AEONIAN [Completed]

由 wordsbytata

27.4K 3.9K 1.6K

Hwang Jian tidak pernah mengharapkan cinta yang sempurna sementara kisahnya dimulai dari benang kusut yang ta... 更多

Introduction: Aeonian
00] Prologue
01] Someone To Rely On
02] Feels Different
03] Each Other's Arms
04] If Only
05] I Am Overboard
06] Pretending
07] Our Feeling
08] The Two Men
09] Uncontrollable Desire
10] Cigarettes And You
11] Nobody Knows
12] Guarantee
13] Jealousy
14] The Selfish Way
15] We're Going Crazy
16] Locked Heart
17] Full of Scars
19] It's a Mess
20] Whose?
21] The News
22] Separated
23] The Memory of That Day
24] Can't I just Stay Here?
25] My Immortal
00] Epilogue: Eternal
Aeonian's Side Story
Aeonian's Side Story II
Aeonian II : F a i t h
Aeonian II : E f f o r t
Aeonian II : U s
Aeonian II : P a r a d i s e
Aeonian II : F i g h t
Aeonian II : M a k e u p
Aeonian II : H o n e y m o o n
Aeonian II : M o m e n t
Aeonian II : H a p p y e n d i n g ?
Aeonian II : Preview
Pre-Order Aeonian II
Aeonian II : Preview
Promo E-book!

18] Between You and Her

565 103 45
由 wordsbytata

Hayo, siders muncul. 

Bab 18


Bening matanya kini pancarkan kesedihan yang tak pernah terlihat selama ini. Senyuman itu tampak pedih memancarkan air mata, lukiskan seberapa perih luka itu membekas dalam batinnya.

Jian tergugu. Tenggorokannya tercekat, nyaris tak bisa mengatakan sepatah kata ketika Jeon Jungkook meletakkan setangkai bunga mawar merah di atas abu mendiang Bae Jena. Tidak pernah terlintas dalam benak bahwa Jungkook akan membawanya ke sini. Membiarkan Jian menjadi satu-satunya orang yang bisa menyaksikan sisi lemah dalam diri lelaki itu.

Cukup lama Jian berdiri mematung tepat di belakang presensi tegap kekasihnya. Entah apa saja yang Jungkook bicarakan bersama Jena di sana, yang mengejutkan Jian hampir tak mampu menumpu bobot tubuhnya sendiri manakala Jeon Jungkook berbalik ke arahnya dengan mata memerah oleh air mata.

Diam-diam gadis itu menelisik penampilan kacau Jungkook yang sebulan ini tak terjangkau olehnya. Lingkaran hitam di bawah matanya seolah menjelaskan seberapa sering lelaki itu tidak menutup mata ketika malam datang menjemputnya, wajah kuyu itu menjadi saksi seberapa mengerikan kehilangan yang Jungkook rasakan. Sendirian.

"Jeon...," lirihnya kehilangan kata-kata untuk membuat segalanya menjadi lebih baik.

Jian mengigit bibir bawahnya saat melihat Jungkook justru terduduk di atas lantai yang dingin, menyembunyikan tangis di antara kedua lututnya.

"Aku ... merindukannya, Ji." Lirih dan serak suara itu terdengar membelai rungu. Jian lekas berlutut, membawa prianya ke dalam dekapan. Membiarkan Jungkook menangis di dadanya, menumpahkan semua air mata yang tak lagi mampu dibendung sendirian.

Kehilangan ibu adalah bagian paling menyakitkan dari sebuah kehidupan. Kendati Jian tidak merasakannya, ia memahami bagaimana perasaan hancur Jeon Jungkook setelah kepergian Jena.

Jian turut membiarkan air matanya jatuh bergulir perlahan saat isak tangis lelaki di dekapannya ini kian terdengar memilukan. Tangannya yang gemetar itu memeluk Jian dengan erat seolah jika ia tak melakukannya, Jian juga akan pergi meninggalkannya.

Tidak pernah sekalipun dalam hidup, Jian menyaksikan Jungkook sepatah dan sehancur ini.

Jungkooknya yang setiap hari tampak kuat dan berani, kini hancur menjadi kepingan di dalam pelukannya.

"Aku tahu—aku tahu ayah brengsekku yang melakukannya, tapi aku tidak bisa melakukan apapun, Ji." Sepenggal kalimat itu menjelaskan semuanya bahwa benar dugaannya ada yang janggal dari kecelakaan tunggal yang Jena alami. Dan Jian tidak menyangka praduga mengerikan itu benar-benar terjadi.

"Aku bukan putra yang baik ... aku tidak bisa menjaga dan melindunginya, Jian." Parau sekali lelaki itu berbisik. Jian memejamkan mata—mengusap lembut punggung Jungkook yang bergetar oleh isak tangisnya sendiri. "Kau selalu menjadi putra terbaik yang pernah bibi Jena miliki, Jeon."

Dingin dan gelap. Barangkali dua kata itu yang bisa menggambarkan bagaimana dunia Jungkook saat ini. Kehilangan harapannya. Kehilangan alasannya untuk tetap bertahan di dunia yang tak lagi berpihak padanya.

Sudah lama sekali, Jian tahu, seberapa buruk hubungan Jungkook dengan sang ayah. Lebih tepatnya setelah mengetahui kelakuan bajingan ayahnya yang berselingkuh tanpa tahu malu di depan matanya. Semenjak itu, Jungkook teramat membenci ayahnya. Hanya Jena alasannya bertahan dan tetap menjadi anak laki-laki kuat yang bisa diandalkan.

Bukankah wajar jika Jungkook merasa dunianya tak lagi bermakna setelah sang ibu pergi?

"Aku harus bagaimana, Ji? Aku harus bagaimana untuk membuat segalanya terasa lebih baik? Sesak ... dadaku sesak sekali," tuturnya sambil mendongak, memeluk pinggang Jian kelewat erat. Matanya yang bulat dan biasa memancarkan kehangatan, kini tampak kosong pun penuh luka.

Jian menggeleng, mengusap lembut pipi Jungkook serta menyeka air matanya. "Tidak apa-apa kalau sesak, tidak akan ada yang menghakimi lukamu ... tidak apa kehabisan napas, aku akan memelukmu dengan erat, Jeon."

Gadis itu menarik napasnya sedalam mungkin tatkala rasa ngilu itu menggerus perasaannya.

"Aku di sini, Sayang." Jian tak kuasa menahan air matanya sendiri melihat bagaimana lugunya tatapan itu diberikan oleh Jungkook padanya. Kembali air mata itu jatuh dari pelupuk mata Jungkook, mengalir mengenaskan di kedua pipinya yang pucat.

Lalu dengan suara seraknya, lelaki itu berbisik pelan, nyaris tak terdengar oleh Jian.

"Jangan tinggalkan aku, Ji. Aku tidak memiliki siapapun lagi."

─────

Gelap dan sunyi. Itulah yang menjadi teman Hwang Jihyo selama menunggu Jungkook pulang ke rumah.

Jarum jam terus berdentak menunjukkan waktu nyaris tengah malam tetapi belum ada sedikitpun tanda-tanda bahwa suaminya itu akan pulang.

Satu helaan napasnya keluar begitu mengenaskan. Membawa kakinya keluar kamar untuk mengecek keberadaan Jian di kamar sebelah. Saat netranya menangkap kekosongan di kamar bernuansa cokelat putih itu, Jihyo meremat kuat gagang pintu sambil memejamkan mata.

Tidak perlu berpikir terlalu keras untuk menyadari bahwa keduanya mungkin tengah bersama, menghabiskan waktu berdua di apartemen milik sang suami. Rasanya, setelah Jihyo mengetahui hubungan mereka, baik Jungkook maupun Jian sama sekali tidak peduli terhadap perasaannya. Malah yang terjadi, keduanya semakin terang-terangan menunjukkan perasaan, terutama Jungkook.

Seakan Jihyo tidak pernah ada. Seolah ia tak memiliki sedikitpun perasaan sedih mengetahui mereka menjalin hubungan di belakangnya.

Jihyo tidak tahu harus berbuat apalagi untuk membuat Jungkook sadar bahwa mereka telah menikah. Di hadapan Tuhan dan kedua orang tuanya. Tidakkah pria itu berpikir kalau pernikahan ini bukan hanya sekadar permainan belaka?

Bukannya Jihyo tidak mengerti dan mencoba memahami bagaimana Jungkook dan Jian saling mencintai. Pasalnya, mereka terikat dalam sebuah pernikahan. Bukan berkencan yang dengan mudah diakhiri hubungannya. Ada begitu banyak pertimbangan matang yang harus dipikirkan sebelum mengambil keputusan dan tindakan.

Gadis itu lantas memilih turun ke bawah—menyalakan lampu ruang tengah dan bergelung di atas sofa. Membiarkan suara televisi menemani malamnya yang senyap dan gelap. Sesekali mengecek ponsel untuk melihat apakah Jungkook membalas pesannya.

Ia terus menunggu hingga tak sadar terlelap ketika jarum jam hampir menyentuh angka tiga dini hari. Sendirian. Memeluk erat tubuhnya sendiri.

Saat pagi datang menjemput, Jihyo dibangunkan oleh suara deru mesin mobil yang terparkir di halaman rumah. Buru-buru gadis itu beranjak membuka pintu.

Ada gelenyar nyeri di ulu hati tatkala melihat Jungkook keluar dari mobil dengan Jian di belakangnya. Keduanya tampak sedikit kacau—wajah letihnya seolah menjelaskan bahwa mereka sama-sama tidak mendapatkan waktu tidur yang baik.

"Kau sudah pulang," katanya, berusaha bersikap biasa saja. Jungkook memberi anggukkan sebelum melewatinya begitu saja dan lekas menuju lantai dua.

Meninggalkan Jihyo dan Jian dalam situasi canggung. Gadis itu mengusap lengannya, memandang Jian dengan sorot yang sulit sekali diartikan.

"Kalian tidur bersama lagi?" Bukan tanya yang pantas, tapi bibirnya tidak bisa menahan untuk tak bertanya pasal itu. Memang apa yang akan dilakukan keduanya selain menghabiskan waktu dengan tidur bersama?

"Apa maksudmu dengan tidur bersama lagi?" Jian geram. Terlihat jelas gadis itu menahan amarahnya.

"Ya tidur. Seks. Itu kan yang Jungkook cari darimu?" Jihyo tersenyum miring, berusaha tak gentar oleh sorot tajam yang diberikan Jian kepadanya.

"Jaga ucapanmu," balas Jian. Gadis itu tertawa kecil sebelum mengimbuhi, "Jika hanya sebatas itu pikiranmu tentang kami, teruskan saja. Toh, kau tidak akan pernah mengerti apapun tentang suamimu."

"Jian!" serunya, marah. Tidak habis pikir Jian setega itu berucap padanya.

Jihyo baru akan kembali mengeluarkan kata-katanya ketika Jian menghampiri, mendekatkan wajah pada telinganya lantas berbisik, "Jungkook sedang hancur. Dan yang kau pikirkan hanya itu? Kau benar-benar egois, Jiy."

Kemudian berlalu pergi meninggalkannya sendirian di ambang pintu dengan perasaan berkecamuk hebat. Terluka dan merasa tak berdaya.

Jihyo memejamkan mata. Mengatur deru napasnya sendiri sebelum akhirnya menyusul Jungkook ke kamar. Mereka harus bicara.

Suara gemericik air shower terdengar saat gadis itu masuk ke kamar. Tubuh mungilnya duduk di tepi ranjang, menunggu Jungkook selesai membersihkan diri. Tidak lama sebab lima belas menit kemudian pria itu keluar dari kamar mandi lengkap dengan pakaian kasualnya. Siap berangkat ke kampus.

"Aku ingin bicara." Suara beratnya menggema. Jihyo mengerjap, memperhatikan Jungkook yang kini duduk di sebelahnya.

Tanpa diduga, pria itu meraih kedua tangannya. Menatapnya lekat dengan sepasang irisnya yang kelam.

"Koo—"

"Jiy, dengarkan aku." Seakan mendapat sinyal bahwa perbincangan mereka kali ini akan membawa kabar buruk, Jihyo segera menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Jungkook.

Namun gadis itu kalah tenaga. Jungkook tidak berniat melepaskan walau Jihyo hampir meledak oleh amarahnya sendiri. "Tidak mau dengar apapun!"

"Jiy, hubungan kita tidak akan pernah berhasil." Jungkook menggeleng. Mencoba memberi pengertian. Jihyo kembali menggelengkan kepala berulang kali. Menyangkal isi pikirannya sendiri. Menyangkal bahwa Jungkook mencintai Jian, bukan dirinya.

"Kau harus tahu, alasan terbesarku menerima pernikahan ini karena Ibuku. Aku tidak ingin membuatnya kecewa," kata Jungkook setenang mungkin. Jihyo mengigit bibir bawahnya tatkala merasakan rasa sakit di hatinya. Tidak menyangka Jungkook akan setega ini kepadanya. Setelah apa-apa yang mereka lalui di pernikahan ini—semudah itukah bagi Jungkook untuk menyudahinya? Sesulit itukah bagi Jungkook untuk membuka hati sedikit saja untuknya?

"Lalu sekarang apa? Setelah Ibumu tidak ada, kau bisa meninggalkanku sesuka hatimu?" Jihyo bertanya dengan suara gemetar. Perlahan cairan bening itu jatuh mengenaskan membentuk anak sungai di kedua pipi.

Ia menggeleng, mencengkram kuat tangan Jungkook yang masih terus menggenggamnya.

"Aku hamil, Jungkook. Anakmu." Gadis itu mengimbuhi, tangisnya pecah saat melihat pria itu hanya mampu menundukkan kepala tanpa mengucapkan sepatah kata. Apa ini akhir dari segalanya?

"Semua karena Jian. Aku tahu," lanjutnya lagi. Namun Jihyo takkan menyerah semudah itu.

"Sungguh aku tidak bisa meninggalkan dia walaupun kau dekap aku, Jiy. Maafkan aku," sahut Jungkook tanpa berusaha menyembunyikan lagi isi hatinya yang seutuhnya.

Jihyo hancur. Tangisnya terdengar memilukan di dalam kamar mereka. Kemudian tangannya membawa telapak tangan Jungkook untuk menyentuh perutnya.

"Tapi aku hamil, Koo. Usianya delapan minggu."

"Jiy—"

"Aku tahu ada sedikit rasa itu untukku. Kau selalu menjadi Jeon Jungkook yang menyayangiku sebelum menikah." Gadis itu menyela cepat. Tangan gemetarnya itu lantas menyentuh wajah Jungkook.

Mempertemukan mata mereka dalam satu sorot yang tak bisa dijabarkan oleh untaian kata. Jihyo berusaha memberi senyumnya dengan air mata kepedihan. Mengusap wajah Jungkook lembut.

"Kau bisa pikirkan ini saat sudah jauh lebih tenang, hm? Gunakan waktumu, aku akan menunggu."

Jihyo tahu, setidaknya, ada secercah harapan manakala Jeon Jungkook tak lagi bersuara. Pria itu menunduk dalam. Tidak berusaha menjauhkan tangannya yang berada di atas perutnya. Tidak akan. Ia takkan menyerah semudah itu pada pernikahan ini.





****

Yang mau sambat atau maki2 Jungkook silakan ya:) Mulai bimbang tuh dia :)

Hihi. Tumbenan ya aku double up? Iya soalnya wfh-an jadi agak lenggang waktunya. 

Aku update lagi asap guise. Tergantung respons kalian ajaa wlelelele.

Okaiii. Sampai jumpa! Tetap sehat kalian semua.

继续阅读

You'll Also Like

69.7K 6.4K 74
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
188K 18.5K 70
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
351K 6.9K 15
DON'T BE PLAGIARISM! Jangan lupa krisar, vote, dan follow ya Isinya one shoot jorok dengan pair jaeyong. (boyxboy, boyp, gs, nano-nano pokoknya) Ada...