Satpam rumah yang menjaga pintu pagar tiba-tiba berlari dengan napas terenggah masuk ke dalam rumah. Abila dan Humairah yang sedang sarapan terkaget.
"Ada apa, Pak?" tanya Abila penasaran.
Satpam itu masih mengatur napasnya, "Itu Non, ada teman Nona di depan pagar."
"Teman saya? Yang mana? Ririn? Yaudah suruh masuk."
Satpam menggeleng, "Bukan, Non. Itu yang antar Non pulang lagi itu, lho, Non. Yang motornya warna biru." jelas satpam sejalas-jelasnya.
Humairah menatap anaknya, "Siapa?"
Abila diam. Motor biru?
"Astaga! Raka!" teriaknya kaget.
Abila sama sekali tidak berbuat janji dengan Raka. Tapi, bagaimana bisa ia membuat temannya menunggu di depan tembok? Bisa di bilang gila jika ada yang melihat Raka.
Abila dengan terburu meminum air di gelasnya, menyalimi Humairah dan lari keluar rumah membawa tas sekolahnya.
Gadis itu masuk ke garasi, mengambil sepeda lipet miliknya lalu di kayuh dengan kecepatan tinggi menuju gerbang.
"Pak, buka." suruhnya pada satpam yang lain.
Benar, ada Raka yang terlihat bingung di atas motornya.
Selesai mengatur napasnya, Abila mendekat pada Raka.
"Raka, ngapain?"
Raka menoleh, memandang Abila dan tembok secara bersamaan.
"Lo Benar-benar tajir, Bil."
Abila ber-hah-ria.
"Rumah lo benar-benar banget. Dari luar benaran kaya tembok biasa dong sumpah, keren!" kagumnya di utarakan dengan lebay pada Abila.
Abila terkekeh dengan geleng.
"Raka ngapain?" tanyanya untuk yang kedua kali.
"Ah... Ayo berangkat bareng," ajaknya.
"Bila bisa jalan sendiri, kok."
"Ga bisa. Kan gue udah di sini, jadi buat apa jalan sendiri? Ayo."
Raka mengulurkan tangannya, meminta Abila untuk mengamitnya dan naik ke ada motor.
Abila masih bingung. Hal ini tidak membuat Raka baper, kan?
"Ayo... Tangan gue bersih, kok. Tadi habis di cuci pake sabut tiga puluh juta."
"Ah? Emang ada, ya? Mahal banget."
Raka dengan antusiasnya mengangguk, "Ada. Itu, yang mirip punya Siska Khol!"
Wajah Abila berubah semangat.
"Mari kita coba!" ucap mereka bersamaan.
Keduanya tertawa.
"Ayo, adeknya Siska Khol, mau bareng sama Abang brokoli, ga?"
Abila dengan tawa mengamit tangan Raka, naik dengan perlahan ke motor itu.
"Siap, Neng? Abang Brokoli mau jalan, nih?"
Abila menabok pundak Raka pelan, "Ada-ada aja, Raka ini."
AT
Dava baru saja memarkirkan motornya di tempat seperti biasa. Ia duduk dahulu di atas motor merahnya berniat menunggu Keira dan Raka yang seperti biasa akan datang lebih siang darinya.
Sambil menunggu, Dava memilih memainkan ponselnya. Sekolah masih sepi, motor-motor yang terparkir di sini pun masih bisa di hitung dengan jari.
Dava berangkat terlalu pagi.
"Davatar!" Dava mengalihkan pandangannya dari ponsel pada seorang gadis dengan rambut di gerai itu. Gadis bersuara keras yang selalu membuat telinganya sakit. Keira.
Laki-laki itu tersenyum pada Keira yang dengan semangatnya menghampiri dirinya, "Tumben di anter, Raka kemana?"
Keira menghela panjang, duduk di samping Dava dan berucap, "Udah jalan duluan tuh anak."
"Udah jalan? Kok belum sampai?" tanya Dava bingung. Jika sudah jalan lebih awal, seharusnya yang sampai lebih dulu Raka bukan Keira.
Keira mengangkat bahu, "Mana aing tau. Emang aing emaknya!"
"Lo kan Neneknya."
Keira melotot! Enak saja dirinya di samakan dengan nenek-nenek.
"Gue mulus, putih, cantik gini kok di bilang Neneknya Raka. Lo kalo mau ngelawak mikir dulu, lah, bung!"
"Kesel gue lama-lama sama lo!" gerutu Keira terdengar dengan jelas oleh Dava.
Dava hanya bisa geleng kepala. Matanya menatap jalanan di mana ada Raka yang datang dengan seorang gadis di belakangnya. Dava tidak tau itu siapa karena wajahnya tertutupi oleh helm hitam.
Keira mencolek paha Dava memberitau jika Raka datang dengan seorang gadis. Dava yang sudah sadar sejak awal hanya berdehem menjawab colekan Keira.
Motor biru itu berhenti di samping motor milik Dava. Raka tersenyum tidak jelas menujukkan jika ia sedang bahagia.
"Hello teman-temanku!" sapanya.
"Sama siapa lo - Bila?!" ungkap Keira tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ternyata gadis yang di bonceng oleh Raka adalah Abila.
"Kok bisa bareng?" Dava bertanya.
"Bisa dong, kan gue jemput."
"Lo tau rumah Bila?" Keira menimpali pembicaraan antara dua temannya.
"Ta-
"Raka jemput Bila di depan komplek." selang Abila cepat. Tangan gadis itu mencubit perut Raka memberi tanda jika Raka harus diam.
Raka yang sadar dengan janjinya pada Abila terkesiap. Dirinya hampir lupa.
"Ayo, ngapain di sini? Ke kelas aja, yuk!" ajak Dava. Sebenarnya ajakan ini untuk mengalihkan perhatian Keira.
Raka dengan cepat menaruh helmnya, merangkul Keira meninggalkan Dava dan Abila yang masih di tempat.
Dava mendekat, tidak lupa mengambil tasnya.
"Raka tau rumah lo?" tiba-tiba saja Dava bertanya seperti itu. Reflek Abila mengangguk.
"Kok bisa?"
"Pas itu kan Raka antar Bila pulang Dava. Dava lupa?"
Dava terdiam, "Oh, iya."
"Ayo, ke kelas." sambung Dava mengajak Abila.
AT
Laki-laki berpakaian kurang rapih itu duduk diam di kursi paling belakang. Pandangannya kosong. Arya. Laki-laki yang di gadang-gadangkan tidak bisa hidup dengan satu wanita itu terlihat bingung.
Arya tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Abila dalam situasi yang tidak cukup baik. Sebelumnya ia tau jika Abila masuk sekolah yang sama dengannya, tapi Arya benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu di situasi yang buruk.
Bertabrakan? Sangat tidak keren.
Brak!
"Diam aja lo, Bos! Mikirin apa?" Syaid duduk mendekat.
Arya masih diam dengan pikirannya yang berkelana. Entah mengapa dan apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Pikirannya terasa penuh tapi dirinya tidak tau muatan apa saja yang sudah masuk dalam otaknya saat ini.
Keira dan Abila. Dua gadis yang mulai membuat otaknya sakit.
"Kalo kaya gini biasanya lo lagi mikirin cewe, nih. Aina kenapa? Ngajak putus?" sambung Rojak teman Arya yang lainnya.
"Putusin aja sih, apa susahnya."
"Mustahil banget seorang Arya pusing cuma karena mikirin cewe." sambung Syaid melanjut kalimatnya di atas.
Arya membuang napas.
"Berisik." padat dan jelas.
Syaid dan Rojak saling pandang, bermain mata satu sama lain seakan berbicara melalui ikatan batin.
"Gue-
"Sayang!"
Menghela lagi. Syaid bersamaan dengan Rojak memutar badan mereka menjadi menghadap pintu kelas setelah sebelumnya menatap Arya. Keduanya geleng kepala melihat gadis centil yang bernotabe kekasih teman mereka. Arya.
Aina mendekat. Duduk persis di samping Arya dengan tangan yang memeluk lengan kanan Arya.
"Sayang. Kamu beneran marah? Aku'kan cuma ngomong ga bisa..." tuturnya sok imut.
"Aku bukannya nolak ajakam kamu, aku lagi datang bulan, Arya..."
Mata Rojak dan Syaid membulat seketika. Ada apa ini?
"Wah, wah. Ada apaan, nih?!" ucap Syaid berpura-pura tidak mengerti.
"Arya udah gede kawan. Sudah mengerti dengan hal berbau plus-plus!" sambar Rojak.
Aina tersenyum malu.
Sementara Arya di buat tambah tidak suka dengan Aina karena respon gadis itu.
"Ga usah ngaco! Ini gue ngajak lo sholat jama'ah sama keluarga gue, bukan ngajak yang ga-ga!" tolak Arya mentah-mentah. Ia tidak mau teman-temannya berfikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.
Sebejat-bejatnya Arya. Arya tidak akan melakukan hal tercela itu. Tidak akan.
Arya menatap Aina yang masih bergelayut manja di lengannya, "Lo, mulai hari ini lo bukan lagi pacar gue. Kita putus!"
Aina terkaget. Ia melepas tangannya dari lengan Arya, berdiri dengan sinar mata tidak percaya.
"Lo ga bisa seenaknya mutusin gue, Ar! Ga bisa!"
Arya menyerigai, "Bisa. Siapa bilang ga bisa?"
"Lo-
Ucapannya tertahan. Gadis itu dengan emosinya pergi meninggalkan kelas Arya.
Rojak dan Syaid bertepuk tangan. Ini rekor terlama Arya berpacaran. Delapan hari.
"Selanjutnya siapa, Bos?" tanya Syaid.
Arya menatap kedua temannya, "Ga ada."
Rojak mengebrak meja, "Ah! Ga mungkin!"
"Pasti ada!" sambungnya.
"Ga ada." jawab Arya lagi menjadi akhir pembicaraan mereka untuk sementara.
"Kalian tau Abila?" tiba-tiba Arya bertanya seperti itu membuat Syaid beserta Rojak tersenyum.
"Tau. Cewe yang di tinggal nikah sama pacarnya sendiri, kan?"
"Oh... Yang pacarnya ngamilin adek tirinya, ya?" sambar Rojak.
Syaid menggeleng, "Bukan Adeknya anjir. Temannya." tolak Syaid.
"Adek tirinya, Id."
"Serius lo? Gila, tega banget tuh yang jadi cowonya!" ucap Syaid tidak habis pikir.
Keduanya menatap Arya, "Kanapa? Abila target lo selanjutnya?"
Dengan cepat Arya menggeleng, "Ga. Gue ga mau jadiin dia mainan gue!" tolak Arya. Abila bukan korbannya dan tidak akan pernah menjadi korbannya.
"Hallah! Cupu lo!" panas Rojak.
"Kita taruhan aja gimana? Kalo lo bisa dapetin tuh cewe, sepuluh juta buat lo." lanjut Rojak.
"Gue ikutan. Ga ada batas waktu buat lo, asal lo bisa jadian sama tuh cewe, detik itu juga dua puluh juta jadi milik lo." Syaid ikut berbicara.
Arya masih diam. Ia tidak akan mungkin melakukan ini.
"Gimana? Setuju ga?" tanya Rojak memastikan.
Arya memejamkan matanya lama lalu menghirup udara untuk mengganti pasokan oksigen di dalam paru-parunya.
"Diel?" Syaid dan rojak mengulurkan tangan mereka. Dan dengan terpaksa Arya berjabat tangan dengan kedua temannya.
"Diel."
After that
Jahat kali kau, Arya..