NAYANIKA ZARA✅

By Annadzofah

21.6K 2.8K 403

[END- TELAH DI SERIESKAN] "Mata yang indah. Mata yang melihat semua ciptaan Allah adalah sebuah keindahan." B... More

SALAM PENULIS
PROLOG
(1) Namaku Zara
(2) Akhir kelas 3
(3) Hilang
(4) Keputusan
(5) Acara Pesantren
(6) Question and Answer
(7) Siapa aku?
(8) Menikmati Hidup
(9) Permintaan Kiai
(10) Detak Pertama
(11) Bibit Awal
(12) Serpihan Zara
(13) Rasa Yang Sulit Dicegah
(14) Teman Lama
(15) Tenang Seperti Senja
(16) Dia Zara
(17) Pemeran Utama
(19) Dilema
SPOILER SERI
SPECIAL CHAPTER

(18) Di Mulai

361 99 16
By Annadzofah

  

Hari ini matahari menyingsing tepat di atas kepala. Angin hangat yang tercipta berhasil membuat gerah manusia-manusia lebel santri beraktivitas.

Hanya saja di cuaca kali ini, ada satu pemandangan di tengah komplek asrama yang jauh lebih menarik di perbincangkan. Disana, terdapat Pemandangan tak lazim yang semua mata sukses memandangnya awas.

Pernahkah kalian mendengar istilah 'Hitam tidak selalu kotor dan putih tak selalu bersih?'

Jika iya, aku ingin membacakan sebuah puisi karya cendekiawan terkenal bernama Emha Ainun Najib. Kurang lebih begini;

Maha anggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Maha agung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Maha anggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

Mungkin, seperti puisi itulah gambarannya.

Disisi lain Pesantren dengan segudang kebaikan dan kemuliaan, tidak bisa menutupi sudut sisi kehidupan lain yang sudah menjadi garis takdir semesta. Mungkin beginilah jagad raya diciptakan, ada ganjil maka ada genap. Ada putih maka ada hitam. Ada kebaikan ada pula keburukan.

Seperti halnya negara dan lingkungan masyarakat manapun, Pesantren pasti juga memiliki peraturan dan norma yang berlaku. Dan ketika peraturan tidak dipatuhi, maka harus di tertibkan. Jika rusak, maka harus diperbaiki. Jika salah, harus dibenarkan. Jika melanggar maka harus dihukum. Semua manusia pun juga seperti itu. Hingga akhir. Hingga kelak di hari hisab dan hari pembalasan.

Perihal hukuman, sudah biasa di jumpai santri di semua pelosok Pesantren. Memang benar jika tidak semua hukuman ditafsirkan buruk. Hukuman bisa di lain wujudkan sebagai sikap tanggung jawab.

Setiap Pondok Pesantren memiliki jenis-jenis hukuman yang berbeda, misalnya di pesantren kami–– pembayaran denda, membaca Qur'an beberapa juz, penyitaan barang, tadarus sambil berdiri selama beberapa jam, berjemur saat terik matahari di tengah komplek asrama. Adapun yang terakhir, hukuman yang paling berat yakni di siram air didepan mata semua santri.

Semua hukuman tergantung tingkat pelanggarannya. Semakin tidak senonoh, maka semakin berat pula hukuman yang akan didapat.

Wewenang ini diputuskan oleh pihak pengurus keamanan pondok, bukan dari Abah dan Ummik selaku pengasuh utama. Beliau sudah memberi amanah penertiban maupun keseharian santri pada pengurus, termasuk perihal hukuman seperti ini.

Terik matahari semakin terasa menyengat. Hawa gerah menyelimuti semua sudut halaman Pesantren, tak terkecuali gadis berjilbab merah yang saat ini sedang berdiri disana. Tepat dimana semua orang memandang.

Siapa dia?

Dari kejauhan, gadis itu terlihat begitu tak berdaya dengan bertengger di lehernya sebuah potongan kardus yang sudah diberi tali rapia. Kesendiriannya di terik panas ini membuat wajahnya seperti gadis nelangsa yang perlu dikasihani. Terlihat pula tulisan 'Pelanggar Qonun' di potongan kardus itu. Ditulis jelas menggunakan spidol hitam.

Namun jika di lihat dekat dan semakin dekat, air muka gadis itu tidak seperti yang terlihat. Wajahnya ternyata.. Menunjukan..

Sirat kepercayaan diri.

Ada beberapa santri yang sedang berbincang-bincang dengan temannya di sudut-sudut teras pondok, ada yang berjalan dengan tatapan mengintimidasi saat melewatinya. Namun ada pula yang sedang mengaji di serambi masjid dan sekitar aula dengan tenang, tanpa peduli dengan keadaan maupun tampilan gadis jilbab merah itu. Beberapa orang mengangkat bahu, ah sudah biasa.

Tiin.. Tiin...

Terdengar suara klakson membaur keramaian santri. Sebuah sepeda motor berjalan melewati gerbang lantas mendekati area komplek putri. Semua mata teralih. Ternyata seorang Kurir paket.

Tak lama kemudian, Kurir yang seorang laki-laki paruh baya turun dari kendaraannya. Mulai melangkah menuju santri yang terlihat di area ini, Hendak memberi barang. Namun, langkah kaki Pak Kurir itu tak di sangka-sangka mendekat pada Si gadis berjilbab merah. Si pelanggar Qonun yang sedang menjalani hukumannya.

"Mohon maaf Mbak, apakah benar ini pesantren Darul Qur'an?" Tanya Pak Kurir dengan sopan.

Gadis itu terdiam. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi.

"Maaf, mbak?" Tanya kurir itu lagi. Mulut Gadis di depannya belum juga bergerak menjawab.

"Bukankah sudah jelas!? terpampang nama itu di gerbang yang tadi anda lewati?"

Pak Kurir sedikit terkejut. "Oh maaf Mbak, Saya adalah Kurir pemula, jadi kurang berpengalaman. Saya takut salah kirim." Pria itu tetap melanggengkan senyum ramah meski gadis itu masih bewajah tak peduli."Kalau benar disinilah alamatnya, saya ingin menitipkan amplop ini, tolong berikan kepada nama yang tertera."

Pak Kurir memberikan sebuah Amplop. Setelah mendengus jengah, Gadis itu dengan malas menerima. Tidakkah bapak kurir itu melihat keadaanya? Mengapa harus dia yg bapak itu temui. Masih banyak santri putri lain yang terlihat di area pondok, mereka yang kini sedang menatap ke arahnya. Batin gadis itu mengumpat.

Setelah bosan berdiri mematung berjam-jam, mengapa harus ada Titipan surat menyebalkan ini?

Seiring perginya Kurir, dia mulai menelusuri detail surat yang sudah ia genggam. Seketika Matanya tertuju nama yang tertera di sudut atas surat.

Tiba-tiba wajah kesalnya menghilang, terganti dengan wajah menyeringai kala mengenal nama seorang gadis yang tertulis di sana. Refleks gadis itu merobek kepala amplop dengan antusias, menarik kertas putih dari dalam. Kini mata tajamnya tak berhenti membaca surat itu hingga ke akarnya.

Usai beberapa saat, Gadis itu tertawa kecil, bukan sebuah tawa bahagia, tapi tawa seseorang yang sudah menemukan mangsa untuk ia lahap hingga habis. Seseorang yang kebetulan sedang ia perhatikan beberapa hari ini.

Gadis itu bergumam pelan seperti mendesis pada dirinya sendiri. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."

***

Di suatu tempat yang lain..

"Sebentar lagi libur Ramadhan, kamu tidak berniat menetap di pondok, Ra? Sampai lebaran?" Aini bertanya ketika dia berdiri di sisiku. Aku sedang sibuk melihat-lihat buku di depan kami.

"Kalau niat pastinya ada. Tapi aku harus pulang. Ibu menungguku dirumah." Jawabku santai. Aku sedikit berjinjit menggapai buku yang sedari tadi kucari.

'Sejarah Turki'. Itulah nama buku ini. Kulihat lembarannya tebal. Terasa berat. Sepertinya butuh waktu lama membacanya.

Aku dan Aini sedang berada di 'Perpustren'. Perpustakaan Pesantren yang sudah menjadi salah satu tempat favorit kami. Selain untuk mencari ketenangan, perpustakaan juga bisa menjadi tempat yang tepat untuk menghibur diri ketika merasa penat maupun bosan. Kebetulan pula kami berdua sedang piket jaga perpustakaan hari ini.

Perpustakaan dengan ribuan buku ini di bangun sejak masa asuhan Simbah Kiai Muntaha. Beliau ingin semua santrinya tetap di fasilitasi buku guna menciptakan generasi santri yang pintar dan berwawasan luas. Jagad pesantren harus membuktikan jika santri tidak kalah cerdas dengan pelajar-pelajar formal di luaran sana. Dan beruntungnya lagi, Abah Amar sebagai pemegang estafet kepemimpinan, ikut serta dalam pembangunan dan pengembangan Perpustakaan ini.

Tempat ini sangat ramai jika hari-hari sekolah, rata-rata para pengunjung tak lain ialah pelajar Mts, Aliyah dan juga Mahasiswa. Hari ini hari Ahad, Perpustakaan sepi. Hanya beberapa santri yang saat ini sedang membaca di sudut-sudut ruangan. Suasana disini selalu tenang sehingga menjadi tempat Healing yang bagus.

Kriing..

Suara dering pintu terdengar. Pertanda ada pengunjung yang datang.

"Kesanalah lebih dulu. Setelah ini aku menyusul." Pintaku pada Aini yang dibalas anggukan semangat. Aku masih berkutat dengan lembaran buku tebal ditanganku. Kuhela nafas pelan. Baru saja membaca awal Bab yang menceritakan Kesultanan Usmani Turki, aku sudah terhanyut. Hari perpulangan nanti aku ingin meminjam buku Sejarah ini sebagai Reading List-ku di rumah nanti.

Sadar tak baik berlama-lama meninggalkan temanku di meja jaga sendiri, Setelah merapihkan rak yang sedikit berantakan, aku berbalik dan berjalan menuju Aini yang entah mengapa tak terdengar lagi suaranya.

Tumben dia tidak bersuara? biasanya setiap melayani santri yang meminjam buku, Aini begitu ceria.

Setelah berbelok, dan meja jaga terlihat, aku sedikit berseru memanggil Aini. Lalu seketika langkahku terhenti. Kakiku seperti tenggelam pada dasar lautan setelah melihat..

Dua orang pria disana. Dua orang pendatang yang juga tengah melihatku.

Kebetulan macam apa lagi ini? Kepalaku refleks menunduk sambil melangkah mendekat sekuat batin.

Aku mendekati Aini yang sedang kosplay menjadi batu. Dia tak berkutik melihat sosok di hadapannya. Entah mengapa suasana ini membuatku sebal sekaligus membuatku ingin tertawa. Aini pasti tidak menyangka bertemu idolanya disini.

"Ada yang perlu kami bantu, Kang?" Suaraku berhasil memecah hening.

"Oh, kalian sedang piket jaga Perpustren, ta?" Kang Wisnu yang beberapa saat terdiam kini ikut bersuara.

"Nggih, Kang." Jawabku kikuk. Aku melirik Aini yang sedang menatap satu orang lagi, seorang Pria tak asing berdiri tak jauh dari Kang Wisnu.

"Ini temanmu, Ra?"

"Nggih, Kang. Namanya Aini." Aku menyubit lengan Aini, berusaha menyadarkannya. Dan dia hanya tersenyum manis sambil menunduk, senang di kenalkan.

"Salam kenal, aku Wisnu. Teman baiknya Zara."

Ha?

Mataku membulat.

Apa katanya? Teman baik?

"Ehem!" Pria dingin itu berdehem. Membuatku dan Aini nyaris tersentak. Dia akhirnya bersuara meski itu suara tenggorokan yang aneh.

Tanpa berkalimat apapun, Kang Rasyiq mencelos pergi menuju Rak buku, mengabaikan kami bertiga. Kang Wisnu menoleh lantas tertawa kecil. "Haha! dia memang payah sekali menyapa santri putri!" Sepertinya Kang Wisnu sengaja menaikkan nada suara agar Pria itu mendengarnya.

Selang beberapa menit, Kang Rasyiq kembali dengan cepat. Di tangannya menopang tumpukan buku-buku tebal. Dia berjalan menuju kami lantas meletakkannya di meja. Kami berdua segera mencari buku pinjaman dan pena untuk mencatat buku-buku yang akan dia pinjam itu.

Pria ini. Sungguh..

Benar-benar berbanding terbalik dengan Kang Wisnu. Jika Kang Wisnu itu matahari yang hangat, maka dia adalah es yang beku. Itulah penggambaran suasana saat ini. Meski begitu, auranya memang begitu kuat. Jangankan saja Aini, aku saja tak mampu berkata apapun atau berani menyapanya. Oksigen di sekitarku terasa semakin menipis.

Mulutku bersuara, menyebutkan judul-judul buku di depanku. Aini sibuk mencatat walau kutahu jika sebenarnya tangannya sedang gemetar gugup.

Setibanya di akhir, aku tersadar jika buku ini adalah buku yang sama dengan yang tadi kubaca. Sejarah Turki.

Ekor mataku sekilas melirik Kang Rasyiq. Demi apapun, aku merinding ketika tertangkap basah tengah memandangnya. Entah benar atau perasaanku saja, dia memang sedang mengamatiku. Atau mungkin saja ia sedang melihat buku yang kini kupegang.

Kubenarkan posisi kacamataku. Ya-Rabb.. Mengapa aku harus bertemu lagi dengan orang-orang ini?

Setelah kekalahanku dalam perlombaan minggu lalu, aku sangat berharap tak lagi berjumpa dengan mereka. Aku malu sekaligus merasa bersalah karena tak bisa diandalkan. Ketika bertemu Abah dan Ummik saja, aku selalu mencium tangan dan berkali-kali memohon maaf telah mengecewakan. Walau Abah dan Ummik berkata berkali-kali pula bahwa mereka tak mempermasalahkan kekalahanku.

Mungkin inilah namanya Trauma mental. Butuh kekuatan besar untuk menenangkan diri dari bayangan kegagalan. Dan apa ini? Bertemu lagi dengan mereka berdua membuatku ingin lari sejauh mungkin. Lalu menjerit sekencang-kencangnya.

"Tolong bawakan itu.." Kang Rasyiq melirik buku di depanku. Dia berbicara dengan Kang Wisnu.

"Oke."

Mata kami bertemu sekilas, Lantas dia melangkah pergi. Kulihat beberapa santri yang sedang membaca di sudut-sudut ruangan menghela nafas panjang. Kecewa melihat sosok cahaya bersinar itu pergi.

"Dasar maniak buku!" Kang Wisnu menyeringai sambil menepuk-nepuk tumpukan buku tebal yang sudah selesai kami catat judul-judulnya.

"Kang Ali Rasyiq mau kemana, Kang?" Akhirnya Aini telah kembali dari dunianya yang sempat terhenti.

"Ada pelantikan di Kota. Dia menggantikan Abah Amar mewakili Pesantren."

"Wow!" Aini mulai berseru sampai-sampai tak sadar mencubit lenganku. Aku mengaduh.

Tak bisakah dia biasa saja? Kang Rasyiq memang orang hebat. Wajar saja..

"Kang Wisnu juga maniak buku, Kang?" Tanyaku mengalihkan topik. Pembicaraan tentang Pria itu takkan ada habisnya. Bisa-bisa Kang Wisnu tidak bisa pergi karena pertanyaan-pertanyaan tidak penting Aini.

"Tidak Ra. Aku tidak suka buku-buku tebal seperti ini. Membosankan dan butuh ekstra berpikir. "

Aku dan Aini terkekeh.

"Jika Kang Rasyiq menyukai buku, mengapa dia jarang terlihat ke perpus?" Aini bertanya lagi. Ah, tidak ada yang lebih penting baginya selain idolanya.

"Memang benar, dia jarang kemari. Tapi lihatlah.." Kang Wisnu menepuk lagi buku tebal di tangannya. "Sekali ke perpus, buku yang dia pinjam segini banyak. Pula butuh waktu lama membaca buku setebal ini. Di asrama, Rasyiq bahkan memiliki buku yang dia beli tapi belum terbaca."

"Seharian baca buku terus, Kang?"

"Tidak tidak.. Rasyiq Santri sibuk. Dia sering ke Luar Kota mengurus banyak hal. Selain itu, waktunya dia habiskan untuk Murojaah Hafalan dan mengajar Ngaji."

Mataku melirik Aini yang melongo, pasti Ini informasi penting untuknya.

"Baiklah, aku pergi dulu.." Kang Wisnu mengangkat buku lantas mulai beranjak pergi.

"Tunggu sebentar Kang!" Aini menahan dengan tangannya. Isyarat untuk berhenti. Refleks Kang Wisnu menaikkan alis. Kutepuk lengan Aini keras tapi dia hanya tersenyum.

"Apa beliau sudah memiliki kekasih Kang? Pacar? Calon istri?"

Kuputar bola mataku malas. Tidak adakah pertanyaan yang lebih bermutu dari itu?

Kang Wisnu terdiam sejenak.

"Jika belum ada, aku ingin merekomendasikan sahabatku ini! Zara! Apa boleh Kang?"

Aku melotot sambil membekap Aini dengan tangan. Mulut perempuan ini semakin kesini semakin kurang ajar.

Kali ini pria itu tertawa. Ia melihatku sekilas lalu kembali pada Aini. "Setahuku Rasyiq itu bukan seseorang yang pandai menunjukkan perasaan. Apalagi dekat dengan perempuan. Tapi..." Kang Wisnu menyunggingkan senyum aneh. Melambaikan tangan dan ia sempurna pergi, meninggalkanku dan Aini yang masih mematung di tempat.

"Haah!" Aini berdecak setelah tanganku terlepas. "Kamu gila, Ra! Aku nyaris kehabisan nafas, tahu?"

Aku melotot. "Perkataanmu barusan yang nyaris membunuhku, mengerti?"

"Kenapa? Kamu tidak percaya diri Ra?"

"kenapa kamu tidak menawarkan dirimu sendiri?"

Aini tertawa. Dia menghempaskan diri ke kursi sambil menggaruk jilbabnya. "mana mungkin? Tugasku hanya Mak Comblang disini.."

Aku memutar bola mata. "Bukankah sudah kukatakan, aku tidak ingin-.."

"iya.. iya.. kamu tidak mau menikah." Aini menatapku dengan senyum tipisnya. "keinginan itu adalah kebebasanmu, Ra. Dan tingkahku tadi juga kebebasanku. So, kita adil kan?"

Aini adalah Aini.

Meski jail akut, terkadang dia bisa berubah jenius menyebalkan seperti ini.

"Kebebasanku tidak merugikan siapapun Ai.. Tapi kebebasanmu tadi merugikanku. Tentu saja tidak adil.."

Kali ini perempuan itu melongo. "Bagian mana pada dirinya yang marugikanmu? Ali Rasyiq sempurna!" ujar Aini tak ingin kalah. "Kenapa Ra? Ada apa dengan kalian? Kenapa kamu terlihat membencinya?"

Aku berbalik, memunggungi Aini sambil merapikan kembali taplak meja yang sedikit berantakan. "Aku tidak membencinya atau membenci siapapun.." Kuhela napas panjang sebelum berkata lagi. "Aku hanya tidak bisa. Dan tolong jangan bercanda seperti tadi."

Sepertinya Aini menemukan suaraku yang mulai tidak baik-baik saja. "Maaf Ra.. aku hanya ingin melihatmu.. tertawa."

"Terima kasih.. kamu baik sekali." Aku tersenyum tipis. Aini selalu berubah sentimental jika menyangkut perasaanku. Sejujurnya aku tidak marah.. aku hanya tidak ingin tingkah iseng-nya menjadi doa. Semoga saja malaikat tidak menganggapnya serius atau tadi sedang mengurus umat lain saja.

Astaghfirullah.. Bicara omong kosong apa aku ini?

"Ra.."

"Hm?"

"Aku punya ide.."

Aku berbalik lagi menghadap Aini di kursinya. "Ide? Ide apa?"

"Ayo kita santet dia!"

"Haa?!" Gurauan Aini sukses membuatku tertawa. Refleks kututup mulutku sendiri mengingat kami tidak boleh ramai di perpustakaan.

"Aku tidak rela idolaku di miliki wanita manapun.. bagaimana ini?" Perempuan itu mengusap dahinya ala-ala frustasi. Oh drama Aini patut di acungi jempol memang.

"Tidak boleh seperti itu Aini.." Aku mengusap wajah. "Patah hati hanya dirasakan bagi mereka yang memiliki kesempatan. Sedangkan orang seperti kita ini? Di lirik saja sudah menjadi keajaiban dunia. Ayo bangun Ai, hari sudah siang!"

Aini tertawa sambil mengangguk.

"Tidak bisakah kamu mencari ide yang lebih keren, Ai?"

Aini mendongak antusias dari kursinya. "ide keren bagaimana?"

Ujung bibir terangkat tipis. Aku melangkah menuju rak. "Disaat kamu mencari ratusan cara untuk menarik perhatiannya, di waktu dan di tempat lain, ada seseorang yang sedang sibuk mendoakannya."

"Dan kamu pasti sudah tahu siapa yang sejatinya menjadi pemenang." Wajah Aini tak lagi terlihat kala aku sempurna berbelok ke lorong rak.

Usai memastikan tak lagi terlihat dari mata Aini, kakiku terhenti. Punggungku Bersandar pada rak buku yang menjulang. Aku berani berkata seperti itu karena aku tahu siapa seseorang yang sudah start lebih dulu. Mendahului siapapun.

Ning Nida.

Sosok wanita anggun itu terlintas dalam benakku.

Aku yakin dialah yang terbaik dan tidak ada yang bisa melampauinya.

TO BE CONTINUED

***

Btw, si jilbab merah di awal, itu akan menghubungkan pada...
Ehem..


Apa yang akan terjadi selanjutnya? Kita tunggu sama-sama :)


Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 106K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
2.4M 30.6K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
506K 39.3K 17
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
1.4M 113K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...