NAYANIKA ZARA✅

By Annadzofah

21.3K 2.8K 403

[END- TELAH DI SERIESKAN] "Mata yang indah. Mata yang melihat semua ciptaan Allah adalah sebuah keindahan." B... More

SALAM PENULIS
PROLOG
(1) Namaku Zara
(2) Akhir kelas 3
(3) Hilang
(4) Keputusan
(5) Acara Pesantren
(6) Question and Answer
(7) Siapa aku?
(8) Menikmati Hidup
(9) Permintaan Kiai
(10) Detak Pertama
(11) Bibit Awal
(12) Serpihan Zara
(13) Rasa Yang Sulit Dicegah
(14) Teman Lama
(15) Tenang Seperti Senja
(17) Pemeran Utama
(18) Di Mulai
(19) Dilema
SPOILER SERI
SPECIAL CHAPTER

(16) Dia Zara

409 108 21
By Annadzofah


Ali Rasyiq

Saat kecil hingga sekarang, ketika ada seseorang yang bertanya siapa namaku, maka akan kujawab dengan nama lengkap. Membiarkan siapapun memilih dari tiga kata itu untuk dijadikan nama panggilan untukku.

Kudengar nama adalah doa. Karena itulah kuputuskan untuk tidak memilih. Abhati; abah berkata jika ini adalah nama dari bahasa sansekerta yang berarti cahaya. Ali Rasyiq; diambil dari nama kakek buyutku.

Keduanya memiliki makna yang berat untuk dipikul. Apa sejatinya cahaya itu? Apa kelak aku mampu menjadi cahaya? Apalagi menyandang nama kakek, yang kutahu seujung kuku pun tidak mampu seperti dirinya.

Hanya satu dua yang memanggilku Abhati karena kata itu sedikit sulit diucapkan. Abah yai Amar memanggilku Rasyiq dan mayoritas santri mengikuti memanggilku demikian. Sedangkan sejak kecil hanya Abah dan ibu memanggilku Ali.

Jika benar nama adalah doa, aku sangat berharap dapat mengindahkannya, Lahir batin.

Mulai menapaki dunia Pesantren sejak lulus SD. Tepat saat masuk Tsanawiyah.

Menginjakkan masa remajaku di Pesantren adalah keinginan yang kupinta pada Abah sejak lama. Karena nilai-nilai Pesantren yang Abah tuangkan kepadaku sejak kecil, membuatku semakin bersemangat ingin mengikuti jejak beliau.

Aku tumbuh dari keluarga sederhana. Anak tunggal. Lahir dan tinggal di kota Semarang. Abah memang tidak memiliki Pondok Pesantren, namun banyak yang memanggilnya Pak Yai karena beliau sering memimpin Majelis Mengaji di daerah kami.

Aku memilih Pesantren yang berada di daerah dingin, tepatnya di wilayah pegunungan, Wonosobo. Suasana sekaligus ke-ramah tamahan masyarakatnya yang konon akan membuat siapapun jatuh cinta pada pandangan pertama.

Bukan hanya karena itu, sebab rasa menggebuku ingin meneladani Abah juga menjadi alasan mengapa aku nyantri di Pesantren yang kini diasuh oleh Kiai Amar. Pesantren besar yang dulu menjadi tempat Abahku menimba ilmu.

Semua hasrat muncul secara rohani, mungkin dari menyaksikan dan mengalami dengan segenap jiwa raga seutuhnya, bahwa diri hanya 'alat' atau 'cermin' dari kedermawanan Ilahi. Walau hakikatnya Allah maha suci dari membutuhkan alat titik tentu ini sangat hanya bisa dicapai ketika orang bersedekah dengan cara menyertakan ingatan dan kesadaran tentang Tuhan dalam segala peristiwa yang berlangsung di dunia, termasuk gerak gerik lahir batin.

Mungkin sedekah dan zakat pada dasarnya adalah tindakan kedermawanan yang mengandung unsur berbakti atau berkhidmat untuk menolong orang lain. Orang-orang yang berkhidmat dan membaktikan hidupnya demi orang lain adalah orang-orang yang belajar dan berjuang untuk meyakini sepenuh hati sampai bisa merealisasikan Tajalli sifat-sifatnya, baik itu sifat 'Jalal' maupun terutama sifat 'Jamal' nya.

Lalu mengapa berkhidmah di Pesantren? Dan apa hubungannya?

Lagi lagi kutemukan jawaban dari Abah, jika sejatinya itu berasal dari sifat Menghamba- nya setiap insan. Selaku Ulama dan Kiai adalah pemegang estafet agama yang paling matang, mengabdikan diri padanya bukanlah sesuatu yang tabu dan menyimpang. Sejak dulu, bahkan Sahabat-sahabat Nabi melakukan pengabdian yang sama pada Rasulullah. Bahkan sampai pertumpahan darah dan penghargaan harga diri untuk sebuah tahta 'Pengabdi Setia' Nabi akhir Zaman. Bahkan kemuliaan itu terus berlanjut hingga detik ini. Terus di tiru dimanapun. Itulah mengapa budaya spiritual Pesantren berkembang pesat dari tahun ke tahun. Seperti halnya islam Rahmatal Lil 'alamin yang telah diajarkan Nabi yang memenuhi seluruh pelosok Bumi.

Setelah nyantri nyambi sekolah hingga lulus MA, aku masih mengabdi di ndalem. Waktu berjalan dengan semestinya. Rutinitasku sebagai santri membuatku mengenal teman asal kota seberang- Lampung blesteran Jawa. Namanya Wisnu. Kami sering mendapat tugas bersama karena dia juga seorang 'Abdi ndalem' disini.

Beberapa hari lalu, aku dipilih menjadi Lurah baru. Awalnya aku menolak mentah-mentah, Merasa masih dini untuk menjabat Lurah utama Pesantren ini. Masih banyak Santri putra lain yang lebih mumpuni dan Alim dariku.

Setelah kudengar jika itu adalah pilihan dari Abah yai, seketika aku diam seribu bahasa. Tidak kuasa menolak dawuh beliau. Itu perintah mutlak dan aku harus mampu melaksanakannya.

Saat seminar beberapa malam lalu, Wisnu meminta izin untuk memberi kuis QnA tentangku. Tidak, lebih tepatnya tentang Kakek Buyutku. Tentu saja aku menolak tegas. Untuk apa? Hal semacam itu bukan hal penting yang harus diketahui banyak orang.

Wisnu malah menggunakan kesempatan itu untuk menjahili sekaligus menguji sejauh mana para santri mengenalku yang katanya 'idola' mereka, terutama Santri Putri. Aku hanya menepuk dahi malas. Semua orang hanya berlebihan menilaiku. Juga Wisnu, dia sama sekali tidak mendengarkan larangan yang berkali-kali sudah kutegaskan. Toh hasilnya akan sia-sia. Tidak akan ada yang tahu. Aku tak pernah menceritakan tentang Kakek pada siapapun. Wisnu mengetahuinya saja karena cerita yang dia dapatkan dari Abah Amar, selaku Kiai yang mengenal seluk beluk Abahku.

Tapi ternyata dugaanku salah. Ada satu Santri Putri yang mengetahuinya. Bahkan jawabannya sangat akurat.

Aku terkejut dan otakku refleks bertanya-tanya, namun akhirnya tidak ditemukan jawaban. Aku tidak mengenal Santri Putri yang menjawab kuis itu. Wisnu malah menduga jawaban itu dari Nida karena pertemanan baik kami.

Aku menggeleng.

Nida sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak akan mungkin menceritakan tentangku padanya sejauh itu. Kami berteman saja karena Abah sering sowan ke Pesantrennya, menemui Abah Mansur, Kiai besar di Magelang. Salah satu Kiai yang Abahku hormati. Dengan ke tawadhu' an abah, aku sangat yakin jika beliau juga tak mungkin menceritakan silsilah keluarganya sendiri.

Entahlah. Siapapun dia yang mengetahui tentang kakek buyutku, aku tidak tertarik memikirkannya. Itu bukan hal penting dan aku tidak peduli.

Dan sungguh, semua itu bukanlah intinya.

Semua itu bukan hal penting.

Dulu, Abahku nyantri sekaligus mengabdi di ndalem Kiai Muntaha Wonosobo, beliau pendiri Pesantren yang kini kujejaki, juga guru sanad Ilmu dan Al-Qur'an Kiai Amar. Sudah lama aku mendengar kisah demi kisah perjuangan beliau di kota dingin ini. Sangat menarik. Dari cerita beliau itulah yang membuatku bersemangat nyantri hingga sekarang.

Lalu suatu hari, Abah bercerita lagi tentang sesuatu yang tak kalah membuatku tertarik. Tentang seorang teman seperjuangannya yang begitu terkenang dalam benak Abah hingga kapanpun. Sahabat abdi ndalem-nya dulu. Teman karib Abah yang beberapa tahun lalu bertemu dengan kami di Masjid Agung Jawa Tengah.

Beliau itulah Bapak dari Nayanika Zara.

Gadis yang mampu menyihir siapapun dengan mata indahnya.


***

Kebenaran yang sesungguhnya adalah, pertemuan beberapa tahun lalu itu adalah pertemuan keluarga kami yang kedua.

Pertemuan itu saat usia Zara 10 tahun- pertemuan keluarga yang memang disengaja. Berbeda dengan pertemuan pertama keluarga kami yang sebuah kebetulan. Mungkin gadis itu tidak akan mengingat karena saat itu dia berumur 4 tahun. Dia lebih muda 5 tahun dariku. Dan pertemuan itu terjadi di tempat yang sama.

Gadis itu memanggil beliau dengan sebutan bapak.

Pertemuan pertama keluarga kami..

Selagi kedua keluarga sedang bercakap melepas rindu lama. Aku dan gadis usia 4 tahun itu dibiarkan bermain. Kami berlari-larian di sekitar masjid.

"Siapa namamu?" Gadis itu bertanya. Kami sedang beristirahat melepas penat dengan bersandar di tiang-tiang tinggi setelah berlarian.

"Tidak perlu tahu namaku." Jawabku saat itu. Namaku terlalu panjang untuk dia ingat.

"Namaku Zahra. Baguskan? Namamu pasti jelek!"

Aku melotot. Aku yang saat itu berusia 9 tahun, terbilang masih bocah, tentu tidak terima dikatakan begitu oleh anak kecil sepertinya. Siapa dia? menyebut nama dirinya sendiri tanpa kuminta. Juga berani mengatakan namaku jelek. Dia mengajak perang?

"Namaku Abhati Ali Rasyiq. Lebih bagus dari nama Zahra mu itu!"

"Oh ati.." Dia menyebut asal-asalan.

"Abhati!"

"Oh ati.."

"Tolonglah belajar! Biar bisa baca yang bener." Ucapku dengan nada meninggi. Ya, dia memang belum sekolah.

Aku tidak percaya adu mulut dengannya. Aku tidak suka gadis kecil ini. Dia memang pandai bermain tapi sangat tidak bisa diam. Cuaca saat itu sedang panas. Baik suhu dan emosi bocilku sama-sama membuatku gerah.

Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan. Aku menoleh ke gadis kecil itu. Suara tangis itu berasal darinya. Tanpa aba-aba dia sudah berlari ke arah orang tuanya yang sedang bercakap cakap dengan Abah ibuku di teras masjid.

"Jangan nakal, Ali!"

Suara Abahku meninggi, Memarahiku yang sedang berjalan kearahnya dengan raut wajah takut. Aku sudah membuat gadis itu menangis.

Tanpa arahan, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.

Kepalaku hanya menunduk dan berangsur mendekat ke bapaknya. Meraih tangan beliau untuk kucium sambil meminta maaf sedalam dalamnya dan berkali-kali- Itulah ajaran Abah padaku jika melakukan suatu kesalahan.

Sepersekian detik mengucap maaf, tangisan gadis itu hilang. Berganti tawa mengejek dengan raut wajah menyebalkan namun masih terlihat imut. "Rasain! Wekkk!" Ejeknya sambil menjulurkan lidah.

Aku tertegun. Tak menyangka jika dia pandai berakting!!

"Anak bujangmu cerdas. Sudah pintar adab meminta maaf. Dia mirip Abahnya!"

Bapak gadis itu memujiku sambil menepuk nepuk bahuku yang masih berjarak dekat dengannya. Mengabaikan ejekan anaknya yang menyebalkan. Beliau tersenyum bangga padaku.

Refleks aku menoleh ke arah Abah dan ibuku yang sedang tertawa kecil sambil memberikan jempol tangan- Tanda bahwa aku telah melakukan hal keren dan mendapat nilai A+.

Entah dorongan dari mana, aku ikut tersenyum. Emosiku mereda dengan ajaib. Diusiaku saat itu memang amat senang kala dipuji, apalagi dipuji mirip dengan Abah, Itu tandanya aku anak yang hebat seperti Abahku.

Aku berganti melirik gadis mungil itu yang kini hanya diam dengan tatapan mata yang seakan ingin membunuhku. Tatapan kekalahan. Dia tidak terima aku malah dipuji bapaknya.

Kami berpisah setelah pertemuan itu. Aku tidak pernah menduga jika tragedi kecil itu akan mengakibatkan suatu masalah.

Gadis yang menyebut dirinya dengan nama Zahra, ingin mengubah nama menjadi Zara. Dia meminta. Tidak, kudengar ia bahkan memaksa bapak dan ibunya hingga bersujud berhari-hari. Memohon hingga jatuh sakit karena dia kelelahan meminta.

Alasannya begitu konyol. Karena Zahra sangat tidak menyukaiku. Begitu membenciku karena kejadian itu. Dia beralasan mengganti nama agar kelak tidak akan pernah bertemu denganku lagi. Ada-ada saja bukan? Sama sekali tidak ada hubungannya. Itu adalah alasan gadis kecil usia 4 tahun yang sangat aneh dan tidak masuk akal. Toh, meskipun dia mengubah nama ratusan kali pun, dia masih bisa bertemu denganku jika aku masih berada di dunia ini.

Alasan yang didasari kebencian. Itulah sebab bapaknya tidak menuruti keinginan konyolnya itu.

Tetapi, karena permintaan itu sampai menyakiti dirinya, dengan perasaan khawatir sebagai orang tua, maka diubahlah nama itu. Bahkan diubah secara resmi di akta kelahirannya.

Bapaknya sendiri yang menceritakan semua itu padaku ketika pertemuan kedua kami yang sepertinya gadis itu ingat. Saat itu Zara 10 tahun dan aku kelas Aliyah awal. Kulihat dia masih sama, Masih suka bermain-main. Hanya saja badannya bertambah tinggi. Mata serta wajahnya semakin terlihat cantik.

"Apakah Zahra, eh Zara, saat ini mengingat masa lalu nya pak? Apa dia mengingatku? Mengingat kebenciannya?" Tanyaku setelah cerita menarik itu berakhir.

"Tidak, le. Tidak sama sekali. Dia sudah lupa. Dia pernah menanyakan sebab apa ia ingin mengubah namanya sendiri, tapi kujawab menjadi cerita sebaliknya. Jadi dia pikir, dia menyukai orang yang memberinya nama Zara."

"Dia pernah bertanya siapa orang itu pak?"

"Pernah, tapi tidak pernah terjawab. Toh buat apa, le? Jika dijawab maka akan sebagai memperpanjang kebohongan itu."

Aku tertawa. Jadi dia mengira jika pertemuan kedua kami adah pertemuan pertama. Benar dugaanku jika ia tidak mengingat. Aku Tidak menyangka orang tuanya akan mengarang cerita demi menghilangkan kenangan kebencian dari ingatannya. Aku mengangguk bisa memahami. Bapaknya melakukan itu demi kebaikan gadis itu sendiri.

Sejak itu aku tahu, selain Abahku, beliau yang bernama Abdurrahim, adalah seseorang yang sangat kuhormati karena begitu mengagumkan. Setiap Tutur katanya sangat menghangatkan hati. Aku seperti melihat sosok Abahku dalam diri Pak Abdur.

Dan beberapa tahun setelahnya, saat Zara akan menduduki sekolah putih abu-abu, yang konon masa-masa indah dan menyenangkan, dia malah di hadapkan dengan sebuah kenyataan pahit.

Bapaknya tiada. Meninggalkan dunia. Pergi meninggalkannya selamanya.

Saat itu aku sudah lulus MA dan sudah menjadi pengajar di Pesantren menggantikan Abah Amar yang sedang sakit. Lalu ada panggilan telepon dari Abah jika Pak Abdur, bapaknya Zara, yang seorang teman baik Abah, telah berpulang menghadap sang Kholiq. Beliau telah tiada.

Aku tidak tahu jika musibah itu mampu membuatku sangat risau. Otakku seakan berhenti bekerja. Aku bahkan langsung membubarkan pembelajaran santri yang sedang kuajar. Dengan langkah cepat langsung kutemui Abah Amar dan meminta izin. Setelah dibolehkan, Segera kuhidupkan sepeda motor lantas menuju rumah kediaman almarhum yang berjarak sekitar 15 menit dari Pesantren.

Saat sampai, aku terkejut jika rumah duka sangat ramai. Aku tidak pernah tahu jika sosok sederhana seperti beliau sangat disegani orang-orang hingga rumah begitu sesak. Hilir berganti yang membaca tahlil untuk beliau. Kulihat dimana mana terdapat mobil dan sepeda motor yang semakin ramai, sepertinya dari luar kota pun ikut berdatangan.

Aku langsung mencari keberadaan Abahku dan menemukan beliau sedang duduk didepan jenazah. Abah sedang membacakan surah Yasin beserta Tahlil untuk teman baiknya yang sudah tiada. Terbaring kaku didepan matanya.

Mataku tiba-tiba memberat. Tubuhku terasa kehilangan daya bersamaan dengan kepala yang mulai terasa sakit. Selain melihat kesedihan Abah, mataku juga disuguhkan keadaan keluarga itu. Keluarga yang jauh lebih berat menanggung semua ini.

Ibu dari 3 anak itu menangis hebat, sesekali tidak sadarkan diri karena shock berat. Di tangan beliau tergenggam erat tasbih yang pasti digunakan untuk menenangkan diri. Anak pertama keluarga ini yang juga seorang perempuan, sepertinya 2 atau 3 tahun lebih tua dariku, memeluk erat ibunya. Berusaha menguatkan.

Di ruangan itu suara tangis dan lantunan tahlil saling bersahutan. Air mataku ikut jatuh. Seorang laki-laki sepertiku bahkan menangis melihat pemandangan menyedihkan ini

Mataku teralih pada seorang gadis remaja berjilbab hitam yang tak jauh dari kakaknya. Yang saat ini sedang menangis tak kalah hebat sambil memeluk erat adik laki-lakinya. Dia anak kedua keluarga ini.

Zara.

Saat ini dia seperti bunga mawar hitam yang layu. Dedaunannya kering dan mulai berjatuhan terhempas angin. Terbang, hilang dan penuh dengan kegelapan.

Nafasku tercekat di tenggorokan. Dadaku seperti dihantam dengan ombak besar. Jemariku mengerat.

Gadis itu.

Dia bahkan tak mampu menguatkan dirinya sendiri!

Aku tidak tahu dorongan apa yang membuatku nyaris bangkit berdiri. Aku sangat ingin memeluk keluarga itu, Ikut menguatkan. Aku sangat ingin mengatakan sesuatu pada Zara yang saat ini masih terus menangis dan gemetar. Tapi tanganku ditahan oleh Abah yang berada disampingku. Abah menggeleng. Mengisyaratkan padaku untuk tenang dan terus membaca Tahlil. Air mataku semakin menggenang. Saat ini aku bahkan tidak bisa melakukan apapun untuk membantu selain berdoa.

Setelah acara pemakaman selesai, Abah menyuruhku kembali. Beliau meminta kepadaku untuk melaksanakan Salat Ghoib dan Tahlil bersama di Pesantren untuk mendoakan Almarhum. Aku mengangguk. Pasti kulakukan.

Sebelum pergi, kepalaku mendongak. Langit terlihat mendung. Seakan turut berduka atas musibah ini.

Ternyata seperti inilah kehilangan. Meskipun itu bukan diposisiku, tapi aku sangat bisa merasakannya. Sangat pedih. Sangat perih. Benar-benar seperti mimpi buruk. Aku sangat yakin jika Zara tidak menyadariku ada disini. Sedari tadi dia sama sekali tidak melihat ataupun memerhatikan sekelilingnya. Dunianya saat ini pasti hanya tinggal hampa, sesak dan tangis.

Aku menelan ludah susah payah. Sungguh, ini bukanlah pertemuan yang kuinginkan. Aku tidak pernah berharap bertemu dengannya dalam suasana seperti ini.

Sejak itu, aku kembali menjalani rutinitas santri. Mulai menyibukkan diri mengaji dan masih mengabdi di Pesantren meniru jejak jejak spiritual Abah, Menjalani semua dengan sederhana. Bertahun-tahun di Pesantren dengan segala ketaatanku pada Kiai.

Lalu beberapa hari lalu, duniaku seakan berhenti ketika mendengar lagi sebuah nama di Pesantren ini. Nama itu. Nama gadis pemilik mata terindah yang pernah kutemui.

Pertemuan kami yang bertempat di serambi Masjid, lagi dan lagi. Kembali membuatku mengenang masa lalu. Membuat kepalaku berputar-putar mengingat rekaman kenangan yang sebenarnya sudah berangsur hilang. Namun dalam satu waktu, seketika semua itu kembali jelas dan terang ketika aku bertemu lagi dengannya, ketika melihat lagi wajah yang selama ini berusaha kulupakan.

Kulihat, dia bukan lagi gadis kecil menyebalkan. Juga bukan gadis remaja dengan mata sembab seperti terakhir kali aku melihatnya. Dia sudah tumbuh dewasa dengan baik. Kini dia juga memakai kacamata yang seingatku dulu tidak ia pakai. Selama berdiskusi, kudengar suaranya halus dan tegas. Sikapnya santun dan tenang. Tatapan matanya menunduk. Meskipun begitu, aku masih bisa memerhatikan wajahnya yang semakin mempesona.

Lalu pagi tadi, saat kami akan berangkat ke perlombaan yang dia ikuti, pertama kalinya dalam hidup aku terpaku oleh senyuman seorang gadis. Senyum yang dia tujukan untuk Abah dan Ummik.

Dia, Zara.

Sejak dulu, dia memang sudah memiliki kekuatan semacam magnet kuat yang bisa menarik siapapun. Kekuatan yang bahkan mampu membuatku mulai tertuju padanya.

Gadis itu berhasil mencuri perhatianku dengan segala pesona yang ia punya.

TO BE CONTINUED

***
Huo.. Mulai terbaper-baper kan^^

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 142K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
324K 1.9K 18
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
2.6K 55 1
Area Dewasa! Yang belum cukup umur, bijaklah dalam membaca. 🙏 Niat ingin melanjutkan kuliah di sebuah Universitas ternama, membuat Florine Hillary s...
281K 20.1K 31
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...