Hai, Sea! (End/Complete)

By NaylaSalmonella

101K 18.5K 2.5K

Picture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada :... More

Halo Temans
Episode 1 Game Over
Dream Cast
Episode 2 Paginya Pengantin Baru
Episode 3 Pelarian Hidup Sea
Episode 4 Mesmerize
Episode 5 Pergumulan Batin
Episode 6 Siang Nahas
Episode 7 Siang Nahas 2
Episode 8 Breaking News
Episode 9 Where Are You, Now?
Episode 10 Tentang Lelaki Itu
Episode 11 Mengenal Hana
Episode 12 Aku Sudah Bersuami
Episode 13 Adegan di Kubah Bunga
Episode 14 Stranger
Episode 15 Benang Merah
Episode 16 Kartu AS
Episode 17 Konsep Rumah Tangga
Episode 18 Pagi dan Siang yang Ganjil
Episode 19 (Bukan) Akting yang Natural
Episode 20 Suatu Hari di Solo
Episode 21 Happen for a Reason
Episode 22 See You When I See You
Episode 23 Trial
Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta
Episode 25 The Pines
Episode 26 Percaya Padaku, 24 Jam Saja!
Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu
Episode 28 Sudah Saatnya Pergi
Episode 29 Suara Pria Terlarang
Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan
Episode 32 Kilas Balik
Episode 33 Halo, Sea, Temanku!
Episode 34 How Are You?
Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku
Episode 36 Langit Malam Itu (End)
365 Senja

Episode 31 Setia

2.3K 496 110
By NaylaSalmonella

Hanasarah Zettira POV

Menurutmu, setia itu apa? Kalau aku, setia adalah memandang pada satu wanita, memikirkan hanya satu wanita, dan menjaga tubuh hanya untuk satu wanita. Mungkin terlalu berat, tapi tidak ada definisi yang paling pas selain itu. Sebab ketika dua orang pria dan wanita memutuskan untuk bersama, maka seluruh aspek kehidupan mereka hanya tentang berdua. Tidak ada yang ketiga, wanita lain ketiga, meski cuma dilabel teman.

"SeaRose3112 menyukai video Anda", kubaca notifikasi yang sama hampir puluhan itu masuk ke akun Instagram-ku. Akun itu sukses menarik perhatianku, tipikal pencari perhatian sih ini. Asal dia tahu, aku sama sekali tidak tertarik mengulik kehidupan para pengikutku di IG. Termasuk nama itu, "SeaRose3112".

Siapa pula dia, mungkin hanya barisan wanita yang mengagumi hidup sempurnaku. Ah, akhirnya aku berhasil membangun citra baik di dunia itu. Seorang Hana yang cantik dan sukses bersuamikan lelaki gagah dan rupawan. Berseragam loreng pula, menarik sekali. Akun macam Sea pasti banyak macamnya, terpesona sampai keluar ilernya. Mengagumi hal yang bagiku sudah biasa.

Aku biasa dihormati semua orang mulai dari asisten rumah tangga sampai istri anggota Bang Gavin. Bolehlah sombong dikit karena memang itu punyaku. Rerata orang good looking mudah dapat tempat di antara masyarakat dan itu fakta. Nyatanya, tidak semudah itu karena godaan silih berganti mengganggu kami.

Terbesar sekaligus yang terberat jatuh kepada nama Sea, ya, dialah penggoda suamiku secara tidak langsung. Sea Rose, adalah nama pramugari berwajah mungil yang melayaniku di rute penerbangan nahas itu. Aneh, aku bertemu follower secara langsung dalam peristiwa tak terduga.

Ternyata penggemarku bukan hanya dari kalangan penggila tentara, tapi juga kalangan pramugari macam dia. Dengan senyum lebarnya, dia menyapaku. Sayang kondisiku tak tepat sehingga hanya menanggapi Sea sekenanya. Jelas, aku dicap sombong. Bodoh amat! Aku tidak butuh siapa pun saat itu, termasuk Sea yang ceriwis menawariku ini dan itu. Untung saja aku judes saat itu.

Namun, hari itu adalah kali terakhir aku menemui Bang Gavin dalam kondisi normal. Saat aku kembali sadar dan bertemu lagi dengannya beberapa hari yang lalu, semua tak lagi sama. Lelakiku banyak menyebut nama wanita itu, ya, Sea! Membuatku langsung berpikir apa yang terjadi antara mereka? Apa mereka sering bertemu saat aku tak sadar.

Kukira hanya dalam hitungan hari aku melayang di antara awan-awan merah jambu itu, nyatanya sudah sebulan lebih aku bangun. Sayangnya, hanya ragaku yang bangkit dan digerakkan orang lain. Ini menakutkan, aku bergidik ngeri saat membayangkan hal absurd itu.

Ternyata itu bukan bayangan, tapi nyata terjadi. Kusadari bahwa tubuh ini dimasuki jiwa Sea saat jiwaku entah berada di mana. Mengerikan, sangat berantakan! Apa yang sudah dilakukan jiwa Sea pada tubuhku, pada suamiku juga? Apa mereka telah tidur bersama menggunakan tubuhku, selama aku melayang di antara awan-awan aneh itu?

Anehnya juga, dia banyak mengubah isi kehidupanku. Aku tak suka perubahan yang aneh dari sekitarku, dan semua karena dia. Aku benci semua ini, tak suka. Dia siapa, seenaknya saja mengubah hidup orang! Aku tak suka dia merusak hidupku, masuk ke tubuhku, apalagi sampai menyentuh suamiku. Ah, gila!

Aku mulai meragukan kesetiaan Bang Gavin sejak menyadari itu.

Jujur, aku telah membohongi Bang Gavin. Empat hari aku berperilaku selayaknya orang lain, mungkin seperti Sea. Aku menjaga jarak darinya, meski sangat ingin memeluk priaku. Meski sangat ingin mengadu semua ketakutanku selama terpisah dengannya. Namun, keraguanku atas cinta di hatinya menyekat itu. Memang semua tak lagi sama.

Bang Gavin memanggilku "Sea" dengan manisnya. Nada suara itu mirip saat memanggil namaku. Senyumnya yang tulus banyak terulas padaku – yang dianggapnya masih Sea. Caranya memandangnya saat itu, sama saat dia sedang merayuku. Bang Gavin terlalu bersimpati pada Sea.

Aku amat cemburu! Rasa panas ini menjalar ke sekujur hatiku. Menggelapkan logikaku atas perasaan cinta kami yang telah terbangun bertahun-tahun. Sejak detik itu, aku tak lagi percaya arti setia. Jelas Bang Gavin telah menyentuh orang lain, meski itu tubuhku.

Cemburu membuatku melukai diri sendiri. Rasa-rasanya memukul sekujur tubuh tak ada gunanya meski aku emosi. Yang sakit bukan jiwanya Sea, tapi badanku. Bodoh, aku telah menyakiti badanku sendiri karena benci pada jiwa Sea. Dia menghancurkan hidupku – dengan masuk ke dalam badanku.

"Aku tak percaya kamu melakukan ini," gumamku kecewa saat memandang dari jauh priaku yang masuk ke sebuah ruangan. Pagi itu.

Mana dia tahu, mana Bang Gavin tahu, aku membuntutinya sedari pagi dia keluar asrama. Alangkah terkejutnya aku saat tahu langkahnya mendatangi rumah sakit tempat Sea dirawat. Mau apa dia? Beraninya dia melakukan hal semacam itu?

Menurut kalian itu apa, menurutku itu adalah salah satu bentuk perselingkuhan. Perasaannya telah seleweng, tidak hanya memandangku lagi.

"Bahkan, Mima dan Pipa sudah berubah lebih perhatian padaku. Mami dan Papi juga sangat semringah melihat perubahanku yang normal, Hana telah kembali katanya. Memang kemarin aku seaneh apa?" rutukku emosi sembari menatap bayangan wajah di kaca. Dengan amarah, kuremas rambut rapi ini.

Baru saja aku sampai di Bandung, menemui Papi dan Mami yang ternyata malah membuatku patah hati. Aku semakin kecewa karena ternyata kemarin aku memang sudah menjadi orang lain, menurut penuturan mereka. Sejak siang aku memang sudah uring-uringan dan cerita orang di rumah ini semakin memperburuknya.

Mendadak aku benci hidupku karena pernah diacak-acak orang lain.

Apa yang kamu lakukan untuk mengawali malam? Kalau aku mungkin melamun kosong, meski bermalam-malam telah berpeluh hebat. Meski meragukan cintanya, meski dia telah menyeleweng, aku masih bertahan. Masih rela berbagi ranjang dan kehangatan dengan pria itu. Bersabar sejenak lagi sampai semua terbuka lebih jelas dan lebar. Menunggu waktu yang tepat untuk meletuskan semua.

"Honey, kamu di dalamkah?" ketuk Bang Gavin dari luar kamar. Apakah ini waktunya?

Aku berdehem sedikit keras. "Ada apa, Bang?"

Pria itu langsung membuka pintu dan wajah eloknya muncul. Senyumnya semringah tak tampak menyembunyikan banyak dusta. Aku pun sama, membalasnya dengan senyum lebar seolah tak terjadi apa pun. "Kamu kok menyendiri sendiri sih? Kamu nggak kangen kubah dan bunga-bunganya memang? Kita ke sana lagi yuk?" ocehnya sembari meletakkan tangannya di pinggangku.

Senyumku semburat tipis. "Memang aku pernah ke sana belakangan ini, ya, Bang? Kapan?" Aku mulai memancingnya.

Gavin menyimpulkan bibir tipisnya itu seraya memutar matanya bingung. Termakan omongan sendiri sepertinya. "By the way, masakan Mami lebih enak daripada masakan hotel, ya?" alihnya.

"Sambutan Mima juga enak," celetukku pendek.

"Kok gitu ekspresinya?" telisik Bang Gavin meneliti wajahku.

Aku melengos sembari meninju-ninju bantal kecil kamarku. "Semacam berubah gitu deh. Pasti ada yang menegurnya sehebat itu," pancingku lagi.

Gavin terdiam dan ekspresi itu berubah datar. "Memang ada yang menegurnya. Perubahan Mima lebih baik, 'kan? Memangnya kamu tidak suka?" tanyanya kalem.

"Siapa dia, Bang?" Kupandang Bang Gavin penuh tanya sembari melipat tangan ke dada. "Sea?" ceplosku spontan.

Wajah Gavin kaku seperti disambar petir. "Kok ...."

"Aku cuma asal sebut," potongku yang membuat Gavin kembali memutar bola mata bingung.

"Gimana kalau kita jenguk dia? Abang penasaran dengan kabarnya sekarang setelah keluar dari tubuhmu," ocehnya yang kubalas dengan lirikan tajam. Usulnya sangat menghempaskan hatiku. Aku tak percaya dia mengajakku sesuatu yang paling mem-bagong-kan sedunia!

"Kok ngelihatin Abang gitu?" tanyanya bingung karena aku diam cemberut. "Honey nggak mau? Abang salah omong?" Aku masih bungkam enggan menjawab.

"Enggak, sepolos itu kamu mengucap namanya dan semudah itu kamu mengajakku bertemu dengannya? Memang dia itu siapa, Bang?" sindirku tajam. Aku menggeleng tak habis pikir.

"Lho, kenapa? Bukannya kita sudah sama-sama tahu apa yang terjadi? Apa salahnya menjenguk Sea, dia bisa menjadi teman kita, 'kan?" Bang Gavin makin menjadi-jadi menampakkan simpatinya.

Kupandang wajahnya lekat tak percaya. "Berteman dengan wanita yang kagum sama hidup kita? Kurasa tidak!" tolakku sembari membelakanginya.

"Maksudmu ...?" Gavin tertahan pada sebuah kebingungan yang kupangkas cepat.

Bagaimana bisa dia seceroboh itu – menyakitiku dengan riangnya?

"Kamu kenapa sih?" tanyanya lagi yang tetap kuhindari begitu saja.

Gavin menahan tanganku. "Hei ... hei, Hana, ada apa, Sayang? Kenapa kamu memarahiku seperti ini, Sayang?" berondong Gavin meneliti wajahku.

"Sepertinya kamu sudah tahu, Bang," jawabku asal.

"Kenapa kamu menyakitiku semudah itu?" sambungku lirih.

"Menyakiti gimana? Aku kurang baik, ya, Honey?" Gavin larut dalam kebingungan yang kubuat.

Aku menggeleng tanpa suara. "Kamu adalah pria terbaik yang pernah hadir di hidupku. Entah kamu gimana ...," ujarku pelan penuh kesedihan.

"Kok perlu ditanya, memang 10 tahun dan beberapa bulan ini tidak cukup membuktikan semua?" tanya balik Gavin. "Masa iya kamu marah hanya aku usul mau jenguk Sea. Gimanapun dia penolongmu," ulangnya masih ngeyel.

"Kita ini bahas apa sih?" tegas Gavin tanpa sempat kujawab.

Aku makin enggan melihat wajahnya. "Sebut aja terus," sindirku lirih, mungkin seperti menggumam.

"Kamu tidak suka membahas penolongmu?" tanya Gavin polos.

"Wanita mana yang suka bahas wanita lain sama suaminya, Bang!" teriakku tertahan. Masih enggan menatap wajahnya.

"Lihat aku, Hana!" suruhnya lembut seraya menarik daguku menghadap wajahnya. "Apa wajahku berubah, bukan Gavin yang mencintaimu lagi?"

"Tidak," aku menggeleng dengan mata buram, "Abang adalah pria terbaik yang menerima dan menemaniku. Namun, bolehkah aku bertanya? Kenapa semudah itu kamu menyebut namanya?"

Priaku menghapus air mata ini dengan kedua jempolnya. "Apa salahnya membalas budi pada orang yang baik pada kita? Sebagai bentuk rasa syukurku bahwa kamu telah kembali. Kenapa kamu harus menangisinya?"

Aku menunduk. "Sedih, masihkah kata 'setia' punya definisi yang sama bagi kita?"

"Maksudmu?" tanya Gavin bingung. Dahinya berkerut karena berpikir keras.

"Menurut Abang, setia itu apa?" tanyaku gantung.

Gavin menghela napas panjang. "Kamu sedang mengujiku, ya?"

"Jawab saja!"

Gavin mengecap sedikit bibirnya seraya menata kalimat yang sepertinya akan panjang itu. "Setia adalah bersama melalui badai yang sama meski berada di dua perahu yang beda. Apa ada sesuatu yang terjadi sampai kamu menggiringku ke sana?"

Jawaban Gavin membuatku diam. Justru aku yang terjebak dalam bimbang sekarang. Jawaban Gavin malah menggiringku ke pertanyaan baru. Perlukah aku jujur sekarang? Apa kami perlu bertengkar di malam segelap ini, di rumah Papi dan Mami? Rasa-rasanya menghabiskan malam Minggu yang mendung dengan bertengkar itu bukan hal yang baik.

"Apa Abang berada di perahu yang beda denganku sekarang?" sambungku beralih pada pertanyaan lain.

"Tentu, karena kita punya hidup yang beda meski berada di satu atap. Kamu model dan aku tentara, perahu kita nggak sama, 'kan?" tanya Gavin menatapku lekat. "Tapi masalah yang kita hadapi sama, kejadian absurd yang aneh."

"Ya, benar. Nama itu ... gadis itu," jawabku pendek penuh kebingungan.

Gavin menegaskan matanya padaku. "Sekarang kutanya, apa maksud sikap anehmu sedari tadi sampai barusan? Aku ada salah apa?"

"Aku nggak suka perubahan di sekitarku, Bang! Serasa aneh, dan nama itu telah mengubah hidupku! Dia merusak banyak hal," aduku keras.

"Apa perubahan itu buruk? Seharusnya kamu bersyukur, 'kan?"

"Aku nggak suka karena dia nggak berhak merusak hidupku!" simpulku.

"Abang nggak ngerti jalan pikiranmu, Sayang." Gavin menggelengkan kepala sebagai jawaban atas tingkah menyedihkanku ini. "Sebenarnya kamu kenapa, Sayang?"

"Enggak ada," buyarku sembari menggeleng dan menyusut air mata. "Aku cuma lagi mood swing aja kok, Bang!" Merasa tak perlu meletuskan semua sekarang. Ini rumah Papi dan Mami, aku tak mau mereka mendengar pertengkaran kami.

"Mungkin kamu kelelahan, aku anterin nyalon apa gimana?" tawar Gavin merengkuh kedua pundakku. Perhatiannya seperti hanya aku yang dia miliki, padahal perhatian ini juga dia berikan pada Sea.

"Aku mau jalan-jalan aja, Bang! Lihat pemandangan, fresh-in otak!" hindarku menuju ke luar kamar. Namun, sebuah sambaran dari belakang menahan tanganku.

"Ayo ikut Abang aja!" putusnya cepat tanpa bisa kutolak.

---

"Aku ingin jalan-jalan, kenapa harus ke bandara?"

Pertanyaanku penuh keheranan karena sikap pria ini tak terduga. Pukul 8 malam mobil yang disetirinya malah berhenti di parkiran Bandara Husein Sastranegara. Tidak tahu apa maksud dan tujuannya mengajakku ngendon berdua menatap pemandangan pesawat yang sedang landing dan take-off di malam hari. Tidak tahu apa tujuannya mengajakku berbincang di tengah lalu lalang deru pesawat yang berisik.

Memang tidak ada tempat lain yang bagus? Apa dia sedang menunjukkan sesuatu yang berhubungan dengan wanita itu? Rupanya dia masih ingin membahas tentang Sea. Perjuangannya luar biasa. Ingin menggeser posisiku atau apa?

Gavin terkekeh renyah. "Why not, katanya kamu pengen lihat pemandangan. Apa salahnya dengan pemandangan pesawat ini?" ujarnya santai.

"Memandangnya hanya membuatku sesak, ingat kejadian itu," kenangku membuang tatapan ke arah lain.

Aku sedang berpikir ratusan kali sebelum meletuskan ini, tapi Gavin malah menggiringku semudah membalikkan telapak tangan. Anehnya, sekarang priaku tertawa aneh seperti sebuah ejekan remeh. "Aneh, bukankah waktu itu kamu fasih memeragakan demo keselamatan penerbangan."

Tidak tahu Gavin sedang keceplosan atau memang sengaja meletuskan kalimat menyakitkan itu. Dia menggiring imajiku untuk memikirkan wanita itu! Menyebut namanya saja membuatku pusing, muak!

Mungkin wajah merengut bibir mengerucut ini sudah cukup jadi jawaban. "Kenapa nggak sekalian aja kita bahas Sea lagi?" sindirku mulai marah.

"Mm – maaf, Hana, Abang cum ...," ucap Gavin berusaha meraih tanganku.

Kutampik kuat tangannya seraya memotong pembelaannya. "Kenapa nggak sekalian kamu manggil aku 'Sea'! Jangan Hana, lupakan Hana!"

"Maaf kalau marah, aku tahu kamu kecewa, Sayang. Aku nggak sengaja ...," bela Gavin penuh rasa bersalah. Wajahnya yang cerah mendadak mendung seperti langit di atas. Tak kunjung turun hujan.

Dia masih berusaha menghadapkan badanku padanya, dan aku hanya berusaha melengos sekuat tenaga. "Tidak usah menghindar, Bang! Kalau memang ingin membahasnya, mari kita bahas saja! Kamu ingin jenguk dia, 'kan? Ayo jenguk saja!" tantangku dengan darah mulai mendidih.

"Tidak perlu, kalaupun harus itu tidak sekarang, Hana," tolaknya kukuh.

"Nggak, aku mau semua terbuka detik ini juga!" eyelku ditambah gelengan kuat.

Gavin menyerah ragu. Pandangan tegasnya mulai lemah. Dihempasnya sandaran kursi itu dengan tubuh tegapnya tanpa banyak suara. Inilah yang kutunggu, titik terlemah Gavin untukku memojokkannya.

"Jujur, apa yang kamu lakukan pada tubuhku saat dimasuki Sea?" Pertanyaan pertamaku meluncur semulus vonis hakim. Dan lelaki di depanku ini hanya memasang wajah bingung.

"Jawab saja, Bang!" sentakku tegas. "Meski menyakitkan, 'kan kudengar semua," bubuhku dengan suara makin rendah.

"Apa kamu yakin ingin tahu semua? Tidak akan menghakimi apa pun tindakanku?" tahannya yang membuatku serba salah.

"Sudah, katakan saja!" suruhku tidak sabar. Perdebatan akan segera meletus di antara kami setelah sekian lama.

"Baik." Gavin mengembuskan napasnya berat. "Awalnya sangat susah menjadi tidak logis, tapi benar jiwa orang lain masuk ke tubuhmu. Bukan amnesia seperti analisis dokter," jawabnya bak ban meletus. Meski tidak terkejut, tapi rasanya tak percaya mendengar itu dari mulut suamiku.

"Lalu kalian ...," sambung penuh tebakan mengerikan.

"Apa, menidurinya karena menganggap itu kamu?" sambungnya seolah membaca pikiranku. "Tidak, Hana! Aku tidak segampang itu!" bantah Gavin keras.

"Benarkah tidak ada yang terjadi antara kalian? Rasa-rasanya tidak percaya kalau kalian tidak saling menyentuh atau berpandang mata," tanyaku masih menyudutkannya.

"Apa masuk akal kalau aku membiarkannya pingsan? Saat Sea berada di tubuhmu, tubuhmu ini sangat sering blackout! Kamu bisa pingsan di mana saja, saat syok atau kaget," jawabnya tanpa ragu.

"Dan kamu menyebut namanya tanpa ragu, Bang!" tudingku menahan napas. Gavin melengos tak percaya sembari berdecak marah.

"Memangnya kenapa? Tidak ada yang terjadi di antara kami, Hana! Kamu kira aku semudah itu meletakkan tanganku di tubuhmu dulu. Sejak awal Sea begitu memagari tubuhmu. Dia tak suka perhatian dan sentuhanku, puas?" oceh Gavin yang diakhiri dengan bentakan keras. Matanya tidak santai di perdebatan dalam mobil ini.

"Kamu sangat membelanya, Bang!" ujarku meletuskan amarah dari dada. Air mata yang menggumpal ini terpaksa kutahan di ujung pelupuk. Malas menangisi orang tidak setia.

"Aku ragu sama setiamu," imbuhku gemetaran.

"Apa ...," desahnya bernada tak percaya. Gavin memburu wajah yang ingin kusembunyikan ini dengan buru-buru. "Jangan bilang kamu tuduh aku selingkuh sama tubuhmu sendiri!"

"Bukannya itu tidak masuk akal ...," ceplosku tanpa sadar.

"Ya!" tunjuk Gavin tegas. "Coba kamu bayangkan posisiku saat itu, Han! Susah bagiku berpikir absurd dengan melihat dia Sea, padahal nyata itu tubuhmu. Sulit mempercayai logika bahwa dia Sea bukan kamu! Kamu kira itu mudah bagiku, nggak!"

Tentara ini meremas kecewa tisu yang dia rampas dari dashboard di depannya. Lalu gulungan tangan itu dipukulkannya pada dahi ruwetnya. Sesaat kemudian kudengar rintihan dan rutukan tak percaya dari bibir kesukaanku itu. Gavin mengutuk keadaan yang pernah dan sedang terjadi sekarang.

"Seperti apa kamu melihatku sekarang, Han?" tanyanya sedih. Suaranya parau sekali, tapi tak bisa membuatku angkat bicara.

"Apa seorang suami peselingkuh? Pria yang mengingkari setia? Apa ini maksud pertanyaanmu tadi, anggapanmu definisi kita tentang setia sudah tidak sama, gitu?" bubuhnya sentimen.

"Hem, bukankah kamu telah memandang dan menyentuh wanita lain? Bagiku itu tidak lagi setia, Bang. Setia adalah memandang pada satu wanita, menyebut hanya satu nama wanita. Dan apa yang kamu lakukan?"

"Wanita lain apa?" tegas Gavin marah. "Itu kamu, Han! Kamu!" Gavin menunjukku tanpa sadar. Emosinya sebagai tentara yang tegas tak terhindarkan lagi.

"Aku tegaskan, ya! Aku tidak pernah memandang wanita lain selain kamu! Meski jiwamu Sea saat itu, tapi aku selalu memandang wajahmu," ulang Gavin.

"Bohong!" tudingku keras. "Lalu kenapa kamu menemuinya di rumah sakit, Bang? Apa yang kalian lakukan di ruangan itu, hah!" berondongku kemudian.

"Dari mana kamu tahu aku menemuinya?" Gavin menatapku tak percaya. Lalu sebuah keyakinan muncul dari otak cerdasnya. "Sebenarnya sejak kapan kamu sadar?"

Napasku seketika sesak dan hanya bisa menunduk kebingungan. Kebohonganku akan terbongkar dan aku harus siap menerima amarahnya. "Pagi saat kamu pamit ke luar kota dengan Komandan, saat itulah aku sadar sedang berada di tubuh yang aneh. Tidak terawat dan kamu memanggilku nama wanita itu di suratmu di meja makan. Kuhubungi Yunita dan aku dapat semua jawabannya." Pengakuanku meluncur bak bola api.

"Teganya kamu membohongiku selama beberapa hari ini, Sayang?" Gavin terhenyak karena pengakuanku. "Untuk apa?" tanyanya keras di sela-sela deru mesin pesawat yang baru take-off.

Kuseka air mata dengan tisu seraya meliriknya sakit. "Aku ingin menguji seberapa dalam cintamu. Masihkah kamu setia, seperti Gavin yang kukenal dulu. Namun, ternyata salah. Nama perempuan itu telah Abang sebut berkali-kali, termasuk rasa peduli."

"Sebut namanya, Hana! Sea Rose, Sea! Jangan membencinya, dia tak bersalah apa pun!" bela Gavin alot yang membuatku makin sakit.

"Kenapa tidak sekalian mengaku kalau kamu jatuh cinta padanya, Bang!" simpulku yang makin menonjok wajah Gavin.

"Apa sebegitu jeleknya aku di matamu, Hana? Apa sebegitu peliknya isi pikiranmu sedari kemarin?" Gavin melemahkan suaranya, tapi hatiku masih penuh kobaran api.

"Kamu sudah menyebut nama wanita lain, Bang," tudingku melampiaskan emosi.

"Maaf ... tapi itu tidak menjamin aku telah berpaling. Nyatanya, cuma kamu yang kutunggu," ujarnya berusaha menarik hatiku.

"Bohong!" bantahku lagi-lagi. "Kalau kamu menungguku, kenapa tidak berusaha mencari jiwaku? Kenapa tidak berusaha seperti kamu mengusahakan Sea? Kamu terlalu menikmati jiwa itu, 'kan?"

"Semakin ngawur saja kamu, Sayang." Gavin mementahkan kemarahanku dengan sebuah senyum kosong. "Belum sempat aku mencari tahu di mana jiwamu, kamu sudah kembali dan semua berakhir!"

"Kenapa tidak sejak awal? Kamu terlalu bertele-tele!" Aku masih berdebat alot dengannya di parkiran bandara, tempat yang jadi pancingan semua ini.

"Aku terlalu fokus pada Sea," jawab Gavin jujur.

"Akhirnya kamu jujur, Bang," balasku cepat.

"Bukan!" tahan Gavin. "Bukan seperti yang kamu pikirkan, dia anak yang malang, Hana. Sea adalah orang yang butuh pertolongan. Hidupnya berada di antara hidup dan mati saat itu hingga aku tak bisa menekannya." Pria ini mengakui semua dengan gamblang.

"Aku nggak percaya kamu bisa setega itu. Kamu kira cuma Sea yang butuh dicari, aku juga ingin kembali ke tubuhku. Aku juga berada di ambang itu, berada di antara awan-awan yang aneh," aduku sesenggukan. Tak kubiarkan lagi air mata ini tertahan.

"Itulah kenapa aku minta maaf, Hana, Sayang ...." Gavin meraih kedua tanganku sebagai bentuk rayuan.

Dan lagi aku menampiknya. "Lepasin tanganmu dariku. Hatimu berada di mana saja aku tidak tahu."

"Jelas aku hanya mencintaimu, Hana!" potong Gavin.

"Hentikan, hentikan semua kebohongan ini! Aku sudah muak, kamu tidak sesetia yang kukenal dulu," tolakku.

"Kamu nggak tahu betapa buruknya aku kemarin, Han!" teriak Gavin tak tahan lagi. Dia menggebrak setir, mengurut kening frustrasi. "40 hari kemarin adalah yang terburuk sepanjang hidupku. Istriku kecelakaan setelah pergi tanpa pamit, tubuh istriku dimasukin jiwa orang lain, aku harus membalik logika demi membalas budi seseorang, dan sekarang aku malah dihakimi sudah tidak setia," urainya panjang lebar.

"Membalas budi seseorang?" sentilku.

"Sea, dia yang malang itu pernah menolong hidupmu dua kali," jawab Gavin cepat.

Aku menatapnya tak percaya dengan mulut yang melongo. "Pemilik darah AB rhesus negatif yang langka dan penolongmu dari pesawat yang hampir meledak adalah orang yang sama, Sea," ungkap Gavin kemudian.

Dunia yang sempit atau memang Sea yang ditakdirkan malang untukku? Tanpa sadar kututup mulut dengan tangan karena tak percaya dengan pendengaran ini. namun, ucapan Gavin terlalu jelas untuk dipungkiri. Dia penyelamatku saat itu, saat usiaku 20 tahun. Betapa aku ingin mencarinya saat itu, betapa berharganya dia untuk hidupku.

"Jadi ...," desahku tak sanggup berkata-kata.

"Anggap kita impas. Silakan membenciku karena anggapan kosongmu itu. Namun, jangan membenciku karena Sea. Aku hanya membalas semua kebaikannya padamu. Kebencianmu salah sasaran," ujar Gavin tajam. "Sama denganku yang tidak akan membencimu karena kebohongan kemarin."

"Meski aku sangat marah karena kamu tak mempercayai cintaku," simpul Gavin yang mampu menutup mulutku rapat-rapat.

"Aku tak percaya kamu membenci Sea setelah berusaha keras mencarinya dengan tubuh itu," sindir Gavin seraya menyalakan mobil yang membawaku beranjak dari tempat berisik itu. Terlalu sesak dadaku.

Serba salah dan aku memang salah. Termakan cemburu buta yang berujung pada malu. Andaikata aku tahu apa maksud Gavin menemui Sea, pasti semua takkan seberantakan ini. Semua sudah terlanjur, aku kadung membenci malaikat penolongku.

Maafkan aku, Sea. Maafkan aku ....

---

Atmosfer ketegangan yang hening meliputi ruang tengah rumah dinas sore itu. Kedua manusia galau itu hanya menunduk tanpa ingin membuat dialog. Sibuk dengan pikiran masing-masing, monolog-monolog memusingkan. Namun, sepertinya salah satu dari mereka telah punya keputusan bulat.

Apalagi tangan sibuknya itu baru saja berhenti dari kesibukan melelahkan. Mengemasi koper-koper beratnya sampai napas tersengal-sengal. Hana memasukkan semua barangnya ke koper tanpa berpikir panjang setelah kembali dari Bandung. Keputusannya sudah tetap, ingin pergi dari rumah yang disukainya ini. Sebuah perpisahan yang tidak tahu sementara atau selamanya Hana pilih untuk kepelikan ini.

"Ayo kita berpisah saja, Bang!" Ajakannya bernada sama, terucap dua kali semenjak mereka duduk hening berdua.

Gavin yang memangku tangannya di atas paha hanya melirik sedikit lalu menunduk lesu lagi. "Perpisahan seperti apa yang kamu mau?"

"Kamu tidak menahanku?" tanya Hana penuh sindiran.

Gavin akhirnya mendongak dengan mata berapi-api. "Apa maumu, Hana? Kurang kuat aku menahanmu dari tadi? Kita bertengkar sepanjang jalan dan untung tidak berakhir di rumah sakit!" Lelaki itu mengetuk meja emosi.

"Seperti wanita itu, 'kan?" Lagi-lagi Hana memancing emosi Gavin.

"Sebut namanya, Hana! Kamu yang paling sibuk mencari orang itu dulu! Lalu sekarang kamu salahkan aku saat aku berusaha membalas budi demi kamu? Begitu!" sentak Gavin. Suara halusnya tiada lagi. Pertengkaran hanya menjadi ujung keduanya karena drama demi drama.

"Kamu cinta sama dia, 'kan, Bang?"

"Apa, cinta ...? Pikirmu aku pria gampangan? Apa sebegitu rendahnya aku bagimu?" Amarah Gavin masih menyala.

"Kamu sudah menyebut itu berkali-kali seolah menyangkal, tapi sikapmu kebalikan dari semua, Bang!"

"Aku datang demi membantunya sadar. Kata dokter, suara dan dukungan dari orang yang dikenalnya bisa membantu Sea sadar," ucap Gavin berat. Alasan Gavin yang terucap lagi ini sangat susah masuk ke benak Hana.

"Dan kata dokter, orang itu adalah orang yang disayangi pasien, orang yang peduli pada pasien. Keluarga dekat pasien. Benar?" tahan Hana penuh cemburu.

"Sedangkan kalian apa ...?" sambung Hana sentimen.

Pria bermanik tajam itu menahan napasnya yang sesak. "Perasaan Sea itu haknya. Terserah dia mau cinta pada siapa, yang jelas aku hanya mencintaimu," tanggap Gavin.

"Kamu memperjelas semua," Hana menertawakan remeh pria yang dicintainya itu.

"Jangan menjebakku, Hana! Tahukah, kamu sedang meremehkan cintaku saat ini!" hardik Gavin. Pertengkaran hebat masih terjadi dengan pandangan-pandangan setajam gunting.

Mereka berpandangan tajam dengan napas tersengal-sengal. Emosi yang digelontorkan sangat kuat. Pertengkaran di sore hari itu membuahkan perpisahan di depan mata.

"Kita ... berpisah saja, Bang," pinta Hana lirih, sebab lidahnya terlalu kelu saat ini.

Kebersamaan mereka yang 10 tahun lamanya itu akan segera diakhiri Hana. Seolah tak ada jalan keluar lain selain melepas Gavin. Seolah tindakan Gavin adalah dosa terbesar yang tak terampuni. Padahal semesta menjadi saksi bahwa Gavin tak menentang takdirnya sebagai suami nan setia. Andai Hana lebih sabar dia bisa menanyakannya kepada Sea.

"Apa harus seperti itu?" tandas Gavin dengan mata kosong dan bibir gantung. Matanya tak pernah lebih kosong daripada saat ini. "Apa kamu hendak menghukumku lagi."

"Entah lepas darimu atau sekedar meredakan emosi, aku ingin kita berjarak sementara waktu, Bang, kumohon," ratap Hana dalam tangisnya.

Gavin menarik lengan Hana hingga wanita ayu itu bertukar pandang dengannya. "Lihat aku, suamimu ini, apa tidak ada cinta bagiku lagi? Sebesar itukah dosaku?" berondongnya hancur.

Hana menarik lengannya lepas dari genggaman Gavin, seperti cinta yang telah lepas dari hatinya. Tak sanggup bertukar pandang atau mata karena terlalu tak kuat menatap pria menyakitkan itu. Bagi Hana, yang terbaik saat ini adalah perpisahan. Entah itu sementara sampai semua emosi mereda atau selamanya sebagai suami – istri.

"Lebih baik bertemulah dengan Sea supaya kamu tahu perasaanku gimana," usul Gavin di tengah remuknya hati itu.

"Nggak!" potong Hana keras, dia menoleh tajam pada pria yang akan segera dilepasnya itu. "Sampai kapan pun aku nggak mau melihat wajahnya!"

"Baik!" tegas Gavin tak tahan lagi. Napasnya tersengal hebat karena baru berteriak sekeras itu. "Oke, kuikuti maumu! Pisah, baik, mari kita lakukan!"

Pria itu berdiri lantas mendorong dua koper besar Hana menuju daun pintu. Dia menatap sang istri dengan seram dan satu tangannya berkacak pinggang. Tangannya bergetar saat menunjuk pintu sebagai jalan keluar, jalan perpisahan berat mereka.

"Silakan pergi!" suruh Gavin masih memakai suara nan halus.

"Kamu merelakanku?" kelit Hana dilema. Niatnya, sedang menguji seberapa kuat cinta Gavin padanya.

"Kenapa tidak, kamu sedang mengujiku, 'kan?" Gavin menggeleng kuat seraya meletuskan isi hatinya. "Cinta adalah percaya dengan perkataan, tidak perlu ujian macam anak sekolah! Cinta kita bukan milik anak remaja, Hana. Kita sudah matang, berkali-kali diuji keadaan."

"Curiga boleh saja, tapi kamu sudah tidak wajar!" vonis Gavin lagi.

"Tt – tapi, Bang ...," sela Hana.

"Kalau memang kamu tidak bisa membersamaiku lagi, silakan pergi! Andai pernikahan kita tak bisa diselamatkan lagi, aku akan berkata baik-baik pada Papi dan Mami. Bagaimanapun aku memintamu dengan baik. Aku tidak akan menahanmu lagi, Sayang," potong Gavin yang disertai uraian panjang kalimat sedihnya.

Dan wanita itu tak bisa menjawab apa pun. Kemarahan Gavin terlalu memuncak, tak bisa dibendung lagi. Niatnya menguji kesetiaan dan cinta Gavin dalam amarah itu bermuara pada keputusan pahit. Mungkin sebentar lagi dia akan jatuh dalam sesal. Terlebih dahulu wanita itu jatuh dalam hening, diam tak bisa menjawab. Dingin menyekat nafas hangatnya saat ini.

"Selama aku mencintaimu, aku nggak pernah berharap kamu punya kadar cinta yang sama. Jujur, bagiku berat mengurung jiwa bebasmu di asrama, sebagai istri tentara. Namun, di sisi lain aku nggak bisa melawan kodrat sebagai prajurit," jelas Gavin setengah membungkukkan badannya, bersandar pada pinggiran meja. Raganya terlalu lemah untuk menatap dunia. "Silakan kamu menenangkan diri jika perlu, mungkin menjadi istri tentara tidak seindah menjadi kekasihku dulu."

"Memang, kamu sudah berubah, Abang! Kamu rela melepasku pergi. Demi apa, Bang? Demi Sea?" tanya Hana marah. Dia menyusul Gavin ke depan pintu dan di titik itulah kini mereka bertengkar.

"Jangan meletakkan kesalahan pada orang lain. Aku hanya sadar diri, dan justru ingin meminta maaf," Gavin menyeka air di sudut mata merahnya. "Maafkan Abang karena mengurung impianmu. Maaf karena tak bisa mencintaimu sebaik keinginanmu."

"Sepertinya kamu beneran rela melepasku, ya?" Hana menatap miring sang suami yang kelihatan tak berdaya.

"Mencintaimu layaknya menggenggam pasir yang akan lepas dari sela-sela jemari jika aku terlalu kuat melakukannya. Aku mencintaimu, bukan mengikatmu. Kalau memang kamu bahagia dengan jarak dan perpisahan, itu hakmu." Suara serak pria itu terdengar hancur, sementara Hana hanya bisa terdiam. Mungkin menyesal, tentu saja.

"Tak perlu mendengar pengakuanku tentang apa pun, sebab percayamu takkan sama kadarnya dengan percayaku," pungkas Gavin lalu memalingkan wajahnya menghindari Hana.

"Ak – aku tak percaya ... kamu benar-benar melepasku, B – Bang ...," ucap Hana menahan tangisnya yang hampir meledak.

Pertengkaran hebat itu memang berakhir pada perpisahan. Hana yang menggeret kedua kopernya tanpa banyak bicara lagi. Dia menelepon taksi yang akan membawanya pergi dari pangkalan militer. Entah hendak ke mana, entah memenuhi kesepakatan apa. Wanita itu tak mau lagi menoleh, meski hanya sekedar menatap Gavin yang nanar hancur menatapnya.

"Bukannya aku tak mencintai dan tak ingin mempertahankanmu, Sayang. Aku sadar diri pilihanku hidup sebagai prajurit bukan menjadi pilihanmu juga. Aku tak mau kamu terus menderita karena berada di sisi tentara bengis sepertiku. Pergilah, cari kebahagiaanmu. Kenanglah aku sebagai suami terburuk, agar kamu tak terlalu tersiksa. Ya, aku memang bukan pasangan yang tepat untukmu. Tak bisa menjadikanmu ratu yang bahagia," batin Gavin hancur sembari memandang bingkai foto pernikahannya dan Hana.

Diambilnya ponsel, diketiknya sebuah kalimat terakhir dari yang terakhir untuk Hana. "Maafkan Abang, Hana. Setelah ini, apa pun yang kamu mau akan Abang turuti. Pergi dan tenangkanlah dirimu, jika sudah, katakan apa yang harus Abang lakukan lagi. Meski kamu ingin membenciku, lakukan saja. Semua Abang terima."

Dua centang abu dan berubah biru. Pesan terbaca dan Hana tak mengetik balasan apa-apa. Statusnya online, tapi wanita itu tidak ingin membalasnya. Dia memilih tergugu di tepi jendela taksi. Menyesali langkah bodohnya yang berakibat fatal dalam tangis.

Lelaki setia mana yang tidak marah jika diragukan cintanya? Gavin hanya bertindak sesuai isi hatinya. Dia bisa memaafkan semua keegoisan Hana, kecuali satu, meragukan cinta dan setianya. Menguji cinta pasangan layaknya permainan bodoh yang tak perlu Hana lakukan.

***

Bersambung...
Maaf Temans, tadi mau diupload tapi berhubung msu ada typo makanya nggak jadi publish.
Eh pas dicek lagi kok ga ketemu saltiknya.

Jadi, saya mohon ditandai ya andaikata ada yang notice typonya di mana. Terima kasih ❤️❤️❤️❤️❤️

Continue Reading

You'll Also Like

855K 75K 33
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
364K 21.1K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
257K 784 11
CERITA DEWASA KARANGAN AUTHOR ❗ PLIS STOP REPORT KARENA INI BUKAN BUAT BACAAN KAMU 🤡 SEKALI LAGI INI PERINGATAN CERITA DEWASA 🔞
458K 30.3K 25
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...