NAYANIKA ZARA✅

By Annadzofah

21.6K 2.8K 403

[END- TELAH DI SERIESKAN] "Mata yang indah. Mata yang melihat semua ciptaan Allah adalah sebuah keindahan." B... More

SALAM PENULIS
PROLOG
(1) Namaku Zara
(2) Akhir kelas 3
(3) Hilang
(4) Keputusan
(5) Acara Pesantren
(6) Question and Answer
(7) Siapa aku?
(8) Menikmati Hidup
(10) Detak Pertama
(11) Bibit Awal
(12) Serpihan Zara
(13) Rasa Yang Sulit Dicegah
(14) Teman Lama
(15) Tenang Seperti Senja
(16) Dia Zara
(17) Pemeran Utama
(18) Di Mulai
(19) Dilema
SPOILER SERI
SPECIAL CHAPTER

(9) Permintaan Kiai

450 122 18
By Annadzofah

"Zara! Zara! Ditimbali Abah Yai Amar, suruh ke ndalem!"

Tubuhku tersentak. Aku sedang menyimak hafalan Al-Qur'an Aini di Aula refleks menoleh kearah sumber suara. Tiba-tiba ada santriputri yang berseru memanggilku sambil lari tergopoh-gopoh.

"Kenapa? Ada apa?" Tanyaku dengan dahi mengerut.

"Tidak tahu, abah mencarimu sejak kundur dari mengajar Ngaji tadi pagi."

Mataku terbelalak. Kulihat jam tanganku yang menunjukan pukul 9. Sudah menjelang siang, sangat lama sejak Abah mencariku.

"Kamu dari mana saja sih? Dari tadi kucari di kamarmu tidak ada?" Tanyanya dengan wajah menahan kesal.

"Maafkan aku.." Ucapku dengan rasa bersalah. Aku langsung berdiri. "Ai, aku ke ndalem dulu ya, maaf membuat simakan hafalanmu terpotong."

"Tidak apa, Ra, segeralah kesana."

Aku mengangguk.

"Siapkan dirimu, ra! Jangan-jangan Abah mau memarahimu!" Aini berseru ketika aku mulai melangkah meninggalkannya. Aku hanya melambaikan tangan. Dia hanya menggodaku.

Tunggu.

Bagaimana jika itu benar?

Aku berjalan cepat menuju ndalem tak jauh Asrama dengan Pikiran yang melayang-layang, mencoba mengingat apakah aku berbuat salah atau tak sengaja melanggar peraturan hingga Abah mencariku seharian.

Setelah sampai didepan pintu, kuhembuskan nafas yang mulai tidak teratur. Hatiku berdebar karena gugup. Setelah beberapa saat diam, akhirnya kuberanikan diri mengetuk pintu sambil mengucap salam pelan. Tidak lama dari itu terdengar jawaban pelan, lantas mempersilahkanku masuk.

Aku duduk bersimpuh seraya membuka pintu. Berjalan menggunakan lutut kaki dengan kepala yang menunduk dalam.

"Monggo nduk Zara, sini." Suara Abah menyapaku untuk mendekat. Kulihat kali ini Abah tidak ditemani Ummik. Sepertinya Ummik sedang pergi ke pasar mencari bahan makanan untuk santri. Aku tersenyum sungkan pada abah.

"Ngapunten, Abah. Baru tahu kalau Abah madosi kulo.."

"Wes, Gak popo nduk. Yang penting sudah kesini."

"Enten nopo nggih bah?" Tanyaku hati-hati.

"Iki, ada info dari Humas, Pesantren kita diundang ikut lomba." Abah memberiku gulungan kertas putih. Kedua tanganku terulur menerima dan segera membacanya. Kertas ini berisikan syarat dan ketentuan lomba tersebut. Tertulis jelas disana 'LOMBA DUTA ASING TINGKAT PROVINSI.'

Kepalaku mengangguk pelan. "Kulo disuruh mencari santri yang bisa mengikuti ini, bah?"

Aku membaca kriteria peserta yang bertuliskan 'Lulus SMA sederajat. Mahir berbahasa Arab/Inggris dan memiliki cukup kepemahaman dalam bidang bahasa tersebut.' Aku bertanya pada abah maksud beliau meminta kedatanganku kemari.

"Tidak, sampean Sing nderek, ya."

(Tidak, kamu yang ikut, ya)

Deg.

Aku terhenyak kaget. Kuberanikan mengangkat sedikit kepala guna menatap wajah Abah. Memastikan jika beliau sedang bergurau dengan kalimat yang barusan kudengar.

Aku menunduk lagi ketika wajah bercahaya Abah tidak menyiratkan guratan ketidakseriusan. Apakah beliau bersungguh-sungguh memilihku? Aku?

Aku tidak tahu sebab apa Abah Amar memilihku, tetapi jika boleh mengakui, aku memang menyukai bahasa asing dan memiliki sedikit kemampuan. Hanya saja dua tahun terakhir ini, aku semakin jarang mengasah kembali bakatku. Selama disini, keseharianku lebih fokus pada Al-Qur'an dan hanya beberapa kali mengisi waktu belajar bersama Aini di perpustakaan ketika bosan. Berbeda ketika semasa sekolah dulu yang lebih banyak memiliki waktu luang.

Lomba ini adalah Perlombaan tingkat Provinsi Jawa Tengah, dan dilakukan satu minggu dari sekarang. Aku terpilih? Ya-Allah apakah aku mampu?

"Sampean ikut ya, nduk. Abah tahu tata bahasamu Jayyid Jidan." Abah matur padaku sekali lagi.

Kepalaku masih menunduk. Yang awalnya berniat mengatakan 'Ngapunten Abah, santri lain mawon.' Tapi Karena beliau sudah memutuskan, akhirnya dengan susah payah kukatakan

"Inggih, Abah. Sendiko dawuh. Insyaallah.."

Aku tidak bisa menolak. Perkataan beliau sudah menjadi asupan lahir dan batinku selama nyantri disini. Konon, perkataan seorang Kiai adalah sebuah pemberian. Dan santri harus menerima pemberian itu. Inilah yang sering disebut-sebut sebagai Sami'na Wa Atha'na- Mendengar dan taat.

"Alhamdulillah, nah disitu tertera dua peserta. Abah memilihmu dan Nida, kalian diskusikan sendiri siapa yang mengikuti Arab dan Inggrisnya."

"Ning Nida, bah?"

"Iya, dia sudah sering mengikuti lomba ini."

Aku menunduk paham. Tentu saja Abah berkali-kali mengandalkannya. Setelah beberapa kali melihat Ning itu, aku sama sekali tidak meragukan kemampuannya. Beberapa waktu aku sering melihat Nida Muthola'ah Kitab dan Tadarus Al-Qur'an sendirian di Aula. Sangat terlihat bahwa ia santri yang sangat rajin.

Tetapi, yang membuatku sedikit ragu adalah karena kami tidak terlalu dekat sebagai teman dan Kebetulan tidak satu kamar, dia berbeda umur denganku. Nida salah satu santri lama disini.

Setiap ada kesempatan, sebetulnya aku ingin mengajak perempuan itu berbincang atau berkenalan, tapi berkali-kali gagal karena selalu merasa sungkan melihat dirinya yang seorang Queen. Aku hanya sesekali menyapanya ketika kami kebetulan berpapasan atau mengaji bersama di pengajian Abah Yai. Entah dia mengenalku atau tidak.

Melihat perbandingan Skill yang pastinya berbeda, aku khawatir jika kehadiranku nanti malah menyulitkannya.

Bagaimana bisa Abah juga memilihku?

Astagfirullah..

Aku harus berhusnudzon untuk ini!

Beberapa saat kemudian, kuputuskan pamit undur diri tanpa banyak bertanya. Abah Amar menyemangatiku untuk lomba kali ini dengan suara penuh perhatian. Kubalas beliau dengan senyum ta'dzim, Abah dan Ummik sudah seperti Orang tuaku dan orang tua kami semua Santri. Aku sudah sangat mengagumi beliau sejak pertama menginjakkan kaki di Pesantren ini dua tahun lalu.

Sedikit cerita, Abah Kiai dan Ibu Nyai kami belum dikaruniai Putra-putri kandung. Pesantren ini tidak memiliki Gus ataupun seorang Ning.

Awalnya, aku terkejut saat mendengar cerita dari temanku yang sudah nyantri lama disini. Pantas saja abah sangat loyal dan mempercayakan Pesantren pada santri-santrinya. Konon, beliau meneladani Kiai Muntaha yang merupakan guru Spiritualnya, yakni Sosok Kiai yang tak pernah membeda-bedakan santri.

Cerita yang membuatku lebih kagum, adalah saat dulu abah menolak tawaran Ummik untuk menikah lagi. Abah menolak berpoligami.

Alih-alih seperti drama televisi atau Film- yang begitu banyak perseteruan dan keretakan keluarga karena istri yang belum memberikan keturunan. Tapi yang kulihat pada Abah dan Ummik sangatlah berbeda.

Melihat Unggah-ungguh Kiai dan Bu Nyai kami, terasa bisa melihat semua ajaran Kaidah Akhlak didalam kitab dalam sekali pandang.

Beliau berdua sering terlihat bersama. Tak jarang melihat Abah dan Ummik berjalan-jalan disekitar pondok. Makan di piring yang sama. Berbincang membahas banyak hal diiringi gelak tawa. Abah terlihat masih romantis pada Ummik meskipun sudah di usia senja seperti ini. Suatu pancaran kebahagiaan yang sangat bisa dilihat dan dirasakan bahkan bagi kami santri-santri beliau.

"Gusti Allah sudah memberi kita pengganti ribuan santri, mik. Aku sudah tenang. Insyaallah kelak ketika kita mati, sudah ada yang mau mendoakan."

Mataku berkaca-kaca mendengar cerita itu. Itulah yang dikatakan Abah ketika menolak tawaran Ummik untuk di poligami dulu.

Semua tentang beliau sangatlah kami kagumi sekaligus kami segani. Membuat para santri belajar mensyukuri nikmat dari sisi yang berbeda dari orang lain. Membuatku belajar bahwa kebahagiaan itu sejatinya bisa diciptakan dengan baik dan dengan cara yang baik pula. Tanpa merugikan orang lain.

Hingga sekarang di usia yang sudah terbilang sepuh, Abah dan Ummik selalu memberi kami kehangatan layaknya putra-putri kandung beliau. Karena ketulusan kasih sayang untuk semua santrinya inilah yang membuat kami semakin menghormati Kiai dan Bu Nyai kami. Semakin senang mengikuti ngaji. Semakin ikhlas mengabdikan diri pada Pesantren siang malam. Mencintai Abah dan Ummik lahir batin. Mengharap Ridho dan barokah beliau sebanyak-banyaknya.

Disini.

Di Pesantren dimana sebuah cerita lain, akan segera dimulai..


TO BE CONTINUED

***
Jangan lupa Vote dan komen manteman:)

Continue Reading

You'll Also Like

387K 43.1K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
2.4M 29.5K 28
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
539K 4.3K 24
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
8.8M 108K 44
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...