NAYANIKA ZARA✅

By Annadzofah

21.6K 2.8K 403

[END- TELAH DI SERIESKAN] "Mata yang indah. Mata yang melihat semua ciptaan Allah adalah sebuah keindahan." B... More

SALAM PENULIS
PROLOG
(1) Namaku Zara
(2) Akhir kelas 3
(3) Hilang
(4) Keputusan
(5) Acara Pesantren
(6) Question and Answer
(7) Siapa aku?
(8) Menikmati Hidup
(9) Permintaan Kiai
(10) Detak Pertama
(11) Bibit Awal
(13) Rasa Yang Sulit Dicegah
(14) Teman Lama
(15) Tenang Seperti Senja
(16) Dia Zara
(17) Pemeran Utama
(18) Di Mulai
(19) Dilema
SPOILER SERI
SPECIAL CHAPTER

(12) Serpihan Zara

415 112 11
By Annadzofah

Sebenarnya, bukan hanya Ning Nida saja.

Aku juga sudah lama mengenal Kang Rasyiq. Tetapi tidak berujung teman baik seperti mereka berdua. Ini hubungan masa lalu yang berbeda alur.

Dulu, ketika bapak masih ada, beliau pernah sesekali menceritakan seorang teman. Lebih tepatnya seorang sahabat. Sahabat dekat bapak semasa nyantri dengan simbah Kiai Muntaha.

"Kami berteman baik sampai saat ini. Dulu, beliau juga salah satu santri abdi ndalem. Sama seperti bapakmu ini."

Aku masih Sekolah Dasar saat itu. Namun telingaku masih kuusahakan mendengar pengenalan itu dengan baik meskipun saat itu aku tidak terlalu peduli.

Bapak bernostalgia, menceritakan banyak hal dan ilmu semasa nyantri. Juga menceritakan ketawadukan temannya itu saat bersama dengan Abah yai maupun dengan teman-temannya. Kerendahan hati beliau bahkan membuat bapak terkagum. Tak hanya karena perilaku atau akhlak mulianya, namun juga sahabat bapak itu ternyata memiliki latar belakang garis keturunan yang sangat langka. Beliau adalah keturunan Muhammed Fatih Asghar Ali, seorang Ulama besar di Turki.

Bapak sebagai teman, sangat menghormati beliau. Hingga akhir hayat bapak.

Di suatu hari yang cerah beberapa tahun lalu, seingatku pada saat peringatan Isra' Mi'raj, bapak memintaku menemaninya mengikuti pengajian di MAJT —Masjid Agung Jawa tengah Semarang. Masjid itu berjarak lumayan jauh dari desaku. Kami harus tiga kali menaiki angkutan Umum.

Disanalah aku bertemu teman yang pernah bapak ceritakan.

Kala itu umurku 10 tahun. Kelas 5 SD. Beruntung saat pertemuan itu aku sudah bisa mengingat dan mengenal seseorang, Terutama teman bapak itu. Kudengar rumah beliau tidak terlalu jauh dari Masjid. Itu artinya kediaman beliau terletak di wilayah ini.

Pertama berjumpa di pelataran— entah janjian atau kebetulan, beliau berdua bertemu dan langsung berbincang-bincang lama. Entah apa yang mereka obrolkan hingga bapak bisa tertawa renyah. Berkali-kali aku memerhatikan bapak yang terlihat antusias bertemu dengan teman lamanya itu. Hingga mungkin melupakanku, anaknya sendiri.

Di usia labilku saat itu, aku tidak tahu sekaligus tidak peduli dengan pembicaraan orang tua yang pasti membosankan. Akhirnya aku berjalan-jalan di sekitar masjid mengisi waktu bosan.

Sebelumnya, aku sempat menyadari jika teman bapak juga membawa seseorang, yang ternyata putra tunggalnya.

Sebenarnya, aku ingin mengajak bermain anak laki-laki teman bapak itu. Kebetulan juga memang sikap tomboy-ku masih melekat erat di usia itu. Aku belum membatasi pergaulan.

Tetapi aku enggan karena dia terlihat sudah dewasa. Mungkin terpaut empat atau lima tahun di atasku. Sepertinya dia kelas akhir SMP atau awal SMA. Perawakannya tinggi dan juga terlihat pendiam dan tenang, tidak sepertiku yang masih banyak tingkah.

Dengan penilaian sesaat itulah, membuatku mengabaikannya. Melihat dari usianya, sepertinya ia sudah tidak tertarik bermain-main dengan gadis SD sepertiku. Dan jujur saja, laki-laki dengan tatapan dingin itu terlihat bukan teman main yang menyenangkan.

Aku jatuh tersungkur ketika berlarian di pelataran Masjid. Tingkahku memang sangat ceroboh. Syukurlah aku tidak terjatuh di depan bapak dan temannya. Pasti akan sangat memalukan.

Aku meringis kesakitan karena lututku terasa sakit setelah terbentur lantai keramik. Untung saja aku memakai celana tebal dan baju panjang, setidaknya bisa mengurangi memar luka sebab benturan. Saat berusaha bangkit, aku menyadari ada seseorang yang berjalan mendekat. Kepalaku mendongak. Sebuah tangan terulur untukku.

Beberapa kali mengerjapkan mata memastikan, Seketika aku tersentak kaget, dia adalah anak laki-laki itu! Putra teman bapak. Laki-laki yang entah siapa namanya menawarkan tangan guna membantuku berdiri.

Refleks aku menolak. Aku bisa berdiri sendiri. Tidak, lebih tepatnya aku tidak suka dia membantuku. Siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Dan aku tidak suka di tolong dengan orang asing. Meskipun hanya sekelebat inginku bermain dengannya, bukan berarti dia bisa menjadi temanku begitu saja.

"Zara, ya.."

Dia bergumam sendiri ketika menyaksikanku sempurna berdiri. Mata tajamnya mengamatiku sekilas lantas melangkah mendekat. Tanpa permisi ia membenarkan jilbabku yang berantakan karena terjatuh tadi. Kepalaku mendongak. Tinggiku hanya sepinggangnya. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu. Dia memiliki garis wajah yang tegas dan tampan. Sekilas sangat mirip dengan Abahnya.

Aku terdiam. Wajahku memanas. Bukan karena tersentuh dengan sikap baiknya, tetapi karena malu telah ditemukan menyedihkan oleh orang tidak tepat seperti ini. Aku merasa semakin Kesal karena diperlakukan seperti anak tak berdaya. Kuputuskan untuk diam, meredam rasa penasaranku mengapa dia bisa mengetahui namaku tadi.

Dia membalas diamku dengan senyum tipis. Lalu telapak tangan kanan nya ia usapkan pada kepalaku pelan dan pergi begitu saja menuju masjid. Meninggalkanku yang berdiri mematung.

Setelah pertemuan itu, membuatku mengetahui sedikit tentangnya. Bapak memanggilnya Ali.

Sebab pertemanan bapak itulah, mengapa aku mengetahui tentang keluarganya. Mengapa aku bisa menjawab pertanyaan absurd kemarin saat Seminar.

Bahkan Aini, yang beberapa hari lalu menginterogasiku karena mengetahui kakek buyut Kang Ali Rasyiq, sangat terkejut dengan masa lalu ini.

Sejak pertemuan pertama itu, aku tak pernah bertemu dengannya maupun Abahnya lagi hingga bapak tiada. Aku juga tidak pernah teringat dengannya. Entah apa dan dimana pria itu sekarang.

Lalu tak kusangka sebuah kebetulan lucu memperlihatkan dirinya lagi padaku. Saat menjadi santri baru di Pesantren ini, aku tidak kalah terkejut dengan sebuah fakta yang tak pernah kuharapkan. Ya, ternyata dia juga nyantri disini bahkan dalam waktu yang sudah sangat lama. Bahkan Laki-laki itu menjadi pengurus, pengajar, Lurah dan sekaligus 'Tangan Kanan' Abah yai Amar.

Pertama kali melihatnya saat menjadi pengisi sambutan kepengurusan, di acara Ta'aruf Santri baru. Tentu saja aku langsung mengenalnya meskipun sudah lama tidak bertemu. Wajahnya tidak berubah, hanya saja kini lebih terlihat tegas dan aura dirinya lebih kuat. Perawakannya lebih tinggi dan suaranya terdengar lebih berat.

Apakah dia memilih Pesantren ini juga karena Abahnya?

Pertanyaan itu hanya berakhir sebagai angin lalu. Takkan mungkin bisa kutanyakan padanya. Jujur saja, aku tidak ingin berinteraksi dengannya meski dalam kepentingan sekalipun. Itulah mengapa aku senang saat Kang Wisnu menjadi pembimbing bahasaku. Bukan dia.

Dan diskusi Duta kemarin adalah pertemuan resmi kami. Aku bisa melihat sikapnya yang dingin bahkan sekalipun dia tidak menyebut namaku, sepertinya benar jika dia tidak mengingatku. Kumaklumi, kami bertemu sudah sangat lama. Saat Usiaku sepuluh tahun.

Semoga saja begitu.

"Jangan-jangan kalian berjodoh, Ra!" Celetuk Aini seusai cerita berakhir. Dia sangat tertarik dengan masa lalu itu. Bahkan menuntut menceritakan lebih.

Aku memutar bola mataku malas. "Mungkin tidak juga.." Atau lebih tepatnya aku tidak tertarik untuk menduga hal sejauh itu.

"Meskipun kedua orang tua kami saling mengenal, tidak bisa di tafsirkan begitu saja jika kami berjodoh. Jadi, kamu tidak perlu mengada-ada, Aini.."

"Tapi Ra, wajah cantikmu dan wajah paripurna Kang Rasyiq itu mengalihkan perhatianku. Jika boleh berpendapat, sebenarnya kalian terlihat cocok jika disandingkan! Siapa tahu Kang Rasyiq tertarik denganmu bukan? Dan juga-.."

"Tidak. Tidak.. Kamu tidak boleh berpendapat."

Aini mendengus. Bahkan dia belum selesai bicara tapi aku malah memotongnya.

"Oh ya, Ai. Aku ingin mengatakan sesuatu. Tolong dengarkan baik-baik.." Aku ingin teman baikku ini memahami satu hal.

"Jangan lagi-lagi mencocokkan atau menawarkanku laki-laki.." Kataku memecah hening. Mataku memandang kedepan. "Aku tidak akan pernah menginginkannya."

"Kenapa?"

"Karena.." Suaraku mulai mengecil. Dengan lirih kulanjutkan "Aku ingin mengikuti jalan Rabiah Al-adawiyyah."

Jleger!

Seakan sambaran petir menggema.

Aini tahu. Jalanku memang takkan mudah.


TO BE CONTINUED

***

Zaraa😭

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 130K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
633K 57.3K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
2.4M 30.4K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
1.3M 84.1K 37
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...