"Apa ponsel ini kamu dapat dari cara menjual tubuhmu?"
Wow! Impresif.
"Apa Bu? Menjual tubuh?" Abila tertawa.
Bu Witri keheranan melihat anak murid di depannya. Bukan ketakutan atau merasa bersalah, gadis ini dengan senangnya malah tertawa. Seperti menertawakan kebodohannya.
Memang.
"Apa tubuh saya semurah itu?"
"Ya, saya tidak tau. Mungkin saja kamu sudah menggunakan uang dari Ommu itu untuk hal yang lain. Mobil contohnya."
"Mobil dan ponsel?"
"Tubuh saya hanya seharga itu?" Abila geleng-geleng kepala meledek pola pikir guru di depannya yang amat sempit. Mengapa bisa berpikir ke arah yang menjerumus?
Wanita di depannya ini belum tau jika dirinya adalah seorang CEO yang memiliki banyak hak untuk menelantarkan seseorang hanya dengan sekali panggilan telepon.
Dia bilang apa? Menjual tubuh? Haha. Rendah sekali pemikirannya. Jika pun benar, Abila ogah menjual tubuhnya yang indah ini hanya dengan seharga mobil dan ponsel. Rugi sekali.
"Maaf, apa Ibu berkata seperti itu sudah di sertai dengan bukti?"
Bu Witri mengangguk yakin. Ia membuka ponsel Abila tanpa izin. Menunjukan sebuah file yang di kirim oleh Yanto.
"Lihat ini. Uang sebanyak ini di kirim ke rekening atas nama Abila Nafisa Putri. Bukan itu nama kamu, sayang?"
"Dan ini. Nona? Bukankah ini sebuah panggilan spesial?"
"Satu lagi. Pesan dari Pak Dodi. Orang ini menanyakan kapan kamu akan menandatagani pembangunan hotel."
Bu Witri geleng kepala dengan senyum yang meremehkan. Tepukan tangan penuh dengan kejijik'an di berikan pada Abila secara langsung.
Respon Abila? Ya, santai. Untuk apa ia menaikkan nada jika apa yang di katakan tidak benar.
"Wow! Ommu ternyata kaya raya, ya. Sampai bisa membuatkanmu sebuah hotel? Hebat."
Abila masih diam. Ia belum ingin memamerkan kekuasaannya. Biarkan saja wakil kepala sekolah di depannya ini membanggakan stikmatisnya.
"Apa orang tuamu tau? Ibumu tidak kamu kasih makan dari uang itu, kan?"
Bu Witri tertawa, "Sudah berapa banyak uangmu, Nak?" lanjutnya.
Abila menyondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada bu Witri.
"Ibu tau perusahaan bernama Ilahirah?"
Dengan antusias bu Witri mengangguk, "Ya, itu perusahaan yang sangat terkenal dengan saham dan asetnya di mana-mana. Kedudukkannya ada di nomor dua kalo saya tidak salah. Oiyah, suami saya juga bekerja di sana."
"Oh, ya. Di bagian apa kalo saya boleh tau, Bu?" Abila memancing.
"Kepala clanning service."
Abila mangut-manggut saja. Senyumnya aneh.
"Ibu tau siapa pemiliknya?"
"Saya tidak tau. Untuk apa kamu bertanya tentang perusahaan tempat suami saya bekerja?!" panas, sifat overnya mulai lagi.
"Tidak apa. Tapi, jika Ibu ingin tau seberapa banyak uang saya, Ibu harus tau dulu siapa pemilik perusahaan itu."
Bu Witri berdecih namun tak urung untuk menghubungi suaminya yang sedang bekerja.
"Tunggu, saya telpon suami saya dulu."
Abila mengangguk, "Kalo bisa vidio call ya, Bu."
Bu Witri tidak sadar jika Abila sedang memerintahnya.
Abila diam memperhatikan wanita di depannya sedang mencoba menghubungi suaminya.
Tunggu, ini seperti Abila yang gurunya dan bu witri muridnya.
"Hallo, Assalamualaikum, Pak."
Oh, sudah di angkat.
"Pak, Ibu mau tanya. Pemilik perusahaan tempat Bapak kerja siapa?"
Bu Witri melirik Abila yang sedang menyandarkan pungungnya.
"Pemilik perusahaan? Nona Nafisa. Kenapa, Bu?"
"Nafisa?" beo bu Witri.
Abila diam tersenyum. Suara yang di keraskan membuat Abila sangat puas mendengarnya.
"Kalo Bapak tau, nama panjangnya siapa?"
"Abila Nafisa Putri kalo Bapak ga salah, Bu."
Sontak bu Witri memutar ponselnya menjadi menghadap Abila.
"Nona? Selamat siang Nona." ucapnya sambil sedikit membungkukkan kepala.
Abila tersenyum, "Siang, Pak."
"Jadi, kamu-
Abila tersenyum, "Saya pemilik perusahaan itu. Jadi, sudah puas?"
Bu Witri terbisu. Suaranya hilang, ekspresinya berubah dan sorot matanya menjadi takut. Kemana suara lantangnya? Kemana ekspresi merendehkannya dan kemana sorot tajamnya? Secepat itukah hilangnya?
Abila mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Berdiri dari duduknya masih dengan pandangan lurus ke depan.
"Saya permisi." ujarnya dengan senyum.
Tiga langkah berjalan. Abila berbalik badan, "Oh, iya. Saya bukan menjual tubuh. Tapi saya mengelolah perusahan. Permisi." dan Abila kembali melanjutkan langkahnya.
AT
Abila masuk kedalam kelasnya di sambut tatapan heran dari para temannya. Gadis itu masuk di saat pelajaran sudah hampir selesai dan sebentar lagi pulang.
Abila menghampiri guru yang mengajar, menyaliminya dengan hormat.
"Maaf Bu, terlambat." ujar Abila meminta maaf pada bu Sulis yang kebetulan guru itulah yang mengajar.
"Dari mana kamu?" tanyanya lembut.
"Di tahan di kantor guru sama Bu Witri, Bu."
"Ada masalah?"
Abila menggeleng, "Tidak ada, Bu. Tadi ada sedikit kesalah pahaman aja."
"Yasudah. Karena sebentar lagi sudah bel pulang, kamu bisa tanya sama teman sebangkumu apa pelajaran yang Ibu terangkan tadi. Besok ke kantor dan serahkan tugasnya, ya?"
"Baik, Bu. Sekali lagi maaf."
Bu Sulis tersenyum, "Iya, silahkan rapihkan tasmu."
Setelah tersenyum ramah pada bu Sulis Abila berjalan ke kursinya di mana Keira, Dava dan Raka langsung menatapnya penuh tanya.
Abila duduk tidak lupa menebar senyum.
Keira mendekat, "Gimana, HP lo benar ada di kantor, kan?" tanya Keira menggebu. Pasalnya ia juga sudah amat penasaran tentang keberadaan ponsel temannya.
"Ketemu kok. Tapi tadi ada sedikit masalah aja, jadi agak lama."
"Masalah apa?"
Abila menoleh pada Raka, "Hm. Bukan apa-apa kok, Raka."
Raka mengangguk, "Yaudah, yang penting lonya ga apa-apa. Sekarang rapihin tasnya gih, nanti ikut kita main, ya..." ajak Raka.
Abila bingung. Ia menatap Keira, "Mau kemana, Kei?"
"Ke rumah Dava. Bundanya suruh kita berkunjung." jelas Keira.
"Bila juga?" menanyakan dirinya sendiri sebab ia merasa jika dirinya adalah orang baru. Warga baru yang baru saja pindah ke lingkungan mereka.
Sudah seharusnya Abila bertanya dan itu adalah hal yang wajar.
"Iya. Lo kan juga teman kita, temannya Dava." Keira menjawab.
"Tapi Bila kan orang baru..."
"Bunda gue ga pernah mempermasalahin baru atau lamanya gue punya teman, Bil. Beliau amat sangat menghargai bagaimana pun dan seperti apa teman gue,"
"Jadi, stop tanya dan bahas tentang kehadiran lo di circle kita yang tergolong baru." tutur Dava lembur. Tidak ada nada tinggi atau pun menekan di setiap katanya.
"Iya, benar. Kalo kita udah narik lo ke dalam circle, berati kita emang udah siap menyangkutkan segalanya bersama termaksud kehidupan." sambar Raka yang terlihat lemas.
"Maksudnya?" Abila bertanya karena masih bingung. Apa mungkin maksud dari ucapan Raka adalah dirinya harus membongkar siapa dia sebenarnya di depan ketiga temannya? Iya?
Keira terkekeh pelan, menaruh tangannya di pundak Abila menbawanya dalam sebuah rangkulan persahabatan yang erat.
"Maksud Raka itu, baik buruknya kehidupan kita, semua bisa di bicarakan. Contohnya, hidup gue, Raka dan Dava itu, kan, beda. Masing-masing dari kita itu saling sharing supaya kalo punya masalah bisa di selesaikan dengan mudah." penjelasan Keira cukup bisa di terima oleh Abila.
Intinya dari semua ucapan ketiganya itu adalah, mereka berteman dengan cara mereka dan mereka menyelesaikan masalah dengan cara kekeluargaan. Pokoknya, mereka harus saling berbagi kisah sampai semua masalah mereka ketahui satu sama lain.
"Keira, Abila, Raka dan Dava. Sudah selesai bicaranya?" suara bu Sulis terdengar.
Keempat remaja itu tertawa lalu mengangguk.
"Sudah, Bu."
"Kalau gitu, ayo pulang!"
After
Ayoo! Ramein