The WIP

By zzztare

2.5K 590 653

[First draft; completed] [TOP 1 MWM NPC 2021] [R15+] [Other Side Series#1] Leana hanya ingin menemukan Fuma... More

Sebelum Bulan Mei
Prolog
1. Fuma
2. Anyelir
3. Sekretaris
4. Mimpi
5. Ujian
6. Hilang
7. Petunjuk
8. Curiga
9. Obrolan
10. Rencana
11. Kesepakatan
12. Zleth
13. Keberangkatan
14. Perjalanan
15. Hari Pertama
16. Malam
17. Suram
18. Hari Kedua
19. Diri yang Lain
20. Teka-Teki
21. Hutan
22. Rapat
23. Mata-Mata
24. Keributan
25. Dua Jam
26. Kisah Anyelir
27. Komunikasi
28. Emosi
29. Kabut
30. Mewujud
31. Melanjutkan
32. Kembali
Epilog
Kilas#1: Sudut Pandang Anyelir
Kilas#2: Sudut Pandang Gerald
Ekstra: Wisuda
Ekstra II: Episode Selanjutnya
Ini Bukan Update Bab Baru

Ekstra III: Karyawisata

62 12 18
By zzztare

MWM udah kelar masih aja update.
Biarin lah, suka-suka saya.
Rupanya masih ada yang bisa digali dari cerita ini.

Ini ekstra, soalnya toh udah lepas dari genrenya dan sangat out of story

Eh enggak sangat deh

Pokoknya ini lagi jadi pengalihan isu(?) Tare sekaligus memperkenalkan beberapa cameo yang sebenernya ga nongol juga //dilempar

Tujuan lainnya, biar Tare punya alasan buat sentil Gerald. Beneran aku antara emosi dan sayang sama makhluk ajaib itu. Mungkin suatu hari, kalian yang follow Ig Tare akan lihat Tare bejek-bejek dia.

Dah ah, selamat membaca

Kalau ada yang baca

****

Hari kedua.

Setelah mengantar Fuma ke Mang Adi, Gerald langsung mengambil alih acara. Ia tampak keterlaluan riangnya. Kalau berpindah tempat, ia bukan berjalan. Ia melonjak-lonjak atau melakukan Naruto run.

"Hiperaktif," ujar Leana sambil memukul punggung Gerald saat kesempatan itu ada.

"Kamu enggak suka aku seneng?" balas Gerald setelah mengaduh.

Leana hanya nyengir. Anya yang menyahut. "Yang penting kamu normal."

"Nya, sumpah, aku enggak ngerti maksud kamu 'normal' itu apa."

Anya ikut nyengir.

Anak-anak panitia bagian perlengkapan sempat mempertanyakan tali rafia yang menghilang beberapa gulung. Aji dan Rifat menjelaskan bahwa mereka meminjamnya untuk mencari orang-orang ke hutan, karena sudah malam. Tak ada yang percaya ketika keduanya mengatakan bahwa semua orang menghilang selain mereka berdua.

"Gerald aja percaya!" seru Rifat.

Gerald tersedak. "Iya, iya. Pokoknya sekarang udah ngumpul semua ... ya?" Ia tak mau menjelaskan lebih lanjut.

Ia, bersama Leana dan Anya, masih punya misi tersendiri. Sementara yang lain menjalankan rundown, ketiganya izin dengan alasan membicarakan hal penting antara ketua dan sekretaris.

Halah, bisa aja.

Apa yang mereka lakukan?

Mencari bukti keberadaan tiga teman mereka yang lenyap.

Gerald mengecek grup kelas. Tidak ada. Ia mencari ID dan nomor ponsel mereka. Tak terdaftar.

Leana dan Anya memeriksa kamar yang ditempati Nelly. Mengherankan, tak ada jejaknya sama sekali. Koper, tas, atau apa pun tidak ada. Saat keluar, mereka disambut Gerald yang tampak cemas.

"Aku habis dimarahin ibu-ibu."

"Hah?"

"Katanya, dia enggak punya anak."

Leana dan Anya terdiam beberapa saat sebelum paham maksudnya.

"Nya, kita enggak salah masuk dimensi kan?" tanya Gerald memastikan.

Anya menggeleng. "Kalaupun salah, ya jalani saja."

"Nya!"

"Ger, kamu tahu kalau takdir itu sudah tertulis?" sahut Anya. "Apa yang terjadi sekarang memang harus terjadi. Itu qada dan qadar. Rukun iman keenam. Kalau kita ada di sini, berarti kita harus tinggal dengan keadaan sekarang. Apa yang terjadi sebenarnya? Wallahu a'lam. Aku pun enggak paham. Di luar insting manusia."

Gerald mati kutu.

"Gimana Deka dan Piyan? Kamu udah cek soal mereka?" Leana mengalihkan topik.

"Aku sekamar sama mereka. Ya ... enggak ada apa-apa, tanda apa pun. Aku iseng nanya ke yang lain, mereka enggak merasa punya teman satu sekolah dengan nama itu."

Tiga anak itu terdiam, sama-sama bergidik.

"Beberapa hal emang enggak bisa dijelaskan, ya," gumam Gerald. "Biarkan ia jadi misteri alam."

Anya tampak ingin menyahut, tetapi ia menahan dirinya.

"Ya sudah, kasus ditutup," ujar Leana. "Kita balik ke orang-orang. Urusan ketua dan sekretaris sekarang sudah selesai." Ia nyengir sambil mengedipkan mata ke arah Gerald. Maksudnya, aku sudah bukan anak buahmu lagi!

"Enggak, enggak, belum selesai," protes Gerald.

"Wakil sekretaris masuk enggak?" timpal Anya.

"Masuk!" Dua anak itu langsung menyahut.

Anya menghela napas. "Aku merasa enggak ada urusan apa pun di antara kalian. Aku permisi." Ia sungguhan angkat kaki setelah itu.

"Anyaaaa!" Leana mengejarnya sambil berseru-seru. "Kalau enggak ada kamu, kita enggak lengkap, tahu!"

Anya nyengir mendengarnya. Ia menunggui Leana yang mengejar dan menyambar lengannya, setengah menyeret Anya untuk kembali ke keramaian dan mengikuti acara.

Di luar itu semua, Leana agak heran. Anya bisa menghilang tiba-tiba. Apakah anak itu benar-benar menyukai kesendirian? Leana tak ingin mengganggu, tetapi ia merasa kurang kalau tak ada Anya. Anak-anak lain mungkin bisa akrab dengannya seperti biasa, tetapi Leana tak bisa. Sakit hatinya usai, tetapi efeknya masih ada. Ia tak bisa semudah itu berteman dengan orang-orang yang sudah menatapnya dingin penuh penghakiman.

"Hai, Len, cari Anya?" tanya Gerald tiba-tiba.

"Nongol dari mana kamu?"

"Dari pintu." Gerald menunjuk ke arah pintu depan yang ramai.

"Oh, aku lupa kamu punya banyak temen." Leana nyengir, lalu berbalik.

"Eh, ngambek nih?"

"Mana? Aku mau cari Anya!" seru Leana dongkol.

"Heh, jangan monopoli ketua. Ketua harus merakyat!"

Leana mendebas jengkel. Ia berjalan ke arah pintu belakang. Di sebelahnya, Gerald berlompatan tak jelas, tak bisa berjalan normal.

"Nanti kalau aku udah bukan ketua, kamu bebas--"

"Diam!" Leana murka lama-lama. "Jangan ngikutin! Aku enggak minta!"

"Katanya kamu mau cari Anya. Aku juga. Jangan geer," sahut Gerald santai.

Leana tak peduli lagi. Ia meraih kenop pintu belakang dan membukanya. Samar-samar terlihat gadis berkerudung sedang duduk di ayunan taman. Ia tanpa sadar bertatapan dengan Gerald, seolah saling memastikan.

"Bukan, bukan penampakan. Itu Anya lagi liatin hutan," sahut Gerald akhirnya.

"Apa dia ... lagi merasa kehilangan?" gumam Leana.

"Iya, ya ... terakhir ia lihat penjaganya kan di hutan," ujar Gerald. "Penjaga ... yang menjaganya dari bayi. Loh, kok aku yang sedih?"

"Kenapa Anya bisa kuat, ya?" tanya Leana. "Ia punya keyakinan kalau terlibat dengan jin enggak bakal berujung baik, jadi dia berusaha melepasnya. Padahal, kalau aku jadi seperti dia ... dan punya penjaga, aku enggak bakal melepasnya. Apalagi kalau ia sudah menyelamatkan aku."

"Entah, tapi aku percaya kata-katanya. Anya memang berusaha." Gerald mengangkat bahu. "Dan Len, kalau kamu butuh penjaga yang akan menyelamatkan--"

Leana sudah kabur ke arah taman. Namun, ia mengerem mendadak, sampai Gerald tak sengaja menabraknya.

"Ger, itu Anya, kan?" Suaranya terdengar panik.

"Ya iyalah, masa--"

Gerald turut terpana. Keduanya tanpa sadar saling mencengkeram ketika peralihan sosok di ayunan itu menoleh ke arah mereka.

".... Ah, kalian toh."

Itu Anya. Perawakan sampai wajah, itu semua Anya. Hanya, yang membuat dua orang itu sangat kaget adalah benda yang ada di pangkuannya.

Gitar.

"Ka-kamu main gitar?" Leana mengucek matanya.

Anya nyengir sedikit. "Aku pinjam Rio dulu."

"Serius, Nya?" Gerald masih melongo.

"Enggak. Bercanda."

"...."

"Jangan berdiri kayak patung begitu. Duduk aja, banyak bangku," ujar Anya akhirnya.

Gerald duduk di bangku, sementara Leana di ayunan sebelah Anya. Keduanya masih syok.

"Kalian kenal aku dari kelas 7, kan?" tanya Anya memastikan.

Dua anak itu mengangguk.

"Tapi aku enggak kelihatan dekat sama siapa-siapa, kan?"

"Iya ... kamu sendirian terus," sahut Gerald.

"Waktu kelas 7, aku lebih dekat ke kakak kelas." Anya menunduk. Sesekali jarinya memetik senar. "Namanya Kak Aufa. Tapi dia udah kelas 9 waktu itu, jadi jarang yang tahu."

"Kayak pernah dengar," ujar Gerald.

"Kak Aufa yang nilai UN-nya dulu seratus semua?" potong Leana takjub.

Anya mengangguk kecil. "Dia pamong aku pas MPLS. Reaksinya pas pertama kali lihat aku ... sama kayak kalian. Kelihatan kaget tiba-tiba. Dan aku, aku suram banget. Jauh lebih suram daripada kelas 8-9, apalagi setelah aku dekat dengan kalian."

Dua anak itu menyimak.

"Aneh, ya, kok kakak kelas takut ke adik kelas. Kak Aufa sering gagap kalau manggil aku. Tapi lama-lama, kami bisa lebih akrab. Apalagi ...."

Leana tanpa sadar mendekatkan wajahnya. Gelagat Anya ....

"Pas Kak Aufa ... mergokin aku ngintip ruang band. Aku disuruh lihat mereka latihan. Kak Aufa itu drummer. Keren."

Leana dan Gerald sama-sama terpana. Anya menggenjreng gitar. Suaranya jernih.

"Selama kelas 7, itu yang aku lakukan. Aku dekat sama Kak Aufa, karena dia siswa pertama yang bisa ajak aku ngobrol dengan normal. Sama personil band-nya juga. Kak Dean, misalnya. Aku ... aku jadi bisa gitar dikit-dikit."

"Tunggu ... aku ingat sesuatu," ujar Gerald tiba-tiba. "Aku pernah lihat kamu keluar dari area studio. Uh, Anya ... jadi kamu gabung band?"

Wajah Anya bersemu. "Enggak. Apa aku pernah tampil?"

"Tapi kamu ... bisa nyanyi, kan?" Leana memastikan. "Aku yakin, kadang aku denger kamu ... humming."

Wajah Anya makin memerah. Ia berpaling, menekan senar-senar gitar agar berhenti berbunyi. "Cukup."

"Kirain kamu lagi galau sambil lihatin hutan, tahunya ... lagi perform solo," celetuk Gerald. "Gimana, Nya? Ada yang nonton?"

Jelas sekali Anya ingin menimpuk Gerald dengan gitar, meski tak jadi. Kasihan gitarnya.

"Si-siapa tahu, kan, ada yang enggak kelihatan!" seru Gerald meski takut-takut.

"Kamu ngomong kayak gitu lagi, aku nyungsrukin kamu ke gudang," ujar Anya jengkel.

"Bagus, bikin dua anak cewek marah. Ger, hidupmu enggak bakal tenang sekarang." Leana menyeringai.

Mana mereka sangka, Gerald tiba-tiba bersimpuh di hadapan Anya.

"Ampun, Suhu! Aku enggak bisa main gitar, enggak bisa nyanyi! Ajari aku!"

Anya menarik kakinya menjauh. "Ngapain kamu?!"

"Mau minta tanda tangan ...." Gerald nyengir kuda.

"Len, kalau dalam tiga detik dia enggak beranjak, kamu akan jadi saksi pertama kali aku nendang kepala anak laki-laki."

"Ampun!" Gerald sungguhan menjauh, meski tak pergi dari sana. Ia kini bercokol di kursi yang agak jauh.

"Abaikan aja dia, ya?" ujar Leana. "Nya, pas Kak Aufa lulus, kamu main sama siapa? Kamu tetep jarang kelihatan di kelas, kalaupun iya, kamu sendirian."

"Oh, itu." Pandangan Anya meredup sesaat. "Aku enggak bisa dekat sama Kak Dean kalau enggak ada Kak Aufa. Awalnya, aku udah pesimis punya teman lagi. Eh ... aku nemu yang menarik."

"Menarik?"

"Adik kelas." Anya nyengir. "Dia mirip aku. Lebih tepatnya, Gerald."

"Ha ... maksudnya?"

"Aku pernah lewat di depan dia. Eh, dia melototin yang ada di belakangku. Paham maksudnya?"

Leana mengangguk pelan. "Dia bisa melihat ... atau merasakannya."

"Ya. Lucu lihat dia panik pas aku samperin. Teman-temannya juga." Anya tersenyum kecil. "Aku sedikit lebih akrab dengan mereka daripada teman seangkatan. Sampai sekarang juga aku masih bisa kontakan sama mereka. Cuma, anak laki-laki yang aku samper itu ... aku enggak tahu kabarnya sejak menjelang UN. Mia bilang, Omar sudah lama enggak masuk. Dia enggak bilang kabar lain atau kemungkinan anak itu pindah. Haih, pasti dia capek duluan."

"Capek kenapa?"

"Kalau jadi aku, kamu capek enggak?"

Leana hanya menelan ludah.

"Yah, itu urusan mereka, aku enggak ikut campur. Ngurusin kamu aja udah capek banget."

"Maaf ... nanti aku traktir makan-makan deh," ujar Leana yang tak tahu harus membalas apa. Ia kehilangan kata-kata kalau mengungkit peristiwa yang baru saja terjadi. Ia penyebabnya. Anya yang berkorban untuknya. Perasaan bersalahnya menumpuk dan membuatnya terpuruk.

Untung, itu Anya. Anak yang tak pernah menuntut apa-apa. Leana bertekad, ia akan membalasnya dengan menjadi teman terbaik bagi Anya.

"Ger, masih nguping?" seru Leana.

"Aman!" sahut Gerald.

"Udah, ah." Anya bangkit, menenteng gitar. Ia sempat melihat ke arah hutan dan menghela napas.

"Anya, kamu baik-baik aja, kan?" tanya Leana.

Anya mengangguk. "Aku senang, kok. Jangan khawatir. Risiko apa pun, aku akan menanggungnya."

Leana merasa, risiko itu tentu tidak main-main, tetapi ia memilih bungkam. Bisa apa lagi ia? Paham saja tidak.

Itu pertama dan terakhir kalinya Leana melihat Anya memegang gitar, paling tidak saat karyawisata. Ia menduga, Anya pasti malu karena ketahuan.

****

Hari keempat, ada waktu ketika anak-anak janjian untuk turun ke kaki bukit, mengunjungi perkampungan di sana. Alasannya, mereka bosan makan masakan sendiri. Hari itu, restoran khas Sunda di kampung bawah laris manis.

"Anya, plis, aku mati kutu kalau enggak dekat kamu," ujar Leana yang berusaha dekat-dekat Anya.

"Oh, kan enggak ada yang ... mengucilkanmu?" tanya Anya hati-hati.

"Memang, tapi kan rasanya beda. Aku baru mengalaminya. Mereka enggak tahu apa-apa. Uh ...."

"Ya, ya, paham, kok." Anya menurut saja ketika Leana menariknya. "Tapi, Len, ada orang lain yang maunya deket-deket kamu juga."

"Abaikan dia aja bisa, enggak?"

"Heh, jahat!" celetuk Gerald. "Dasar Bu Sekre!"

Leana tak peduli. Namun, akhirnya, di salah satu meja, mereka duduk ... bertiga.

"Hahaha, pasti yang lain heran kenapa akhir-akhir ini aku sama kalian terus," ujar Gerald.

"Ada yang nanya?" tanya Anya.

"Ada, lah. Mereka enggak percaya lagi kalau bilang ini urusan ketua sama sekretaris. Jawab apa, ya?"

"Bilang aja, mau mengganggu orang-orang yang selama ini pendiam di kelas," sahut Leana datar.

"Kamu enggak sependiam Anya, Len."

"Tapi kan enggak seberisik yang lain."

"Mereka lihat aku curiga melulu. Selama ini ... lebih tepatnya, sebelum masalah Leana dulu, aku kan enggak sedekat ini sama kalian, Anya terutama. Uh, kalian juga enggak dekat-dekat amat."

"Peduli amat kata orang," sahut Anya. "Kalau kamu mikirin kecurigaan mereka, sana, enggak usah gabung."

"Anya ...." Gerald memasang tampang memelas.

"Ger, kamu yang pesan ke kasir, ya," potong Leana, melihat Anya seperti mau meledak.

"Bukannya manggil pelayan?"

"Kasihan, sibuk. Biar langsung aja."

"Bukannya mereka malah senang kalau ramai?"

"Iya, iya, enggak usah banyak protes," gerutu Leana. "Anya, kamu pesan apa? Jangan nasi goreng. Dua hari makan nasi goreng, gumoh aku."

Anya tersenyum kecil. "Itu kan ide kalian berdua."

"Ya, iya sih ...."

Menjelang sore, setelah jajan aneka pernak-pernik, rombongan kembali ke vila, menanjak bukit. Beberapa orang kelelahan. Beruntung, bus yang mengangkut guru-guru lewat, sehingga beberapa orang yang tak kuat menanjak bisa menumpang. Yah, tidak seberuntung itu. Sedikit masalah sempat terjadi karena vila utama belum sepenuhnya siap ditempati para guru setelah digunakan anak-anak perempuan. Namun, hal itu cepat terselesaikan.

"Anya, aku mau nanya satu hal," ujar Leana ketika mereka berada di belakang vila utama. Sudah menjelang magrib, suasana remang-remang. Anya baru saja menuntaskan zikir sorenya.

"Apa?"

"Apa gudang ini kosong?" tanya Leana. "Kuncinya enggak ditemukan. Pintunya ... ya kali kita bobol. Aku masih merasa agak aneh. Apa perangkat komputer Fuma masih di sana?"

"Iya, ya. Aneh." Anya menatap jendela luar gudang itu. Ia bersyukur tak ada wajah anak kecil yang mengintip.

"Jadi ... ada isinya?"

"Isi apa maksudmu?"

"Ya, kira-kira, selain yang kita lihat waktu itu ...."

Anya menghela napas. "Aku merasa, Zleth dan Daisy, dua penunggu di kamar Fuma sejak lama, sudah benar-benar pergi. Tapi, bisa jadi ada yang mengisi kekosongan ini, kan. Apalagi ruangannya ... telantar."

"Kamu benci tempat telantar," gumam Leana.

Anya mengangguk. "Nanti saja. Siapa tahu Fuma ke sini sama PJ vila. Yah, siapa tahu ...."

****

Fuma tak ada kabarnya sampai mereka hendak pulang. Meski begitu, Leana merasa cukup lega karena Fuma sudah diketahui rimbanya. Semoga saja anak kecil itu mendapat wali yang tepat.

Di bus, dua anak itu kembali bersisian, dengan Gerald yang berpindah-pindah tempat di sekitar mereka.

"Ger, duduk aja di satu tempat. Pantatmu bisulan, ya?" gerutu Leana.

"Kejauhan dari kalian," sahut Gerald.

"Ngapain sih dekat-dekat?"

"Biar enak ngobrolnya, lah!"

"Coba cari topik obrolan, baru ke sini," sahut Anya. Ia capek mendengar debat kusir di sebelahnya.

"Oh, hmm ... menurut kalian, yang tadi kelihatan di hutan ... itu sungguhan Zleth?"

Dua anak itu langsung terdiam.

"Eh, maaf kalau pertanyaannya menyinggung ...."

"Kalau ya, kenapa?" Anya menatap ke luar jendela. Kali ini, ia duduk di sisi dekat dinding bus, bisa memandang jendela tanpa terhalang.

"Kok bisa?" sahut Gerald.

"Entah. Dia mau ngucapin perpisahan, kali." Leana mengangkat bahu.

Anya diam saja. Ia masih menerawang jendela.

"Oh, baguslah kalau dia enggak muncul lagi." Gerald menghela napas. "Len, gambar dia di buku gambarmu, gimana?"

"Mau aku buang nanti," jawab Leana. "Aneh banget, kok bukunya bisa kebawa."

"Bukunya dibuang? Sayang banget!"

"Gambarnya doang, Geger ...!"

"Sejak kapan kamu panggil aku Geger?" Gerald tampak tak terima.

"Refleks, Ger. Sori, jangan marah." Leana nyengir kuda. Ia menoleh ke arah Anya, mendapati temannya itu masih bengong menatap jendela.

".... Nya?"

"Ramai ...."

Leana melonjak. Anya seperti bicara di luar kesadarannya.

"Rumahku ... ramai ...."

Gerald ikut menegang. Ia berpandangan dengan Leana.

"Aku bisa ... mati ...."

"Anya!"

"Oh, eh?" Anya tergagap. "Ya?"

"Sadar!" Leana mengguncangnya. "Kamu sudah melakukan hal heroik. Selamat! Besok-besok sebelum wisuda, kita janjian makan-makan enak!"

Anya tersenyum kecil. "Enggak usah janji. Aku enggak tahu kapan aku ke pesantren."

"Dih, masa enggak wisuda?"

Anya hanya tersenyum tipis. Ia malah mengalihkan topik. "Len, Ger, kalian tetap hati-hati, ya."

"Ya ...?" Dua anak itu menyahut heran.

"Cuma kita bertiga yang ingat kejadian itu." Anya menghela napas. "Len, kamu harus sangat hati-hati. Ragamu pernah kerasukan, bahkan sampai terpisah ... dari rohmu."

Leana menelan ludah.

"Aku mungkin sok tahu. Tapi, mungkin, ada ruang 'kosong' yang bikin kamu bisa ... astral project, juga bisa dirasuki. Kamu harus mengisi kekosongan itu."

"Gimana caranya?" Leana menyahut gugup.

"Hm ... aku cuma punya saran, ibadah yang rajin."

"Siap, ustazah!"

Anya mendelik ke arah Leana sebelum melanjutkan. "Ger, aku enggak merasa kamu bermasalah, sih. Cuma, kamu bisa sedikit lebih peka soal hal-hal begitu."

"Ya ... apa bisa menguat? Atau semakin tua semakin hilang? Semoga yang kedua," sahut Gerald.

"Enggak tahu. Kalau waktu kecil kamu bisa lihat, kayaknya yang kedua. Tapi, kalau enggak ...."

"Jangan lanjutin," sahut Gerald dengan wajah pucat.

Anya tersenyum kecil. "Yah, terserah sih kalian bakal ingat aku atau enggak."

"Kok ngomong gitu lagi?" Leana mengguncang Anya. "Udah kubilang, kamu ... teman terbaikku!"

"Makasih. Kamu tahu kan kalau aku sangat tersanjung." Anya nyengir tambah lebar. "Aku enggak suka ngomong ini."

"Apa?" Dua anak di hadapannya menyahut.

"Yah ... Len, kamu tetap harus berusaha sendiri, ya. Jangan sampai merepotkan orang. Kamu enggak peka keberadaan makhluk halus, kamu bisa tiba-tiba ...."

"Ya," potong Leana. "Kok kamu ngomong serem melulu, sih?"

"Aku cuma ... enggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Uh, makasih banget lo!" Leana kini merangkul Anya erat-erat. "Aku enggak pernah dikhawatirin kayak kamu begini, Nya!"

Gerald berdeham keras-keras, Leana tak peduli.

"Yah, semoga kamu enggak harus terus sama Gerry." Anya melirik ke arah Gerald. "Kalian bisa ribut enggak berkesudahan."

"Apa maksudnya?" Gerald langsung berseru.

"Sementara, aku ... lebih percaya sama Gerry, kalau kamu enggak bisa sama aku terus," ujar Anya pada Leana. "Soalnya, cuma kalian yang aku yakini masih orang yang sama kayak waktu itu. Yang mengalami semua kejadian memusingkan itu. Dan ... aku males bilang ini."

"Apa sih? Antiklimaks," gerutu Leana.

"Kamu kalau pergi-pergi, harus ada yang jaga, Len."

Leana, juga Gerald, melonjak.

"Tapi kalau bisa, cari orang lain selain Gerry," ujar Anya sebelum Gerald buka mulut.

"Oi, kenapa?" keluh Gerald.

"Bukan mahram," jawab Anya enteng.

Leana tertawa kecil, Gerald garuk-garuk kepala.

"Huh, Anya secara enggak langsung bilang, sebelum kamu nemu orang lain ... dia percayakan kamu ke aku." Gerald bersedekap sambil nyengir.

Leana menatapnya datar. "Ya, oke, makasih, bodyguard."

"Asik!" Gerald tiba-tiba melonjak.

Leana melirik Anya. "Nya, tanggung jawab. Dia jadi gila."

"Dia udah gila dari sananya."

"Kenapa dia ngomong gitu melulu, sih?"

"Gitu?" Anya tak paham.

"Kamu pasti ingat, dia sering bilang ... bakal menjagaku?"

Anya tersenyum kecil. "Dia tanggung jawab, sebagai orang yang paham."

"Aku ... lebih suka sama kamu," gumam Leana.

"Yuk, ikut ke pesantren."

Ekspresi Leana berubah. Ia berdeham gugup.

"Sebenernya, aku mau ngajak kamu, Len. Tapi aku enggak punya hak buat menentukan sekolah kamu nantinya, kan?" Anya menghela napas. "Pekan depan udah wisuda. Huh ... cepet banget. Len, makasih udah bikin akhir SMP-ku lebih ... menegangkan."

"Kok kamu nyindir?" keluh Leana.

Anya nyengir, lalu berpaling menatap jendela. "Len, kamu tahu?"

"Enggak?"

"Ya, kayaknya kamu emang enggak punya kepekaan sama sekali."

"Nya!"

Anya berdeham. "Aku harap, aku ... kalian ... bisa berteman selamanya."

"Aku juga," sahut Leana. Suaranya tercekat.

"Tapi aku bakal pergi dan enggak bisa membersamai kalian." Anya menghela napas. "Selama itu, kalian berdua ... jangan sampai hilang kontak, ya?"

"Iya, aku kan bodyguard Lelen!" Gerald tiba-tiba muncul.

"Nah," sahut Leana jengkel.

"Ya, ya." Anya tampak bosan mendengarnya. "Len, suruh dia berhenti dari ngomong begitu."

"Enggak bisa berhenti!" keluh Leana.

"Bahkan sampai aku mengumumkan ke satu dunia, kamu enggak bakal nyoba buat nyuruh aku berhenti?" sahut Gerald.

"Kamu kenapa, sih?" Anya akhirnya bertanya, melihat Leana yang tampak benar-benar dongkol.

"Aku juga enggak tahu kenapa. Efek girang kali, ya."

"Oh." Anya mengempaskan diri ke sandaran. "Len, peka dikit."

"Hah?"

"Kamu ingat pas pertama kali kita mulai akrab?" tanya Leana. "Waktu itu, Gerry juga mulai lebih peduli ke kamu. Ya, nyatanya, kami berdua sama-sama merasa kalau kamu harus dijaga."

"Tapi kamu enggak gembor-gemborin kayak dia," sahut Leana. "Yah, kamu ngomong begitu sih, ke aku. Aku ingat."

"Tahu kenapa aku enggak segirang dia?"

"Ya ... enggak?"

"Soalnya aku perempuan," sahut Anya.

Leana tiba-tiba merasa tegang. Peka atau tidak, ia telanjur berprasangka.

"Dan Gerry, dia laki-laki."

****
****
****
****
****

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Yah cuma bab ekstra pas mwm udah kelar

Didedikasikan untuk pikiran yang makin liar tak terkendali

Akhirnya keluar satu lewat tulisan ini haha.

Kadang mikirin apa cerita ini bisa beneran jadi sekuel atau ga. Nanti siapa tokoh utamanya. Bakal ngapain aja. Yang kebayang scene ala-ala horor indo.

Yang sabar ya Len, hidupmu ga bakal pernah tenang.

Oh ya Dean itu laki-laki ya, kali ada yang salah sangka wkwk awalnya mau bikin dia seangkatan sama mereka, tapi ga jadi deh, dia ga perlu menderita pas jalan-jalan.

Btw entah kenapa, aku suka interaksi Anya dan Leana. Mereka bisa saling melengkapi, bisa mewakili satu sama lain, kalau yang satu terlalu kesal buat ngejawab yang satu bisa ambil alih (apa sih) meski dengan caranya masing-masing. Anya lebih "menusuk", Leana lebih "meledek" hahaha.

Aku juga suka sinergi Anya dan Gerald. Bisa kompak padahal sifat beda jauh. Apalagi dalam hal menyudutkan orang (uh ... ingat Piyan). Sepemikiran, meski ya itu, punya cara masing-masing. Gerald santai, Anya serius (meski kadang pengin bercanda, sayangnya orang telanjur ngecap dia serius jadi garing ....)

Satu lagi, yang ditunggu-tunggu ((bukan)), gimana interaksi Leana dan Gerald. Heh, sesungguhnya, saya capek sama mereka 😂 seperti yang kalian tahu, mereka sering ribut (dan Anya ada di antara mereka). Aku enggak bisa bilang mereka sepemikiran, tapi mereka saling melengkapi, cieh. Kalau dengan Anya, Gerald sepemikiran tapi beda cara eksekusi. Kalau dengan Leana, beda pemikiran, sama cara eksekusi. Ribut. Menggebu-gebu. Saling bantah. Tapi sama-sama mau diajak kerja sama buat menemukan solusi.

Tiga-tiganya saling melengkapi. Tbh, aku sedih karena Anya harus masuk pesantren, hiks. Tapi kalau enggak, aku ga sanggup nyiksa dia ;-; dan aku merasa ceritanya bakal jadi sangat disturbing hahaha. Jadi, gimana saya bakal bisa bikin kelanjutan trio ini, saya juga belum tahu. Apakah harus pas liburan? Uh, kebayang dikit, tapi masih ngawang banget.

Dah ah.

Kalian yang mau nyumbang ide, dipersilakan. Wkwkwk

Jkt, 7-8/6/21
AL. TARE

Continue Reading

You'll Also Like

479 123 41
Luna, Surya, Langit dan Bintang. Mereka berempat adalah saudara sedarah, hanya saja... Terlalu sering bertengkar. Setiap hari, jam, menitnya selalu...
58.7K 7.2K 36
[Pemenang Wattys2020 - Horror] Nyawa seorang pemuda desa sedang terancam. Kehilangan kedua orang tuanya membuktikan kebenarannya. Bermula dari mitos...
26.3K 1.7K 164
[ BL TERJEMAHAN ] RAW TRANSLATE!! NO EDIT!! di terjemahkan dengan Google Translate Judul Asli : 風水大佬穿成豪門假少爺後 Penulis: 飲爾 Status: Complete (155 + 5 ex...
1M 56.4K 106
SEDANG TAHAP REVISI seorang namja cantik dan manis yg kehidupannya sangat menyedihkan karna di jual oleh ayah nya sendiri semata mata hanya demi mend...