Abila terdiam saat baru saja menginjakkan kaki di depan kelas. Kelas heboh entah ada apa dan karena apa. Abila masih diam karena tidak tau harus masuk atau tidak.
Teman-teman sekelasnya terlihat sibuk. Ada bendahara yang berlarian sambil membawa uang. Ada ketua kelas yang terlihat sibuk dengan ponselnya dan ada Keira dan Dava yang terlihat diam di satu kursi yang sama.
Ini tidak beres. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Abila memberanikan diri untuk masuk ke dalam kelas. Mendekat pada Keira dan Dava yang terlihat lesuh tidak bersemangat.
Di letakan tasnya di atas meja. Mendeketai Keira, memegang bahu temannya yang membuat temannya terkejut.
Keira menonggak, menenggelamkan kepalanya di perut Abila membuat Abila begitu kaget. Ada apa?
"Hei... Kei, kenapa?"
Keira masih diam.
Abila menatap Dava yang ada di samping Keira. Dava hanya menggeleng entah karena apa Abila tidak paham.
"Kei..." Abila mencoba memanggil Keira lagi.
Akhirnya, Keira menonggak, melepaskan pelukkan mereka. Gadis itu mulai mengatur napasnya, bersiap memberitau ada apa dan kenapa.
"Bil..."
"Iya, kenapa, Kei?"
"Raka..." ucapnya sendu.
"Kenapa, Raka kenapa?" Abila ikut was-was.
"Bapaknya Raka..." kembali mengeluarkan kalimat menggantung membuat perasaan Abila tidak jelas.
"Bapak Raka kenapa, Kei?"
"Bapak Raka... Bapak Raka meninggal, Bil." tangis Keira pecah saat itu juga. Cukup sakit memberitau ini. Tapi kenyataan ini adalah takdir yang harus di terima.
Abila speechless mendengarnya. Ini, cukup mengangetkan. Sungguh.
Dava menepuk punggung Keira menyuruh temannya untuk lebih tenang. Ia sama terkejutnya dengan kabar ini. Tapi ia berusaha untuk menahan diri karena di sini ia satu-satunya laki-laki yang tersisa untuk dua temannya terlebih Keira yang sudah begitu dekat dengan almarhum Jafran.
Bagi Keira dan Dava. Jafran adalah ayah kedua bagi mereka. Jafran adalah sosok ayah yang hebat. Pria yang tanguh dan bertanggung jawab untuk segala hal yang telah ia kerjakan.
Jafran begitu baik pada teman-teman Raka. Begitu walcome untuk setiap apa yang mereka kerjakan. Kenyataan ini begitu berat untuk mereka terima. Kenyataan ini begitu sulit untuk di ajak berdamai. Kenyataan ini, amat menganggu hati dan pikiran Dava serta Keira.
Keduanya tau. Mereka paham. Raka dan Jafran adalah anak dan ayah yang bisa melakukan dua peran sekali gus. Jafran bisa sebagai teman dan juga orang tua bagi Raka. Begitu pula dengan Raka yang bisa menjadi sosok anak dan teman untuk Jafran.
Dava menunduk. Menahan air mata yang sempat hadir. Keira masih terpukul. Abila berusaha menenangkan temannya ini.
Keira melepaskan pelukannya. Ia berdiri dari duduknya, "Gue ke toilet dulu." ucapnya serak.
Abila mengangguk, membiarkan Keira pergi. Ia duduk di tempat Keira tadi. Memandang Dava yang terlihat terpuruk. Tangannya menempel pada pundak Dava sesekali di tepuk.
"Bila tau gimana hancurnya kehilangan orang yang kita sayang, Dav. Tapi Dava harus tetap kuat buat Raka. Raka jauh lebih hancur dari kita. Raka butuh pilar untuk sanggahannya. Kita ga boleh lemah Dav. Dava harus bisa ngendaliin diri untuk Raka dan Keira. Ya..."
Dava memandang Abila lama. Matanya tidak bisa lepas dari mata hitam Abila. Sudah hampir lima kedipan tapi Dava belum juga bisa mengalihan tatapannya. Ia masih berusaha mengendalikan dirinya.
Dirinya, ah, sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
"Dava. Hm?" Abila memanggil.
Dava mengangguk.
AT
Rumah besar dengan dua lantai ini penuh di isi oleh orang-orang yang menyanyangi Jafran. Semua penghuni komplek menyempatkan diri untuk menghadiri dan membacakan yasin untuk Jafran.
Perwakilan guru dan murid khususnya kelas XII IPA 1 bergantian masuk untuk memberikan bela sungkawanya pada Raka.
Raka, laki-laki itu. Anak itu. Kakak itu. Sedang duduk di samping kanan bapaknya. Di tangannya ada buku yasin yang sejak tadi tidak di tutup. Mulut Raka terus bersuara melantunkn ayat-ayat suci penghantar ketenangan untuk sang bapak.
Dava dan Abila duduk di sisi Raka. Menguatkan pundak anak yang ayahnya telah tiada. Sedangkan Keira, memilih berada di samping Rahmi yang sedang menangis tersenduh-senduh.
"Kuat, Rak. Lo harus kuat." kata Dava di samping kanannya.
Raka hanya mengangguk. Ia tidak bisa memberi respon.
Abila menyingkirkan buku yasin di tangan Raka. Menarik Raka dalam pelukannya membuat tangis Raka yang semula pelan kini mengencang.
Jujur, Dava tidak tega melihat ini. Ini adegan yang begitu menyayat untuknya.
Sambil mengusap pungung Raka sambil berucap, "Raka boleh sedih. Raka boleh nangis. Raka juga boleh mengurung diri. Tapi ingat, apa yang terjadi kalau Raka lakuin itu semua?"
"Raka masih punya Ibu yang harus Rak jaga. Raka masih punya tanggung jawab untuk bahagiain orang tua yang tinggal satu."
Abila merasakan pundaknya bergetar hebat. Suara isak Raka pun sangat terdengar dengan jelas.
"Raka ga bisa egois. Raka anak laki-laki yang hebat. Raka anak yang di banggakan oleh Bapak dan Ibu Raka. Jadi, Raka harus jadi apa yang mereka harapkan, ya?"
Jujur. Abila meruntuki air mata sialan yang mengalir di pipinya. Abila cepat-cepat menghapusnya.
Raka mengeratkan pelukannya. Mencari kenyamanan di antara curuk leher Abila.
"Raka. Raka Raditiya. Udah, ya. Nanti Bapak Raka ikut sedih kalo lihat anaknya nangis. Raka harus kuat. Lihat itu, Bapak Raka senyum, lho, berarti beliau bahagia. Jadi, Raka jangan nangis, nanti beliau ga senyum lagi."
"Udah, yuk."
Abila membantu Raka melepaskan pelukan yang erat itu. Di pegang kedua bahu Raka lalu di tatap dengan maksud menguatkan Raka.
"Ayo, kita baca yasinnya lagi." ajaknya.
Raka mulai membuka yasinnya kembali, membacanya lagi dengan air mata yang mati-matian ia tahan.
Dava yang setia di samping Raka juga melakukan hal yang sama. Abila melirik depannya, Keira mengangguk padanya memberitau jika keadaan Rahmi juga sudah lumayan bisa di kendalikan.
Sanak saudara dan para tetangga tidak putus-putusnya membacakan yasin. Walau bergantian tapi hal ini tidak terputus sejak tadi.
Guru yang di tugaskan datang mendekati Rahmi, memeluknya bagi yang sesama wanita dan memberikan ucapan belq sungkawa. Siswa siswi yang datang hanya di izinkan masuk untuk bersalaman pada Rahmi lalu keluar lagi menunggu di luar.
Mereka tidak tega untuk mendekat pada Raka. Raka yang terkenal bar-bar dan tidak bisa diam itu, kini menjadi diam tanpa suara seperti bukan dirinya.
Kenzo. Ingat dengan Kenzo? Ya, laki-laki itu sejak pagi sudah di sini menemani Raka dan juga membantu untuk menyiapkan air untuk para orang yang datang.
Laki-laki itu memilih menyibukkan dirinya sendiri tidak mau menemani Raka. Ia takut bukan menguatkan malah semakin membuat Raka sedih.
"Raka, Adikmu." kata Rahmi tiba-tiba.
Mata Raka memutar mencari Jayden yang tidak terlihat sama sekali. Ia beranjak dari duduknya dan langsung berjalan meninggaljan ruang tamu yang di jadikan tempat menaruh jenazah.
Keira memelototi Dava yang hanya diam, "Dav, temenin Raka!"
Dava menggeleng, "Gue belum selesai. Abila aja."
"Bil-"
Keira belum selesai bicara tapi Abila sudah berlari mengejar Raka yang ada di atas tangga.
Mata Keira tidak lepas dari Dava yang terlihat acuh padanya.
"Apa?" tanya Dava ketika matanya lagi-lagi bertemu dengan Keira.
"Harusnya lo." ucapnya tanpa suara.
Dava hanya tersenyum.
After
Hayhay.
Ehmm... Sekilas info aja kali ya, hehehe.
Gue dapet kabar dari penerbit kalo TASYA bakalan mulai PO di antara dua kemungkinan.
-Pertama, akhir bulan ini.
-Kedua, awal bulan depan.
Jadi, jangan lupa nabung, ya...
Di jamin ga ngecewain deh