Indigo Tapi Penakut | END

By nnnylegna

6M 1M 297K

"Gue jadi ekor lo, boleh?" - Axelleon Kastileo. *** Axel itu seor... More

ツ|Axelleon Kastileo
ツ|Valetta Lizhunt
ツ|Chapter 1
ツ|Chapter 2
ツ|Chapter 3
ツ|Chapter 4
ツ|Chapter 5
ツ|Chapter 6
ツ|Chapter 7
ツ|Chapter 8
ツ|Chapter 9
ツ|Chapter 10
ツ|Chapter 11
ツ|Chapter 12
ツ|Chapter 13
ツ|Chapter 14
ツ|Chapter 15
ツ|Chapter 16
ツ|Chapter 17
ツ|Chapter 18
ツ|Chapter 19
ツ|Chapter 20
ツ|Chapter 21
ツ|Chapter 22
ツ|Chapter 23
ツ|Chapter 24
ツ|Chapter 25
ツ|Chapter 26
ツ|Chapter 27
ツ|Chapter 28
ツ|Chapter 29
ツ|Chapter 30
ツ|Chapter 31
ツ|Chapter 32
ツ|Chapter 33
ツ|Chapter 34
ツ|Chapter 35
ツ|Chapter 36
ツ|Chapter 37
ツ|Chapter 38
ツ|Chapter 39
ツ|Chapter 40
ツ|Chapter 41
ツ|Chapter 42
ツ|Chapter 43
ツ|Chapter 44
ツ|Chapter 45
ツ|Chapter 46
ツ|Chapter 47
ツ|Chapter 49
:(|Chapter 50
:(|Chapter 51
ツ|Epilog
ツ|Extra 1
ツ|Extra 2
SEGERA TERBIT
VOTE COVER + GIVEAWAY

ツ|Chapter 48

73.2K 16.4K 8.2K
By nnnylegna

sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ
ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ
ᴠᴏᴛᴇ , ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ , ғᴏʟʟᴏᴡ

Kenapa kalian ngegas?
Cepat kali komennya.

Valetta membuka matanya pelan. Tidur semalam sangatlah memuaskan.

Udah jam berapa? Valetta menoleh ke arah jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi.

Valetta melirik sebelah kasurnya, sudah tidak ada Ara.

"Tumben cepat bangunnya," gumam Valetta.

"Udah balik ke kamarnya, ya?" tanya Valetta pada dirinya sendiri.

Valetta membereskan kasurnya lalu pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh.

Selesai mandi, Valetta sudah berganti dengan pakaian jalannya. Siap-siap untuk pergi ke taman kreasi nanti, sesuai janjinya dengan Ara.

"Ara?" Valetta mengetuk pintu kamar Ara karena dikunci.

Tidak ada jawaban dari dalam sana, Valetta pun jadi khawatir. Ia kembali mengetuk pintu tersebut sebelum akhirnya dibuka oleh Ara.

"Ara lagi ngapain? Kok matanya sembab?" Valetta menunjukkan raut wajah khawatir saat ia melihat wajah Ara sekarang terlihat tidak baik.

"A-ara nangis karena m-mimpi aja," jawab Ara pelan dengan kepala tertunduk, tidak mau beradu tatap dengan Valetta.

Valetta mengernyitkan dahinya bingung. "Ara? Kamu kenapa? Ada masalah? Cerita sama Kakak."

Ara menggeleng cepat. "Enggak kenapa-kenapa, K-kak."

Valetta menghela napas panjang. Sudah yakin ada sesuatu yang salah dengan Ara, tapi Ara tidak mau jujur.

"Gak apa-apa kalau kamu belum mau cerita, tapi mukanya jangan masam gitu, kita mau pergi main, kan, hari ini?"

Ara mengangguk kaku.

Pergi main?

"Sekarang Ara siap-siap dulu, Kakak tunggu di bawah, bisa pakai baju sendiri, kan?"

Mendengar pertanyaan ambigu Valetta. Wajah Ara merona. Cepat-cepat Ara mengangguk dan menutup pintu.

Valetta menyadari gerak-gerik Ara yang malu. Ia hanya tertawa kecil dan berjalan pergi menuju lantai bawah untuk sarapan.

"Tidurnya nyenyak?" tanya Vancia pada Valetta yang baru saja turun.

"Nyenyak, Ma," jawab Valetta.

"Itu ke mana?"

"Itu?" Vancia menoleh ke Valetta, binggung.

"I-iya..."

"Apa?"

Valetta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yang b-bakal nikah sama Mama..."

"Ohh... Calon Papa kamu?"

Valetta mengangguk salah tingkah. Masih belum terbiasa memanggil Aiden dengan sebutan Papa, dipanggil Om juga seperti ada yang kurang.

Jika Aiden tau dirinya barusan dipanggil dengan sebutan itu, pasti Aiden akan diam mematung dengan wajah pucat. Merasa gagal menjadi calon Papa.

"Dia udah pergi kerja, kangen, ya?"

Valetta menggeleng. "Bukannya Mama yang kangen?"

"Kamu, ya, tau banget!" sahut Vancia senyam-senyum.

Tindakan Vancia mengundang tawa Valetta, ada-ada saja Mamanya kalau jatuh cinta.

Selang beberapa menit, Ara turun ke bawah dengan pakaian yang sudah disiapkan oleh Vancia. Ara terlihat lebih dewasa dari sifat kekanak-kanakannya yang biasa. Mungkin karena pakaiannya hari ini.

"Wah, anak Mama yang paling bungsu udah dewasa sekarang," ujar Vancia semangat.

Ara tersenyum. Jantungnya berdebar cepat saat menatap Vancia. "Makasih, Ma," gumam Ara.

Vancia mencubit gemas kedua pipi Ara. Untuk beberapa detik Ara terdiam kaku, lalu ia tertawa geli.

Valetta menghela napas panjang. Tadi sebuah kecurigaan tiba-tiba menghampirinya karena hari ini Valetta merasa ada yang berbeda dari Ara. Tapi melihat tawa Ara sekarang, rasa curiga Valetta pun sirna.

Vancia menarik lengan Ara, membawa Ara menuju meja makan untuk memulai sarapan.

"Hari ini kita sarapannya bertiga aja, soalnya Papa kalian harus berangkat pagi, bes—"

BRAK!

Ara, Vancia dan Valetta menoleh ke arah pintu. Aiden terlihat ngos-ngosan seperti baru saja berlari entah berapa meter.

"Eh? Kok kamu pulang lagi?"

"Eh... Aku dibolehin pulang, buat sarapan. Soalnya lagi kosong juga, cuman isi kehadiran..." Aiden menjawab sembari berusaha menormalkan napasnya.

Vancia tersenyum. Tau kalau Aiden pasti sengaja balik hanya untuk sarapan dengan anak-anak.

"Ya udah, sini duduk, kita makan." Vancia menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

Aiden melangkah menuju meja makan. "Ayo kita mulai sarapan."

Valetta menatap Aiden penuh arti, lalu buang muka untuk menyembunyikan senyuman. Kalau diperhatikan lagi, tingkah Aiden ini lucu.

Sedangkan Ara memperhatikan Aiden, Vancia lalu Valetta. Ia menunduk untuk beberapa detik sebelum seutas senyuman menghias wajahnya.

Keluarga kecil berisi empat orang itu melaksanakan acara sarapan mereka dengan tawa dan saling tatap.

Axel menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyuman puas. Ia puas akan hasil yang ia dapat setelah berlama-lama bimbang mengotak-atik penampilannya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Axel berjanji akan menjemput pacar dan calon adik iparnya pada pukul setengah sembilan.

"Aw, ganteng banget crush aku!" perempuan yang duduk di dekat jendela itu memuji penampilan Axel.

Axel menghiraukan perempuan tersebut. Berlagak tidak melihat dan lebih fokus memikirkan Valetta.

"Sekarang sombong, ya? Padahal kemarin masih tatap-tatapan! Giliran udah punya cewek, aku dihiraukan!" gerutu perempuan tersebut.

Axel mengambil handphone dan dompetnya. Mendengus kesal lalu melangkah pergi. Axel tidak tahan dengan dramatiknya hantu yang dari kemarin di jendela.

Tunggu saja, kalau Axel bawa Valetta ke rumah ini, pasti perempuan tersebut akan kabur terbirit-birit.

Axel menutup pintu kamarnya dan berlari ke lantai bawah.

Axel diam saat melihat Bea dan Aless tengah berdebat masalah kucing.

"KAMU YANG LEMPAR DORAEMON KE TOKYO?" Bea bertanya lantang.

"DIA EMANG SEHARUSNYA DI SANA, SAYANG!" sahut Aless tak mau kalah.

"DIA ITU KESAYANGANNYA AKU! KAMU BILANG KABUR, TERNYATA BOHONG!" Bea murka dan melempar bantal sofa ke arah Aless.

Aless menangkap bantal tersebut, matanya bertemu dengan mata Axel.

"AXEL YANG BUANG DORAEMONNYA!" tuduh Aless menunjuk Axel.

Axel ikut menunjuk dirinya sendiri. "Buang Doraemon? Siapa Doraemon?"

"Kucing kesayangan Mama, ih!" Bea mendengus kesal tak sabaran.

"Kucing oren itu?" tanya Axel dijawab anggukan oleh Bea.

"Bukannya nama dia Jamal? Sama yang ngirim dia ke Tokyo pakai jet pribadi itu, Papa, kan?"

"..." Mata Aless membulat, rasa ingin menjitak kepala Axel agar peka menggebu-gebu.

Bea menoleh lagi ke Aless. Secepatnya Bea berlari dan menendang kaki Aless sekuat tenaga sampai Aless bertekuk lutut.

"BESOK, KAMU HARUS PERGI KE TOKYO! AKU GAK MAU TAU! BAWA DORA PULANG!"

Axel mengernyitkan dahinya. Sejak kapan Mamanya pernah punya kucing bernama Doraemon dengan panggilan Dora? Seingat Axel, namanya Jamal.

Ah, gue ingat!

Axel menepuk kedua tangannya sekali. Ia baru ingat peristiwa dimana dirinya sendiri mewarnai bulu kucing oren itu hingga berwarna biru, sejak saat itu Bea memanggil si kucing dengan sebutan Doraemon. Tapi Axel tetap memanggil si kucing, Jamal.

Bea dan Aless sibuk berdebat. Bea menghajar dan Aless menangkis. Pada akhirnya, Axel hanya berteriak pamit akan pergi. Jika harus menunggu orangtuanya selesai berdebat, mungkin Axel tidak akan pergi sampai minggu depan.

"Ma, Pa, Axel pergi dulu."

"Eh eh, kamu mau pergi ke mana? Bantu Papa!" pekik Aless.

Bea menahan Aless yang hendak kabur, memanfaatkan Axel sebagai tameng. "Jangan macam-macam kamu. Pokoknya besok kamu harus pergi ke Tokyo buat nyari Doraemon!"

Axel melambaikan tangannya, melangkah pergi meninggalkan Aless yang memperhatikannya lekat, minta bantuan.

Samar-samar saat Axel sudah di pintu, ia mendengar teriakan Aless yang ditujukan padanya.

"MENTANG-MENTANG UDAH PUNYA PACAR! PAPANYA GAK LAGI DIANGGAP!"

"..." bukannya dari kemarin yang nyuruh gue cepat dapat pacar itu Papa, ya?

Axel menggeleng pelan dan melanjutkan langkahnya yang tertunda. Hari ini, untuk pertama kalinya Axel menjemput Valetta dengan mobil.

Maklum, Axel tidak akan mau membiarkan Valetta membonceng Ara. Jadi otomatis, lebih baik Axel bawa mobil agar bisa menampung dua orang.

Selama perjalanan. Jantung Axel dibuat maraton karena hantu-hantu jahil yang numpang duduk di kursi belakang atau sampingnya.

"Aduh... Ngadem gini enak, ya?"

"Iya... Jadi kangen sama mobil yang gue punya pas gue masih hidup."

"Permisi, numpang duduk bentar, capek melayang terus... Huff..."

Wahai para hantu, mobil gue kok jadi tempat makhluk halus ngadem? Emang masih bisa rasain dinginnya AC?

Untung saja, beberapa meter mendekati rumah Valetta, hantu-hantu itu terbang menghilang dari hadapan Axel.

Axel memarkirkan mobilnya di depan rumah Valetta. Namun, di tengah jalan menuju pintu, Axel disapa oleh sosok manusia setengah ular.

Axel menunduk sopan, sudah tak begitu takut dengan sosok Ratu. Ratu memicingkan matanya lalu mengangguk pelan.

"Bawa pulang Letta dengan keadaan yang sama saat kamu bawa dia pergi!" titah Ratu.

Axel mengangguk kecil agar tidak dikira gila oleh tetangga yang lewat.

Setelah merasa puas dengan jawaban Axel. Ratu pun pergi meninggalkan teras rumah.

Axel membuang napas lega dan melangkah menuju pintu. Ia mengetuk pelan pintu tersebut.

Tak lama kemudian, pintu terbuka menunjukkan sosok pria berbadan kekar yang mengenakan seragam polisi.

Axel tiba-tiba merasa badannya kaku tak bisa bergerak. Pria di hadapannya ini seakan tengah mempelajari semua gerak-geriknya.

Siapa? Tanya Axel dalam hati.

"Pagi, Om, Valetta sama Ara, ada?" Axel bertanya senormal mungkin.

Mendengar namanya dipanggil. Valetta muncul dari belakang Aiden, ia tersenyum.

"Bentar, aku panggil Ara dulu," ujar Valetta diangguki Axel.

Aiden mengernyitkan dahinya. "Kamu siapa?"

"Bapak siapa?" Axel balik bertanya.

"Calon Papa Valetta dan Ara."

"..." gue barusan sopan, gak?

Aiden kembali bertanya, "jadi kamu siapa?"

Axel menghembuskan napas panjang. Mengumpulkan nyali untuk lebih berani.

"Saya calon suami Valetta."

Kini giliran Aiden yang diam. Wajahnya tenang tapi dalam hati berdebat tak jelas.

Ini menantuku?

Pacarnya Valetta?

Menantu Vancia?

Kakak ipar Ara?

Apa barusan aku terlihat seperti mertua yang baik?

Apa yang harus aku lakukan kalau remaja ini ketakutan lalu kabur meninggalkan Valetta karenaku?

Valetta akan benci denganku?

Lalu aku dipecat sebagai calon ayah?

Aiden tidak tau kalau sekarang, Axel juga memperdebati hal yang sama. Takut dianggap tidak pantas menjadi pendamping hidup Valetta.

Untung, Ara dan Valetta keluar dari rumah dengan cepat.

"Pa, aku pergi dulu ya," ujar Valetta.

Aiden mengangguk. Hatinya sudah berbunga-bunga dipanggil Papa oleh Valetta yang menurut Aiden paling sulit menerimanya.

"Ara pergi dulu, ya, Pa, bye-bye!"

Aiden mengangguk lagi. Telinga Aiden sudah memerah karena senang.

Ara, Valetta dan Axel pun pergi meninggalkan lingkungan rumah. Ara diam tak berbicara dengan Axel, ia hanya sesekali berbicara dengan Valetta.

"Tumben, Ara enggak usil sama Om bayi," celetuk Valetta.

Ara tersenyum kaku lalu menggeleng. "Ara enggak mau usil terus. Hari ini mau jadi anak baik aja."

Axel dan Valetta saling tatap.

"Ara hari ini beda, ya?"

"Mungkin udah selesai main-mainnya, jadi enggak usil lagi?"

Ara menoleh ke arah jendela mobil.

Ara memang udah selesai main.

ᴠᴏᴛᴇᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛғᴏʟʟᴏᴡ

Terima kasih sudah membaca ♡

Target untuk chapter selanjutnya:
3.2k votes + 4k comments

Spam next sebelah sini 👉

Pertanyaan dan pesan di sebelah sini 👉

3 CHAPTER LAGI!
FYI. AUTHOR GAK BISA NULIS SAD SCENE :)

🔘🔘🔘

See you on next chapter ♡

Salam sayang,
Manusia Darat.

ᴘᴜʙʟɪsʜᴇᴅ ᴏɴ
30.07.2021

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 97.4K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
134K 23.5K 74
Nayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-ha...
603 155 21
[BELUM REVISI] Bagi Zee, Irham itu nggak lebih dari sekedar ketua Osis bucin nan melankolis yang suka sok sangar waktu razia. Cowok aneh yang terus-t...
14K 987 39
Menceritakan kehidupan tentang seorang gadis bernama Bella Dia seorang siswi paling cerdas di SMA Samudera, Bella sangat suka pelajaran Matematika da...