Pukul lima sore Abila baru sampai di rumah. Ia langsung naik dan masuk ke dalam kamar untuk mandi dan segalanya.
Menemani jasad tidak boleh sembarangan. Maksudnya, jika habis menemani, melayat atau ikut mengantarkan jenazah kita di haruskan untuk mandi minimal cuci tangan, kaki dan wajah.
Alasannya? Sampai sekarang memang belum di ketahui pastinya
Tapi, setiap orang tua pasti mengajari anaknya soal ini.
Abila salah satunya. Ia ingat ucapan bundanya yang mengatakan kita harus langsung mandi ketika pulang dari melayat, atau menghatar.
Kurang lebih tiga puluh menit Abila keluar kamar lagi setelah mandi, sholat ashar dan yang lainnya. Gadis itu turun ke lantai satu, mencari makanan di dapur tapi yang ada hanya satu telur mata sapi dan sedikit cah kangkung.
Tanpa banyak protes ia mengambil nasi dan memakan lauk yang tersedia. Tidak penting milik siapa yang terpenting saat ini adalah perutnya terisi. Ia amat lapar karena dari pagi perutnya tidak terisi apapun.
Sambil makan Abila celingukan. Rumahnya sepi sekali. Rumah sebesar ini tapi sepi, kenapa tidak di bangun taman bermain saja biar ramai?
Ide konyol!
Lupakan.
"Mbak!"
Asisten rumah tangganya yang terlihat masih muda mendekat. Tersenyum ramah pada Abila.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" katanya.
"Ehm.. Bunda kemana, Mbak?"
"Oh, Ibu. Ibu ada di lantai tiga, Nona. Beliau sedang memasukan stok buku bacaan dan mengeluarkan yang kiranya sudah tidak terpakai." jelasnya.
Buku? Sejak kapan bundanya jadi menyukai buku?
"Dengan siapa?"
"Suster Widya menemaninya, Nona."
"Hanya berdua?"
ARTnya menggeleng.
"Tidak. Dengan empat bodyguard dan sepertinya ada Pak Mark juga, Nona."
Abila menghela. Ia menyingkirkan piringnya lalu mengambil segelas air.
"Saya ambil, Nona." Kata ART itu. Abila mengangguk membiarkan piring bekasnya makan di taruh di atas wastafel oleh ART yang Abila tidak tau mananya.
Abila menghela. Ia beranjak dari duduknya untuk naik ke lantai tiga dengan menggunakan lift. Sampai di lantai tiga Abila langsung menuju salah satu ruangan dari tiga belas ruang di lantai tiga.
Sebelum masuk ke ruang baca. Abila menyempatkan untuk masuk ke ruangan pribadi miliknya yang ada di paling pojok. Abila masuk, isinya hanya seperangkat meja kantor, komputer LED, cabinet dan kulkas satu pintu.
Setelah mengeceknya Abila keluar tidak lupa mengunci pintunya kembali. Kunci yang hanya di miliki olehnya.
Abila berjalan masuk ke dalam ruang baca. Benar, ada empat penjaga dan juga Mark di dalam yang sedang duduk memisahkan buku terpakai dan tidak sedangkan Humairah dan Widya terlihat sedang memasukan buku-buku ke dalam rak.
"Beli buku sampai dua belas box besar untuk apa, Bund?!" katanya sedikit tidak suka.
Bundanya sudah tidak waras. Lihat saja itu, di depannya kini ada kurang lebih dua belas tumpukan kardus besar yang isinya adalah buku.
Humairah dan yang lainnya menoleh, kaget mendengar suara Abila yang terdengat begitu ketus.
Humairah cengegesan memandang anaknya yang kini sedang menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di pilar pintu.
"Buat apa aja. Lihat, kamu, kan, suka novel jadi Bunda belikan novel dengan berbagai judul dan pastinya ini novel terbaru tahun ini. Bunda juga beli buku pembelajaran-
"Bukan masalah itu, Bund. Bunda ini, ah sudah lah." pasrah Abila.
"Kamu marah, ya?"
Abila menggeleng.
"Terus kenapa mukanya asem begitu?"
"Putus cinta, ya, Nona?" sambung Widya.
Abila melirik Widya tajam. Jatuh cinta aja belum sudah putus saja.
"Pacar aja ga punya gimana mau putus. Aneh!" juteknya.
Humairah, Widya, Mark dan empat pria di depannya tertawa. Dan itu semakin membuat Abila kesal.
"Ketawa lagi saya potong gajih kalian!" mampus. Diem semua kan kecuali Humairah.
"Bunda. Cukup, ya. Ga usah buat ruangan aneh lagi. Udah cukup. Ruang baca sama bioskop aja udah lebih dari cukup, ya, Bund."
Ah, sekilas info. Dua bulan lalu Humairah baru saja membuat ruang bioskop yang sampai sekarang belum pernah terpakai.
"Ya... Kok gitu?" Humairah kecewa.
"Bunda, dengar. Kalo semua ada di sini, kita kapan keluar rumahnya." jedanya.
"Lihat. Ruang buku ini udah hampir menyerupai gramedia, Bunda mau saingan sama gramed apa gimana?"
"Bioskop? Emang Bunda mau tiap menit nontonin film? Ga, kan. Mending Bunda buat ruangan khusus untuk Bunda. Bunda, kan suka desain. Kenapa ga di kembangin aja? Dari pada ngembangin ruangan yang, ah tau ah!"
Sudah. Kesal sekali Abila hari ini. Ia berjalan keluar ruang baca dengan kaki yang di hentakan.
"Padahal kalo semua ada enak, ya, Wid."
Widya hanya mengangguk.
"Kalo di luar aja banyak kenapa harus bikin sendiri, Bunda! Bunda emang udah se-sultan apa? Rafi Ahmad? Baim Wong? Ria Ricis? Atau Atta? Aish!" teriak Abila dari luar ruangan. Suara Humairah kencang, jadi Abila dapat mendengar.
"Kalo bisa di dalam, kenapa harus keluar Nafisa!" balas Humairah dengan teriak.
Abila kesal. Ia menghampiri bundanya, berdiri di tempat tadi dengan tangan bertolak pingang.
"Susah ngomong sama generasi tua!"
"Ehhh...." Humairah melotot, "Enak aja Bunda di katain tua. Kamu tuh, generasi muda yang ga tau apa-apa!"
"Bila tau. Bila tau semuanya!"
"Apa? Apa yang kamu tau!?"
Bibir Abila naik satu, jawaban nakal terlintas di kepalanya. Abila maju dua langkah agar lebih dekat dengan bundanya. Senyum miringnya masih ada bahkan terlihat lebih nyata.
Mark yang melihat senyum itu terkekeh geli, pasti nonanya memiliki niat jahil.
"Abila tau-
"Iya, tau apa kamu! Paling cuma tau kalo dunia itu bulat!" potong Humairah ikutan kesal.
Wajah meledek Abila semakin di keluarkan, kepalanya menggeleng, "Abila tau kalo Om Hari itu mantan Bunda!"
Lari!
"Nafisa Putri! Anak nakal kamu!"
Abila di dalam lift tertawa geli. Ia turun ke lantai dasar atau lantai satu. Kembali ke dapur untuk mengambil minuman apa saja yang ada di kulkas. Otaknya panas akibat bergelud mulut dengan bundanya tadi.
Itulah Humairah. Jika jiwa bosannya sudah keluar apa saja yang ada di otaknya pasti akan di lakukan tidak perduli sebesar apa barangnya, semahal apa harganya jika itu masih bisa di beli pasti akan di beli oleh bundanya itu.
"Nona, maaf. Barang-barang di luar mau di taruh di mana, ya?" salah satu satpamnya menghadap. Abila menatap bingung satpam tersebut.
"Barang? Saya ga pesan apapun, Pak."
"Itu, tas-tas milik Ibu yang di rumah surabaya, Non."
Alisnya bersatu. Bundanya masih memiliki koleksi tas? Kok dirinya tidak tau.
"Taruh situ aja. Tolong panggilin Pak Yanto di taman, ya, Pak." titahnya di terima.
Abila diam. Ia tidak tau harus apa. Otaknya masih memikirkan Raka dan satu beban lagi, Jayden.
"Jadi, Jayden adik kandung Raka?"
"Nona!"
Lamunannya terpecah mendengar suara Dodi. Orang tua itu mengapa harus berteriak sih, bikin jantungan saja.
"Ada apaan sih, Pak, ih. Kaget!"
"Itu, Non. Di depan-
"Ada apa nona memanggil saya?" suara Yanto masuk.
"Tolong cek di depan ada apaan, Pak."
Yanto mengangguk.
Didepannya, Dodi menyerahkan beberapa lembar struk yang Abila tidak tau.
"Apaan?" tanyanya judes masih terbawa suasana tadi.
"Ini, silahkan Nona lihat sendiri." jedanya, "Oh, iya, saya lupa memberitau jika Ibu memakai satu ruangan lagi untuk tempat tasnya, No-
"Siapa yang beli tas sebanyak ini, Pak?!"
"Nona." panggil Yanto.
Abila menonggak, matanya terbuka lebar melihat Yanto dan dua orang di belakangnya membawa banyak kotak-kotak yang... Yang membuat Abila sesak napas.
"Ini... Punya siapa?"
Yanto menelan silivanya. Dodi di samping Abila menahan senyum. Ia tau pasti Humairah tidak bilang apapun pada anaknya.
"Punya Ibu, Nona." jawab Yanto.
Dodi berdehem. Ia mengambil sesuatu dari saku jasnya lalu di berikan pada Abila.
Abila menerimanya. Itu... kartu ATMnya.
"Pakai uang Bila?" Abila bertanya entah pada siapa. Suaranya lemas.
Dodi dan Yanto kompak mengangguk.
Abila memejamkan matanya lalu berteriak, "ASTAGFIRULLAH. BUNDA!!!!!!!!"
After
Hayoooo!
Vote dan komennya yuuk