Pagi ini, sebelum berangkat sekolah, Zoeya tak langsung naik ke dalam mobil Limosin yang di dalamnya sudah ada Pak Ahmad. Gadis itu malah melangkah menyebrangi jalanan, pergi menuju rumah seberang yang tak lain adalah kediaman Dikta.
Dikta yang baru melajukan motornya dari carport, langsung menghentikan motor mahalnya itu kala Zoeya masuk ke rumahnya dan menghentikannya di halaman rumah. Dikta membuka kaca helmnya, menatap Zoeya dengan satu alis yang terangkat. "Ngapain?" tanyanya.
"Kata Celin dia mau jelasin sesuatu. Dia nggak kayak apa yang lo pikirin, kalau semisal lo masih cinta sama dia, masih ada kok kesempatan buat kalian sama-sama lagi," ucap Zoeya langsung pada inti tujuannya.
Dikta tampak menghela napasnya, kalau dipikirkan, perasaannya memang masih ada, namun rasa kecewa dan amarahnya membuatnya tak sudi hanya untuk sekedar melihat wajahnya. "Hubungan gue bukan urusan lo," balasnya.
"Ya, lo benar, tapi sebagai sesama cewek, gue merasa Celin tulus sama perasaannya. Lo bahagia juga, kan, kalau balik lagi sama dia?" ujar Zoeya masih tak mau menyerah. Ayolah dia sudah janji siang itu pada Celin, kalau dia tak menepatinya, bisa gagal dia jadi calon penghuni surga.
"Nggak usah sok tahu. Gue benci cewek jalang itu, cewek rendahan kayak dia nggak berhak jadi pacar gue," sungut Dikta dengan pedasnya. Uh, kelakuan seperti Dikta dipikir cocok apa dengan cewek high class?
Ingin rasanya Zoeya mengomentari mulut tetangganya itu, namun dia tak mau mengulang masa lalu, dia sudah kapok menyulut amarah Dikta, dan berakhir di markas Stark. "Gue saranin, nih, yah, lo pikir-pikir dulu ucapan gue. Gimanapun Celin itu cantik, putih, mulus, baik, imut lagi."
Dikta hanya bergumam tak jelas, dia tak ada niatan untuk sekedar mempertimbangkan perkataan gadis di depannya. Tangan Dikta terangkat, kembali menutup kaca helmnya dan bersiap untuk pergi. Lama-lama dia malas juga membicarakan mantan kekasihnya itu.
"Naik!"
Oh, Zoeya merasa dejavu sekarang, apakah Dikta marah lagi karena dia membahas Celin? Tapi mengapa raut lelaki itu datar-datar saja?
"Nggak. Kalau lo tersinggung, gue minta maaf, gue duluan," ucap Zoeya yang siap berbalik badan dan kabur dari Dikta.
Belum juga gadis itu melangkah, Dikta malah mencekal tangannya, membuat Zoeya memejamkan mata sebelum akhirnya menoleh ke belakang.
"Jangan mikir macem-macem, naik!" perintah Dikta lagi.
Zoeya menggerakan lengannya, berusaha melepaskan tangan Dikta, namun pemuda itu malah tak mengizinkannya.
"Dikta gue---"
"Naik, Zoya, gue bawa lo ke sekolah, kok," sela Dikta masih keras kepala. Oh, bisakah pemuda itu tak memaksakan kehendak?
Yang menyerah tentu saja Zoeya, gadis itu sekarang menarik kasar tangannya, membuat cekalan Dikta akhirnya terlepas, dengan setengah hati gadis itu bergerak naik ke atas boncengan motor Dikta. Pekerjaan Pak Ahmad akan batal karena ini.
"Turun lagi!" ucap Dikta tiba-tiba.
"Hah?" Spontan mulut Zoeya terbuka, ini maksudnya apa? Apa dia di suruh kembali turun padahal dirinya baru saja naik? Kalau seperti itu, dia janji akan mengutuk Dikta di dalam hatinya.
"Turun dulu, ambil helm di garasi. Ada satu di dalam laci, lo buka aja. Ambil, pake, habis itu naik lagi," jelas Dikta yang membuat Zoeya tak jadi mengutuknya. Ternyata dia punya otak juga.
Zoeya menurut, gadis itu kembali turun dari motor Dikta, lalu melangkah gontai menuju garasi. Tentunya untuk mengambil helm yang disinggung Dikta.
----🛹🛹🛹----
"Lo kok bisa-bisanya dibonceng Leon?"
Baru saja Alkana tiba di bangkunya, gadis yang memakai cardingan merah muda itu langsung melontarkan pertanyaan pada Zoeya yang tengah duduk manis seraya menscroll beranda tiktok.
Zoeya mendongak, menatap Alkana dengan sorot datarnya. "Tahu dari mana lo, Na?" Bukannya menjawab, Zoeya malah balik bertanya.
"Gue lihat tahu, tapi tadi beli ini dulu, jadi nggak sempat samperin lo deh," jawab Alkana seraya menunjukan seplastik cilok pada pandangan Zoeya.
Zoeya membulat, dia refleks merebut cilok di tangan Alkana, membuat pemiliknya memekik karena kaget.
"Ada cilok depan gerbang?! Eh, iya hari ini kan jadwalnya Mamang cilok. Ah, gue lupa," ujar Zoeya terdengar menyesal.
Alkana mendengus, dia sekarang menarik ciloknya dari tangan Zoeya, dia mana rela kalau temannya itu nanti memakan ciloknya. "Di depan masih ada kali, Ya. Elo main rebut-rebut aja."
Zoeya menghela napas, raut gadis itu jelas sekali menandakan kemalasan. "Capek, Na, malas juga. Ah, gue tunggu jadwal selanjutnya aja," putus gadis itu.
Alkana hanya mengangguk, gadis itu sekarang mulai menusuk cilok dalam plastik dan menggigitnya. "Gue mau kok berbaik hati sumbangan lo dua cilok," ucapnya.
Zoeya menggeleng kecil. "Nggak usah, Na, lo makan aja," balasnya.
"Yaudah kalau nggak mau," papar Alkana yang semakin rakus memakan jajananya itu.
Tepat saat dia akan kembali memasukan cilok pada mulutnya, tiba-tiba dia teringat sesuatu, secara cepat dia langsung menoleh pada Zoeya, menarik kabel earphone yang dipakai gadis itu lalu memekik, "Elo belum jawab pertanyaan gue yang pertama!"
Zoeya menggerakan mulutnya ke samping, dia pikir Alkana sudah lupa dengan pertanyaan tadi. "Gue juga nggak tahu alasan pastinya. Tapi kayaknya dia dapat hidayah setelah digebukin waktu itu," jawabnya.
Alkana memanyunkan bibirnya tampak tak puas dengan jawaban yang dikeluarkan Zoeya. "Mana mungkin kayak gitu," ucapnya yang hanya dibalas gidikan bahu saja.
----🛹🛹🛹----
Merokok di atap sekolah memang dilarang dalam aturan, namun pria dengan kancing seragam yang sengaja dibuka dan menampakan kaus putihnya itu tak peduli dengan aturan. Dia kini menghembuskan asap rokok dari mulutnya, tampak menikmati benda itu seraya memperhatikan lapangan di bawahnya. Memang tak ada yang menarik dari lapangan itu, terlebih dari atas sini semua orang terlihat kecil. Meski begitu dia tetap betah melakukannya.
Sekolah rasanya membosankan, dirinya merasa sangat tak cocok dengan lingkungan yang penuh aturan itu. Namun dirinya tak bisa lari dari sekolah, karena kalau ia melakukan itu masa depannya menjadi pertaruhan. Ya, meskipun dia seorang berandal, tapi dia tetap menginginkan masa depan yang cerah.
Dering ponsel terdengar, membuat pria itu segera merogoh benda pipih abu-abu yang semula bersarang di saku celananya. Dia melihat layar ponselnya, melihat nama yang tercetak di sana yang ternyata temannya.
Sedang malas dan masih sedikit dendam, pria itu malah memencet tombol merah di ponselnya, menolak panggilan tanpa mau peduli kalau bisa saja itu panggilan penting.
Lelaki itu lagi-lagi mengarahkan rokok yang terhimpit di antara dua jarinya ke mulut. Menyesapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke atas. Terus seperti itu hingga suara pintu yang terbuka membuatnya melirik ke sumber suara.
"Beneran di sini ternyata," ucap orang yang baru saja membuka pintu itu dan melangkah ke dekat di pria.
"Lo udah lama nggak ke markas, Yon, Bang Alan hari ini wajibin lo buat datang. Beberapa hari lagi Stark bentrok sama Aligator."
Mendengar kalimat itu, si pria yang tak lain adalah Dikta tertarik untuk menyimak.
"Aligator sendiri yang nantang, jadi Stark cuma ladenin aja. Yang turun cuma setengahnya, tapi kekuatan lo harus ada."
Dikta mengerti, pria itu kini membuang rokoknya ke bawah, lalu menginjaknya hingga baranya tak lagi menyala.
"Gue nanti datang," ucap Dikta tanpa nada.
Angkasa dan Velo yang mendengar hanya mengangguk saja, hubungan mereka yang masih buruk, membuat keduanya merasa kaku untuk berkomunikasi seperti biasanya. Meski mereka sudah meminta maaf dan berusaha mendekat, namun Dikta masih belum memberi mereka kesempatan.
----🛹🛹🛹----
Dikta betulan dapat hidayah kali, yak? Dia mulai melunak sama Zoeya, mau dengan ringan hati ngajak cewek itu berangkat sekolah sama-sama. Tapi btw, Dikta orangnya dendaman juga. Masih belum berdamai sama teman-temannya sendiri. Tapi, sih aku mewajarkan, soalnya temennya udah nggak percaya sama dia.
Kritik, saran, vote, dan komentar selalu aku nantikan, loh, miskah-!
20.07.2021
----TBC----