Hai, Sea! (End/Complete)

By NaylaSalmonella

102K 18.5K 2.5K

Picture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada :... More

Halo Temans
Episode 1 Game Over
Dream Cast
Episode 2 Paginya Pengantin Baru
Episode 3 Pelarian Hidup Sea
Episode 4 Mesmerize
Episode 5 Pergumulan Batin
Episode 6 Siang Nahas
Episode 7 Siang Nahas 2
Episode 8 Breaking News
Episode 9 Where Are You, Now?
Episode 10 Tentang Lelaki Itu
Episode 11 Mengenal Hana
Episode 12 Aku Sudah Bersuami
Episode 13 Adegan di Kubah Bunga
Episode 14 Stranger
Episode 15 Benang Merah
Episode 16 Kartu AS
Episode 17 Konsep Rumah Tangga
Episode 18 Pagi dan Siang yang Ganjil
Episode 19 (Bukan) Akting yang Natural
Episode 21 Happen for a Reason
Episode 22 See You When I See You
Episode 23 Trial
Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta
Episode 25 The Pines
Episode 26 Percaya Padaku, 24 Jam Saja!
Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu
Episode 28 Sudah Saatnya Pergi
Episode 29 Suara Pria Terlarang
Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan
Episode 31 Setia
Episode 32 Kilas Balik
Episode 33 Halo, Sea, Temanku!
Episode 34 How Are You?
Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku
Episode 36 Langit Malam Itu (End)
365 Senja

Episode 20 Suatu Hari di Solo

2K 466 85
By NaylaSalmonella

Aku suka hawa dingin kabin pesawat, tapi tidak dengan hawa dingin musim kemarau. Itu hanya membuat kulitku kering dan keriput, serta kadang pecah-pecah. Padahal bekerja di balik seragam anggun itu butuh kulit mulus bak pualam. Meski aku hanya menunjukkan sebagian kulitku, mulus sebuah keharusan.

Terbang saat musim kemarau adalah yang paling menyenangkan. Pesawat jarang mengalami kendala teknis. Langit bak lautan yang tenang dan cerah. Membuat pilot dan awak kabin merasa tenang tanpa gangguan awan CB. Namun, tetap saja aku tak suka musim itu.

Membuatku harus rajin mengoles krim demi krim pada jengkal-jengkal kulit Hana – tipikal kulitnya mirip sepertiku yang cenderung mudah kering. Kutatap langit yang cerah di pagi ini, sepertinya tanah ini sudah bertemu dengan kemarau. Beberapa pohon besar di satuan militer ini mulai meranggas, menggugurkan dedaunannya. Mereka berserak, tersibak angin dari mobil yang melewatinya. Membuatnya terlihat tragis, dramatis, atau mungkin romantis.

Semacam mataku yang mengembun karena menatap dedaunan itu buyar dari balik jendela mobil yang disetiri Gavin ini. Hatiku teraduk, entah apa alasannya. Mungkin karena di pagi yang dingin ini aku hendak terbang ke Solo, untuk menemukan jejak keberadaan Sea, tubuhku. Tentu saja, semua masih buram. Yunita pun tak tahu jelas posisi tubuhku di mana. Hanya kami punya petunjuk penting, rumah sakit pertama yang jadi tempat perawatanku dan Hana.

Sepanjang jalan, Gavin tak banyak bicara. Dia hanya diam di balik kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Pun dengan persatuan jempol dan jemari yang menyangga hidung itu, kebiasaan Gavin saat menyetir memang unik. Bagaimana tidak, tangan kirinya menyangga hidung dengan bertumpu pada arm rest dan tangan kanannya berada di kemudi.

Dia membawa mobil ini dengan santai. Sesantai outfit-nya hari ini. Suami milik Hana ini membalut tubuh tinggi proporsionalnya dengan kaos kerah Polo warna biru muda, celana jeans dongker, dan jaket pilot parasut warna hitam. Tangannya yang jenjang sudah dilapisi smartwatch Garmin. Penampilan yang necis untuk ukuran pria beristri.

Membahas Gavin tidak ada habisnya. Sama seperti arti namanya “Elang”, tatapan pria itu memang kadang setajam paruh elang. Mata sedih sayunya itu bisa berubah jadi garang saat aku mulai menyudutkannya. Kalau dirasa, situasi kami tak pernah benar. Sejak hari pertama aku sadar di tubuh Hana sampai hari ke 25 ini, kami tak pernah terlibat percakapan santai.

Namun, bukan berarti dia tak pernah mengajakku santai atau sekedar bicara ringan. Akunya saja yang terus memberontak. Meski bertekad berusaha menjadi Hana, tapi aku tetap tidak bisa. Hati kecilku terus berontak karena tak bisa kehilangan jati diri.

Honey, kita sudah sampai. Kamu tidak mau sarapan dulu?”

Pertanyaan Gavin diiringi dengan tatapan perhatiannya memecah lamunanku. Sejak kapan ingatanku berhenti bekerja, tadi bukannya aku masih menatap daun-daun yang tersibak? Lantas sekarang aku sudah di parkiran bandara Soekarno-Hatta, CGK, dengan masih ditatap lekat olehnya. Gavin bahkan membantuku melepas sabuk pengaman dan mempersilakanku turun.

“Kamu berubah pikiran?” tanyanya karena melihatku tercenung.

Aku menggeleng kuat. “Nggaklah, kita harus tetap ke Solo!” tegasku sembari menarik kenop pintu. “Dan lagi, aku nggak mau kita sarapan bersama. Aku suka makan sendiri,” pintaku tegas.

“Dan Abang nggak akan biarkan kamu sendiri. No excuses!” tandas Gavin menyisakan sesak di dada ini. Bisa apa, dia merantaiku untuk beberapa jam ke depan. Huh!

Akhirnya, kaki jenjang milik Hana ini kugerakkan turun dari mobil. Dengan antusias, kuedarkan mata milik Hana ini ke sekeliling parkiran. “Ah, aku kangen tempat ini,” ceplosku tanpa sadar.

“Ada apa dengan tempat ini? Kamu sering kabur ke mana?” sahut Gavin sambil berdiri di sebelahku. Diselempangkannya tas di dada dan dia melepas kacamata hitam itu. Pandangannya mengikuti arah mataku yang sibuk.

“Kabur ke angkasa, runway itu adalah jalan kaburku,” ceplosku santai sambil meliriknya sekilas.

Dia berdecak lantas menggeleng kecil. “Sudahlah, menurutimu hanya membuat pusing. Masuk saja, cari sarapan dan check-in,” ajaknya cuek.

Tanpa berkata banyak, aku menuruti langkah jenjangnya. Postur tubuh Hana yang semampai membuatnya tak sulit mengimbangi langkah lebar Gavin. Menurutku, mereka pasangan jerapah, sama-sama tinggi. Maka tak butuh waktu lama kami beranjak masuk ke pelataran bandara.

Terlalu akrabnya aku dengan tempat ini, maka aku sampai salah masuk ke bagian check-in counter kru kabin. Tentu saja petugas darat Sky Airlines langsung menatapku aneh. Ohlala, aku lupa sedang berada di situasi apa. Sambil menyengir bodoh, aku undur diri. Pun dengan Gavin yang menarik tanganku cepat seraya meminta maaf.

“Kamu beneran lupa identitas sekarang? Kacau banget,” ejeknya sambil menggigit donat bomboloni penuh gula halus. Dia melengos cuek meski mulutnya kotor. Kekanakan sekali.

Sambil menahan tawa dengan gulungan tangan, kutarik sebuah tisu basah dan kuangsurkan padanya. Gavin menyambarnya dengan cuek lalu melengos lagi. “Sudah kubilang, kalau bandara adalah tempat yang kurindukan. Aku hanya menghayati peran,” kataku santai sambil menggigit kecil donat toping cokelat kacang.

“Terusin aja …,” sindir Gavin setengah mendelik, “lama-lama Abang pulang aja nih kalau kamu ngaco!” ancamnya sambil mengusap mulutnya sedikit keras.

“Oh … key,” desahku menyerah. Tidak ada gunanya mengganggu kenyamanan lelaki ini. Mau berada di tempat ini untuk menuruti permintaan ngeyelku saja sudah bagus. Gavin tak mudah sewelas asih ini kok.

“Bang …,” panggilku ragu, tapi Gavin langsung memfokuskan matanya padaku.

“Kenapa?” sambutnya dingin.

“Beneran nggak bisa kasih waktu sebentar, 24 jam saja, untuk percaya bahwa aku bukan Hana, tapi …,” kugigit bibirku cemas dan kupandangi Gavin takut-takut, “Sea ….”

Air mukanya yang sempat mengeras itu perlahan kendur. Apalagi kedatangan Yunita membuyarkan semua. Si tambun datang di saat yang tidak tepat, saat aku sedang menggiring hati Gavin. “Hai … maaf, ya, aku terlambat.” Sapaan Yunita yang ceria berubah menjadi sedih saat melihat wajah galak Gavin.

“Eng … maaf, ya, Abang,” ucap Yunita sambil meletakkan segelas Starbucks yang masih mengepul ke hadapan Gavin. Semacam sogokan mungkin.

“Kalau niat pergi, jangan telat!” sambut Gavin dingin sembari menyambar tumbler itu.

“Siap, Abang!” Yunita membuat sebuah hormat di kening, lalu si gimbul itu menoleh padaku.

“Hana, gue udah dapat nama rumah sakit pertama yang merawatmu dan pramugari itu. RSAU dr. Siswanto Solo, ini alamatnya,” sodor Yunita padaku yang menyambut uluran tangannya. Ada selembar kertas yang berisi alamat tempat tujuan kami.

“Kalau nama rumah sakitnya aku udah tahu kali,” sindir Gavin sinis. Hanya dibalas senyum sungkan dari bibir Yunita.

“Semoga semua terbuka hari ini,” harapku lirih, tapi ternyata didengar Gavin dengan jelasnya.

“Lalu kamu mau apa?” tanggapnya dingin.

Aku menatapnya penuh keraguan. “Tentu saja mencari cara untuk kembali ke tubuhku, Bang. Bagaimana pula ini bukan tubuhku, tapi milik Hana istri Abang,” jawabku dengan tempo cepat. Takut salah, berharap dia tak mendengarnya dengan sempurna.

Namun, air muka lelaki itu makin suram. Mendung menggantung di kedua mata sedihnya. Bibir seksinya itu melengkung kecewa, mungkin dia pikir aku kambuh lagi. Apalagi sebuah kalimat kekecewaan meletus beberapa detik kemudian. “Bisakah kamu diam saja, Sayang? Abang takut nggak kuat dan mendingan sudahi saja hari ini!” geramnya.

“Jang – jangan, Bang … kumohon jangan, ya?” bujukku tanpa ragu. Parahnya, tanpa ragu pula aku membentuk Namaste di dada sebagai tanda aku sangat memohon.

“Bener, Bang. Mungkin sikap Hana ini hanya terlalu simpati pada Sea, makanya dia jadi gitu. Gimana pula Sea adalah orang terakhir yang dilihat Hana sebelum koma,” bubuh Yunita dengan pandangan memelas. Meski ragu, aku hanya mengiakan ucapan Yunita.

Gavin hanya menggeleng kuat, layaknya orang yang tak percaya telah terjebak di situasi bodoh buatanku. Pun dengan gelas kopi hitam pahit yang diselesaikannya tanpa ragu. Setengah donat gula itu hanya teronggok tanpa dihabiskannya. Gavin memilih ngeloyor ke stan tiket, untuk cek masuk dan mendapat boarding pass. Lelaki itu malas menanggapiku yang halu dan Yunita yang menurutnya menyebalkan.

Ingin sekali aku menjaga jarak dengan lelaki marah itu. Sayang seribu sayang, tempat duduk kami malah berdekatan. Yunita malah terpisah di row belakang, sedangkan kami di row depan. Cukup aneh karena yang memesan akomodasi adalah Gavin. Apa karena sesuatu dia ingin berdekatan denganku?

Sepertinya iya, karena aku yang ketakutan setengah mati saat duduk di 29F, kursi dekat jendela. Entah kenapa sekujur tubuhku dingin bak terjun ke kolam yang beku. Kedua kaki Hana yang kugerakkan ini juga mendadak lemas dan gemetaran saat deru pesawat menyapa telinga. Serasa semua bayangan seram kecelakaan siang itu terputar lagi.

Apa ini yang namanya trauma? Batin sesakku bertanya-tanya.

Are you okay, Honey?” telisik Gavin sambil meneliti wajahku. Sepertinya dia menangkap gelagat anehku lagi.

“B – Bang, apa … pes – pesawat ini akan mel – meledak …?” tanyaku terputus-putus sembari meliriknya nanar.

Lelaki itu seperti langsung membaca ekspresi wajahku. Sandaran tangan yang menjadi sekat kami langsung dinaikkan. Dengan sigapnya, dia merangkul pundak istrinya ini. Gavin mendorong kepalaku untuk rebah di pundak kerasnya. Dia memberiku obat penenang, semacam desisan lembut bak ibu ke bayinya. “That’s okay, Honey. Kamu pasti bisa melewati semua ini, Hanaku selalu kuat memperjuangkan apa yang dia mau. Pesawat ini bukan yang nahas siang itu, kamu aman bersamaku.”

Apa yang dilakukan Gavin saat ini tentu sangat berbeda dengan beberapa menit yang lalu, di mana dia sangat emosional. Detik ini, dia terdengar lembut dan penuh welas asih seperti biasa. Lelaki bermata sedih yang tak banyak bicara. Pemilik pundak kuat dan tangan yang hangat, seorang lelaki berpangkat dan berseragam.

Ingatlah ini, Sea, meski kamu berada di tubuh wanita lain tapi kamu telah merasakan kehangatan seorang pria dewasa. Lewat pelukan, sentuhan, bisikan, pujian, dan ketenangan, kamu sangat beruntung hari ini. Paku itu, camkan itu!
---

Pukul 10 Waktu Indonesia Barat, kujejakkan kaki di Bandara Adi Soemarmo Solo. Bandara yang penuh nuansa menyakitkan bagiku. Langit terlihat sendu juga, sebab mendung masih tersisa di awal kemarau ini. Langit suram, seperti hatiku yang harus dikuat-kuatkan selama 1 jam 15 menit.

Terbang dari Jakarta menuju Solo tidak semudah bayanganku saat menjadi pramugari dulu. Nyatanya, aku sekarang lebih pada mabuk udara. Sepanjang jalan aku harus meletakkan airsickness bag di depan wajah, demi menampung isi perut yang mendesak keluar. Semua isi lambung keluar karena grogi, takut, dan trauma saat burung besi ini membawaku mengudara.

“Hei, kamu nggak apa-apa?” tegur Gavin karena melihatku tertahan di tepi tangga turun pesawat dengan wajah yang pasti sudah pucat.

Aku setengah membungkuk, meletakkan tangan di kedua lutut untuk menumpu badan. Menarik napas yang sesak lebih panjang meski percuma, tetap sesak. Rasanya berat untuk menjejaki landasan ini. Apalagi kalau melihat ke sisi sebelah sana, ada pagar bandara yang catnya masih baru. Dalam artian, beberapa bulan yang lalu SYA 111 menerjangnya hingga hancur tak bersisa.

Ya Tuhan, aku masih ingat dengan jelas saat itu!
Suara badan pesawat yang bergesekan dengan benda apa saja yang menghalanginya. Keras dan menyapuku seperti gulungan ombak. Semua gelap dan aku hanya bisa menutup mata, dan saat aku membuka mata semua telah berantakan seperti tsunami. Teriakan, ratapan menyedihkan menguar ke seisi kabin. Semua kesakitan, berdarah-darah, dan ada yang tak bergerak lagi. Ah, aku sesak!

“Ah …,” desahku sambil menarik napas panjang. Mata milik Hana ini terasa panas dan berkabut, air mataku luruh tanpa bisa ditahan-tahan. Kepala berat ini terhuyung, seperti belakangan ini.

“Hana!” pekik Yunita sambil menahan tubuh lemasku yang hendak lunglai.

Pun dengan Gavin yang langsung membopong tubuh ringkih ini. Kejadian buatanku ini kontan membuat semua orang panik. Pihak kesehatan bandara langsung mengambil kursi roda untuk menolongku. Namun, aku tak mau mengulur waktu lagi. Kutahan tangan Gavin agar menurunkan tubuh istrinya ini.

“Nggak apa-apa, Bang. Sudahlah, kita lanjutkan saja, hem?” ujarku berusaha meyakinkannya. Kutegar-tegarkan wajah lemas ini, kubuat mental sekuat baja.

“Kamu yakin?” tahan Gavin tanpa mengendurkan pandangan cemasnya.

Aku mengangguk cepat agar waktu tak semakin terulur. Gavin pun menurut dengan menurunkanku ke tanah. Telah kukuatkan kedua kaki Hana untuk mulai berjalan menuju exit door. Entah memakai apa untuk pergi ke rumah sakit itu. Tak ingin menunda pencarian meski Gavin terus mengusik keyakinanku.

“Aku takut kamu kenapa-napa, periksa dulu, ya? Please!” mohonnya sekuat tenaga.

“Abang, aku nggak apa-apa. Udahlah!” tepisku meski tak bisa menutupi sorot mata yang masih ketakutan.

“Kamu ingat sesuatu, Han?” tanya Yunita sambil mengiringi langkahku.

Aku hanya menatapnya datar. “Hari di mana kekacauan ini dimulai,” jawabku singkat sambil terus berjalan.

Sesampainya di depan pintu keluar kedatangan domestik, aku dilanda kebingungan baru. Dengan apa kami akan pergi ke rumah sakit Angkatan Udara itu? Dan Gavin menjawab semua dengan diplomatis, sebuah mobil jemputan sudah menunggu kami.

Adalah Letnan Dua Johandi Reza. Pria berseragam loreng itu adalah adik asuh Gavin yang dulu sama-sama Satgas Perdamaian di Libanon. Semua penjelasan gamblang ini Gavin katakan saat kami berada di dalam mobil untuk memulai perjalanan. Tak perlu kuragukan bepergian dengan orang sepertinya, dia penjaga yang bertanggung jawab dan penuh perhitungan, bukan?

“Terima kasih banyak, Dik, sudah membantu Abang,” ucap Gavin sekaligus menjadi kode bahwa tujuan kami sudah dekat.

Letnan muda itu menegakkan badan sembari tersenyum hormat. “Siap Abangku, suatu kehormatan bagi Adik bisa menjemput dan mengantar Abang dan Mbak,” ujarnya penuh hormat sembari melirikku dari spion kecil.

Aku mengangguk sungkan, sama seperti Yunita yang malah gagal fokus pada rupa tentara ini. “Terima kasih, atas bantuannya, Mas,” ucapku pelan.

Sampai Gavin menyenggol tanganku seraya berbisik lewat gerakan mulut, “Dik, bukan Mas.”

Seketika mulutku membola paham. Lupa lagi dengan aturan unik dunia mereka. “M – maksud saya, Dik. Maaf … saya orang amnesia,” ujarku berusaha melucu. Berhasil si Johandi tertawa lebar sekarang.

“Siap, Mbak. Semoga Mbak cepat sembuh, ya? Izin, semoga hawa kota ini membuat Mbak sedikit fresh,” harapnya ramah yang hanya kutanggapi dengan anggukan santun. Aku takut salah ucap, mendingan diam.

Kediamanku bertahan sampai pada akhirnya roda empat ini berhenti di depan sebuah rumah sakit milik Angkatan Udara. Aku masih ingat siang itu, suasana sepinya berubah jadi ramai karena kedatangan para korban kecelakaan. Memang mulut ini diam, tapi hati dan pikiran ini sudah sibuk sendiri. Ingin segera melesat masuk, menemui suster atau siapa pun untuk menanyakan puluhan pertanyaanku.

Gavin atau Yunita tak lagi mampu menahan kakiku melangkah masuk. Mereka yang masih berbasa-basi dengan Johandi tertinggal di belakang, sedangkan aku telah masuk ke resepsionis dan mulai memberondong petugas medis. Tak peduli mereka siapa, berperan apa, aku hanya ingin membeberkan semua.

“Apakah Suster tahu di mana pramugari itu dirawat sekarang?”

Puluhan pertanyaan pembukaku bermuara pada pertanyaan pamungkas yang paling penting itu. Dengan wajah muram, mulut penuh desakan, air mata yang hampir tumpah aku berharap suster menjawab pertanyaanku yang satu ini. Namun, sama seperti respon semenjak awal, perempuan muda itu hanya menggantung rasa penasaranku.

“Menunggu jawaban dokter yang berwenang saja, ya, Bu.” Begitulah jawabnya, sangat mengesalkan.

“Saya butuh jawaban, bukan basa-basi, Mbak!” ulangku tegas dengan mata sedikit mendelik.

“Ya Tuhan, Hana!” cegah Gavin dari arah belakang. Nada suaranya terkejut dan menarikku sedikit mundur dari meja tinggi itu.

Gantian Yunita yang pasang badan dan wajah lebih ramah. Dia menghadapi suster muda yang ruwet itu. “Sus, mohon maaf atas sikap teman saya. Kedatangan kami ke sini hendak mencari seseorang yang pernah dapat perawatan di sini. Kecelakaan Sky Airlines, pernah dengar?” tanya Yunita lebih santai dan sopan.

Memang benar, raut muka suster ruwet itu lebih bersahabat dibanding menghadapiku yang meletup-letup. “Saya paham, Mbak. Oleh karena itu, akan saya antarkan ke ruang dokter yang berwenang. Mari silakan ikut saya.”

“Baik, terima kasih, Sus,” balas Yunita lega. Kemudian, dia menatapku puas.

“Tuh, yang sabar dong, Hanaku,” pamernya sambil berjalan mengekori suster.

Aku mendengus kesal. Dasar pilih kasih, nggak tahu apa ada orang buru-buru.

“Kamu yang sabar, Hana. Jangan mempermalukan diri sendiri!” bisik Gavin sambil berdecak heran. Dengan santai pria tinggi ini mengikuti langkah Yunita dan si suster.

Sungguh, aku tak ingin berbasa-basi sekarang. Tempo terlalu lambat. Namun, aku tak bisa mengeluh apa pun selain menurut. Kututup mulut agar semua kelambatan ini tak begitu terasa. Sembari menutup rasa sakit karena ingatan itu terus muncul, terutama saat melewati ruang UGD. Ruang penuh kenangan berdarah-darah.

Setengah jam yang membosankan akhirnya bermuara pada jawaban dokter yang bertugas kala itu. Tak tanggung-tanggung, kepala dokter di rumah sakit ini pun ikut turun langsung menemui kami. Beliau berkata bahwa pramugari Sea Rose Sophia adalah orang yang paling dicari selama ini. Entah oleh siapa, yang jelas dia pasti menganggap seorang Sea itu penting.

Mungkin mamaku yang dramatis atau papaku yang apatis, atau mungkin kakakku yang akhirnya bahagia dapat harta papa tanpa harus berbagi denganku? Entahlah, aku buram karena penjelasan pamungkas dokter itu barusan masuk ke telingaku.

Pihak maskapai telah memindahkan Sea ke rumah sakit lain atas permintaan keluarga. Karena itu merupakan rahasia pasien, kami mohon maaf tidak bisa memberikannya kepada sembarang orang. Bapak dan Ibu harus mendapat persetujuan dari pihak keluarga,” ujar dokter lima menit yang lalu.

Berhasil mengacaukan mata ini, buram dan penuh air. Aku menangisi nasibku yang makin tak jelas. Aku juga bahagia karena aku belum mati, tubuhku belum terkubur di tanah. Jelas, aku dipindahkan ke tempat lain bukan dikuburkan. Statusku saat aku tak sadar itu bukan mati, tapi sama seperti Hana, koma.

“Jadi … saya masih hidup …?” tanyaku lirih sembari sesenggukan pada dokter yang bingung.

Yunita langsung menahan posisi tubuhku yang hampir limbung meski sedang duduk. “Tenang, Hana. Yang tenang …,” bisiknya sabar.

“Maksudnya, Sea masih hidup saat dipindahkan, Dok?” Gavin memperjelas racauanku.

Dokter mengangguk yakin. “Benar, Bapak. Nona Sea dalam kondisi koma saat itu.”

“Baik, Dok. Terima kasih,” ucap Gavin lesu sambil menunduk lemah.

Tak tahu pasti apa yang membuat lelaki bermata sedih itu makin muram. Apa dia merasakan apa yang kurasakan. Apalagi sekarang dia memangku kedua tangan terlipatnya di atas lutut, masih terus menunduk tak bertanya apa-apa lagi sampai dokter keluar ruangan. Kami bertiga bungkam di ruang besar ini. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Asal kamu tahu, Abang adalah salah satu orang yang pernah menanyakan kondisi Sea. Abang bukan manusia tak tahu terima kasih. Abang tahu, Sea adalah orang yang menyelamatkan Hana. Namun, hasilnya tetap sama meski sekarang kita mendatangi tempat ini,” beber Gavin pelan dengan gaya khasnya, mata sedih dan kening berkerut.

Penjelasan Gavin membuatku terhenyak. Tiba-tiba aku menyentak lengan kekarnya dan membuat lelaki itu menoleh pada wajahku yang sembab. “Ap – apa maksudmu …?”

“Lalu kenapa kamu seolah menutup mata atas nasib Sea, Bang!? Kamu nggak suka setiap aku sebut nama dia, seolah nggak mau kenal! Kenapa?” bentakku parau. Akhirnya, aku mampu mencerna kata-katanya barusan. Mirisnya, aku malah berkubang dalam kebingungan baru.

Gavin merengkuh kuat kedua pundakku membuat kami berhadapan dalam satu garis lurus kini. “Abang nggak suka kamu terbayang sakit itu, Hana! Aku mau kamu sembuh …,” kata-katanya tak sanggup diselesaikan.

Gavin menunduk dan menghapus kasar air matanya. “… aku mau kamu kembali menjadi Hanaku yang dulu lagi. Tanpa sakit, luka, dan trauma.”

Air mata milik Hana ini kusuruh turun sederas mungkin. Sebab hati dan perasaan milikku terasa dipanah busur, sakit sekali. Gavin tahu siapa Sea, dia berusaha mencarinya. Hanya dia tak ingin Hana membahas atau mengingatnya. Gavin hanya ingin Hana kembali, seutuhnya menjadi istrinya. Menyakitkan!

“Kenapa aku malah terjebak di tubuh ini? Kenapa …?” Kujambak rambut milik Hana ini dengan emosi, hingga beberapa helai rambutnya rontok. Aku berteriak depresi di ruangan asing ini.

Sebuah kekacauan buatanku membuat Yunita panik dan Gavin sibuk. Yunita panik memegang kedua tanganku. Namun, tak mempan karena emosiku terlalu besar. Dia terhempas sakit ke sudut meja. Gavin turun tangan dengan memeluk dan menahan gerakan tanganku, tidak berhasil. Dia hanya diam dan memandangku yang sibuk menjambak dan berteriak kacau.

“Aku hanya ingin tubuhku. Di mana Sea? Di mana …?” racauku dalam tangisan sembari meronta-ronta.

“Hana, please Honey. Tenanglah, tenang! Abang akan cari caranya, tenanglah,” tenang Gavin berusaha meraih tubuh ini lagi.

“Tapi Bang … aku cuma mau ketemu tubuhku, kumohon …,” racauku lemah.

Mungkin karena kehabisan tenaga atau karena aku yang sudah lemah, akhirnya mulut ini terkunci dengan sendirinya. Aku bahkan menurut untuk luruh di pelukan lelaki ini. Diam saat Gavin merangkul dan mencium pucuk kepalaku. Serasa disiram air kulkas yang sejuk, ajaibnya sebuah kasih sayang ternyata seperti ini.

Suatu hari di Solo, aku menemui sebuah titik terang. Namun, ternyata terang itu layaknya sinar rembulan. Ia tidak nyata, hanya memantulkan cahaya matahari. Kata lain, titik terang itu adalah semu. Buntu. Aku tetap tidak tahu di mana tubuhku berada.
Kini, aku hanya bisa meratap. Menghitung detik demi detik berlalu. Entah akan tinggal di tubuh ini dan kehilangan identitas Sea selamanya atau menjalani kehidupan sebagai Hana selamanya.

“Kalau kamu adalah Sea, kamu pasti tahu jadwal temanmu selesai terbang,” bisik Gavin setelah aku cukup tenang.

“Apa maksudnya, Bang?” sambung Yunita bingung, pun dengan pandangan mataku yang menatap lelaki ini lekat-lekat.

“Anggap kita tidak tahu di mana tubuh Sea sekarang, tapi kamu pasti ingat satu dua rekan Sea, ‘kan? Kenapa tidak coba menunggunya di bandara,” tanya Gavin sambil memandangku meminta persetujuan.

Ya, itu ide yang bagus. Kenapa tidak terpikir olehku? Ini bukan kebuntuan ternyata. Mungkin emosi yang meluap-luap membuatku lupa jalan lain. Jelas, aku punya jadwal terbang selama sebulan dan juga … akun kru kabin di website maskapai. Di website itu aku biasa mengisi presensi dan mendapat jadwal terbang. Meski sekarang jadwal terbang sudah expired, tapi aku masih bisa membuka akun itu.

Dengan mengisi ID dan password, aku bisa mengakses akun dan menemukan siapa saja yang terbang ke tujuan Solo. Bukankah itu bisa, ya, aku biasanya memakai cara itu untuk bertukar jadwal terbang dengan rekan. Betapa bodohnya aku, sangat!

“Apa Abang percaya aku adalah Sea?” tanyaku yang tiba-tiba membuat bibir Gavin setengah terbuka. Menggantung, bingung harus menjawab apa pasti.

“Sesekali mungkin aku harus mengikuti sandiwaramu, Hana,” jawabnya setengah hati.

Mungkin cuma aku yang sedikit lega dan semangat dibanding Gavin yang murung dan Yunita yang masih bingung. Keduanya pasti seperti mimpi, terjebak di situasi aneh tapi nyata ini. Harus mengakui bahwa istri dan sahabatnya ini bukan yang biasanya, palsu dan ternyata berisi jiwa orang lain mirip cerita drama fantasi.

“Kalau begitu, sekarang pikirkan cara bagaimana aku bisa masuk ke ruang kru kabin dan mengakses komputernya. Hanya itu cara yang mungkin, sebab aku tak bisa sembarang memakai ponsel atau sejenisnya. Semua butuh kode enkripsi, dan hanya komputer milik Sky Operation Center yang bisa,” celotehku yang membuat wajah bimbang Gavin berubah kaget.

“Aktingmu luar biasa, Hana. Bagaimana bisa kamu paham hal-hal semacam itu? Kamu tidak seperti Persit atau selebgram,” tanggap Yunita heran sembari mengepakkan tangan dua kali.

“Ya Tuhan, apa benar kerasukan itu ada?” sambung Gavin seperti orang pilon.

Seorang tentara yang biasa bergelut dengan logika, teori nyata, dan hal-hal yang pasti memang tidak akan mudah percaya pada hal klenik macam ini. Aku pun sama, tapi terjadi juga. Dunia memang penuh tanda tanya.
***
Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 119K 42
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
2.9M 185K 46
[Part lengkap] Blur : Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang...
96.4K 3K 51
Bagaimana rasanya menikah dengan iblis? Kenyataan itu benar benar gila DEVIL Denial Villen adalah nama siluman yang menjadi pengantar dongeng anak-an...
420K 46.7K 44
Karena kesamaan rupa antara gundik yang ditemuinya di rumah bordil dengan Parvis Loine sang tokoh utama wanita sekaligus gadis yang dicintai oleh Ize...