Hai, Sea! (End/Complete)

By NaylaSalmonella

101K 18.5K 2.5K

Picture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada :... More

Halo Temans
Episode 1 Game Over
Dream Cast
Episode 2 Paginya Pengantin Baru
Episode 3 Pelarian Hidup Sea
Episode 4 Mesmerize
Episode 5 Pergumulan Batin
Episode 6 Siang Nahas
Episode 7 Siang Nahas 2
Episode 8 Breaking News
Episode 9 Where Are You, Now?
Episode 10 Tentang Lelaki Itu
Episode 11 Mengenal Hana
Episode 12 Aku Sudah Bersuami
Episode 13 Adegan di Kubah Bunga
Episode 14 Stranger
Episode 16 Kartu AS
Episode 17 Konsep Rumah Tangga
Episode 18 Pagi dan Siang yang Ganjil
Episode 19 (Bukan) Akting yang Natural
Episode 20 Suatu Hari di Solo
Episode 21 Happen for a Reason
Episode 22 See You When I See You
Episode 23 Trial
Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta
Episode 25 The Pines
Episode 26 Percaya Padaku, 24 Jam Saja!
Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu
Episode 28 Sudah Saatnya Pergi
Episode 29 Suara Pria Terlarang
Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan
Episode 31 Setia
Episode 32 Kilas Balik
Episode 33 Halo, Sea, Temanku!
Episode 34 How Are You?
Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku
Episode 36 Langit Malam Itu (End)
365 Senja

Episode 15 Benang Merah

2.4K 469 31
By NaylaSalmonella

Dulu aku kagum pada tentara hanya karena fisik mereka. Mereka punya badan yang bagus di balik seragam mereka. Mereka teratur, rapi, dan tidak berisik saat menjadi penumpangku dulu. Ternyata setelah aku melihatnya langsung dari dekat semua kesan itu bertambah.

Gavin adalah sosok yang lembut, baik, penyabar, dan bisa menjadi dingin di waktu yang sama. Dia bak kulkas dua pintu, dingin tapi bermanfaat bagi kehidupan. Sikap dinginnya itu menarikku untuk memandangnya lebih lekat dalam diam. Caranya bicara, memandang, bahkan sampai saat menyetir mobil punya aura yang beda. Manly but cool, semacam itulah.

Pundak tegap, dada bidang, lengkungan siku, dan lengan bawahnya yang seksi. Berurat pasti karena olahraga yang teratur. Pergelangan tangan yang selalu tertempel jam tangan, pertanda dia sangat memperhitungkan waktu. Aroma tubuhnya wangi, tidak bau asap karena no smoking. Pria yang menarik.

Itulah kenapa dia sangat menjaga dan menyayangi Hana, karena dia mencintai dirinya sendiri.

Gavin yang kukagumi dari video pernikahannya dulu saat ini ada di sebelahku langsung. Dia tak banyak bicara kalau tidak diajak bicara, pendiam. Suka mendengar musik slow dari mobilnya. Suka menyetir dengan tenang tidak grusa-grusu, bahkan saat melewati lubang jalan dia akan memelankan mobilnya.

Inikah benang merah kenapa aku masuk ke tubuh Hana? Untuk merasakan sensasi berdekatan dengan pria setampan inikah? Atau mungkin untuk merasakan kenyamanan palsu? Sampai tiba di rumah aku masih berpikir keras.

Aku pulang saat sore sudah mendatangi hari. Disambut bahagia oleh papi maminya Hana. Tak lupa Ambu yang mengurus manusia ini sejak bayi. Mereka tampak berharap banyak pada Gavin yang berseri-seri. Sepertinya semua berharap Hana menemukan ingatannya. Sayangnya, tidak.

Mungkin wajah datar dan senyum nanggungku bisa jadi jawaban. Kalau di dalam tubuh ini bukan manusia yang mereka harapkan. Apalagi saat aku ngeloyor masuk ke kamar tanpa menyentuh meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa. Sepertinya mereka hanya membiarkanku begitu. Sekali lagi, mereka anggap aku butuh ruang sendiri. Termasuk Gavin yang membiarkanku meninggalkannya.

Bluk! Kulempar sandal berat Hana ke ujung kamar. Kasur rapi di kamar bernuansa merah muda ini juga kutimpa kasar. Setidaknya nuansa kamar ini masih senada denganku, suasana cerah dengan warna pastel meski hidup suram. Yah, hidup bahagia Hana itu tak luput juga kok dari kata suram.

Harus mulai dari mana untuk mencari benang merah kejadian ini? Hana dan Gavin adalah penduduk kota Bandung, sedangkan aku lahir dan besar di Jakarta. Bagaimana bisa kami bertemu? Tidak, kami tidak mungkin punya keterkaitan. Aku saja tidak pernah satu sekolah apalagi bertemu dengan Hana.

Sambil berpikir keras, aku membuka laci meja rias Hana. Wanita ini hidup bagaikan cerita dongeng ‘kan? Pasti dia menulis kejadian-kejadian ajaib di hidupnya, atau setidaknya buku harianlah! Kubalik-balik kotak kertas dan isi laci itu. Hati terus berharap menemukan sesuatu yang berguna.

Hatiku berdetak keras sekali tatkala mendapat sebuah buku tebal bersampul flanel merah muda dengan sulaman bunga sakura. Pasti ini buku harian, dan tak menunggu waktu lama aku membukanya. Halaman pertama kudapati tulisan rapi dari tangan Hana. Isinya biasa, tentang ciuman pertamanya yang ternyata bukan … Gavin.

“Wanita yang … wow,” gumamku heran.

Mataku lanjut menelusuri lembar kedua. Dia bercerita tentang pertemuannya dengan Gavin. Terjadi saat mereka masih duduk di bangku SMA, ternyata memang satu sekolah. Selisih usia mereka tiga tahun, Hana kelas 1 dan Gavin kelas 3. Selebihnya aku tak membacanya, terlalu muak jujur. Tak lebih dari kisah cinta remaja dimabuk kasmaran.

Semua berubah saat aku membaca lembar keenam. Di mana Hana menuliskan tentang kemalangannya. Saat dia kelas duduk di bangku kuliah dan Gavin sedang berjuang di pendidikan tentara, Hana terlibat kecelakaan. Mobil yang dikendarai supirnya menabrak pohon. Keduanya terluka, Hana yang lebih parah.

Hana menulis, dia dibawa ke rumah sakit dengan baju yang penuh darah dan tangis histeris orang tuanya. Kesadarannya terus turun karena sedang merindukan Gavin yang jauh di Magelang. Wanita ini bilang, baru kali itu dia memendam kemalangan demi Gavin. Asal Gavin memperjuangkan cita-citanya. Hana berkata dia sangat bangga pada Gavin, tak perlu mencemaskan dirinya. Meskipun sangat ingin Gavin menyemangatinya sembuh.

Dan masih kuingat mata sedih lelaki itu saat kami berpisah beberapa bulan yang lalu. Aku marah jika kamu sibuk, Kak. Aku nggak suka kita jauh. Namun, kali ini aku bangga meski kamu tak di sisiku. Demi sepotong loreng di masa depanmu.”

“Ah … dia bisa dewasa rupanya,” gumamku sambil menyeka air mata dari tubuh ini. Ternyata Gavin memang biasa bertampang sedih sejak dulu.

Aku tidak takut pergi, hanya takut sendiri. Aku takut sendirian tanpa Mami Papi, tanpa Kak Gavin. Tuhan yang Baik memberiku pertolongannya. Masa kritis itu lewat dan diakhiri dengan pelukan erat dari mereka. Siapa pun kamu, terima kasih atas sekantong darahmu. AB rhesus negatif, darah kita yang langka, ‘kan? Hanasarah, di beranda jendela rumah sakit Mitra Kencana Bandung.”

Deg! Seperti ada kabel putus di otakku. Seperti baru tersengat kabel listrik, aku terpaku membeku. Sepertinya aku tak asing dengan curahan hati Hana barusan. Empat tahun silam saat usia baru genap 17, aku berlibur ke vila Papa di Bandung dan tidak usah ditanya, pertengkaran meletus antara Papa dan Mama.

Papa melempar Mama dengan vas bunga dan aku menangis sejadi-jadinya. Ya, waktu itu aku masih menganggap pertengkaran mereka seperti perang dunia. Mama lalu mengajakku pergi ke rumah sakit pakai taksi tanpa dipedulikan papa. Tangis sedihku penuh ratapan karena baju mama berlumuran darah akhirnya berhenti saat dokter menjahit lukanya.

Sembari menunggu mama, aku duduk diam di depan ruang IGD dan membaca tulisan “RS Mitra Kencana” berkali-kali. Mengamati para petugas medis berlalu-lalang sibuk membawa pasien. Sampai pada sebuah keributan sibuk di ruang suster. Dari yang kudengar, mereka butuh darah golongan AB negatif. Seorang gadis 20 tahun dalam kondisi kritis karena kehilangan banyak darah.

“Ah …,” dengan hati runtuh aku meremas bibir. Tangan dan seluruh tubuh ini bergetar dengan hebatnya.

Bukankah anak tujuh belas tahun yang mendonorkan darahnya waktu itu adalah aku? Ya, aku yang mendonorkan darah pada Hana ini. Akulah si darah langka itu, AB rhesus negatif. Masih ingat muka polosku saat mendekati para suster itu. Aku hanya kasihan saja, ingat mamaku yang berdarah-darah. Meski sekarang aku apatis, dulu aku punya jiwa sosial juga.

Jadi … inilah benang merah kenapa kami bisa terhubung? Dalam tubuh Hana mengalir darahku. Golongan darah langka yang kudonorkan untuk menolongnya.

Baik, dalam setiap pertemuan pasti ada alasan. Namun, seperti inikah bentuk pertemuan kami? Seperti inikah alasannya?

Aku menangis terisak. Membenamkan seluruh kepala di bawah selimut tebal agar mereka di luar tak mendengarku. “Kenapa kamu melakukan ini, Hana? Apa kamu butuh pertolonganku lagi? Namun, haruskah bertukar tempat seperti ini, HAH!”

Berteriak aku dalam kehampaan. Seperti bertanya tanpa ada jawaban. Dadaku sesak karena kami bukanlah orang asing. Sekantong darah itu telah mengalir dalam tubuh manusia ini. Saking emosinya, tangan ini sampai memukul-mukul pinggiran kasur.

Sebuah suara sibuk masuk dari arah pintu. Pria tinggi itu tergopoh menahan tanganku yang menyakiti diri sendiri. “Ssstt, Hana? It’s okay, Honey. I’m here for you, sssttt,” ucapnya lembut dan tenang. Dia terus berdesis untuk mendamaikanku.

Namun, dadaku masih sesak dan tangis ini masih berderu. Hingga tanpa sadar aku menyerah di pelukannya. Begitu pula dengan Papi dan Mami Hana yang berpandangan cemas. Maminya bahkan sampai terduduk lemas di sisiku. Semua heran dengan kelakuanku. Semua menebak-nebak apa yang sedang terjadi.

Sama seperti mereka, aku pun bingung dengan semua ini!
---

Aroma vanilla and wild berry menguar lembut dari belakang kedua telinga wanita ayu itu. Di tubuh tinggi langsingnya telah melekat sepotong gaun selutut katun warna biru dongker dan di kakinya masih melekat sepasang selop warna abu. Tangan berhias gelang emas rantai itu kemudian membenarkan letak skincare beraroma buah-buahan di meja rias Hana. Harus rapi seperti sebelumnya.

Dialah Sea yang terjebak di tubuh Hana, dan sore ini adalah hari kedua cutinya Gavin. Namun, entah sudah hari keberapa dia mendiami tubuh itu. Alur hidupnya terasa lambat karena satu persatu informasi penting masih abu-abu.

Sesekali dia berdecak heran karena perawatan kulit milik Hana sangat banyak. Sea yang pramugari saja tak perlu botol-botol sebanyak ini. Sebenarnya dia enggan, tapi sudah terlanjur ingin merawat tubuh yang dihuninya itu. Maka dengan setengah hati dia mengoleskan krim kaki pada tumitnya. Kemudian aroma pineapple jasmine menguar dari bawah.

Sea pikir tubuh Hana ini sudah mirip toko buah.
Mata lentiknya kemudian melirik ke samping. Bibir sensual Hana itu kemudian sedikit melengkung ke atas. Tanda galau hendak mengambil keputusan apa saat memandangi sebuah benda berkilat itu. Cincin emas putih 1,2 gram dengan hiasan banyak permata kecil menutupi setengah badan cincin itu. Benda yang terlihat berkilauan dan memikat dipakai.

Sayangnya, itu bukan milik Sea meski dia mendiami tubuh Hana.

Suster yang merawatmu susah payah menjaganya. Ternyata cincin ini masih jadi milik kita. Pakailah, Honey!” Perkataan Gavin kemarin sore makin mengaduk hatinya. Suara lembut dan tatapan manis itu kembali menggetarkan hati wanita ini.

Sea memaku kedua tangan Hana itu di atas meja. Dia menunduk bersandar pada dua tangan mulus yang terhimpun erat. Rasa bingung menjalar di seluruh hatinya. Bagaimana bisa dia memakai benda yang jadi perlambang cinta suci Hana dan Gavin itu? Dia tetap tidak berhak!

Namun, kalau tidak dipakai bagaimana tanggapan Gavin? Pasti lelaki tinggi bermata lembut itu menjadi sedih. Sejujurnya berat bagi Sea memandang Gavin kecewa untuk berulang-ulang. Ingin sekali saja dia membuat Gavin tersenyum hangat, atau mungkin tergelak seperti kemarin.

Lagi-lagi, Sea yang mendiami tubuh Hana itu galau. Apalagi jika ingat perihal benang merah antara mereka bertiga. Sea dan sepasang orang asing itu terhubung dengan cara yang menyakitkan. Aliran darah dan peristiwa pahit.

“Gimana mungkin aku pakai kamu?” gumam bimbang Sea lewat mulut Hana sembari menimang cincin di tangan kanannya.

“Kamu bukan milikku, tubuh ini juga,” imbuhnya tanpa sadar melinangkan air mata. Cincin itu kembali tergeletak di atas meja rias.

Sea memutuskan menaruh benda itu di atas meja, tidak di antara jemari-jemarinya demi menghargai cinta suci Hana.

Lamunan sekaligus linangan air mata Sea terputus saat sebuah ketukan mampir ke pintu kamarnya yang tertutup. Dia menarik ingus dan menghapus air mata sembari menoleh. “Siapa?”

“Non, sudah selesai dandannya? Non Hana ditunggu Bang Gavin.” Ambu memanggil perempuan ayu itu karena Gavin telah menunggu. Sea heran kenapa harus Ambu yang datang, bukan Gavin saja?

Oh, apakah karena Sea menjaga diri dan jarak sedari kemarin? Ya, dua hari Gavin cuti dan mereka harus tidur terpisah kamar. Lebih tepatnya, Sea mengunci kamarnya agar Gavin tak dapat masuk dan menginvasi perasaannya. Sea tak mau hatinya makin kabur. Tak mau pula sampai terlibat sentuhan fisik dan sejenisnya. Dia merasa bersalah karena “menggoda” lelaki milik Hana.

“Non?” buyar Ambu lagi yang membuat Sea gagap.

“Eng … iya, Mbu. Sebentar,” sela Sea sambil berdiri. Setengah sempoyongan, dia merapikan lagi rambut lurusnya yang kini di-curly di bagian bawah.

“Kalau nggak karena pertemuan sore ini, aku juga ogah dandan kayak lenong.” Sea mencibir wajah Hana di kaca karena merasa terlalu norak sore ini.

Mau menolak tak bisa. Sore ini menjadi momen yang berharga bagi tubuh yang didiami Sea itu. “Hana” akan bertemu dengan mertuanya alias kedua orang tua Gavin. Lebih tepatnya ibu dan adik kandung Gavin yang pada akhirnya berkunjung ke Bandung.

Tentu saja Sea berdebar keras. Dia sama sekali belum pernah bertemu dengan mertua Hana. Jangankan bertemu mertua, merasakan punya mertua saja belum. Bukankah Sea sangat tidak suka menikah dan dunia pernikahan? Ya.

Namun, benang merah itu membuat Sea harus merasakan hal yang dibencinya. Masuk ke dalam tubuh seorang istri solehah nan lembut dan mencoba berbakti kepada lelaki berlabel suami. Pesta pernikahan hanya pernah dia rasakan dalam mimpi. Ya, mimpi liarnya sebelum hari itu.

Tanpa mengulur waktu, Sea keluar dari kamar Hana dengan langkah yang masih tertatih. Kondisi fisiknya butuh banyak latihan agar bekerja seperti manusia normal. Karena dia tak mau ikut latihan fisik di rumah sakit, maka kesembuhannya sedikit lambat.

Namun, tak mengapa, Sea masih bisa menuruni tangga rumah megah itu dengan anggun. Meski di kaki tak melekat sandal yang cantik dengan hak beberapa senti, dia tetap terlihat mempesona. Setidaknya membuat mata tajam pria bernama Gavin itu terpaku padanya dari ujung tangga atas sampai ke bawah. Tak hanya itu, kedua wanita berbusana nuansa bebungaan juga bengong melihat langkah milik Hana.

Tidak usah diragukan, jiwa di dalam Hana adalah Sea. Dia adalah pramugari tahun ketiga yang sudah fasih berjalan anggun di tengah lorong kabin, bahkan saat ada guncangan turbulensi.

“Cantiknya,” bisik Mami Hana sambil menyenggol pelan lengan sang suami.

“Hana, ini Ibu Padmi Supadio, ibu mertuamu,” Papi Hana menunjuk sang besan yang masih bengong dengan sopan. “Yang di sebelahnya Kalila Supadio, adik iparmu.”

Mereka bengong mungkin karena takjub. Hana hadir dengan nuansa yang baru. Wajahnya Hana, tapi ingatannya kosong. Mungkin sejenis itu. Jelas, sorot mata Hana berubah. Biasanya lebih banyak menunduk hormat, tapi sekarang malah mengangkat sedikit dagunya. Sombong.

Biasanya dia selalu menghambur riang ke arah mertuanya, sekarang tidak lagi. Sea malah membawa tubuh Hana ke dalam keheningan dan sedikit rasa angkuh. Main perasaan saja, sambutan si ibu mertua tidak sebanding jika harus dibalas sapaan riang dan ramah. Tatapan mata yang sama-sama angkuh, pasti.

“Hana, salim,” bisik Mami Hana dengan senyuman lebar sambil menarik halus tangan putri semata wayangnya. Diarahkan menuju arah tangan si ibu mertua yang kelihatan tersenyum setengah hati.

“Oh …,” ceplos Sea lantas menuruti gerakan Mami Hana itu. Dia mencium dan menyapa hangat ibunda Gavin.

“Apa kabar, Bu?” Dengan percaya dirinya, Sea bertanya seperti itu. Benar saja tanggapan si ibu mertua makin miring.

Bibir tipis yang serupa dengan milik Gavin itu sedikit miring, menyeringai. “Beneran lupa kalau seharusnya manggil Mima?” sindirnya halus sambil membuang napas.

Sea memutar bola mata milik Hana dengan salah tingkah. “Ouch, maaf, Mima,” ralatnya polos. Kemudian dia tersenyum imut sambil menyambar tangan dingin Kalila.

Wanita bermata indah bernama Kalila itu tak kalah memandang remeh dibanding ibunya. Hanasarah adalah saingan berat Kalila di dunia modeling meski dia adalah kakak iparnya. Berkali-kali mereka bersaing ketat untuk mendapatkan perhatian desainer. Sudah jadi rahasia umum kalau Hana dan Kalila tidak rukun.

“Lo beneran lupa ma gue? Sayang banget, ya?” celetuk Kalila ketus.

Seketika suasana kaku itu berubah dicairkan paksa. Kedua orang tua Hana tertawa keras tanpa makna karena sikap Kalila yang kaku. Sementara itu, Gavin hanya menggaruk maklum kepala belakangnya. Apalagi bu Padmi yang lebih banyak mencep sambil membenarkan letak gelang di tangannya.
Mungkin hanya Sea dalam tubuh Hana yang banyak bengong saat ini. Matanya bingung tanpa arah sembari meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi.

Kayaknya Hana dan iparnya nggak akrab. Lihat juga ekspresi ibu mertuanya, cuek amat kayak nggak ada cemasnya sama menantu,” batin Sea sambil memandang lekat ibu mertua dan ipar Hana. Kedua alisnya sampai mencuram saking kerasnya berpikir.

“Bagaimana kalau Hana ngobrol sama Mima dan Kalila. Udah ada Gavin, ‘kan? Kami tinggal, ya?” pamit Mami senada dengan Papi Hana. Keduanya memilih undur diri ke ruang belakang dan menyisakan anak semata wayangnya di tengah situasi aneh itu.

“Baik, Mi, Pi. Kami tidak akan merepotkan,” ucap Gavin dengan senyuman lembut. Setengah badannya membungkuk hormat pada mertuanya itu.

Untung Gavin masih berada di situ dan berhasil mencairkan suasana. Tangan dingin Hana ditariknya duduk di sofa. Tanpa sungkan Gavin juga menyuruh Hana meminum teh forget me not racikan Ambu. Teh yang manis dan segar itu makin sedap karena Gavin memandang kagum wajah cantik Hana. Sementara itu, Hana yang berisi jiwa Sea lebih banyak diam sambil berdehem berulang-ulang.

“Kok kamu makin kurus?” pecah Bu Padmi yang membuat Sea dan Gavin mendongak bersamaan, “Gavin, maksud Mima,” imbuhnya sambil berdehem palsu.

Gavin tergelak santai. “Ya mikirin Hana, Mima. Gimana mau enak makan?” jawab Gavin sambil melirik manis wajah istrinya.

“Ya udahlah, makan aja. Kenapa harus mikirin aku?” sahut mulut Hana sekenanya sambil menyibak rambut panjang yang mulai membuatnya gerah.

Kalila mencibir sinis iparnya itu. “Wow, tumben kamu judesin Abangku?” sindirnya puas.

“Kal!” tegur Gavin setengah melotot, “Jaga sikap!”

Kalila menggaruk tengkuknya tak tahan lagi. “Enggak, gini lho, Bang. Gue nggak percaya sama orang yang hilang ingatan. Bisa aja mereka sengaja kayak gini untuk melupakan orang-orang mencintainya. Elo yang sengaja dilupain Hana,” sudut Kalila dengan mata menajam.

“Sst!” Gavin membungkam mulut Kalila dengan desisan emosi.

“Sudah-sudah!” lerai Bu Padmi hingga kedua anaknya itu tenang. Lalu pandangannya berubah kepada si menantu. “Memang aneh. Bukankah kalian bertengkar sore itu? Bukannya kepergianmu ke Yogya nggak dapat restu Gavin? Makanya, nurut sama suami biar nggak apes.”

Wejangan yang lebih mirip kepada omelan itu sanggup memberikan pukulan pertama di dada Sea. Bisa-bisanya dia diomeli oleh seseorang yang baru beberapa menit ketemu. Apalagi labelnya mertua – yang jelas-jelas tidak diharapkan Sea. Belum lagi ekspresi wanita di sebelahnya yang teramat menyebalkan.

“Nggak masalah sih, Mi. Gara-gara Hana kecelakaan, aku jadi bisa pergi ke Paris. Sorry, tanpa mengurangi rasa prihatin gue. Thank’s ya, Hana!” ucap Kalila pamer sekaligus mengejek kemalangan kakak iparnya itu. Dagu lancipnya diangkat angkuh, apalagi kedua tangannya dilipat ke dada penuh kesombongan.

“Cih!” Wanita cantik ini melengos sambil tertawa kecil. Sea mendecak heran. Emosinya mulai terpancing.

Sepertinya Sea paham bagaimana hubungan Hana dan keluarga Gavin. Mirip di kehidupan sinetron, Hana adalah menantu yang disia-sia. Tak habis pikir Sea dibuatnya, kurang apa Hana yang cantik ini? Seseorang yang cantik, mandiri, dan berbakti pada suami seperti ini masih mendapat cela? Sungguh mertua kurang syukur, pikir Sea.

“Aih, Mima dan Kalila ini! Saking cemasnya sama Hana sampai ngomong aneh-aneh. Kalian ini kemarin perasaan cemas dan nanyain Hana terus, ‘kan?” alih Gavin berusaha meredam konflik. Tawa lebarnya dipaksa keluar demi damainya situasi. Dia memandang sang ibu dan adik bergantian, berharap tidak menimbulkan pertengkaran.

Tak sabar, Gavin berbisik di telinga sang ibu, “Mi, sudahlah! Kasihan istriku.”

Merasa disindir, bu Padmi menggeleng singkat. Dia menata ulang wajahnya menjadi normal lagi, beda dengan sebelumnya yang terlihat gemas. Kali ini dia mengangkat satu kakinya sambil memandang sang menantu yang terlihat meremas-remas gaun biru dongkernya.

“Ngomong-ngomong, Pipa nggak bisa datang karena sibuk ketemu klien. Nggak apa-apa, ‘kan? Maklum, Pipa ‘kan pengusaha sukses yang sibuk,” tanya Mima dengan nada suara pamer sambil menyebut panggilan akrab suaminya.

Penguasaha sukses yang suka main tangan kayak papaku apa nggak?” cibir Sea dalam batin.

Menyadari sang istri kembali melamun kosong, Gavin menyentuh punggung tangan Hana. Membuat Sea yang dalam tubuh Hana itu tersentak dan mengangguk salah tingkah. “Ng – nggak … apa-apa kok, Mi.”

“Seharusnya nggak apa-apalah. Setidaknya Pipa pamit, nggak kayak seseorang. Pergi nggak pamitan suami,” sambar Mima penuh sindiran. Kontan membuat Sea kembali terhenyak.

Kasihan amat si Hana harus ngadepin mertua rasa piranha kayak gini, batin Sea kembali mengoceh.

“Mima, sudahlah. Jangan debat-debatan, nggak enak sama Papi dan Mami,” lerai Gavin memelankan suara dengan senyum tak enak. Dia mengelus pangkuan sang ibu dengan lembut.

Sepertinya situasi di antara mertua dan menantu itu mulai tak kondusif. Semua orang tahu kalau Hana dan Mima jarang akur. Kelihatannya saja akrab, nyatanya hanya Hana yang mengakrabkan diri. Mima seorang mertua yang cuek, dingin, cenderung angkuh kadang. Sebelas dua belas dengan sikap Pipa dan Kalila.
Hana seolah terjepit di antara banyak batu karang terjal. Dia tetap bertahan karena ada ombak yang menyapu kerisauannya. Ombak itu, Gavin.

“Sudah apa, Vin. Lihatlah dirimu, kurus dan tidak terawat. Pekerjaanmu yang berat itu pasti makin menyiksa karena istrimu … susah dibilangi,” sindir Mima telak dengan membuat beberapa penekanan di kalimatnya. Tak berhenti, ibu paruh baya itu mencebikkan bibir remeh pada menantunya yang terlihat mulai kesal.

Gavin berdehem karena tenggorokannya terasa tersumpal gumpalan. Dengan salah tingkah dia menggaruk janggutnya yang mulai dihiasi jambang pendek. Entah sudah berapa lama kumis dan jenggotnya itu tumbuh.

“Nggak masalah, Mima. Dibandingkan pendidikan dasar, masalah ini tidak ada apa-apanya. Yang penting Hana sudah baikan sekarang,” ujar Gavin enteng.

“Kamu terlalu baik, Gavin. Seharusnya kamu memarahi istri yang tidak taat seperti itu. Izin suami itu penting kalau istri mau keluar rumah. Kalau sudah seperti ini jangan menyalahkan siapa-siapa. Jangan merutuk apa-apa karena semua salah sendiri,” lanjut Bu Padmi tak kunjung puas mengomel.

Wejangan rasa omelan membuat darah Sea makin mendidih. Andai saja dia tak berada di tubuh Hana, mungkin Sea sudah melawan semua kalimat menyakitkan itu. Kecelakaan itu musibah, dan Hana juga tak menginginkannya. Seenak kata malah melontarkan kalimat tak seronok seperti barusan.

Sea menggunakan paru-paru Hana untuk menarik sebuah napas yang panjang. Dia bersiap menelurkan gagasan yang tak kalah menyakitkan dari bibir sensual Hana itu. “Ya, Mima. Saya tidak akan mengutuk siapa pun atas semua ini. Tidak bisakah Mima berhenti mengomeli saya?”

Emosinya keluar dengan sebuah geraman kesal. Seperti singa yang mulai terpancing lawannya, Sea pun sama. Bahkan tangan mungil milik Hana sudah berhasil dia kepalkan karena emosi. Sepertinya sejenak lagi geraman kesal itu menjelma jadi ledakan amarah.

Pandangan Mima dan Kalila, pun dengan Gavin langsung menajam. Mereka bertiga memandang Hana lurus. Di depannya ini memang Hana yang mereka kenal, tapi pembawaannya seperti orang lain. Pikir mereka, Hana bahkan keceplosan mengucap kata kesaya-sayaan. Sungguh aneh.

Merasa situasi mulai kacau, Gavin pun angkat bicara. “Sudahlah, kenapa kalian jadi berdebat gini? Semua yang terjadi hanya musibah. Nggak ada hubungannya sama masalah kami, Mima.” Pembelaan Gavin mulai keluar. Seperti biasa, dia selalu jadi ombak yang menyapu kerisauan Hana.

“Lho kok kamu belain Hana, Vin? Sudah jelas dia salah,” eyel Mima sambil memandang sang putra lekat.

Pandangan Kalila beralih kepada Hana yang masih menatap tajam pada ibu dan kakaknya. Dengan kening berkerut dan mata senewen dia mulai menyindir, “Aneh juga lo, sejak kapan mulai ngebantah? Biasanya lo nunduk, banyak ngangguk, nurut, nggak banyak omong. Kok ….”

Kalila menahan sindirannya dan bibir itu menggantung ragu. Ditariknya napas panjang sekali lagi, kemudian memajukan sedikit badannya. Telunjuk lentiknya membuat bulatan-bulatan di kening seraya berkata lagi, “Kayaknya hilang ingatan bikin lo agak terganggu, ya? Beraninya lo bantah nyokap gue?”

“Kal, stop! Don’t start again!” cegah Gavin dengan mata dingin setajam elang. Mata sedihnya sudah menajam. Bibirnya dipilin-pilin sebab kecemasannya selama ini pecah juga. Memang mereka tidak akrab, tapi Hana selalu mengalah. Semua masih baik-baik saja karena Hana selalu diam dan diam.

Benar kata Kalila, hilang ingatan juga mengubah sikap Hana. Sikapnya yang dulu cenderung defensif, sekarang mulai ofensif. Hana mulai melawan, membantah, dan menjawab omelan sang mertua. Tidak, mereka hanya tidak tahu kenyataan besar di balik itu.

Suasana kaku itu berubah hening. Tak ada yang mau angkat bicara. Bu Padmi hanya meminum teh dari cangkir, sementara Kalila memainkan layar ponselnya. Gavin dan istrinya lebih banyak menunduk. Tiga menit berlalu, akhirnya Gavin kembali memecah keheningan itu dengan pertanyaan-pertanyaan ringan.

Pria itu menghela napas panjang sembari menatap bergantian wajah tiga wanita di depannya. “Mi, kenapa nggak bawakan makanan kesukaan Hana? Rasa masakan Mima pasti bisa membuat Hana semangat sembuh. Siapa tahu ingatannya tentang rasa kentang pedas manis buatan Mima membuat Hana kembali.”

Mima melengos ke arah lain karena gumpalan kesal masih ada. Perempuan bermata lentik itu tahu Gavin sedang berusaha membuat mereka akur, tapi itu tak berguna. “Nggak sempet, si mbok yang bikin bukan Mima. Dia lagi encok, nggak bisa banyak kerja,” ketusnya dingin.

“Oh gitu, si mbok emang udah tua, Mi. Kenapa nggak diberhentikan aja sih? Kasihanlah,” sambung Gavin santai masih berusaha membujuk bu Padmi.

“Mana bisa si mbok itu udah setia sama keluarga kita. Mima suka dia, punya unggah-ungguh, sopan meskipun nggak pernah sekolah. Daripada udah sarjana, tapi kurang ajar kayak ….” Mima melirik Hana yang kebanyakan menunduk menekan-nekan bantal kecil.

“Ah sudahlah,” ucap Mima sembari mengibaskan tangan ke arah lain. Sepertinya percuma menekan si menantu yang hilang ingatan itu.

Kalila ganti melihat Hana dan Gavin bergantian. Rasa penasarannya mulai menggelitik. “Jadi lo beneran nggak ingat sama suami lo? Keluarga lo sendiri? Gue?” tanya Kalila heran sambil menunjuk dadanya.

Hana mendongak cepat. Tanpa senyum dia mengangguk. “Ya, bahkan saya nggak tahu gimana Hana ini. Namun, sepertinya Hana bukan menantu idaman kalian, ya?”

Gavin langsung berpaling menghadap wajah tajam istrinya. Tak hanya itu bibir sensual berhias lipstik latte pink itu mulai menggumpal ke depan. Seperti hendak meletuskan kalimat kemarahan. Oh tidak lagi!
“Honey, sudahlah,” tenang Gavin sambil menyentuh pangkuan sang istri.

Namun, ketenangan Gavin dibalas luapan emosi dari Sea dalam wujud Hana. Sea paham sudah waktunya tubuh Hana ini membuat gebrakan. Sejak dulu Sea anti pada penindasan. Rasa bencinya pada kesenioritasan bodoh itu memang kentara sedari dulu.

Kalau benar kenapa harus takut, kenapa harus ragu melawan. Itulah yang membuat Hana dan Sea berbeda. Dan itulah yang membuat Hana bisa hidup berdampingan dengan mertua cueknya selama 10 tahun ini.

“Hana …,” desah Gavin terperangah karena istrinya itu tiba-tiba menunjuk ibu dan adiknya. Sebuah lonjakan sikap yang di luar kebiasaan.

“Tidak bisakah kalian bertanya gimana kabar saya? Apa yang sebenarnya saya rasakan? Tidak bisakah kalian lebih peduli pada Hana, hah?” sembur Sea keras tanpa ampun. Dia gunakan suara manis Hana untuk berteriak, menyembur kalimat panas pada mertua dan iparnya.

Matanya yang berair makin tajam, apalagi kedua wanita di depannya itu masih terhenyak diam. Maka sebuah mulut itu akan terus mengoceh, “Malah hanya fokus pada anak Anda dan perasaannya. Sebegitu cintakah Anda pada Gavin hingga hanya perasaannya yang penting? Bagaimana dengan hatinya Hana ini, Mima?” sindir Sea bertubi-tubi dengan penekanan pada panggilan ‘Mima’.

“Ap – apa … apa-apaan ini! Jaga ucapanmu, Hana!” ucap Mima setengah membentak ragu. Dia menantang sang menantu meski setengah tak percaya.

Setengah badannya tegak menantang Hana yang masih menatapnya tajam. Bahkan, tangan wanita bergaya elegan itu sampai gemetar karena menantu pendiamnya berubah drastis. Apa yang terjadi sebenarnya?

“Ck, kok lo kurang ajar sama nyokap gue?” Kalila tak mau kalah. Dia pasang badan dan membela ibunya.
Model papan atas itu menghampiri tubuh Hana yang tingginya sama dengannya. Kalila menatap tajam sang ipar lalu menantangnya, “Maksud lo apa, Han? Jadi, demo protes lo terjadi juga, hah?”

Sea menatap tajam wanita di depannya. Masih ada kerikil penghalang kebahagiaan Hana rupanya. Dan manusia songong ini harus dijinakkan.

“Lo nggak bisa, ya, lebih simpati ke ipar lo? Hana ini kakak lo juga, ‘kan? Panteskah lo pamer saat dia susah? Apalagi lo pergi ke Paris karena apesnya dia. Miris gue sama lo. Hidup lo papan atas, tapi kelakuan lo nggak lebih terhormat dari gelandangan," semprot Sea sambil menunjuk dada Kalila.

“Ap – apa …,” desah Kalila tak percaya dengan sikap iparnya.

Kedua kakinya gentar, Kalila memilih menaruh badan di kursi terdekatnya. Apalagi pandangan tajam Hana masih menusuk mata dan semua kelakuannya. Mungkin inilah contoh perlawanan orang tertindas.
Gavin makin terduduk risau. Sikap Hana melenceng jauh dari kebiasannya. Inginnya membela Hana atau sekedar melontarkan candaan konyol agar suasana cair. Namun, emosi mulai merayapi dadanya. Hana yang ini bukan Hana yang dulu, yang lemah butuh perlindungan.

Debat karena keluarga adalah masalah yang selalu ingin dihindari Gavin. Dan Hana telah meletuskannya sore ini.

Silent, Hana!” suruh Gavin dingin.

Sea tak menyerah. Lelaki berlabel suami Hana itu juga perlu dibereskan. “Kenapa, Bapak Gavin? Tidak bolehkah saya membela tubuh ini? Dia juga berhak bahagia. Apa pantas mertua dan iparnya semena-mena saat dia hilang ingatan? Apa mereka tahu kalau jiwa Hana tidak di sini, hah? Nggak!” bantah Sea dengan suara keras. Air mukanya penuh pertentangan pada wajah menunduk Gavin.

“Wow, lo berani juga bentak Abang gue?” Kalila mulai terpancing lagi. Keberaniannya untuk menantang Hana kembali hadir.

“Kenapa? Apa gue harus diam, iya? Semut pun akan menggigit kalau diinjak, apalagi gue!” balas Sea tiada gentar sambil berhadap-hadapan dengan Kalila.

“Sudah-sudah!” lerai bu Padmi dan Gavin hampir bersamaan.

“Mundur, Kal. Jangan mempermalukan diri sendiri dan keluarga kita,” larang Bu Padmi sambil menunduk. Lebih banyak mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Tapi, Mi ... dia …,” bantah Kalila belum puas.

“Diam, Kalila!” bentak Bu Padmi yang mulai merasa malu. Mungkin akibat perdebatan yang salah tempat. Alangkah tidak etis jika besannya tahu kalau dirinya tak rukun dengan putri keluarga ini.

“Kita harus bicara, Hana!” ajak Gavin dingin sambil menarik halus tangan Hana.

“Kenapa nggak bicara di sini saja?” tepis Sea memakai mata Hana untuk melotot. Dia juga memakai tangan Hana untuk menampik tangan hangat Gavin.

“Setop kalian!” larang Bu Padmi dengan suara tertekan. Kemudian suara itu berubah menjadi lebih rendah dan ramah pada Hana. “Gimana kabarmu, Hana? Ada yang masih belum sembuh lukanya?”
Bu Padmi menyerah, memilih untuk mengalihkan situasi dengan pertanyaan basi. Sekedar basa-basi. Lain kali dia pasti akan berdebat lagi, tapi bukan di sini.

“Oh akhirnya nanya juga, Mi? Kenapa nggak dari tadi aja kalau bisa manis kayak gini?” sindir Sea tak ada hentinya dengan mata emosi memandang bu Padmi.

“Hana!” bentak Gavin tegas.

Kedua pasangan suami istri itu saling berhadapan. Dengan wajah risau yang sama-sama terpasang. Berusaha menerka-nerka apa yang sedang terjadi saat ini. Perdebatan yang bermuara pada pertengkaran di petang hari ini sungguh melelahkan bagi Sea.

Wajar Sea marah. Dia merasakan apa yang Hana rasakan selama 10 tahun ini. Merendahkan sikap dan hati di depan orang itu tidak bisa berlangsung selamanya, pikir Sea. Hatinya menangisi nasib Hana yang malang itu. Mungkin Sea belum tentu bisa di posisi Hana yang selalu bertahan.

Wajar Gavin marah, dia tak suka Hana melawan orang yang seharusnya dihormatinya. Yang dia kenal, Hana selalu sabar dan mengalah. Namun, kali ini dia bak memandang orang lain dengan memakai tubuh istrinya. Hanasarah telah berubah total.

“Keluar, Hana!” ajak Gavin lagi. Nada suaranya menyiratkan emosi yang tertahan.

“Bicara di sini atau tidak usah!” sahut Sea alot.

“Ikut Abang!” suruh Gavin lagi.

“Nggak!”

Perdebatan sengit itu berakhir dengan pandangan Gavin yang makin tajam pada mata Hana. Di balik itu, Gavin sedang berhadapan dengan jiwa Sea saat ini. Jiwa yang bergejolak tidak mau ditindas. Enggan tunduk pada siapa pun, termasuk mertua.

“Ikut Abang!” ulang Gavin semakin tegas karena Hana hanya diam meski ekspresinya penuh dendam.

Gavin tak butuh jawaban. Dia langsung keluar sambil menarik tangan Hana, meninggalkan ibu dan adiknya yang bengong bingung. Derap kaki lugasnya menuju taman sebelah rumah. Sea yang sedang membawa tubuh Hana hanya menurut karena tarikan tangan Gavin sangat rapat.

Mungkin memang harus mengubah situasi ini. Mungkin nanti bisa menguntungkan Hana jika semua kembali ke tempatnya lagi, pikir Sea.

“Kenapa terjadi lagi, Hana?” tanya Gavin frustrasi saat keduanya berhadap-hadapan di sebelah mini fountain taman kecil itu.

“Kenapa emangnya? Aku hanya melalukan hal yang wajar.”

“Kita udah bicarakan ini berkali-kali. Jangan melawan keluargaku!” ucap Gavin dengan pandangan tegas.

Wanita ayu itu hanya bisa mencibir sambil tertawa kosong. “Kamu belain mereka, ‘kan? Wow, malang banget, ya, nasib Hana!”

“Bukan,” jawab Gavin sambil menyipitkan matanya penuh welas, “hanya jangan lakukan hal percuma seperti itu. Jangan tempatkan aku di posisi memilih.”
Lelaki bermata sedih itu memilih sedikit menahan emosinya. Yang berada di depannya itu hanyalah seseorang yang kehilangan ingatannya.

“Anda pilih mereka juga nggak apa-apa. Saya yakin Hana sudah menahannya selama ini,” balas Sea teguh.

“Hana, ada apa denganmu?” tanya Gavin merendahkan suaranya.

Sea menatap Gavin yakin. “Saya hanya melakukan hal yang sudah seharusnya. Mana ada mertua layaknya di sinetron kacangan? Cuek nggak peduli ke menantu, cuma anaknya aja yang dipikir. Menggelikan!”

Otak Gavin mulai berpikir keras. Hana mulai bicara seperti orang lain. Dia memang sedang membela dirinya, tapi gaya bahasanya seperti dari kacamata orang lain. Namun, kecurigaan itu kembali ditepisnya.

“Mima cuma mau kamu jadi istri yang berbakti ke aku,” bujuk Gavin sambil merengkuh kedua lengan Hana.

“Terus maunya diinjak-injak gitu? Anda mulai nggak masuk akal, Pak Gavin!”

“Berhenti, Hana! Jangan perkeruh situasi kita. Kamu boleh nggak rukun sama Kalila, kalian memang rival. Namun, please jangan angkat wajahmu ke Mima. Beliau ibumu juga. Jangan membuat dosa, Hana. Aku bisa gagal mendidik dan membimbingmu,” ujar Gavin memohon simpati lewat sorot mata lembutnya.

Namun, Sea masih teguh membela pemilik tubuh itu. “Nggak masalah asal sikap Mima bisa berubah. Tak bisakah dia lebih empati pada tubuh ini? Hana juga anaknya, tapi kenapa cara memandangnya ke Anda dan Hana ini beda? Kepada Anda, Mima penuh kasih sayang. Pada Hana … seperti anak tiri.”

“Begitulah ibu mertua yang baik?” tanya Sea bernada miring mengakhiri kalimat panjangnya.

Gavin hanya diam, menunduk dan menghela napas panjang. Memang orang amnesia akan lebih sensitif, Hana pun demikian. Memang memantik perdebatan hanya akan berhasil sia-sia saat ini. Semua hanya akan berakhir pada pertengkaran.

“Saya nggak butuh ditanya seberapa dalam luka ini? Nggak perlu dibawakan apa itu … kentang pedas manis, ya? Nggak perlu! Cukup tanyakan gimana kabar Hana, titik!” Sea menggeleng tegas dengan air mata berlinang air. Semburan terakhirnya pada Gavin yang diam itu melemah.

Merasa tak perlu membicarakan apa pun lagi, tubuh Hana yang dikuasai Sea itu pun undur diri. Dia membalik badannya menghindari Gavin. Terlalu sesak dadanya karena rasa bernama simpati mulai hadir. Sea mulai kasihan pada nasib Hana.

Ternyata Hana semenderita ini di keluarga suaminya. Selalu memasang senyum ramah dan sikap hormat, tapi hatinya teriris setiap kali. Mungkin Sea masuk ke tubuh Hana untuk bersyukur, memang benar keputusannya untuk membenci dunia pernikahan.

“Hana, mau ke mana?” tahan Gavin pada langkah Hana yang sempoyongan.

Tangan kekarnya tak bisa meraih tangan Hana. Kaki Hana yang digerakkan jiwa Sea mulai bergerak cepat meski masih sempoyongan. Mungkin karena menghindari Gavin. Mungkin juga karena emosi.
Namun, gerakan itu tiba-tiba terhenti. Seperti baru dipukul benda yang tak terlihat, Hana memegangi kepalanya.

Sea yang berada di tubuh Hana merasakan tanah di bawah kakinya berguncang hebat. Bumi dan pemandangan senja itu berputar-putar. Pandangan matanya buram, lalu jelas lagi. Bak terkena turbulensi, Sea terhuyung hingga tangannya meraih-raih pegangan bench taman. Kontan memicu reaksi pria bermata sedih yang sedang menatapnya itu.

“Kamu sakit? Kenapa? Katakan sesuatu!” berondong Gavin sambil menelisik satu persatu tubuh istrinya. Namun, kepala Hana yang berisi pikiran Sea itu hanya menggeleng pelan.

Hanya membisu dengan napas yang tersengal-sengal dari gerakan dadanya. Seperti bingung dengan situasi, Sea hanya bengong kosong. Sesaat dia merasakan sakit yang hebat dari dada tepat di jantung. Ada aneh saat Sea merasakan perasaan terpendam Hana.

Sepertinya perasaan dan pikiran mereka mulai terhubung. Empati dan simpati yang sama, emosi yang sama. Sea mulai peduli dengan kehidupan Hana dan hendak menjaganya.

“Hana, jawab Abang!” suruh Gavin yang didiamkan Sea.

“Ada yang aneh dari gadis itu,” gumam Kalila dari balik vitrase ruang tamu yang dia sibak dengan tangan. Matanya menyaksikan pemandangan aneh di taman itu, kakak iparnya yang meremas dada dan abangnya yang menunduk cemas. Seperti kesakitan dan beberapa kali memukul dadanya.

Kalila heran dengan perilaku Hana sedari awal bertemu. Rivalnya itu tak tampak kehilangan memori, tapi lebih kepada menjelma menjadi sosok baru. Perlawanan pada diri dan ibunya menjadi bukti nyata, Hana telah berubah.

“Kayaknya gue perlu selidiki lo,” putus Kalila lirih sembari memeluk tangan di dada.

Sementara itu, kembali ke taman yang mulai gelap karena malam menjemput senja masih ada sepasang manusia yang terjebak dalam pemikiran pelik. Satu dengan rasa sakit aneh dari dadanya, dan satu lagi dengan asumsi-asumsi gila yang mulai bermunculan.

Siapa kamu sebenarnya?” batin Gavin di balik kecemasan, sembari terus membuat Hana bicara dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Hana, bilang ke Abang, kamu kenapa?” tanyanya.

“Bang Gavin, Hana kenapa? Ya ampun, Hana … kamu baik-baik saja, ‘kan? Hana maafin aku, Hana … kita ke rumah sakit, ya?”

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Gavin di sela kepanikannya pada Yunita yang sibuk mencemaskan Hana.

Yunita cuek dan memilih memijat-mijat lengan Hana. "Hana, ini aku, Yunita, sahabat baikmu. Kamu nggak lupa sama aku, 'kan? Coba katakan sesuatu, Hana! Kamu nggak marah sama aku, 'kan?"

Berondongan pekikan cemas dari manusia bernama Yunita itu makin menambah panik situasi. Kedatangan manajer Hana itu hanya ditanggapi kosong oleh dua manusia yang sedang larut dalam kemelut pelik.

Apa Yunita menjadi salah satu benang merah kemalangan Hana, Sea, dan Gavin?
***

Bersambung...

3 Agustus 2021

Terima kasih sudah membaca, terima kasih sudah partisipasi dalam polling. Nanti malam dihitung, ya!

🙂

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 356K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
1.2M 102K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
121K 13.6K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
1.4M 75K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...