Kumpulan Cerpen

By MarentinNiagara

102K 6.8K 1.9K

šŸ‘‹šŸ‘‹ Hi haii šŸ‘‹šŸ‘‹ berjumpah lagi kita šŸ’‹šŸ’‹ Bosen sama cerita panjang kek sinetron??? šŸ¤”šŸ¤” Lebih suka nonton f... More

šŸ’ Menantu Idaman Ummi ??
šŸ’ Aku Tikung Kau diSepertiga Malam
šŸ’ Perempuan disarang Penyamun
šŸ’ Cucu untuk Ibu
šŸ’ Semburat Bianglala di Puncak Rembangan
šŸ’ Cinta dan Setir Bundar
šŸ’ The Apple Of My Eyes
šŸ’ Istri Untuk Suamiku
šŸ’ Senja di Atas Kereta
šŸ’ Cintaku dan Duri Ikan
šŸ’ Boneka Cinta dari Arosbaya
šŸ’ Rona Lima Warna
šŸ’ Pembantu Baru Ibu
šŸ’ Keluarga Dokter
šŸ’ Bully
šŸ’ Jodoh Pasti Bertemu
šŸ’ Pasangan Sejiwa
šŸ’ Heal Your Heart
šŸ’ Surgaku, Dunia Akhirat
šŸ’ Pelabuhan Terakhir
šŸ’ Aku Cinta Ibu
šŸ’ Tiba-tiba, Kita?
šŸ’ I Long For You, Frian Ardiera
šŸ’ Bidadari Terakhir
šŸ’ Sein Kiri Belok Kanan
šŸ’ RESTU
šŸ’ Selamat Datang Cinta
šŸ’ Memantaskan Diri?
šŸ’ Balada Cinta Bangsawan Andi
šŸ’ Mantan TKW (1)
šŸ’ Bianglala Senja
šŸ’ Radio Amatir
šŸ’ Why never be Honest?
šŸ’ Maaf, Aku tak Memilihmu
šŸ’ UTANG
Berdamai dengan Masa lalu (1)
Berdamai dengan Masa Lalu (2)
šŸ’ Ndanda, Aku kangen!

šŸ’ Mantan TKW (2)

801 121 21
By MarentinNiagara

Ditulis olehku

Hal tersulit dalam hidup itu adalah menekankan bagaimana bisa melakukan tanpa harus merepotkan. Itu bahkan tidak mungkin karena harfiahnya manusia adalah makhluk sosial yang tentu saja harus hidup berdampingan dengan manusia-manusia lainnya. Sekuat apa pun kita, tidak akan pernah mungkin bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan atau merepotkan orang lain.

Wajar, sebuah simbiosis mutualisme tercipta layaknya seorang penjual yang membutuhkan pembeli demikian juga sebaliknya. Ada hal tak kasat mata atas niat yang sampai kini masih belum tercium oleh orang yang dimaksudkan.

Nyatanya stigma masyarakat tidak jauh berbeda. Predikat negatif mantan TKW itu masih saja bertebaran. Padahal hampir sembilan bulan Alif meninggalkan desanya. Tapi tetap saja cibiran miring membuat statusnya menjadi hina dina dimata masyarakat. Yakinlah, bahwa tidak ada seorang wanita pun di dunia ini yang bercita-cita berada di posisinya. Itu bukan keinginan, tapi jalan takdir yang harus dilalui Alif dengan penuh rasa ikhlas dan pertanggungjawaban membesarkan Afra.

"Tuh lihat kelakuannya, nifas aja belum kering sudah gandeng laki-laki datang ke rumah. Gitu orang tuanya membolehkan saja. Sudah tahu janda, hamil bawaan dari luar angkasa, suami siapa lagi itu yang dibawa pulang?"

"Hush, jangan begitu bicaranya. Eh tapi iya loh ini kan belum ada sembilan bulan sudah lahiran jadi benar saja itu anak bawaan dari luar angkasa. Pantas saja Alif diceraikan sama suaminya dulu. Kelakuan emang seperti itu sih, nggak ada rasa syukur sama sekali kepada suami."

Alif memang memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua selama cuti melahirkan Afra dan tentu saja Balfaz membersamai untuk mengantarkan. Meski Alif dan keluarga menolak, apalah daya mereka saat pagi sebelum keberangkatan Alif kembali ke kotanya bersama ayah dan ibunya, Balfaz telah bersiap mengangkat koper serta memberikan kuliah singkat tentang kesehatan bayi jika berada di angkutan umum dengan perjalanan yang lumayan jauh.

"Izinkan saya, Bapak dan Ibu untuk bisa mengantarkan Alif dan Afra hingga sampai di rumah."

"Itu sangat jauh Nak Balfaz."

"Justru karena jauh, sebagai dokter saya harus bisa memastikan kesehatan Afra. Terlebih karena saya dia terlahir ke dunia sebelum waktunya."

"Tapi apa yang telah nak Balfaz lakukan ini sudah lebih daripada cukup untuk Alif, Afra dan kami." Balfaz hanya tersenyum tanpa bermaksud menanggapi ucapan ayah Alif tapi sikapnya menunjukkan bahwa dia akan tetap mengantarkan mereka sampai di rumah dengan selamat.

Ada kalanya ketika seorang wanita menyuruhmu mundur, sesungguhnya dia ingin diperjuangkan. Setidaknya anggapan itu yang kini dipegang oleh Balfaz. Sebenarnya hal apa yang begitu mendasari Balfaz melakukan semua ini kepada Alif, atas pamrih apa? Apakah hanya karena dia seorang dokter dan memastikan kenyamanan Afra. Lalu mengapa tidak dengan pasien yang lain? Mengapa harus Alif?

Berada dalam situasi membingungkan kala menghadapi wanita. Dimana Balfaz tidak tahu apa yang harus dilakukan namun dia ingin memberikan yang terbaik. Bingung mengenai banyak hal yang selanjutnya akan dia lakukan untuk Alif, seolah begini salah dan begitu pun salah. Atau mengambil dasar prasangka bahwa sepertinya apapun yang akan dilakukannya akan menimbulkan risiko yang akan menyakiti hati, atau melukai perasaan Alif. Entah dalam diamnya, entah dalam kata-katanya, entah dalam tingkahnya yang memaksa harus berpikir lebih dalam untuk memahami. Satu hal yang pasti bagi Balfaz, wanita sesungguhnya hanya ingin dimengerti namun nyatanya, terlalu sulit bagi laki-laki untuk bisa menebak isi hatinya.

"Mas, ini terlalu istimewa." Alif berkata ketika mereka baru saja sampai di rumah dan Balfaz memilih untuk mengistirahatkan diri sebentar setelah 3 jam mengemudi.

"Tidak ada halangan bukan jika aku pada akhirnya membuatnya menjadi istimewa."

"Maksud Mas Balfaz?" tanya Alif sambil meletakkan teh untuk Balfaz di atas meja.

"Afra butuh sosok ayah nantinya Lif, izinkan aku bisa melengkapinya. Akan berat dirasakannya nanti jika dia tumbuh tanpa mengenal siapa ayahnya. Maaf jika kataku terlalu to the point dan mungkin menyakitimu." Balfaz sadar sepenuhnya, tidak mudah tumbuh tanpa sosok orang tua lengkap. Belum lagi pembullyan yang kini nampaknya marak di anak-anak dan remaja. Tidak, membayangkan saja dia memilih untuk melindungi Afra.

Alif masih terdiam dalam bingungnya. Mendapati dokter yang menabraknya kemudian menolongnya lalu kini mendadak melamarnya. Bukan, lebih tepatnya menurut Alif adalah menawarkan diri untuk perkembangan Afra. Menjadi ayah untuk Afra, apakah itu berbeda dengan menjadi suami untuknya. Tuhan, sudah terlalu banyak air mata dalam hidup Alif. Kehadiran Balfaz jangan sampai menambah beban hidupnya menjadi semakin berat dan rumit.

Jika menurut Balfaz wanita itu penuh dengan tanda tanya, maka tidak perlu bertanya banyak kepadanya. Itulah sebabnya dia meminta bukan lagi bertanya meskipun tidak berniat untuk memaksa.

"Aku tidak akan bertanya kepadamu Lif, aku hanya tidak ingin menjadi seorang yang egois mementingkan diri sendiri sementara ada seorang anak yang harus aku lindungi. Jika kamu bertanya mengapa harus Afra? Karena aku tahu bagaimana perjuanganmu melawan himpitan atas omongan orang walau sesungguhnya kenyataan tidak seperti itu. Aku tahu itu dan juga karena aku pernah berada di posisi Afra bahkan jauh lebih menyakitkan dengan tidak mengetahui siapa kedua orang tua kandungku hingga kini. Maaf kalau aku lancang. Usiaku berkata bahwa aku tidak bisa bermain-main dengan semua sikap dan perkataanku saat ini. Aku tidak berniat untuk bertanya kepadaku, bersediakah kamu. Ada hal yang lebih penting dari sekedar jawaban bersedia ataupun tidak. Bagiku, cinta itu bisa ditumbuhkan seiring berjalannya waktu dengan rasa tanggung jawab. Bukan juga sekedar atas tuntutan hak dan kewajiban yang pada akhirnya melekat di dalamnya. Alif__" Balfaz menghela nafasnya, menunggu mata Alif mengarah kepadanya. Balfaz butuh tahu, dia menginginkan untuk dimengerti saat ini setelahnya dia akan berjanji untuk selalu mengerti apa yang dibutuhkan dan diinginkan Alif ataupun Afra seandainya kelak mereka hidup bersama.

Titik pandang itu akhirnya bertemu dalam satu ordinat yang sama. "Alif, aku bukan tipe pria romantis yang bisa merangkai kalimat dengan begitu puitis untuk melamar seseorang. Yang aku tahu kini bahwa segala sesuatu yang memang pantas untuk dimiliki harus diperjuangkan, dan karena aku menginginkan untuk memiliki kalian itu sebabnya aku berusaha untuk memperjuangkan."

"Mas, tapi kita belum lama kenal. Bahkan Mas Balfaz belum mengenal keluarga kami, aku khususnya."

"Kamu juga belum mengenalku Lif. Sebelum akhirnya aku memintamu kepada orang tuamu setidaknya aku harus tahu dulu bagaimana pendapatmu."

"Apa Mas Balfaz tidak malu punya istri mantan TKW sepertiku, yah meskipun mungkin pernikahan kita hanya untuk psikologis Afra__"

"Bukan, pernikahan itu tetaplah pernikahan dan kita harus menjalaninya sebagaimana yang telah disunnahkan oleh nabiyullah."

"Mas__, Mas ini seorang dokter, sedangkan aku, janda beranak satu, mantan TKW, dan banyak kabar miring lagi tentangku di mata masyarakat."

"Alif dengarkan aku, aku bahkan tidak tahu siapa kedua orang tuaku. Dari kecil aku selalu dikatakan anak haram yang dibuang, yakinlah itu selalu menyakitkan. Tapi ibu panti membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Jika aku berbeda dengan yang lain karena tidak memiliki orang tua, ada baiknya aku lebih mengenal siapa Tuhan yang telah memberikanku kehidupan. Besar di panti dan pondok pesantren, mendapatkan beasiswa, dan menganulir segala macam cemoohan atas hidupku dengan membuktikan bahwa aku mampu. Sayangnya tidak semua orang melihat sesuatu dari kacamata yang sama denganku dan aku tidak bisa memaksa mereka. Apa kamu malu jika bersuamikan diriku, yang meski seorang dokter tapi tidak tahu siapa orang tuanya?" Alif menggeleng lemah. Tanpa dia berucap pun hatinya telah berkata bahwa Balfaz adalah sosok laki-laki yang baik. Dia memikat dengan apa adanya, tanpa adanya drama, tanpa harus bersandiwara. Tapi haruskah secepat ini dia memutuskan?

"Mas aku butuh waktu, setidaknya berikanlah padaku untuk mendiskusikannya kepada dzat maha agung dan juga ayah ibuku."

"Pasti, dan aku akan selalu menunggu jawabanmu hingga aku berkesempatan untuk bisa menjabat tangan kanan ayahmu untuk mengambil tanggungjawabnya, atasmu juga Afra."

"Namun secara status kita tetaplah berbeda, aku janda dan mas Balfaz belum pernah menikah itu artinya kesempatan mendapatkan yang lebih baik daripadaku masih terbuka lebar. Mengapa harus aku, jika di luar ada yang lebih baik?" Balfaz hanya tersenyum menanggapinya.

"Status itu hanya tulisan." Pada akhirnya Balfaz bersuara. "Jika kita menikah tidak ada lagi status janda."

"Tapi aku takut__"

"Alif, listen to me. Promise yourself, no matter how bad people treat you, never become a bad people to take revenge. Still be kind, God knows the beauty of your heart."

"Mas__"

"And I will being with you as always."

Harusnya Alif meleleh dengan ucapan Balfaz. Nyatanya kini hatinya masih beku, atau sebenarnya dia masih belum bisa sepenuhnya berpaling hati dari Fauzi, mantan suaminya. Alif masih berharap suatu saat Fauzi menyadari salahnya lalu datang meminta Alif untuk kembali dan menerima Afra sepenuhnya. Karena Afra memang anak mereka berdua, bagaimana tidak. Tapi mengapa penyataan itu terdengar naif di telinga Alif.

"Dokter Balfaz melamarmu Lif? Apa kamu sudah pikirkan matang-matang? Afra memang butuh figur seorang ayah dan kita semua juga sudah sangat faham jika Fauzi tidak akan bersedia melakukannya, jangankan untuk itu memberikan pengakuan saja mungkin tidak akan pernah."

"Menurut ayah bagaimana?"

"Ikutilah apa kata hatimu. Setidaknya kamu memiliki Tuhan untuk bertanya, ayah dan ibu hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Jika memang dokter Balfaz adalah pengganti yang terbaik untukmu dan juga Afra, ayah akan sangat bahagia menerimanya. Tapi ingat statusmu kini. Meski Balfaz seusia denganmu dia laki-laki dan masih belum pernah menikah."

"Ayah bersedia menerimanya meski ayah tahu dia tidak mengetahui siapa kedua orang tuanya?"

"Anaknya penjahat bisa menjadi baik jika dia dibesarkan di lingkungan yang baik demikian juga sebaliknya anak kiai pun bisa menjadi anak yang mursal jika salah bergaul. Ayah tidak melihat kejelekan dalam diri Balfaz tapi kita memang belum sepenuhnya mengenal. Sebaiknya mintalah petunjuk kepada Allah."

"Terima kasih Ayah, kalian yang terbaik untuk kami."

"Inshaallah anakku."

Usia mutlak bertambah menua. Dalam perjalanannya tentu saja pernah bertanya pada diri sendiri tentang siapa kelak yang akan mendampingi. Seseorang yang akan membersamai di sisa usia yang diberikan Allah untuk tetap bertahan dan berjuang menjalani kehidupan. Sosok seorang kekasih yang penuh kasih sayang, hingga mampu memberikan ketentraman dan kebahagiaan di hari-hari yang akan dijalani. Sepertinya surya pagi ini bersahabat dengan rekah hati yang menjalar milik seorang Balfaz Mahenra Wijaya.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Alifia Lovata Kalila binti  Baharuddin Effendy dengan mas kawin tersebut tunai." Suara Balfaz lantang dalam satu tarikan nafas.

Sah,

Sah,

Sah,

"Tidak__" kepala Alif seketika berputar ke arah suara wanita yang tiba-tiba menggema di majlis akadnya. Kedua mata Balfaz pun seketika membola mengetahui siapa wanita yang kini berada di perhelatan nikahnya bersama Alif.

Wanita yang dulu pernah dicintai, wanita yang dulu pernah diperjuangkan namun keluarga besarnya menolak karena statusnya tanpa orang tua. Wanita yang pada akhirnya memilih untuk meninggalkannya dan mengikuti keinginan orang tua. Ya, dia adalah Edgina Belva.

"Belva__"

"Mas Balfaz mengenalnya?" tanya Alif diantara keterkejutannya.

"Balfaz, kamu keterlaluan. Kamu berkhianat, kamu lupa akan janji cinta kita. Katamu kamu akan menungguku sampai kapan pun juga. Nyatanya semua itu bulshit, bahkan kini kamu memilih untuk menikahi janda, mantan TKW yang pernah hamil karena dihamili oleh majikannya di luar negeri. Kamu__"

"Dita, jaga mulutmu. Maaf semuanya, sepertinya ini terjadi kesalahfahaman. Alif maaf, aku__"

"Selesaikan dulu Mas, kita masih bisa melakukan pembatalan atas pernikahan ini."

"Tidak, aku sudah sah menjadi suamimu. Dan selamanya akan menjadi suamimu. Tunggu sebentar akan kuselesaikan, nanti lengkapnya akan aku ceritakan kepadamu." Jelas sakit, difitnah di hari pernikahan. Siapa yang akan menyukai akan hal ini? Tidak juga dengan Alif hingga meski dia diam, namun air mata yang mengalir di pipi Alif adalah ungkapan hati sesungguhnya.

Hari dimana Alif berusaha untuk kembali percaya dengan janji seorang laki-laki yang ingin membimbingnya. Nyatanya drama di depan mata sungguh membuatnya kembali terpuruk dalam bayang-bayang masa lalu yang menenggelamkan seluruh harapannya. Bukanlah janji Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuan yang dimiliki? Sekuat itukah seorang Alifia hingga cubitan ini masih terasa sama perihnya seperti cerita terdahulu. Ataukah dia terlalu gegabah mengambil keputusan untuk menerima pinangan Balfaz tanpa dia ketahui bagaimana latar belakang laki-laki yang menawarkan janji cinta di hadapan Allah itu kembali.

"Kita harus bicara tapi tidak sekarang, aku harus menyelesaikan pernikahanku dengan Alif. Lagian aku juga tidak pernah mengundangmu untuk datang, Belva."

"Untung aku datang. Sehingga bisa menggagalkan pernikahan kalian."

"Tidak ada yang gagal, kami telah sah menjadi sepasang suami istri dan kamu? Bukankah kamu juga telah menikah dengan Fauzi. Dia pilihan orang tuamu kan?"

"Tapi aku tidak mencintainya. Aku masih mencintaimu Balfaz. Kami telah bercerai dan aku akan memperjuangkanmu kembali." Suara Belva lirih namun masih bisa didengar sampai di majelis akad yang ditinggalkan oleh Balfaz.

"Itu tidak mungkin, aku sudah menikah."

"Aku juga sudah janda Balfaz, apa bedanya dengan wanita yang kamu sebut istri itu. Dia juga janda, sudah punya anak. Lebih baik aku bukan, meski aku janda tapi aku belum memiliki anak."

"Pergi kamu sekarang Belva, kehadiranmu di sini sangat tidak layak."

"Memgapa? Karena aku pernah menolakmu? Maafkan aku, itu cerita lalu dimana aku tidak ingin dicap sebagai anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua."

"Pergi Belva__"

"Aku mencintaimu Balfaz Mahenra Wijaya."

"Aku sudah beristri, pergilah. Cari kehidupanmu yang lain jangan mengganggu kehidupanku terlebih kehidupan anak dan istriku."

"Anak___?" Belva tertawa renyah seolah dia datang tanpa rasa bersalah telah membuat air mata Alif mengucur dengan deras.

"Ya, mereka__"

"Cukup Mas Balfaz, aku tidak ingin melihat drama ini semakin melebar di rumah kedua orang tuaku. Cukup kami dicap sebagai keluarga yang tidak baik oleh para tetangga jangan kalian tambahi dengan mereka menyaksikan sandiwara ini. Pergi kalian berdua, pernikahan kita batal!" Alif memilih untuk kembali ke rumah dengan raut wajah yang sulit untuk digambarkan.

Beberapa bisik-bisik tetangga kini mulai menyapa ruang dengar undangan yang menyaksikan akad nikah Alif dan Balfaz.

"Kasihan ya Alif, sudah hamil diluar nikah sama majikan. Ada yang menikahi eh malah dilabrak sama mantan pacar suaminya."

"Iya benar, mungkin orang tuanya dulu melakukan dosa besar hingga Alif yang kena karma."

"Mungkin ya ibu-ibu, ya sudah biarkan saja mereka menyelesaikan kita sebaiknya pulang saja."

Bukan hanya gerimis, tapi hari ini telah datang badai yang memporak-porandakan pondasi kekuatan hatinya. Alif harus tetap kuat untuk Afra. Alif harus tetap berdiri untuk bisa menopang kedua orang tuanya. Kejadian ini tidak hanya menyakitkan namun sepertinya telah mencorengkan arang ke muka kedua orang tuanya.

✏ -- the end -- ✏

Eh gimana ini enaknya????? 🤔🤔🤔🤔

.

1




.

2





.

3





.

4





.

Hehehe, tara masih lanjut kok...
Kena prank deh
Sekali-sekali 🤣

Jangan tanya mengapa begini karena mungkin suatu saat aku akan berminat untuk mengangkat cerita pendek ini menjadi sebuah novel who's know? Jadi cerpennya dibuat begini 🙌🙌

✏✏

Katakanlah ini sebagai ujian, mengumandangkan pepatah jawa kuno, sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, lan menang tanpa ngasorake. Untuk mencapai suatu kemenangan tidak perlu mengkambinghitamkan orang lain hanya karena suatu kesalahan yang kita lakukan dimasa lalu.

Mencintai bukanlah satu kesalahan namun kepada siapa cinta itu dilabuhkan tentu saja akan membawa dampak negatif positif atau pro kontra dari pandangan orang lain. Sebagaimana menjelaskan sesuatu untuk bisa dipercaya kembali, bukan perkara yang mudah namun bukan berarti sulit jika kemauan itu ada di dalam hati.

"Aku tidak bisa menjanjikan apapun, Alif. Belva adalah masa lalu yang telah aku kubur dalam-dalam. Darinya aku belajar untuk mengerti banyak hal. Atas baik buruknya kehidupan, atas utamanya tanggung jawab, atas pentingnya janji itu ditunaikan. Ya, aku memang telah berjanji dulu untuk selalu mencintainya sebelum akhirnya aku menyadari bahwa rumah tangga itu tidak hanya butuh cinta dan janji. Aku tidak ingin menjadi perusak hubungan orang meski aku begitu mencintainya. Ada hal lain yang lupa bahwa ketika Allah tidak mengabulkan doa kita saat kita memintanya Dia hanya meminta untuk bersabar, mungkin suatu saat nanti ketika waktunya tepat atau menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik untuk kita. Dan kamu adalah jawaban atas doaku yang mungkin ditunda oleh Allah beberapa tahun yang lalu. Untuk itu, tetaplah berada di sampingku. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi puzzle dalam kehidupanku. Aku membutuhkanmu sebagai kekuatan terhebat saat aku merasa lumpuh dan tak lagi bisa bertahan. Aku membutuhkanmu seperti halnya matahari yang selalu dinanti oleh bumi untuk meneranginya. Mungkin dalam perjalanan hidup kita nanti tidak akan selalu mulus. Tegur dan ingatkanlah aku untuk selalu membimbingmu dengan cara yang lembut. Aku juga bukan paranormal yang tahu apa yang kamu sukai ataupun tidak. Bicarakanlah semuanya kepadaku, aku, kamu dan kita akan bersama mendidik Afra juga adik-adiknya kelak dengan baik." Balfaz mencium kening Alif yang kini telah berada di pelukannya.

Pada akhirnya berdamai dengan hati adalah jawaban dimana ego tidak lagi menguasai diri. Mungkin Balfaz bukan yang terbaik, demikian juga Alif, namun mereka berjanji untuk bisa saling melengkapi. Bersama untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

"Mas__" suara Alif mendesah basah tepat di telinga Balfaz.

"Segeralah berbuka saat kumandang adzan maghrib menggema di telinga."

"Tapi bukankah semuanya untuk Afra. Mas Balfaz__" mengerti atas apa yang dimaksudkan Alif kepadanya Balfaz memilih untuk memimpin doa kemudian Alif mengaminkan segera.

"Tunaikanlah, aku memintanya sekarang." Sekali lagi Balfaz mencium kening Alif dengan lembut. Lalu turun hingga kedua hidung mereka saling berkenalan dan entah bagaimana akhirnya hingga bibir mereka berpagut, basah dan akhirnya seluruhnya menyatu dalam satu ikatan pernikahan yang suci.

Rumput pun bergoyang tertiup angin seolah mengaminkan ibadah yang kini mereka lakukan.

"Aku akan berusaha mencintaimu dengan rasa lapar yang tidak akan pernah tuntas, Alifia." Balfaz berniat membuka Alifia kembali sebagai dessert untuk main coursenya malam ini sayangnya suara tangis Afra juga meminta haknya untuk segera disusui.

Cinta terkadang memang lucu dan tidak selamanya bisa dinalar dengan logika. Kadang orang yang kita cintai sepenuh hati belum tentu bisa mendampingi. Karena menikah tidak sekedar berbicara tentang cinta. Butuh ilmu untuk melakoninya. Butuh skill dan pemahaman yang benar untuk memainkan perannya.

Terlalu riskan jika menjalani pernikahan sekedar trial error semata. Terlalu beresiko jika menikah tanpa persiapan dan sekedar mengalir apa adanya. Bisa jadi akan tetap baik-baik saja, namun kenyataannya ketika berusaha untuk berbenah diri bisa mewujudkan rumah tangga yang tak sekedar baik-baik saja saat mengetahui ilmunya. Tentu saja untuk lebih harmonis dan lebih bahagia.

✏ -- the end -- ✏

Blitar, 04 Juni 2021

Continue Reading

You'll Also Like

My sekretaris (21+) By L

General Fiction

226K 2.2K 18
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
Amora (END) By Mia

General Fiction

3.7M 182K 71
Amora Lendari terbangun di sebuah kelas dengan orang-orang asing di sekitarnya. Kepanikanya bertambah saat mendapati wajahnya dan tubuhnya yang beru...
710K 3.4K 10
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
921K 18.1K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...