My Bad Neighbor (END)

By -Esqueen

322K 23.5K 1K

Bagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoey... More

MBN 01
MBN 02
MBN 03
MBN 04
MBN 05
MBN 06
MBN 07
MBN 08
MBN 09
MBN 10
MBN 11
MBN 12
MBN 13
MBN 14
MBN 15
MBN 16
MBN 17
MBN 18
MBN 19
MBN 20
MBN 21
MBN 22
MBN 23
MBN 24
MBN 25
MBN 26
MBN 27
MBN 28
MBN 29
MBN 30
MBN 31
MBN 32
MBN 33
MBN 34
MBN 35
MBN 36
MBN 37
MBN 38
MBN 39
MBN 40
MBN 41
MBN 42
MBN 43
MBN 44
MBN 45
MBN 46
MBN 47
MBN 48
MBN 49
MBN 50
MBN 51
MBN 52
MBN 53
MBN 54
MBN 55
MBN 56
MBN 57
MBN 58
New Story
Alan Abiputra
Tahu Tidak?

MBN 59 (Ending)

10.2K 492 52
By -Esqueen

Zoeya menerima botol air mineral yang Dikta berikan padanya. Kejadian barusan memang cukup mengguncang dirinya. Hey, dia hampir celaka tadi. Orang seperti apa yang akan tetap santai saat mengalami kejadian menyeramkan semacam itu?

"Sorry, bukannya bahagia lo malah kayak gini," ungkap Dikta buka suara.

Zoeya menggeleng, gadis itu menghadap pada Dikta yang duduk di sampingnya. Memberikan botol air mineralnya pada orang itu karena memang tutupnya ada di tangan Dikta.

"Gue nggak apa-apa," balas Zoeya.

Dikta mengangguk saja, pria itu sekarang mengulurkan tangannya, mengelap keringat Zoeya yang timbul di kening gadis itu. Oh, setakut apa dia sebenarnya.

"Jadi, mau pulang atau gimana?" tanya Dikta dengan nada lembutnya. Sangat sopan memasuki telinga. Beda sekali dengan Dikta yang biasanya.

"Ada sesuatu yang mau lo omongin. Benar? Kita lanjutkan itu aja," balas Zoeya.

Kali ini giliran Dikta yang menggelengkan kepala. "Suasananya nggak enak," timpalnya.

"Benar juga, lo nggak bisa nembak gue dikeadaan kayak gini," ungkap Zoeya santai.

Dikta langsung menoleh ke arah gadis itu, menatapnya penuh selidik kemudian bertanya, "Kok?"

Zoeya menyengir, hingga gigi putih rapihnya tercetak jelas di pandangan Dikta. "Udah ketebak. Tadi lo bilang cinta sama gue, pasti selanjutnya mau bilang lo mau nggak jadi pacar gue? Benar, kan?"

Dikta melengoskan wajahnya, oh, apa mungkin tindakannya memang sangat mudah ditebak seperti itu.

Dikta berdeham singkat, lalu kembali menatap Zoeya. "Gagal romantisan," ucapnya terdengar kecewa.

Zoeya malah tertawa, membuat Dikta memasang raut kusutnya.

"Gue juga cinta sama lo, Dikta," ungkap Zoeya setelah menghentikan tawanya.

Dikta terkesiap, hey, apa mungkin dirinya salah dengar barusan? Tidak tidak, dilihat dari senyuman penuh arti Zoeya, Dikta yakin telinganya masih baik-baik saja.

"Kalau gitu kita pacaran?" tanya Dikta penuh harap.

Zoeya menggelengkan kepalanya, senyuman gadis itu juga sudah luntur sekarang. Hal itu membuat perasaan Dikta berubah tak enak. Apa dirinya habis ditolak? Hey, bukankah Zoeya baru saja menyatakan cinta padanya? Lalu, apa maksud gelengan kepalanya itu.

"Ayah gue---"

"Oh, oke, gue sadar diri gue siapa dan lo siapa," sela Dikta sebelum gadis itu menyelesaikan perkataannya. Dia tak mau mendengar kalimat yang akan dikeluarkan Zoeya. Dia sudah tahu apa yang akan diungkapkan gadis itu, pasti keluarganya tak mengijinkannya berhubungan dengan berandalan seperti dirinya.

Dikta menundukan kepalanya, entahlah, ternyata hatinya bisa teriris juga saat Zoeya sudah jelas-jelas tak bisa dimilikinya. Dia seharusnya tau diri dari dulu, dia seharusnya sadar kalau orang tua Zoeya tak mungkin menginginkan anaknya pacaran dengan orang seperti Dikta. Keluarga Dikta memang baik-baik saja, mereka juga punya kedudukan, tapi masalahnya ada pada dirinya. Diri Dikta sendiri yang tak memilih jalan benar di masa remajanya seperti ini.

"Lo kenapa Dikta?" tanya Zoeya karena melihat Dikta yang tak biasanya menundukan kepala. Hey, apa gadis itu tidak sadar kalau Dikta sedang sedih sekarang ini?

Dikta mendonggak, melihat Zoeya dengan sorot sendunya. Membayangkan Zoeya tak bisa dimilikinya memang benar-benar menyakitinya. Dia sudah sangat sayang pada gadis di sampingnya ini. "Sorry udah berharap lebih sama lo, Zoya. Gue harusnya tau diri," ucapnya.

Zoeya mengernyitkan dahi, kenapa Dikta seperti orang frustasi? Setidaknya begitulah pikirnya.

"Gue juga cinta, kok, sama lo. Lo nggak cinta seorang diri," ungkap Zoeya jujur. Meski rasanya memalukan dia mengatakan hal semacam itu, tapi dia tak ingin Dikta salah paham dengan perasaannya dan berujung pergi. Dia ingin Dikta. Ya, dia sangat menginginkan tetangganya itu.

"Lo anak penurut Zoya. Nggak mungkin lo mengabaikan perintah orang tua lo. Kalaupun benar lo cinta sama gue, gue tetap nggak bisa miliki lo, Zoya," balas Dikta. Sorotnya semakin menyendu saja. "Entah kenapa, gue nggak suka hal itu."

"Itulah kenapa lo sekarang harus telepon Ayah gue dan tanya soal kepantasan lo. Ayah gue udah tahu lo berubah, kok, Dikta. Dan kayaknya 99 persen lo udah pantas jadi pacar cewek high class kayak gue," papar Zoeya diakhiri senyuman angkuhnya.

Mendengar perkataan itu, sorot Dikta tak lagi sendu, pria itu malah memutar otaknya sekarang, mencerna apa yang baru saja Zoeya ucapkan. "Sebelumnya lo mau ngomong apa? Yang gue potong tadi," tanyanya.

Zoeya tampak berpikir, kemudian dia menjawab, "Ayah gue. Lo harus tanya dia soal kepantasan lo pacaran sama cewek high class kayak gue. Tadi gue mau bilang itu."

Dikta menggigit pipi bagian dalamnya, menahan senyuman yang rasanya ingin ia keluarkan. Oh, nyatanya dia sudah salah paham. Beberapa saat kemudian, rautnya berubah, satu alisnya naik ke atas, kemudian memandang Zoeya penuh tanya. "Terus kenapa muka lo nggak senang lagi pas gue tanya kita pacaran apa enggak?"

Zoeya malah menyengir di hadapan Dikta, dia langsung memberikan jari telunjuk dan tengahnya pada Dikta. "Maaf, bercanda. Eh, lagipula kalau Ayah gue bilang lo nggak pantas, ya, kita nggak mungkin jadian," paparnya.

Dikta menelan ludahnya, benar juga. Dia sudah terlanjur senang, tapi nyatanya memang belum ada kepastian Ayah Zoeya akan menganggapnya pantas untuk Zoeya.

"Kalau gitu cepat telepon Ayah lo," pinta Dikta tak sabaran.

Kalau biasanya para pria akan takut saat disuruh berbicara dengan ayah perempuan yang ditaksirnya, maka lain halnya dengan Dikta. Karena pada kenyataannya, pria itu malah bersemangat sekarang. Ayolah, dia itu mantan berandalan, berbicara dengan Ayah Zoeya harusnya bukan apa-apa untuknya.

Zoeya membuka tas selempang yang ia kenakan, lalu mengambil ponselnya dari dalam sana. Mengutak-atiknya sebentar lalu memberikannya pada Dikta.

Dikta menerimanya, melihat layarnya yang sekarang menampilkan kontak bertuliskan 'Ayah'. Tanpa banyak berpikir, pria itu segera memencet tombol panggilan, menunggu beberapa saat hingga akhirnya suara Pak Deriel terdengar. Zoeya juga bisa mendengarnya, karena Dikta menyalakan fitur load speaker pada panggilannya.

"Malam, sayang. Ada apa? Tumben telepon Ayah malam-malam," tanya Pak Deriel di seberang sana.

Dikta berdeham singkat, kemudian dia berkata, "Saya Dikta, Om."

Terjadi jeda beberapa saat, membuat jantung Dikta akhirnya berpacu cepat juga. Keberaniannya yang tadi seakan lenyap seketika. Dia sekarang mulai takut kalau Pak Deriel akan menolaknya.

"Dikta? Anaknya Pak Tio? Ada apa? Terjadi sesuatu dengan anak saya?" tanya Pak Deriel beruntun. Nada khawatir jelas terdengar dari suaranya itu.

Dikta menelan ludahnya, hey, perasaannya semakin campur aduk sekarang. Keberanian saat Dikta akan menerjang lawan saat tawuran sama sekali tak bisa ia terapkan saat berbicara dengan Ayah Zoeya. Hanya cemas dan segala macam rasa tak enak yang bisa Dikta rasakan.

"Nggak, Om. Itu, saya cuma mau tanya," balas Dikta akhirnya.

"Ah, syukurlah. Tanya apa? Silahkan aja bicara," ucap Pak Deriel setelah dirinya menghela napas lega.

Sebelum menjawab, Dikta menyempatkan dirinya untuk melirik Zoeya. Gadis itu sekarang malah sedang tersenyum manis padanya. Ah, itu membuatnya tambah gugup saja. Dikta mengepalkan tangannya, berusaha memberanikan dirinya sendiri.

"Saya mau tanya, apa saya pantas jadi pacar perempuan high class yang Om didik dan besarkan?" Keluar juga. Ya, akhirnya pertanyaan itu berhasil Dikta utarakan juga. Meski setelahnya ia langsung menutup mata, tanda tak siap dengan apa yang akan dikeluarkan oleh Pak Deriel di seberang sana.

"Perempuan high class?" Oke, bukannya jawaban, Pak Deriel malah balik bertanya. Ah, seperti pria itu tak mengerti dengan ucapan Dikta.

Dikta berdeham, dia menggigit bibir bawahnya sekarang. Diam beberapa saat bahkan sampai membuat Pak Deriel mengecek sambungan.

"Halo," ucap Pak Deriel.

"Zoya, Om. Iya, Zoeya. Apa saya pantas menjadi pacar anak Om itu?" tanya Dikta akhirnya.

Kini giliran Pak Deriel yang tak langsung menjawab, sepertinya pria itu sedang memikirkan apa yang harus ia ucapkan. Dikta sedang sabar menanti jawaban, berharap semoga kata yang ia inginkan yang keluar.

"Aaa, bagaimana, ya, bilangnya? Zoya sudah cerita tentang perubahan kamu Dikta. Asal kamu bisa menjaga dan tak menyakiti anak saya, kamu pantas Dikta. Ya, kamu pantas jadi pacar perempuan high class yang kamu maksud itu."

Seketika perasan senang membanjiri Dikta, dia bahkan berdiri dan mengepalkan tangannya ke udara. Bibirnya mengatakan 'yes' tanpa suara, membuat Zoeya yang memperhatikan langsung tertawa penuh kebahagiaan. Hey, dia juga senang mendengarnya.

"Makasih, Om, makasih banyak. Saya bisa pastikan Om nggak akan menyesal ngizinin saya," balas Dikta cepat dengan nada bahagia yang sangat kentara.

Di seberang sana, Pak Deriel tertawa, kemudian dia berkata, "Yasudah, yasudah, saya pegang omongan kamu. Kalau gitu saya tutup, ya?"

Setelah Dikta mengucap 'Iya', panggilan benar-benar diakhiri. Dikta langsung menatap Zoeya. Gadis itu sedang tersenyum manis ke arahnya. Tanpa aba-aba Dikta langsung menarik tangan Zoeya, membuat gadis itu berdiri dan tubuhnya langsung diserang pelukan erat dari Dikta. Dikta kemudian tertawa, tawa yang begitu renyah bahkan sampai sudut matanya mengeluarkan air mata.

Zoeya tentu saja tak menolak, gadis itu malah balas memeluk Dikta. Tertawa bersamanya seakan mereka berdua adalah orang paling bahagia. "Love you, Dikta, jangan jahat-jahat jadi pacar dan tetangga," ucap Zoeya disela tawanya.

Dikta tak membalas, pria itu hanya terus memeluk Zoeya dengan tawa yang sama sekali tak ada tanda-tanda akan berhenti. Dia sangat bahagia. Ya, dia memang benar-benar bahagia.

----TAMAT----
🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹🛹

Dan, ya, begitulah kisah mereka berakhir. Bukan-bukan, bukan berakhir, tapi baru berawal. Karena hubungan baru mereka sudah tercipta. Asek-asek. Tahu nggak? Aku nulisnya sampai jariku mendingin dan pegal tahu. Butuh di tarik, nih. Huhuhu.

Aku mau ucapin terima kasih buat kalian yang udah mampir ke MBN. MAKASIH BANYAK HEH. MAKASIH!!!! (Pas publis kemungkinan nggak akan ada yang baca, tapi tapi tapi, bodo amat, lah, publis saja dulu. Wahaha) Aku juga mau minta maaf kalau endingnya sangat tidak memuaskan. Hey, aku nggak berpengalaman soal pacaran dan aksi tembak-tembakan, jadi tolong dimaafkan. Aku akan selalu usaha buat lebih baik kedepannya.

Uh, nggak nyangka banget bisa tamatin satu cerita dalam 12 hari aja. Jujur, ini cerita pertama yang aku tamatin  sesingkat itu. Love you kalian yang baca. Sayang kalian banyak-banyak, deh.

Dah, sampai ketemu di lapak selanjutnya. Kalau niat mampir juga ke lapakku yang lain. Ada HAMA, Udara, sama Ajisaka.

Kritik, saran, vote, dan komentar selalu aku nantikan, ayang-nim!

26.07.2021

----END----

Continue Reading

You'll Also Like

3.2K 142 63
Di sinilah tempat pengetahuan mengenai dunia literasi. Kita memberikan materi yang bersangkutan dengan literasi. Kami memulai materinya dari sejarah...
845K 31K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
312K 32.2K 37
Allin tidak pernah berfikir soal cinta. Dibesarkan dipanti asuhan membuat Allin berfikir bahwa setidaknya ia harus memiliki otak yang pintar. Seakan...
9.1K 508 31
NOVEL TERJEMAHAN [NO EDIT] Judul: Dalam kiamat, bos level maksimal memiliki ruang untuk negara adidaya Penulis: 呆如宝 Kategori: Ruang Fiksi Ilmiah Juml...