Episode 25 The Pines

2K 485 27
                                    

"Jangan membahayakan atau mencoba menyakiti diri sendiri! Jangan terluka, nanti kami susah. Selamatlah dalam apa pun yang kamu lakukan. Ini penekanan, tidak butuh persetujuanmu!"

Setidaknya pagi hariku dibuka dengan kalimat bernada omelan dari bibir pria yang mirip Billy Davidson itu. Dia mengucapkannya tanpa menatap wajahku yang sudah melongo. Di pagi pukul setengah enam dia memberiku sarapan dengan secangkir teh dan biskuit gandum. Katanya, dia tak lagi suka main course, kudapan ringan lebih baik. Mungkin karena aku yang tak bisa masak.

Serius, untuk urusan yang satu itu aku tak bisa menyesuaikan Hana. Memasak adalah hal yang paling kubenci, walau itu cuma sekedar memasak mi instan. Lebih suka yang serba jadi, siap santap. Memang mana bisa aku jadi Hana.

"Kemarin aku nggak bahayakan diri sendiri kok, Pak. Meskipun sebenarnya ingin naik dan membuktikan kalau Mbak Hana ini bisa sesuatu," balasku ragu.

"Nggak!" sentaknya yang membuatku mendongak dan mendapati tatapan wajahnya menusuk mataku. "Kamu nggak perlu sejauh itu! Nggak usah kamu buktikan ke siapa pun gimana Hana, kamu Hana apa adanya!"

"Tapi aku bukan ...," potongku.

"Kamu adalah H-A-N-A!" Gavin mengeja nama istrinya dengan lantang, tanpa menyurutkan pelototan mata tajamnya itu.

Akhirnya, aku menunduk sedih. Sepertinya dia mulai ingkar. "Kayaknya Abang mulai lupa perjanjian kemarin."

"Belum saatnya," jawabnya cepat tanpa keraguan.

"Kapan Abang akan percaya kalau aku itu Sea?" Pertanyaanku yang cukup blak-blakan ini membuatnya makin jutek.

"Berhenti sebut itu atau aku tidak akan percaya sampai kapan pun!" ancamnya lirih.

"Huh!" dengusku kesal, bibir cemberut. "Bisa nggak sih nggak pakai marah? Tentara tuh galak banget sih."

"Biasa ajalah," semburnya tak mau kalah. "Mana bisa baik-baik kalau kamu ngacau mood hatiku terus. Berhenti membingungkanku!" Gavin masih bertahan dengan mata nan tajam. Memaksaku mengangguk lemah.

"Maaf kalau gitu," jawabku pelan.

Kugigit kosong biskuit hambar itu. Teh yang tadinya manis juga terasa pahit. Lagipula ngapain juga sekarang aku duduk berdua dengannya, semeja makan? Bukannya aku suka makan sendirian, berbuat apa pun sendiri. Kenapa aku jadi suka hati duduk bersamanya? Ujung-ujungnya juga makan hati.

Tok-tok-tok! Ketukan pintu dari depan membuatku dan dia mendongak bersamaan. Dia mengubah wajah tajamnya menjadi lebih hangat, tentu untuk membuka pintu. Mungkin saja atasan atau senior yang datang, Gavin harus menjaga imejnya. Namun, aku datang dan mulai mengacau hidup dua manusia ini.

"Biar aku aja yang buka pintu, Bang!" tawarku sembari melempar senyum. Sekedar usaha untuk menarik hatinya lagi.

"Jangan tersenyum seperti itu, ngerayu!" cibirnya tanpa mempedulikanku. Gavin melenggang cepat ke ruang tamu, meninggalkanku yang masih terpaku di ruang makan.

"Hana, ini gue, Yunita!" Suara yang menyusul dari ketukan pintu itu membuatku makin semangat berlari ke depan. Berusaha mengimbangi langkah lebar Gavin, tapi tetap tak bisa. Lelaki tinggi ini berjalan secepat raksasa.

"Biar aku yang buka, Bang!" Kutahan tangan Gavin dengan sekuat tenaga. Berhasil membuatnya hampir terpelanting ke tubuh ringkih ini, Gavin menahan kedua tangannya ke pundakku.

Sial, kami bertukar mata lagi! Debaran jantungku makin keras dan nyata! Maafkan aku, Hana!

"Astaga, Hana! Hati-hati, Honey! Aku hampir membahayakanmu!" pekik Gavin setengah mendelik, bukan marah tapi lebih kepada cemas mendadak.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now