Indigo Tapi Penakut | END

By nnnylegna

6M 1M 297K

"Gue jadi ekor lo, boleh?" - Axelleon Kastileo. *** Axel itu seor... More

ツ|Axelleon Kastileo
ツ|Valetta Lizhunt
ツ|Chapter 1
ツ|Chapter 2
ツ|Chapter 3
ツ|Chapter 4
ツ|Chapter 5
ツ|Chapter 6
ツ|Chapter 7
ツ|Chapter 8
ツ|Chapter 9
ツ|Chapter 10
ツ|Chapter 11
ツ|Chapter 12
ツ|Chapter 13
ツ|Chapter 14
ツ|Chapter 15
ツ|Chapter 16
ツ|Chapter 17
ツ|Chapter 18
ツ|Chapter 19
ツ|Chapter 20
ツ|Chapter 21
ツ|Chapter 22
ツ|Chapter 23
ツ|Chapter 24
ツ|Chapter 25
ツ|Chapter 26
ツ|Chapter 27
ツ|Chapter 28
ツ|Chapter 29
ツ|Chapter 30
ツ|Chapter 31
ツ|Chapter 32
ツ|Chapter 33
ツ|Chapter 34
ツ|Chapter 35
ツ|Chapter 36
ツ|Chapter 37
ツ|Chapter 38
ツ|Chapter 39
ツ|Chapter 40
ツ|Chapter 41
ツ|Chapter 42
ツ|Chapter 43
ツ|Chapter 44
ツ|Chapter 46
ツ|Chapter 47
ツ|Chapter 48
ツ|Chapter 49
:(|Chapter 50
:(|Chapter 51
ツ|Epilog
ツ|Extra 1
ツ|Extra 2
SEGERA TERBIT
VOTE COVER + GIVEAWAY

ツ|Chapter 45

77.2K 16.3K 5K
By nnnylegna

sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ
ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ
ᴠᴏᴛᴇ , ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ , ғᴏʟʟᴏᴡ

Kalian ngegas...
Untung author baik (。ŏ_ŏ)

Shavira dan Lexa terkaget-kaget kala mendengar cerita panjang Valetta. Sekarang mereka merasa seperti baru keluar dari goa.

"S-si Zahra... Adik lo? Berarti sepupu gue?"

"Iya."

"Zahra berkepribadian ganda dan selama ini sifat ngeselinnya itu dipaksa Nyokapnya?"

"Iya."

"Lo mau kita jadi temannya Zahra?"

"Boleh kalau mau, gue gak maksa, tapi alangkah baiknya jika begitu karena dia enggak punya teman yang benar teman."

"Lo... Lo protektif ke Zahra, ya?"

"Hm, iya, dia sekarang adik gue satu-satunya. Lo berdua tau, kan? Gue dari dulu pengin punya adik."

Valetta bersedekap dada. Punggungnya ia sandarkan pada punggung Axel yang duduk bertolak belakang dengannya.

Eros dan Ghevan sedari tadi hanya mendengar. Sesekali tertohok karena dari kemarin mereka mengejek Zahra. Sekarang, Zahra adalah adik dari Valetta. Bukankah berarti mereka akan disleding jika mengatai Zahra lagi?

Shavira dan Lexa sekarang seratus persen yakin kalau Valetta akan sangat protektif. Valetta saja protektif terhadap Shavira yang hanya sepupu bahkan Lexa yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Apalagi sama adik angkat.

Axel tiba-tiba membalikkan badannya, membuat Valetta kini bersandar di dada bidang Axel.

Eros dan yang lainnya serempak buang muka. Kalau Axel dan Valetta udah bucin gini, enggak bakal tertolong.

"Shav, mau pergi ke minimarket gak?"

"Boleh, ayo, aku mau beli camilan."

Eros dan Shavira pun pergi dari atap sekolah.

"Val, ayo ke ruang band."

"Ngapain?"

"Aku mau tidur."

"Kenapa harus ke ruang band?"

"Aku mau kamu nyanyiin sampai tidur," ujar Axel sembari menarik tangan Valetta agar menyentuh pipinya.

"Di kelas bisa, kok."

Axel menggeleng.

"Malu?"

"Bukan, aku enggak mau ada yang ikut dengar suara kamu, hanya aku yang boleh."

Valetta tertawa kecil dan pada akhirnya mengindahkan permintaan Axel. Padahal satu sekolah sudah pernah mendengar nyanyian Valetta. Ada-ada saja alasan Axel.

Kini hanya Ghevan dan Lexa yang tersisa di atap gedung. Kedua insan itu saling tatap.

"Kapan kita ngomong pakai aku kamu?" cicit Ghevan takut-takut.

Lexa memutar bola matanya malas. "Sampai cowok yang lahirin anak."

"Geli tau gak ngomong pakai aku kamu, gue gak terbiasa," tambah Lexa.

Ghevan menghela napas panjang. Sudah kesekian kali pengajuan untuk lebih mesranya ditolak Lexa. Tapi Ghevan tak kunjung menyerah, justru Ghevan semakin semangat menggoda Lexa dengan berbagai jenis makanan yang ia buat dengan kedua tangannya sendiri.

Lexa hanya dapat menelan ludahnya susah payah. Menatap jejeran makanan yang berpenampilan dan beraroma menggoda itu selama beberapa detik sebelum dirinya luluh dan menerima ajuan Ghevan untuk lebih mesra.

Kadang Ghevan dibuat berpikir. Lexa ini suka sama Ghevan atau masakan Ghevan?

"Untung sayang—"

BUGH

"Mulutnya dijaga!"

"Akh... Kenapa sih? Emang sayang ka—"

BUGH

"Pamali buat jantung!"

Cewek gue kenapa sih? Dari kemarin hobi banget nyebut-nyebut pamali... Ini pamali, itu pamali, gerutu Ghevan dalam hati.

"Ya udah, gue gak mau buatin nasi  spesial lagi," keluh Ghevan.

"Itu lebih pamali! Sangat-sangat terlarang! Lo mau biarin gue mati kelaparan?" seru Lexa panik. Makanan Ghevan adalah yang terbaik baginya. Sekali coba, ketagihan.

Tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di otak Ghevan yang sempit.

"Kalau lo enggak manggil sayang, gue gak mau masakin lagi!" ancam Ghevan menyeringai menang.

Lexa terdiam. Ghevan selama ini tidak pernah mengancam dirinya. Belajar dari mana Ghevan mengancam? Dari siapa lagi kalau bukan Eros.

"Y-ya udah, sih..."

"Cepat, gue tunggu tiga detik, kalau enggak manggil sayang gue gak mau masakin lagi," ujar Ghevan.

"Satu..."

Lexa panik. Mulutnya tidak bisa diajak kompromi.

"Dua..."

"Ti—"

"Iya, sayang!" seru Lexa seraya membekap mulut Ghevan agar tidak lanjut menghitung.

Ghevan menarik tangan Lexa agar mulutnya tak ditutup oleh tangan Lexa lagi.

Ghevan tersenyum miring dan mendekatkan dirinya pada Lexa. "Iya, kenapa, sayang?"

Lexa secara otomatis menendang dengkul Ghevan hingga Ghevan jatuh berlutut.

"Aish..."

Lexa pun sadar akan tindakan kekerasan yang baru ia lakukan. Buru-buru Lexa membantu Ghevan berdiri. Kalau telat sedikit, bisa saja jatah makanan spesial Lexa dikurang.

Mereka berdua tidak sadar jikalau sedari tadi ada seseorang di belakang pintu atap.

Tidak usah kalian tanya siapa. Perempuan berkacamata yang menjabat sebagai pemegang akun gosip SMA Landoh Hills lah yang ada di sana

Ia tersenyum penuh arti. Secara gemas perempuan itu memegang handphone yang baru saja ia beli bukan menggunakan uangnya sendiri.

"So sweet banget, sih. Cocok buat berita berbau romansa minggu ini!"

"Lexa, oppa yang menjabat sebagai ketua basket putri berhasil berubah bucin oleh karena Ghevan, drummer Eclipse!"

"AGGHHHH! Enggak sabar gue sebar!"

Seminggu berlalu. Akhirnya, Ara diperbolehkan untuk pulang. Namun, setiap minggunya Ara dianjurkan untuk mengunjungi Dokter Haze, psikolog Ara.

Selama seminggu ini, Ara menunjukkan sedikit perubahan dalam bersikap. Sikapnya sekarang lebih terkondisikan, tidak terlalu seperti anak kecil saat bertemu orang baru.

Namun, setiap ada Vancia atau Valetta, sikap Ara kembali kekanak-kanakan, layaknya anak berumur tujuh tahun pada umumnya.

"Terima kasih, Dokter Haze." Ara menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Dokter Haze tersenyum hangat. "Sama-sama, juga terima kasih kembali sudah mau percaya dengan saya, minggu depan datang lagi ya, Ara."

Ara mengangguk semangat lalu berlari kecil ke arah Valetta yang sudah menunggu di dekat pintu.

"Udah selesai bilang terima kasihnya?" tanya Valetta.

"Udah!"

"Ya udah, ayo kita ke mobil sekarang, Mama udah nunggu di sana."

Ara dan Valetta pun pergi keluar rumah sakit, menuju mobil hitam familiar tempat Vancia kini menunggu.

Valetta membuka pintu mobil dan mempersilahkan Ara untuk masuk terlebih dahulu.

"Mama!" Ara menyapa ceria, senyumannya lebar dan bersifat menular.

"Ma," sapa Valetta juga.

"Eh, anak-anak Mama udah balik. Udah selesai ngomong sama Dokter Haze?"

"Udah! Iya, kan, Kak?" Ara menoleh ke arah Valetta.

"Iya," sahut Valetta.

"Ya udah, sekarang pakai sabuk pengamannya," ujar Vancia sembari memakai sabuk pengamannya sendiri.

Selama perjalanan pulang, mereka bertiga sesekali bercanda agar suasana tak terlalu sunyi. Rasanya sungguh berbeda, keberadaan Ara membuat lingkungan Valetta dan Vancia lebih meriah.

Saat mobil sudah terparkir rapi di depan rumah. Valetta keluar dari mobilnya, begitu juga yang lainnya.

Ara membuang napas lega saat sampai di rumah. Dibandingkan rumah sakit, tempat di hadapannya ini lebih membuatnya nyaman.

Saat di rumah sakit, Ara sering merasa takut. Ara sendiri tidak tau kenapa ia merasa takut. Ara tidak tau kalau rasa takut itu berasal dari Zahra.

Zahra yang sebenarnya takut dengan rumah sakit dan ini sebelumnya tak pernah terjadi. Zahra dan Ara adalah identitas berbeda, perasaan mereka berdua tidak akan bertabrakan hingga berdampak pada yang lainnya.

"Ayo masuk."

Vancia mengajak kedua putrinya masuk ke rumah.

"Mulai hari ini, Ara tidurnya di ruangan samping Valetta, ya?"

"Ara enggak tidur sama Kakak lagi?"

"Enggak, kan, Ara sudah besar, Ara harus mulai tidur sendiri. Mama udah ngedekorasi ruangannya dengan warna abu-abu, warna favorit Ara, kan?"

Mendengar kata abu-abu, Ara langsung tersenyum dan mengangguk cepat. "Ara boleh lihat kamar Ara enggak?"

"Boleh, dong. Ajak Kakak ke atas, Mama mau nyiapin makan malam kalian dulu," celetuk Vancia.

Ara dengan semangat menarik Valetta yang sedari tadi memperhatikannya ke atas.

"Pelan-pelan, Ara, nanti jatuh." Valetta memperingatkan Ara. Ara pun memperlambat gerakannya sesuai perintah Valetta.

Sesampai di ruangan Ara. Ara langsung lompat-lompat tidak jelas seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.

"Kamar Ara!" Ara berseru seraya celingak-celinguk memperhatikan segala isi kamarnya.

"Ini, beneran kamar Ara?" tanya Ara lagi.

Valetta mengangguk. "Mulai hari ini, Ara tidur di sini."

Valetta menunjuk ke sebuah pintu yang terletak di antara kamarnya dan ruang tempat dirinya sekarang berada. "Itu kalau Ara buka pintunya, langsung masuk ke kamar Kakak."

"Jadi Ara kalau takut boleh masuk ke kamar Kakak?" Ara bertanya pelan.

Valetta mengangguk lagi. "Ara kalau ada keperluan apa atau pengen ada teman, buka aja pintunya. Gak usah takut-takut atau malu."

Ara pun menggerakan kepalanya ke atas dan ke bawah tanda mengerti. Tapi Ara masih sedikit tidak terbiasa dengan hal-hal yang Valetta katakan. Menurut Ara, Valetta itu terlalu baik.

Setiap Ara mau atau ingin sesuatu, Valetta pasti selalu memberikan semua keperluan Ara. Valetta juga sangat lembut dalam bertindak.

Terkadang Ara bertanya dalam hatinya, kenapa Valetta dan Vancia tidak pernah marah pada dirinya? Valetta dan Vancia juga tidak pernah memukul Ara, mencubit atau melakukan hal-hal kasar lainnya.

Biasanya, akan ada yang meneriaki dirinya walau Ara hanya berdiri di tempatnya atau bahkan bernapas.

Ara tak tau harus melakukan apa. Menerima semua pemberian dan kebaikan Valetta juga Vancia membuat dirinya tidak nyaman. Ara merasa tidak pantas.

Ingin sekali Ara menolak banyak hal, tapi Valetta selalu melarang.

"Ara berhak bahagia."

Ucapan Valetta selalu terputar di otak Ara. Ara juga selalu berusaha meyakinkan dirinya tentang hal itu. Namun sampai saat ini, tidak dapat dipungkiri kalau Ara masih ragu.

Tapi Ara berusaha untuk tidak menyuarakan hal tersebut pada Valetta atau Vancia. Ara merasa dirinya harus menuruti saja semua kemauan Valetta dan Vancia.

Valetta dan Vancia baik kepadanya. Ara yakin pasti mereka berdua ingin sesuatu dari Ara. Ara akan menunggu hari itu, hari di mana Valetta dan Vancia akan meminta sesuatu.

"Ara?" Valetta menepuk pundak Ara.

Lamunan Ara buyar. "E-eh, iya?"

"Kamu mikirin apa? Dari tadi Kakak panggil, tapi enggak bersuara," ujar Valetta.

"M-maaf, Ara tadi melamun aja, enggak tau kenapa."

Maaf Ara bohong, lanjut Ara dalam hati.

Valetta menghela napas panjang. Tangannya mengelus puncak kepala Ara.

"Ara kalau punya masalah atau pikiran, ngomong aja sama Kakak. Jangan dipendam."

"Iya, Kak... Makasih, Kakak udah baik sama Ara, Mama juga. Kalian berdua baik, Ara sayang," ungkap Ara.

Valetta merasa tersentuh. Ia pun tersenyum, "Kakak sama Mama juga sayang sama Ara. Mulai hari ini Ara bahagia terus, ya."

Ara memejamkan matanya dan mengangguk. Ara sayang dengan dua wanita yang tiba-tiba hadir di kehidupannya.

ᴠᴏᴛᴇᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛғᴏʟʟᴏᴡ

Terima kasih sudah membaca. Target untuk update selanjutnya:
3.3k votes + 4.1k comments.

Spam next 👉

Pertanyaan untuk author di sebelah sini 👉

Pesan untuk karakter 👉

6 chapter lagi...

Chapter selanjutnya bakal ketemu Ratu dan asal muasal Ratu bisa jagain Valetta...

/Jangan berharap terlalu banyak soal Ratu dkk.

See you on next chapter ♡

Salam sayang,
Manusia Darat.

ᴘᴜʙʟɪsʜᴇᴅ ᴏɴ
29.07.2021

Continue Reading

You'll Also Like

594K 16.7K 49
Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu itu menyenangkan. Anak bungsu di manjain, di prioritas kan, dia sayang, bahkan di ratukan oleh...
59.8K 3.8K 50
[SELESAI] Highest rank! #48 in problem 13/03/20 #58 in complicated 20/12/19 #555 in fiction 13/03/20 #162 in bad 13/03/20 #676 in happy 20/12/19 #671...
134K 23.5K 74
Nayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-ha...
174K 17.2K 52
Dino si cowok cenayang yang bisa membaca pikiran siapa saja. Ganteng dan tajir tapi sedikit berbicara, dan tidak pernah memiliki pacar. Berbeda deng...