Hai, Sea! (End/Complete)

By NaylaSalmonella

101K 18.5K 2.5K

Picture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada :... More

Halo Temans
Episode 1 Game Over
Dream Cast
Episode 2 Paginya Pengantin Baru
Episode 3 Pelarian Hidup Sea
Episode 4 Mesmerize
Episode 5 Pergumulan Batin
Episode 6 Siang Nahas
Episode 7 Siang Nahas 2
Episode 8 Breaking News
Episode 9 Where Are You, Now?
Episode 10 Tentang Lelaki Itu
Episode 11 Mengenal Hana
Episode 12 Aku Sudah Bersuami
Episode 13 Adegan di Kubah Bunga
Episode 14 Stranger
Episode 15 Benang Merah
Episode 16 Kartu AS
Episode 17 Konsep Rumah Tangga
Episode 18 Pagi dan Siang yang Ganjil
Episode 19 (Bukan) Akting yang Natural
Episode 20 Suatu Hari di Solo
Episode 21 Happen for a Reason
Episode 23 Trial
Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta
Episode 25 The Pines
Episode 26 Percaya Padaku, 24 Jam Saja!
Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu
Episode 28 Sudah Saatnya Pergi
Episode 29 Suara Pria Terlarang
Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan
Episode 31 Setia
Episode 32 Kilas Balik
Episode 33 Halo, Sea, Temanku!
Episode 34 How Are You?
Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku
Episode 36 Langit Malam Itu (End)
365 Senja

Episode 22 See You When I See You

2.1K 507 40
By NaylaSalmonella

Uraian ramyun ayam pedas tampak sangat menggoda air liurku untuk terus mengumpal di ujung bibir. Tak sabar rasanya ingin segera memasukkannya ke dalam mulut. Apa daya aku harus menunggu beberapa menit lagi agar tak perlu meniupnya, masih panas. Table manner memaksaku tak melakukan itu. Selain itu, kebiasaan Hana di meja makan juga sesuai kesopanan dan kecantikan.

Aku tak mau mengubah kebiasaan Hana lagi. Kasihan jika imejnya rusak karena aku. Apalagi sekarang aku sedang makan di depan Gavin dan Yunita. Melipir ke resto makanan Korea, tempat yang ngeyel kupilih dari tadi. Jujur, aku sangat ingin makanan Korea semenjak rasa lapar kembali datang. Sejak pagi aku tak selera.

Meski aku harus makan bersama mereka, acara makan bersama yang tak kusukai. Inginku makan sendiri di tepi jendela resto sembari menatap mobil dan jalanan kota Solo di sore hari. Hanya berteman mangkok dan uap panasnya tanpa ada sepasang mata manusia lain. Aku suka kesendirian, tapi mereka tak pernah membiarkanku sendiri.

"Kok wajahmu nggak suka gitu, Han? Lagian sejak kapan kamu suka makanan ginian? Bukannya kamu suka makanan Sunda?" cerocos Yunita sambil membolak-balik kimchi. Sesaat dia menahan mual karena tak suka baunya.

"Makanan apaan sih ini, Han!" keluhnya sambil mendorong mangkok kimchi dengan wajah pucat.

Gavin mendorong mangkok kecil itu padaku. "Makanlah, mungkin kamu lagi suka coba makanan baru. Masih ada dua jam sebelum kita terbang ke Jakarta," suruhnya sambil menatap arloji.

"Bisa aku makan sendiri aja?" tanyaku sembari menatap mereka berdua. "Aku benar-benar tidak suka makan bersama."

"Kenapa sih, Han?" sambung Yunita cemas.

Aku mengedikkan bahu malas. "Nggak suka aja."

"Sudahlah, toleransi saja! Kami juga nggak suka makanan ini, Hana!" Gavin memandangku tegas yang memaksaku mendengus kesal.

"Ya udah deh, apa boleh buat," desahku lirih sambil menyumpit seurai mi khas Korea itu.

Masuk ke mulut dan rasa yang lezat itu menjalar langsung ke seluruh lidah. Tak lupa kuambil selembar kimchi dan kukunyah dengan meriahnya. Selalu enak, seperti biasa. Serasa lupa semua beban hidup, semua masalah yang menjemukan termasuk dua orang yang sedang menatapku heran.

"Bang, sejak kapan sih bini lo suka makanan gini?" bisik Yunita yang tentu saja kudengar dengan jelas. Mereka sedang membicarakanku tepat di depan wajahku!

Gavin hanya menunduk cuek sembari menikmati odeng dengan wajah dinyaman-nyamankan. "Nggak tahu. Jangan berisik di meja makan!" omelnya kecil.

Yunita menunduk malu dan kembali menikmati nasi goreng kimchi – makanan yang menurutnya paling masuk di lidahnya – tanpa banyak kata lagi. Mungkin benar katanya, Gavin adalah sosok yang sangar dan galak. Namun, bagiku dia sangat sabar dan baik, meski pendiam dan dingin. Entah ya kalau nanti ketemu dengan asliku dalam bentuk Sea.

Memikirkan tentang itu, hatiku sedikit bungah. Tentu saja karena keberadaan Sea sekarang sudah jelas ada di mana. Sekarang tinggal meminta Gavin mengantarku ke sana. Tentu saja aku tak bisa pergi sendiri, tak ingin memicu amarahnya lagi.

Gavin membuka tas kecil selempangnya lalu mengeluarkan sebuah kotak ke depanku. Di bagian kotak berwarna putih itu terdapat logo apel tergigit, logo sebuah merek gadget. "Ini ponsel barumu. Isi kontaknya sudah ku-backup dengan icloud milikmu. Begitu pun dengan foto dan video. Mulai sekarang kita berkomunikasi dengan itu."

"Sejak kapan kamu bawa HP ini ke mana-mana?" tanyaku setengah terhenyak.

"Sejak dari Jakarta. Baru sempat kasih sekarang," jawabnya cuek tanpa memandangku.

"Wow, Iphone keluaran terbaru yang udah lama kamu idamkan, Hana!" Yunita menyambar kotak itu dari hadapanku. Dengan lancangnya dia bahkan membuka kotak dan mengambil isinya. Iphone idaman remaja masa kini itu diangsurkannya ke tanganku.

Dengan terkesima kupegang ponsel ini, kedua mata masih tak beranjak dari wajah dingin Gavin. "Buat apa memberiku barang semahal ini, Bang?" ceplosku tanpa sadar.

"Itu yang kamu mau selama ini. Aku nggak belikan karena ponselmu masih bagus, tapi hilang pas kamu kecelakaan. Jadi, pakailah itu," jawab Gavin yang kali ini beralih memandangku lekat.

"Aneh, ya, gaji tentara itu banyak, ya? Sampai bisa beli barang mahal kayak gini?" tanggapku setengah mencibir.

Gavin hanya tersenyum dingin menyentak sedikit udara hingga bersuara. Seperti biasa, dia tak banyak bicara dan hanya melanjutkan acara makannya. Dia pun tak berkomentar ketika aku malah sibuk mengutak-atik ponsel. Isinya memang Hana banget. Foto-foto narsisnya, video manis mereka, pelukan mesra dan sebagainya menghiasi sebagian besar isi galeri. Sialan, mendadak udara di sekitarku menjadi panas. Mau tak mau aku harus menguncir rambut panjang Hana ini.

Kuraih kunciran rambut dari dalam tas. Dengan kasar kugelung-gelung rambut fotomodel ini. Persetan dengan kecantikan dan kerapian, aku cuma gerah saja sekarang. Hidup tak melulu seperti Barbie. Aku bukan Barbie, dan aku bukan Hana.

"Woo, jangan dikuncir gitu! Nanti rambutmu kusut, Hana!" larang Yunita sambil menyodorkan jepit besarnya padaku. "Pakai ini, ya?" suruhnya sambil meringis.

"Nggak!" tolakku alot sambil memutar kasar gulungan rambut. Kucepol sampai ke atas kepala, sedikit pusing dan aku bodoh amat.

"Ya ampun, nanti rambutmu bisa rontok kalau gitu," sesal Yunita dengan pandangan sayang. Dia menurunkan bahunya lemas.

"Ckck," Gavin berdecak kecil sambil berdiri dan mendatangi posisi dudukku.

Dengan kuat, dia tiba-tiba menggeserku. Badanku diputar lembut hingga membelakanginya. Sungguh, jantungku hampir lepas saat dia menyentuh gelungan rambut berantakan itu dengan tangannya. Gerakannya lembut saat melepas ulahku di rambut istrinya ini. Gavin mengurainya hingga tergerai lagi.

Dia bagaikan penata rambut profesional. Menyisir rambut Hana dengan jari-jemarinya. Halus sekali hingga aku merasa sedang dibelai. Tanpa banyak kata dia mengepang rambutku dengan gerakan tertata, seperti tentara yang memasang senjatanya. Aneh bagi seorang tentara, mengepang rambut seorang wanita.

"Ah ... so sweet!" tanggap Yunita dengan mata berbinar-binar dan tangan menopang dagu ke meja.

"Begini lebih baik. Kunciran kencang bisa membuat kepalamu sakit," imbuh Gavin lembut lalu dengan cepat kembali ke posisi duduknya.

Tersisa aku yang membeku di suatu titik. Reaksi yang hanya muncul dari seseorang yang baru pertama kali mendapat perlakuan manis. Seriusan Gavin baru saja memperlakukanku, ah, tubuh istrinya ini semanis itu? Tuhan, lelaki ini ciptaan mana sebenarnya? Dia sangat lembut di balik kedinginan sikapnya. Luwes memperlakukan wanita selayaknya orang yang paling berharga.

"Kamu nangis, Han?" pecah Yunita yang membuatku gelagapan. Sontak aku merampas tisu dan mengusap mata turun ke hidung.

"Enggak kok, minya pedes," ucapku bohong sambil menetralkan sikap.

"Orang amnesia memang aneh, ya? Hanaku tak seperti yang dulu, sama kayak selera makannya. Dulu setiap kena pedas, kamu selalu menangis. Sekarang malah nekat makan pedas," ucap Gavin datar, tapi berhasil membuatku hampir tersedak.

"Sama kayak Bang Gavin, kok bisa kepang rambut kayak gitu. Abang cowok, 'kan?" balasku tak nyambung.

Gavin tersenyum tipis. "Kamu sudah membuktikan aku lelaki apa bukan," jawabnya pendek.

"Uhuk!" Yunita tersedak hebat lalu meminum air putihnya cepat-cepat. "Abang, please! Aku masih lajang nih, ngomongin gituan kok gimana ya ...."

Ya Tuhan, salah bicara lagi aku! Segala upayaku untuk mengajaknya bicara selalu bermuara ke gang buntu. Bagaimana caranya agar kami bisa berbincang sewajarnya, seperti sepasang teman begitulah?

"Eng – enggak maksudku, Abang belajar kayak gini dari mana?" sambungku tak menyerah.

Yunita kelabakan sendiri. "Bisa nggak ngomongin hal lain? Ini nasib mbak Sea gimana, gitu?" celotehnya dengan muka merah.

Aku menoleh cepat. "Nanti, Mbak Yun!" tegurku.

"Abang belajar cara memperlakukan wanita seperti ini dari mana? Memberi barang yang disukainya, mengepang rambutnya, lembut kepadanya? Belajar dari mana?" berondongku ceriwis kepada Gavin yang makin lekat menatapku.

"Aku sudah 10 tahun belajar padamu, Sayang. Sesimpel itu dan kamu masih nggak paham," jawabnya singkat yang berhasil membuatku bungkam.

Lupa sedang berada di mana. Ingat Sea, ini tubuh Hana. Seorang perempuan yang sudah 10 tahun dicintai dan mencintai seorang lelaki yang sama. Mereka setia diterpa badai ujian dari yang ringan, sedang, hingga berat. Kamu berada di tubuhnya dengan tujuan untuk belajar rasanya mencintai dan dicintai, paham!

"Iya, aku lupa," desahku lesu nan pelan sembari menunduk. Air mukaku kembali melemah menyesali kebodohan.

Lalu aku mendongak untuk membahas hal yang dicetuskan Yunita barusan. "Tentang Sea, sesampainya di Jakarta kita langsung menengoknya, 'kan?" tanyaku penuh harap.

"Lihat kegiatanku. Ini saja aku banyak kerjaan di kantor," tukas Gavin cuek sambil memandang layar ponsel.

"Kok aku kayak dipermainkan, ya? Bang, kita lagi nggak bermain-main nih!" ujarku mulai tersulut emosi.

Gavin memandangku lurus. "Abang juga bisa bersikap sepertimu, mempermainkan hati dan hidup Abang 3 mingguan ini."

"Woho, kalian lagi berantem nih?" Yunita memecah situasi dengan celetukan tak penting.

"Aku nggak main-main. Udah kubilang aku ini Sea, masih aja dianggap Hana! Keanehanku bukan akting, jelas!" ucapku setengah mendelik.

Gavin mengetuk-etuk meja dengan jemarinya. "Aku ini tentara, tidak biasa bermain dengan spekulasi. Jangan bermain-main, Sayang! Abang nggak suka itu. Sampai di sini Abang masih toleransi, kuanggap kamu hanya terlalu simpati. Kamu adalah Hana. Jelas!"

"Aku Sea, bukan Hana!" debatku tak mau kalah. Kami saling menatap tajam sekarang.

"Sabar, Bang, Hana. Dilihatin banyak orang tuh," tegur Yunita menahan malu.

Gavin mengendur dengan menarik panjang napasnya. Dia melirik jam tangan dan mengusap setengah wajahnya dengan tangan. "Waktu kita kurang sejam lagi. Mau jadi Hana atau ngeyel mengaku Sea itu pilihanmu, Hana. Tunggu saja sampai di mana batas sabarku."

Setelah mengomel dengan suara rendah yang menusuk itu, Gavin berbalik mendahuluiku dan Yunita yang masih melongo. Lelaki tinggi itu membuka dompet untuk membayar makanan di meja ini. Tanpa menoleh, Gavin keluar resto dan berjalan mencari taksi. Aku dan si Tambun hanya mengikutinya dari belakang, diam dan tak banyak protes.

Kukira setelah semua terbuka jelas, sikap Gavin akan lebih lunak. Terutama pada bagian dia akan menerima kenyataan dan mulai percaya padaku. Nyatanya, tidak. Gavin tetap alot tak mau mengakui bahwa di tubuh Hana ini ada aku. Dia tetap menganggap istrinya sedang bergurau, kesabarannya mulai habis.

"Bang, tunggu!" Kutahan tangan Gavin dengan sekuat tenaga, "Kumohon, jangan marah! Maafin kalau ada sikapku yang salah, tapi aku pengen banget ketemu Sea."

"Buat apa, Hana? Kamu mau ngapain? Dia koma, lalu apa?" Gavin menatapku dengan mata tajam. Kami berdebat saat malam menyapa kota Solo, di tepi jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.

"Abang mau aku jawab sebagai Hana atau Sea?" gantungku yang membuatnya makin emosi. Yunita yang mendatangiku tak berani mendekat, tak ingin ikut campur.

"Jangan buat aku tambah marah, Sayang!" tekannya sambil menggigit bibir geram.

"Kenapa Abang nggak suka setiap aku bahas Sea? Apa salahnya dengan aku yang ingin kembali ke tubuh asliku? Sekali saja Abang peduli pada nasibnya, bisa?" Aku makin menyudutkan emosi Gavin.

"Aku bingung, Hana!" teriaknya lepas. "Kamu permainkan logikaku sampai lelah. Aku nggak bisa terima setiap perilakumu yang berubah drastis. Kukira semua adalah sandiwaramu!"

Gavin mendatangiku dan merengkuh kuat kedua lengan ini. "Jujurlah, apa tujuanmu berlaku seperti ini? Kamu ingin pergi dariku dengan memakai Sea, iya?"

"Pak Gavin ...," desahku lirih dengan mata yang mulai panas dan buram tertuju padanya. "Sumpah, ini bukan Hana. Jangan salahkan dia atas perubahan sikap ini karena aku, Sea. Aku nggak suka ditindas, nggak sesabar Hana. Bukannya dia tidak cinta pada Bapak, hanya saja sekarang di tubuh ini bukan Hana. Bukan Hana!" tegasku berulang-ulang.

"Oke, aku akan membuktikannya," geram Gavin sambil menahan satu tanganku. Satu tangannya menahan tengkukku kuat dan bibir tipis itu dengan cepat mencium bibir Hana ini. Bak ada sebuah petir menggelegar, ini sangat mengejutkan.

"Oh my God, halo Bapak Gavin ini di tepi jalan by the way!" ceplos Yunita sambil menutup mulutnya yang menganga.

Gavin melepas dekapannya di tubuh ini. "Bergetarkah hatimu, Sayang?"

Aku hanya bisa terpaku pada satu titik bak ikan yang membeku setelah masuk ke danau es. Kedua mataku hanya terpaku dan berkedip pelan sesekali. Mulutku terdiam, merasakan sisa bibir lembut lelaki itu. Membingungkan, dia tak salah karena mencium istrinya. Namun, apa aku juga salah karena telah dicium suami wanita lain?

"Reaksimu sealami itu, seperti baru dapat ciuman pertama," tanggap Gavin sedih. "Sebenarnya kamu kenapa, Hana?" lanjutnya sambil memegang tanganku.

Namun, aku menghempasnya dengan berjalan mendahuluinya. Terseok-seok hampir membentur trotoar karena bingung kenyataan. Tak bisakah aku kembali ke tubuhku sekarang, Tuhan? Kehidupan ini sangat membingungkan, aku tak sanggup.

Aku ingin bertemu dengan tubuhku sekarang, sumpah!

"Argghh," aku terpekik kecil sambil memegangi kening yang terasa sakit. Lagi-lagi aku merasa terhuyung seperti di tengah gempa besar. Pertanda yang aneh itu kembali lagi.

"Hana!" Yunita berteriak sembari mendatangiku yang sekarang terduduk lemas. Dan seperti biasa, Gavin juga mendatangiku tanpa banyak kata.

"Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanyanya cemas, tapi aku hanya fokus pada bibir tipis yang baru menciumku itu.

Entah menciumku atau mencium bibir Hana istrinya ini, hanya satu yang kupaku ke dalam hati. Bahwa seorang Sea telah merasakan sentuhan bibir pertama dengan lelaki yang diam-diam jadi idaman. Meski dia suami orang, tapi semua terjadi bukan atas kehendakku. Semoga aku tak dosa, sebab dia hanya mencium bibir istrinya, bukan bibirku.

---

"Kita berangkat jam 10 setelah aku apel dan santai di kantor. Bukannya aku mengakui bahwa kamu adalah Sea, tapi aku kasihan sama kamu yang sakit-sakitan karena memikirkan pramugari itu. Bersiaplah."

Mata sembabku hanya menatap jalanan ibu kota yang lengang di depan. Sesekali kuberanikan diri menengok ke arahnya yang banyak diam, lelaki berseragam loreng itu. Wibawanya yang angker bertambah seram saja. Pembawaannya selalu berubah saat berseragam, dingin dan tak banyak senyum.

Mataku melirik jam di layar ponsel pemberiannya, jam 10 lewat 15 menit. Sudah 15 menit kami berada di perjalanan ini menuju Persada Hospital, tempat yang paling ingin kudatangi. Akhirnya setelah aku terhuyung bingung di tepi jalanan Solo kemarin, Gavin mengabulkan permintaanku dengan mengunjungi Sea di hari Senin ini – hari ke 28 aku mendiami tubuh Hana.

Kami tak banyak berdialog setelah hari itu. Hanya bertanya ringan, "mau makan apa, masih pusing atau tidak, atau aku pergi cari makan dulu", sejenis itulah. Dia juga tak berani lagi menyentuh atau memandangku lekat setelah malam itu. Semacam berjarak, dengan dia yang selangkah menjauh. Seperti membiarkanku sendiri dalam kesunyian.

Andai dia tahu, setiap menyentuh bibir Hana yang sensual ini aku selalu ingat kecupannya saat itu.

"Kamu mau bawa apa, buah atau kue? Kita tidak mungkin bertangan kosong saat menjenguk seseorang, 'kan?" pecah Gavin tanpa melirik atau memandangku.

Padahal aku menatap lekat padanya yang tampak gagah dalam balutan seragam itu. "Terserah Abang saja."

"Ya udah, 50 meter lagi kiri jalan ada toko buah. Kita mampir saja," putusnya lalu diam lagi.

Kami kembali tenggelam dalam keheningan, hanya berteman musik hits minggu ini, "To The Bone-Pamungkas".

Setengah jam kemudian, aku dan dia sudah berjalan bersamanya di lorong menuju ruang ICU VIP 1, tempat Sea dirawat, info dari petugas di front office. Lorong yang sepi dan lengang itu semakin menambah keheningan antara aku dan dia. Gavin hanya menatap ke depan sembari menenteng keranjang buah yang cukup besar. Sementara itu, aku lebih banyak menguatkan diri.

Bagaimana, ya, rupa wajahku? Bukannya aku lupa dengan wajahku sendiri – hanya semengerikan apa penampilanku sekarang. Apa semakin kurus atau semakin buruk dengan kabel-kabel menancap layaknya di drama-drama. Bisa jadi aku sekarang kurus kering karena hanya makan dari cairan infus. Ketakutanku itu saja.

"Kamu sudah siap?" pecah Gavin yang membuatku sadar bahwa kami sudah berada di depan pintu ruang perawatan intensif itu.

Deg! Jantungku berdegup keras sekali. Kaki ini tiba-tiba menjadi gemetar hebat, membayangkan yang tidak-tidak setelah membuka pintu nanti. Tiba-tiba aku gugup sekali. Antara siap atau tidak.

"Gimana, Honey?" senggol Gavin meminta jawabanku. Dia mengode pintu dengan dagu lancipnya.

Kutarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat. "Okay, mari masuk!" putusku setengah ragu.

Tanpa pikir dua kali, Gavin menarik tuas pintu dan dengan senyap pintu itu terbuka. Kami langsung menuju bagian depan ruangan ini karena tidak sembarangan bisa masuk. Harus berganti pakaian dengan baju khusus yang steril. Tak lupa mencuci tangan sesuai petunjuk suster penjaga. Gegas kulakukan semua, melapisi baju dan seterusnya agar bisa segera menjenguk tubuhku.

Kami dipandu suster masuk ke ruangan bernuansa putih dan abu itu. Aroma obat-obatan langsung menyeruak ke hidung milik Hana ini. Nuansa putih dan abu-abu mendominasi ruangan tanpa bebungaan ini. Ya, polos sekali tak seperti nuansa kamar Hana saat pertama kali aku sadar. Pasti Papa dan Mama takkan serepot itu meletakkan vas dan bunga cantik untukku.

Ruangan ini juga sepi tanpa ada sanak keluarga. Papa dan Mama, mana mungkin mereka sepeduli itu sampai menemaniku di sini. Apalagi Feli, mimpi apa dia sampai ke sini. Pada dasarnya aku tak punya siapa-siapa.

"Besok, kubawakan kamu sebuket bunga mawar pink, ya, Se," gumamku yang membuat Gavin menoleh. Terucap tanpa sadar saat kedua mata ini menatap tubuhku yang tergolek diam.

"Apa ...?" tanyanya seraya mendekatkan telinga.

"Enggak, aku bicara sendiri," sahutku pendek.

Hatiku makin berdebar kencang dan mulut ini hanya terdiam mengunci rapat saat melihat tubuh kurusku terbaring di atas ranjang. Setengah badanku yang berseragam khas pasien rumah sakit tertutup selimut merah muda. Rambut panjang kesukaanku dicepol asal ke atas. Kedua mataku cekung, merem, dan pucat, serta masih ada sisa lebam di kepala. Jadi, aku juga terluka di kepala?

"Ya Tuhan ...," desahku lirih tak kuasa. Kedua kaki milik Hana ini langsung lemas hingga hanya bisa berpegangan di tepi ranjang.

Tanganku terulur tak kuasa. "Kenapa kamu bisa kayak gini ... Sea ...?" Tangisku luruh menderu seru.

Aku terisak meratapi nasib yang hancur berantakan. Sampai-sampai Gavin memapahku berdiri. Seperti biasa, dia selalu menguatkan kaki kedua istrinya ini. "Kuasai dirimu, Hana! Ingat, kamu seperti ini karena simpati. Bukan karena dia adalah tubuh aslimu!"

Yah, dia masih tetaplah Gavin yang sama, menjejalkan semua doktrin yang berisi anggapannya sendiri. Bahwa aku adalah Hana istrinya yang amnesia, bukan Sea yang tubuhnya jelas-jelas berbaring di atas ranjang sana.

"Maaf, siapa, ya?" Sebuah suara yang akrab memecah dari belakang.

Kontan aku menghapus air mata dan membalik badan. Kudapati Mama sedang sedang memegang tas kertas berisi boneka beruang merah muda. Sedangkan, di belakangnya ada Papa yang menatap kami penuh tanya. Sedang apa dan mau apa mereka di sini? Bertengkar? Lalu apa gunanya boneka usang milikku itu? Sudah lama teronggok di dalam lemari karena aku tak suka benda cengeng macam boneka.

"Papa ... Mama ...?" ucapku lirih sambil memandang nanar mereka bergantian.

"Ya ...?" sahut Papa dan Mama hampir bersamaan. Tentu saja tak mempercayai pendengarannya.

"Sst!" tegur Gavin setengah menyenggolku.

"Eng ... maaf Pak dan Ibu, nama saya Lettu Gavin dan ini istri saya, Hanasarah. Kami ...," jelas Gavin sopan sambil mengulurkan tangannya.

"Oh, Mbak ini yang diselamatkan anak saya, 'kan?" seru Mama antusias sambil menyambar tangan Gavin. Begitu pun dengan Papa yang langsung maju dan menyalami Gavin ramah. Keduanya sama, telah berbaju khusus ruang ICU, seperti sudah biasa berada di ruang ini.

"Dari mana Bapak dan Ibu ini tahu tempat Sea dirawat?" tanya Papa bingung.

Gavin tersenyum ramah. "Salah satu rekan Sea memberitahu kami, Pak."

Papa dan Mama lalu tersenyum maklum berbarengan. Cih, sikap mereka natural sekali untuk ukuran rukun-rukunan. "Ah, begitu. Bagaimana kalau kita ngobrol di luar? Kita cari tempat yang lebih nyaman." Papa menunjuk ke arah pintu.

"Mari, Mbak," timpal Mama setelah meletakkan beruang usang itu di sebelahku tidur, lalu menggiringku dan Gavin keluar.

Demi menghindari kecurigaan, aku dan Gavin pun mengikuti permintaannya dengan tenang. Kami keluar ruangan dan memutuskan ngobrol di salah satu sudut rumah sakit itu. Mungkin cuma aku yang sedang pasang muka kesal dan angkuh di saat Gavin tersenyum hangat sembari mengangsurkan keranjang buah ke depan Papa dan Mama. Bagaimana tidak, aneh saja melihat mereka sok rukun padahal aslinya di ambang kehancuran. Miris saja, saat aku di batas hidup dan mati, mereka baru sadar akan kehadiranku. Kemarin ke mana saja?

"Bagaimana kondisi Mbak Hana?" tanya Mama seraya tersenyum ramah. Dia meletakkan dua buah kopi dan teh kemasan ke hadapan kami. "Maaf, hanya ada minuman kemasan," ucapnya sungkan.

Aku menatap wajahnya yang kelihatan kuyu. Dari arah depan tak ada yang janggal seperti bekas pukulan atau cakaran. Mereka tak habis bertengkar sepertinya. "Mmm ... baik," jawabku sempat bingung.

"Sudah sembuhkah?" sambung Papa dengan nada perhatian.

"Sudah," jawabku sengit.

Gavin tersenyum ceria demi mencairkan suasana. "Istri saya dalam tahap pemulihan. Dia juga kehilangan ingatannya saat sadar. Bahkan sampai sekarang masih berusaha mengembalikan memori."

"Oh ...," sahut Mama yang natural sekali simpatinya. Ckck. Dia bahkan mengelus dadanya dengan wajah sedih.

"Nggak lebih baik dari Sea, 'kan, Tante?" sahutku tanpa sadar. Hatiku sedang tak enak, maunya meledak saja.

"Hana, please behave," bisik Gavin bernada tidak suka.

Kuubah wajah lebih hangat karena teguran Gavin. "Maaf, Tante dan Om. Kedatangan saya ke sini hanya untuk menegok kondisi Sea. Bagaimana pula dialah yang menolong saya sampai selamat."

Papa dan Mama kemudian tersenyum sambil berpandangan. "Terima kasih atas kedatangannya, Mbak Hana dan Pak Gavin. Semoga doa dan perhatian kalian membuat Sea bisa kembali," harap Mama.

"Memangnya bagaimana kondisi Sea sekarang?" sambung cepat.

"Ah ... bagaimana, ya?" Papa terlihat bingung seraya tersenyum dan menatap Mama.

Sementara itu, Mama hanya menunduk dengan wajah memerah. Sepertinya sedih. "Sea terluka parah akibat kecelakaan itu. Di Solo dia mendapatkan operasi besar dan ternyata ... kritis. Dia tidak kunjung sadar sampai dipindahkan ke Jakarta. Sudah sebulan dia di ICU dan kondisinya tak kunjung membaik," jelas Mama terbata-bata.

"Dokter menyatakan Sea koma. Karena kecemasan kami tentang harapan hidupnya, tim dokter mengadakan serangkaian tes. Syukurlah, tidak ada indikasi yang mengarah ke Mati Batang Otak. Masih ada harapannya pulih, meski teramat kecil." Papa meneruskan penjelasan dengan nada lebih tegar. Namun, sanggup menghempas semangat hidupku.

Penjelasan Papa itu langsung disambut isakan kecil Mama. Air matanya sudah tumpah dan hanya bisa ditutup dengan kedua tangan. Papa refleks menyambar tisu dan mengangsurkannya pada wanita yang pernah dipukulinya itu. Mereka tampak rukun, bahkan Mama kini bersandar lemah di pelukan Papa. Menjemukan!

"Ap – apa ...," desahku tak percaya. Dada ini langsung sesak. Air mata yang ingin kutumpahkan sampai tak bisa keluar saking tak percayanya. "Lalu apa yang akan terjadi padaku, tidak ... pada Sea?"

"Dokter menyarankan kami untuk mempertimbangkan DNR atau Do Not Resuscitate, meskipun mereka tetap mengupayakan kesembuhan Sea lewat perawatan paliatif," jawab Papa tegar.

"Jangan!" potongku kuat dengan tatapan serius pada keduanya. "Jangan lepas dia, Pak, Bu! Kumohon, Sea pasti ingin hidup. Dia pasti berjuang," larangku keras.

"Hana ...," tegur Gavin pelan seraya menahan posisi tubuhku lebih rendah.

"Jujur, kami masih bimbang, Mbak Hana," sela Mama di antara tangis hancurnya.

Aku langsung menatapnya tajam. "Jangan, yakinlah kalian akan melakukan yang terbaik untuk Sea. Jangan lepaskan dia!"

"Kondisinya terus memburuk ...," kata Papa.

"Tidak! Dia pasti kembali, berjuang untuk hidup!" potongku keras lagi-lagi.

"Hana, stop!" tegur Gavin sedikit keras yang membuatku mingkem. Lupa, aku sedang menjadi siapa sekarang.

Pria ini lalu memandangi Papa dan Mama yang kebingungan. Senyum tulusnya terulas tipis. "Mohon maaf atas sikap istri saya, Bapak dan Ibu. Mungkin dia hanya terlalu simpati dengan Mbak Sea."

"Kami takkan melepasnya! Sampai kapan pun! Sea nggak akan pergi, saya nggak relakan dia pergi!" ucap Mama histeris dengan setengah berteriak. Dia menangis kacau sampai Papa harus menenangkannya.

"Ma, kita belum sepakat tentang itu," bisik Papa yang masuk jelas ke telingaku. Sepertinya orang ini tak ingin aku berjuang hidup, ck!

"Nggak, Pa! Kita akan terus berjuang untuk kesadaran Sea," rintih Mama sesenggukan. Keduanya beradu sedih lewat sinar mata menjemukan itu.

"Hana, tenang ...," bisik Gavin lembut sambil memegang tangan ini. Sikap kerasnya mengendur melihatku menyerah.

"Ma ... tenanglah," ucap Papa dengan mata kemerahan. Tangis yang tertahan.

"Banyak sekali salah kita ke dia, Pa ...." Mama kembali tersedu di pelukan Papa. Yah, seperti biasa Mama selalu dramatis.

Namun, kenapa kali ini terasa menyakitkan, ya? Rasa-rasanya nasibku hanya tinggal menunggu waktu. Mereka bilang, kesembuhanku hanya berdasar keinginanku sendiri sekarang. Keluarga hanya bisa membantu kesembuhanku lewat suara, kenangan manis, dan benda kesayangan. Sedangkan, aku tak punya hal semacam itu. Beberapa tahun belakangan kuhabiskan dengan berkubang dalam pahit.

Aku harus berjuang sendiri. Ya, Kalau aku tidak berjuang, mereka akan semakin yakin untuk mengambil keputusan DNR. Tidak, aku menolaknya!

"Maaf jika kami mendramatisir. Sea telah banyak menderita, Pak, Bu. Namun, dia selalu membuat kami bangga, termasuk saat dia menolong nyawa orang lain," ucap Papa tegar di tengah sedu sedan tangis Mama.

"Saya ikut prihatin mendengarnya, Pak. Saya dan istri pasti berdoa yang terbaik untuk Sea. Kami juga sangat berhutang budi padanya. Istri saya bahkan hanya mengingat Sea saat pertama kali sadar," timpal Gavin penuh simpati.

Kulirik lelaki berloreng ini dengan sedih. "Bukan mengingat Sea, tapi aku memang Sea sejak awal sadar," batinku sakit.

"Terima kasih, Bapak dan Ibu," ucap Papa sambil menatapku dan Gavin bergantian.

Suasana menyakitkan ini dipecah oleh kedatangan dokter yang masuk ke ruangan. Dokter-dokter berjas putih datang untuk visite, mengecek kondisi Sea. Kontan membuatku dan Gavin harus keluar ruangan karena menyangkut privasi keluarga dan kondisi pasien.

Dengan berat hati, aku menyeret kaki keluar ruangan. Rasa hati ingin berbaring di tepi badanku sendiri, siapa tahu jiwaku bisa kembali dan pulih seperti sediakala. Namun, sekali lagi aku tak mau merusak situasi dengan pengakuan aneh itu.

Dari luar ruangan ICU, kulihat wajah Papa Mama yang kelihatan tegar menerima setiap penjelasan dokter. Sesekali mereka mengangguk-angguk meski wajahnya sedih. Parahnya, Mama kelihatan kembali menangis di dekapan Papa. Ah, mereka sok baik sekali. Bertingkah seolah orang tua yang paling mencintai anaknya, tapi bohong. Mereka tak pernah memikirkanku selama ini.

Aku tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, tidak percaya dengan cinta dan kasih sayang. Apa itu ketulusan antara pria dan wanita? Tidak ada! Apa aku harus bertukar badan seperti ini baru bisa sadar akan arti cinta? Ini sungguh tidak adil!

"Sok baik! Aku benci kalian!" kutukku lirih sambil meremas tangan kuat-kuat.

"Kamu bicara apa, Honey?" tanggap Gavin yang tak kuhiraukan.

"Kenapa ini nggak adil? Buat apa kamu berbaring di sana, Sea? Bangun, Sea!" Kugedor emosi pintu ruang ini.

"Ssst, tenanglah, Hana. Katakan padaku, okay!" Gavin berusaha membuat kontak mata denganku. Dia berusaha menatapku lembut, meski aku terus menghindar.

"Aku ingin kembali! Lepasin aku!" rontaku yang tak berguna. Sebab Gavin sekarang sudah merengkuhku dalam lengkungan tangannya.

Dia menarikku kuat menghindar dari depan ruang itu. Sekuat tenaga aku meronta, tapi tetap kalah tenaga dengan tentara ini. Pada akhirnya, aku hanya bisa menurut. Mengikuti langkahnya menuju ke sebuah ruang kosong di ujung lorong yang berbatasan dengan kaca lebar. Di sanalah aku kembali tersedu.

"Percayalah, itu tadi adalah tubuhku. Percayalah Pak Gavin, aku bukanlah Hana. Please, aku adalah Sea!" eyelku sambil menatap mata tajamnya yang buram.

"Beratus kali kamu mencoba memutarbalikkan logikaku, itu percuma. Di mataku kamu tetap Hana, istriku," jawab Gavin kukuh seperti karang.

"Hentikan simpatimu ini, Hanaku. Abang mohon, Sayang ...!" pinta Gavin setengah menundukkan badan tingginya agar bisa menatap wajah ini lebih lekat.

"Kembalilah menjadi Hanaku, lupakan semua kesakitanmu. Tentang Sea dan hari itu!" imbuh Gavin bernada menyakitkan. Matanya telah membasah oleh air kesedihan.

"Mana bisa ...," desahku tak kuasa. Air mata ini semakin deras dengan kedua kaki yang semakin lemas.

Aku tersungkur ke atas lantai yang dingin. Tafakur dengan kesedihan akan nasibku di dalam ruang sana. Aku ingin kembali hidup dan meneruskan mimpiku. Menjalani hari-hariku seperti biasa, terbang dan bekerja demi membeli apartemen atas namaku sendiri. Bukan seperti ini, apalagi berniat pergi secepat ini.

"Aku nggak mau ...!" isakku sambil meremas rambut dengan kedua tangan ini.

Mulut ini terus tersedu, menangisi nasib yang malang ini. Sampai pada sebuah pelukan lebar mendarat hangat. Suara lembut itu merasuk ke gendang telinga bak lullaby. "Entah kamu Hana atau Sea, bagiku kamu tetaplah Hana, istriku yang sedang menangis. Be strong, Honey. I love you."

Ketenangan macam apa ini? Tidak selayaknya kurasakan karena lelaki ini bukan suamiku. Kapan aku bisa berkata "See you when I see you" kepada tubuhku yang tertidur lemas di dalam sana. Seharusnya tadi sempat kukatakan, mungkin bisa memancingku kembali ke tempat asalku.

"Aku ingin kembali, kumohon ...," ratapku tanpa sadar, meski sadar sedang berada di pelukan hangatnya. Lelaki ini seperti tak mendengarku, dianggap racauan seperti biasa.

Sampai jumpa, Sea. Meski entah kapan aku bisa melihatmu lagi. Entah kapan bisa mendiami tubuhku sendiri lagi.

***

Bersambung...

Terima kasih sudah membaca. Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan dan ejaan. Mohon maaf juga update lama, saya keasyikan nulis cerita lain. Makanya nggak sempet upload yang ini 🙏😅

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 82.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
122K 13.7K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
612K 37.3K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
1.4M 75K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...