bingkai foto kecil pernikahannya di atas meja kecil sebelah sofa. Ada Hana yang sedang tertawa lepas bahagia ke kamera. Tangis lemah Gavin tak dapat terelakkan. “Hana ….”

Geraman parau Gavin terdengar emosional saat menyebut nama istrinya. Dia meremas bingkai foto dan menempelkannya di dada dengan air mata yang terus mengalir. Tak tertahan lagi, terus tersedu meski ponselnya menyala dan padam bergantian. Puluhan pesan masuk dengan sibuk menanyakan kondisi Hana yang dia juga tidak tahu bagaimana.

Pria itu hanya takut istrinya sakit dan terluka. Apalagi suster bilang Hana sedang kritis. Parahnya, Gavin takut sang Hana pergi tanpa sempat berpamitan. Bayangan yang sangat menakutkan.

“Kenapa kamu lakukan ini ke Abang, Hana? Abang marah besar sama kamu, nggak akan maafkan kamu sampai kapan juga!” Dengan geram, Gavin memukul-mukul meja kecil di depannya. Emosinya yang menggunung sedari tadi meletus jua.

Where are you now, Hana? Abang nggak percaya itu kamu! Namun … apa maksud telepon-telepon tadi, hah!?” Gavin membentak potret Hana di bingkai foto kecil itu. Tentu saja foto Hana tak bisa menjawabnya. Tindakan Gavin mulai di luar nalar.

Tentu saja dia marah, terlalu tak terima dengan kenyataan ini. Semua terasa tidak adil bagi kisah cinta mereka yang masih panas-panasnya. Gavin yang sudah marah dari kemarin makin murka karena kenyataan berubah menjadi kesakitan. Sesaat dia ingat pertengkaran-pertengkarannya tempo lalu. Andai saja dia lebih sabar menghadapi kekasih halalnya itu.

Seharusnya mereka berbaikan saja dari kemarin kalau tahu akhirnya akan begini. Seharusnya Hana sudah pulang dengan selamat dan ada dalam dekapannya saat ini. Seharusnya Gavin ikut saja ke Surabaya, mendamping Hana dalam suka dan duka, meski akhirnya celaka. Namun, mereka terluka bersama.

Bukankah mereka sudah sepakat berbagi mimpi yang sama, termasuk impian Hana? Gavin mulai tercenung. Sesal menyeruak dari batin. Andai dia menemani Hana saat ini. Tersisa penyesalan yang hebat sekarang.

Setidaknya, Hana tidak sendirian sekarang. Setidaknya dia tidak berjuang selamat sendiri. Itulah yang Gavin pikirkan di tengah kemelut amarahnya yang berapi-api. Ya, dia memilih untuk mengumbar amarah karena kejadian ini terlalu mengejutkan.

“Kenapa kamu egois, Hana? Kenapa kamu perlakuin aku kayak gini? Kita tidak sepakat, Sayang! Kamu yang memilih jalan ini sendiri!” Gavin memaksa suara paraunya untuk membeo mengutuki Hana. Emosinya masih meluap-luap.

Dia masih bersujud di tepi sofa sambil mengusap-usap bingkai foto Hana. “Abang nggak bisa hidup tanpa kamu, Sayang. Baik-baiklah, Abang datang menjemputmu! Abang nggak akan biarin kamu sendirian,” gumam Gavin sambil menghapus air matanya kuat-kuat. Amarahnya kalah dengan tekad, tentu saja cinta.

Dia pria setia yang hanya mencintai satu wanita, Hana. Perihal cinta tak usah ditanya, Gavin selalu menjaganya sedari dulu hingga saat ini.

Dan dia lalu beranjak cepat, menyambar tas, dan melesat pergi menuju bandara. Menyusul sang kekasih yang sedang berjuang di ambang hidup dan mati di kota orang. Meski pelupuknya masih basah sebab bayang-bayang tingkah manja Hana terus terputar.
***

Bersambung...

Sesuai janji saya, sudah up 2x ya hari ini 🤣

Terima kasih sudah membaca. Mohon maaf jika ada kesalahan penggambaran dan adegan. Semoga Temans terhibur ya❤️❤️❤️

22 Juli 2021

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now